• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Bandara dan Lingkungan

2.3. Konsep Motivasi sebagai Dasar Perilaku

Setiap orang pasti mempunyai hasrat untuk berbuat sesuatu yang menjadi harapannya, karena kepentingannya maupun kebutuhannya. Hasrat tersebut dinamakan sebagai motivasi bagi dirinya. Namun, menurut kebiasaan yang berlaku, motivasi yang dipikirkan oleh pelaku tidak pernah diketahui oleh siapapun kecuali yang bersangkutan. Bahkan, motivasi biasanya tersembunyi dalam hati, sehingga orang hanya bisa menduga bagaimana sebenarnya. Walaupun tersembunyi, motivasi juga bisa terbaca melalui tindakan yang diambil sebagai aksi atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, sebagai suatu kelompok manusia yang bