• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAUT JAWA

VII. ALOKASI AIR INTERTEMPORAL 7.1. Alokasi Air Aktual dan Optimal

8.1. Perubahan Nilai Variabel Teknis

Perubahan permintaan air baku, terdiri dari perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen dan perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen. Perubahan permintaan air baku PDAM dilakukan karena peningkatan permintaan aktual yang meningkat sebesar 10 persen rata-rata per tahunnya, yang seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air bersih merupakan kebutuhan pokok, dan makin sulit memperolehnya terutama untuk wilayah Tarum Barat. Kebutuhan air bersih baik untuk minum maupun sanitasi tidak dapat lagi dipenuhi dengan menggunakan air tanah, selain biaya ekstraksi air tanah yang makin meningkat karena kedalaman serta kualitas air tanah yang makin menurun sehingga peningkatan kebutuhan air bersih diatasi dengan meningkatkan permintaan terhadap air permukaan dalam hal ini air dari sistem pengairan Jatiluhur.

Hasil optimasi Model DIJ dengan perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen (skenario 1), menghasilkan alokasi air optimum bagi sektor pertanian pada musim tanam I di wilayah Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi

sama dengan hasil optimasi Model DIJ dasar, sedangkan pada musim tanam II terjadi perubahan alokasi air optimum ke sektor ini di wilayah Cikarang B maupun Bekasi A (Tabel 23).

Tabel 23. Luas Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 serta Musim Tanam di Wilayah Tarum Barat

GOLONGAN CURUG BEKASI

SAWAH A B A B A TERSEDIA I 3850.00 485.00 4032.00 - 4287.00 186.00 II - - 4277.00 - - - III - - 5440.00 3772.00 4940.00 914.00 IV - - 4762.00 3619.00 1889.00 4129.00 V - - 2015.00 2367.00 - 804.00 TOTAL 3850.00 485.00 20526.00 9758.00 11,116.00 6033.00 DASAR MT I I 3850.00 485.00 4032.00 - 4287.00 186.00 II - - 4277.00 - - - III - - 5440.00 3772.00 4940.00 914.00 IV - - 4762.00 3619.00 1889.00 4129.00 V - - 2015.00 2367.00 - 804.00 TOTAL 3850.00 485.00 20526.00 9758.00 11116.00 6033.00 MT II I 3850.00 485.00 4032.00 - 4287.00 186.00 II - - 4277.00 - - - III - - 5440.00 3772.00 2110.19 - IV - - 4762.00 3619.00 - 4129.00 V - - 2015.00 2367.00 - - TOTAL 3850.00 485.00 20526.00 9758.00 6397.19 4315.00 SKENARIO 1 MT I I 3850.00 485.00 4032.00 - 4287.00 186.00 II - - 4277.00 - - - III - - 5440.00 3772.00 4940.00 914.00 IV - - 4762.00 3619.00 1889.00 4129.00 V - - 2015.00 2367.00 - 804.00 TOTAL 3850.00 485.00 20526.00 9758.00 11116.00 6033.00 MT II I 3850.00 485.00 4032.00 - 4287.00 186.00 II - - 4277.00 - - - III - - 5440.00 3772.00 4940.00 - IV - - 4762.00 3619.00 958.92 - V - - 2015.00 2367.00 - - TOTAL 3850.00 485.00 20526.00 9758.00 10185.92 186.00

LUAS LAHAN (ha)

CIKARANG CIBEET

Hasil optimasi Model DIJ dengan skenario 1, merubah alokasi air optimum di wilayah Cikarang-B dan Bekasi A. Alokasi air optimum di wilayah

161

Cikarang-B lebih besar dibandingkan dengan hasil optimasi Model DIJ dasar. Perubahan alokasi air optimum ini menyebabkan perubahan luas lahan optimum, dimana luas lahan optimum model skenario 1 lebih luas dibandingkan hasil optimasi model dasar. Kondisi ini dapat dipahami karena luas lahan optimum sangat tergantung pada sumberdaya air yang tersedia, makin banyak air yang tersedia bagi sektor pertanian makin luas lahan optimum yang akan terpilih.

Di sub wilayah Bekasi-A, alokasi air optimum mengalami penurunan, penurunan alokasi air optimum ini disertai juga dengan penurunan lahan optimum yang dipilih. Pada model skenario 1 ini sawah yang dipilih merupakan sawah golongan I saja sedangkan sawah golongan lainnya tidak dipilih. Pemilihan ini selain didasarkan pada sumberdaya air yang tersedia tetapi juga produktivitas lahan, dimana sawah golongan I diasumsikan produktivitasnya lebih tinggi dari golongan II, III dan seterusnya.

Tabel 24. Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dngan 7 serta Musim Tanam di Wilayah Cikarang B

GOLONGAN DASAR SAWAH 1 2 3 4 5 6 7 TERSEDIA I 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 II - - - - - - - - III 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 IV 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 V 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TOTAL 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 MT I I 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 II - - - - - - - - III 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 IV 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 1889.00 V - - - - - - - - TOTAL 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 11116.00 MT II I 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 4287.00 II - - - - - - - - III 2413.21 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 4940.00 - IV - 958.92 934.44 1558.56 1558.56 1558.56 934.44 - V - - - - - - - - TOTAL 6700.21 10185.92 10161.44 10785.56 10785.56 10785.56 10161.44 4287.00 SKENARIO LUAS LAHAN (ha)

Produktivitas dan luas lahan merupakan unsur pembentuk total produksi, dimana total produksi padi berhubungan dengan penerimaan petani, dan

penerimaan petani berhubungan dengan benefit sektor pertanian wilayah tersebut. Model DIJ yang dibangun dengan tujuan memaksimumkan benefit, cenderung akan memilih aktivitas yang menghasilkan benefit yang lebih tinggi, oleh sebab itu Model DIJ selalu akan memilih luas dan golongan lahan yang akan memberikan benefit optimum.

Perubahan alokasi air optimum, luas lahan optimum dan produktivitas optimum, tidak merubah benefit sektor pertanian di sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, dimana benefit yang dihasilkan melalui peningkatan permintaan air baku PDAM sama dengan hasil optimasi model dasar.

Perubahan permintaan air baku PDAM, merubah alokasi optimum air ke sektor domestik di semua wilayah, dimana besarnya perubahan sama dengan besarnya peningkatan permintaan (10 persen). Model memilih alokasi optimum sesuai dengan permintaan dari sektor tersebut. Tidak ada penambahan sarana penyaluran air, jadi kapasitas saluran baik pada model dasar maupun model skenario 1 tetap dengan kapasitas yang terpasang. Kapasitas saluran yang tetap berimplikasi pada total air yang disalurkan tidak dapat melebihi kapasitasnya sehingga kurva suplai sumberdaya air berbentuk garis lurus dan merupakan kurva penawaran yang inelastis.

Kondisi suplai air pada kapasitas maksimum dan bersifat inelastis, ketika permintaan air salah satu sektor meningkat tidak disrespons dengan menambah total penyaluran air untuk sub wilayah tersebut, melainkan dengan mangalihkan air yang ada dari sektor yang mennghasilkan benefit lebih rendah ke sektor yang menghasilkan benefit lebih tinggi. Pengalihan alokasi antar sektor terjadi ketika nilai terhadap sumberdaya air berbeda setiap sektornya. Model akan memilih alokasi optimum pada sektor dengan nilai sumberdaya airnya lebih tinggi, sedangkan sektor yang memberi nilai sumberdaya air lebih rendah akan selalu dikorbankan, dalam penelitian ini sektor pertanian yang memberikan nilai

163

sumberdaya air paling rendah dibandingkan kedua sektor lainnya. Pengalihan air dari sektor pertanian ke sektor domestik tidak merubah benefit optimal dari sektor pertanian, karena pengalihan air ini juga terjadi di sektor pertanian itu sendiri, yakni mengalihkan air yang dialokasikan pada lahan dengan produktivitas rendah ke lahan dengan produktivitas yang lebih tinggi.

Perubahan permintaan air baku sebesar 10 persen telah merubah alokasi air ke sektor domestik sebesar 10 persen juga, dimana air yang dialokasikan berasal dari sektor pertanian. Perubahan alokasi air optimum, telah merubah benefit sektor ini dimana hasil optimasi dengan model skenario 1 telah merubah benefit optimum di semua wilayah, dimana benefit optimumnya lebih tinggi dari hasil optimasi model dasar. Sedangkan untuk sektor industri alokasi optimum yang dihasilkan sama dengan model dasar, dan benefit yang dihasilkan model inipun tidak berubah.

Perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen bersama dengan perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen (model skenario 2), tidak merubah alokasi air ke sektor pertanian di semua wilayah kecuali sub wilayah Bekasi A. Alokasi air optimum ke wilayah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan alokasi hasil optimasi model dasar, tetapi sama dengan alokasi optimum hasil model skenario 1. Perubahan alokasi air sektor pertanian ke sub wilayah Bekasi A pada musim tanam II, telah merubah alokasi lahan optimum dimana luas lahan optimum yang dipilih pada musim tanam II hanya sawah golongan I, dimana sawah golongan I merupakan sawah dengan produktivitas tertinggi, produktivitas tertinggi akan menghasilkan benefit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sawah golongan lainnya.

Perubahan pemintaan air baku PDAM dan industri (skenario 2), tidak merubah luas lahan optimum pada musim tanam I, perubahan terjadi pada musim tanam II dan hanya meliputi dua wilayah diatas yakni sub wilayah

Cikarang B dan Bekasi A. Luas lahan optimum kedua wilayah ini agak berbeda dengan hasil optimasi skenario 1, di sub wilayah Cikarang B terjadi perubahan pada luas lahan optimum sawah golongan IV, sedangkan lahan optimum yang dipilih di sub wilayah Bekasi A hanya pada sawah golongan I.

Tabel 25. Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7, serta Musim Tanam di Wilayah Bekasi A

GOLONGAN DASAR SAWAH 1 2 3 4 5 6 7 TERSEDIA I 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 II - - - - - - - - III 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 IV 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 V 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 TOTAL 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 MT I I 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 II - - - - - - - - III 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 914.00 IV 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 4129.00 V 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 804.00 TOTAL 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 6033.00 MT II I 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 186.00 II - - - - - - - - III - - - 914.00 - - - - IV 4129.00 - - - - - - 743.01 V - - - - - - - - TOTAL 4315.00 186.00 186.00 1100.00 186.00 186.00 186.00 929.01 SKENARIO

LUAS LAHAN (ha)

Alokasi air optimum ke sektor domestik mengalami perubahan sebesar peningkatan permintaannya yakni 10 persen, atau sama dengan hasil optimasi model skenario 1. Alokasi optimum mengalami penurunan di semua wilayah (bukan pada batas maksimum) terjadi pada periode ke 18 (bulan Juni II), sedangkan alokasi ke wilayah Bekasi B dimana mengalami perubahan setiap periodenya (flukuatif) tetapi perubahan inipun sama dengan hasil optimasi model skenario 1. Perubahan alokasi air optimum merubah benefit yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut, dengan perubahan dan besaran benefitnya sama dengan hasil optimasi Model DIJ skenario 1.

Perubahan alokasi optimum hasil optimasi Model DIJ skenario 2, sebesar peningkatan permintaan sektor industri yakni 5 persen, menghasilkan benefit

165

bagi sektor industri, yang besarannya lebih tinggi dibandingkan dengan benefit yang dihasilkan dari optimasi Model DIJ dasar dan skenario 1.

Perubahan permintaan air baku PDAM dan industri ternyata tidak merubah suplai air ke seluruh wilayah Tarum Barat tetapi hanya mengalihkan air dari sektor pertanian ke sektor domestik dan industri. Apabila dilakukan peningkatan terus menerus pada kedua sektor ini akan terjadi pengurangan lahan optimum yang disebabkan kekurangan air. Kekurangan air dalam artian bukan tidak tersedia di waduk tetapi air yang disalurkan sudah pada kapasitas maksimum dan tidak memungkinkan melakukan penambahan air kecuali dengan penambahan sarana penyaluran yang lebih besar. Ketika peningkatan suplai air hanya bisa diatasi dengan penambahan sarana menandakan bahwa untuk menyediakan sejumlah tambahan air dibutuhkan biaya pengadaannya, atau dengan kata lain air telah mengalami kelangkaan secara ekonomi (Molden et al, 2001).

Model DIJ tidak mengamodasi perubahan sarana penyaluran maupun penyimpanan, disebabkan horison waktu model ini hanya dalam setahun dan bukan tahunan. Peningkatan permintaan air baku PDAM mengalihkan air dari sektor pertanian (pada model dasar) menjadi air baku PDAM. Kedua wilayah ini merupakan wilayah dengan jumlah PDAM lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya serta PDAM yang ada pada kategori sedang sampai besar. Ketika air tersedia terbatas jumlahnya maka Model DIJ akan mengalihkan air dari sektor yang nilai airnya rendah ke sektor dengan nilai air yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan teori alokasi sumberdaya dimana akan dipilih kombinasi alokasi sumberdaya dengan rasio harga yang lebih tinggi.

Ketika semua sektor berkompetisi dalam mendapatkan sumberdaya air dimana suplai sumberdaya tersebut inelastis, karena dibatasi oleh sarana yang tersedia. Perubahan permintaan salah satu sektor yang meningkatkan nilai air,

tanpa menambah kapasitas saluran induk atau dengan kata lain suplainya tetap maka Model DIJ akan memperlakukan sektor yang memberikan nilai air lebih rendah seolah-olah menjadi sektor yang terkalahkan.

Hasil optimasi Model DIJ dengan menggunakan skenario 1 dan 2 hanya mengalihkan air irigasi ke sektor domestik dan industri di kedua wilayah tersebut, hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau dimana ketersediaan air terbatas, dan penyaluran air berada pada kapasitas maksimum, Model DIJ memilih aktivitas yang nilai airnya lebih tinggi dan memperlakukan sekor yang memberikan nilai air lebih rendah sebagai sektor yang terkalahkan. Artinya secara otomatis Model DIJ memberikan prioritas sesuai dengan harga air baku yang berlaku.

Perubahan skenario permintaan air baku (skenario 1 dan 2) tidak merubah produktivitas lahan baik pada musim tanam I dan II di semua wilayah Tarum Barat, sedangkan untuk total produksi padi di wilayah tersebut berubah karena perubahan luas lahan optimum. Begitu juga dengan total alokasi air irigasi pada semua wilayah pada musim tanam I tidak mengalami perubahan, perubahan terjadi pada musim tanam II dan hanya terjadi pada wilayah yang mengalami perubahan luas lahan optimum.

Hasil optimasi Model DIJ dengan menggunakan kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa apabila alokasi air bergeser dari alokasi berdasarkan kebutuhan pengguna ke alokasi berdasarkan benefit yang dihasilkan maka sektor pertanian akan mengalami kesulitan dalam mengakses air irigasi, pengelola akan memilih alokasi pada sektor yang memberikan benefit lebih tinggi sehingga mendatangkan return yang lebih tinggi bagi pengelola.

Hasil optimasi inipun menunjukkan bahwa air di kedua wilayah tersebut telah mengalami kelangkaan, sehingga telah terjadi kompetisi antar sektor pengguna, kondisi ini dapat diatasi salah satunya dengan memberikan nilai air

167

irigasi pada tingkat yang lebih tinggi. Valuasi disini dapat berupa peningkatan harga air irigasi yang sesuai dengan kontribusi air terhadap total produksi, dimana hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontribusi air irigasi sendiri sebesar 15 persen dan 75 persen bersama input lainnya dari total output yang dihasilkan dapat dijadikan pedoman penentuan harga air irigasi. Apabila hasil per hektarnya sebesar 5 ton padi berarti bahwa air irigasi dalam satu musim tanam menyumbang sebesar 0.75 ton padi, atau setara dengan 1.28 juta rupiah (jika harga padi dipatok 1.70 ribu rupiah), dan 2.00 juta rupiah (jika harga padi dipatok 2.00 ribu rupiah), dengan harga air irgasi sebesar 31.88 rupiah atau 37.50 rupiah per meter kubik.

Harga air irigasi sebesar 5.00 rupiah per meter kubik yang digunakan dalam Model DIJ, ternyata tidak dapat berkompetisi dengan sektor-sektor non pertanian yang memberikan nilai air lebih tinggi yakni 45.00 rupiah untuk PDAM Kota dan Kabupaten, 50.00 rupiah untuk sektor industri dan 100.00 rupiah untuk PAM DKI. Jika total air irigasi yang dialokasikan sebesar 40.00 ribu meter kubik per hektar berarti total biaya untuk air irigasi sebesar 200.00 ribu rupiah, atau sekitar 10 persen dari total pengeluaran usahatani padi per musim tanam.

Jika ditinjau dari benefit bagi pengelola, penetapan harga air irigasi sebesar 31.88 rupiah atau 37.50 rupiah, mungkin akan lebih berkompetisi dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Model DIJ. Jika dilihat dari sisi benefit sektor pertanian, penetapan harga air irigasi tersebut akan menyebabkan penurunan benefit akibat peningkatan biaya usahatani, dan proporsi biaya air irigasi akan menjadi lebih besar sedangkan benefit yang dihasilkan makin menurun bahkan mungkin sangat kecil.

Sektor pertanian sebagai sektor pengguna air terbesar di wilayah ini, sebaiknya mulai mempertimbangkan penggunaan air irigasi seefisien mungkin,

dan memperlakukannya sebagai sumberdaya yang langka dan mempunyai nilai ekonomi sama seperti input lainnya.

Kondisi seperti yang diskenariokan pada Model DIJ ini akan terjadi di masa mendatang, dimana pertumbuhan perkotaan di wilayah hilir Tarum Barat demikian pesat yang menyebabkan peningkatan permintaan air sektor non pertanian, sementara ketersediaan air dari sungai-sungai yang ada makin terbatas akibat rusaknya wilayah catchment area dan daerah sepanjang sungai, yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan wilayah pemukiman.

Selain itu apabila dilihat dari sisi kualitas, kualitas air di wilayah ini sangat buruk, hal ini dapat dilihat dari pengamatan langsung dimana air yang ada mengandung sedimen (lumpur) yang sangat pekat, warna air yang telah tercemar dengan limbah pabrik yang ada terutama dari wilayah Cikarang dan Bekasi, sehingga air tidak dapat digunakan kembali di wilayah hilir walaupun dalam volume yang sangat banyak (saluran Cikarang Bekasi Laut, CBL).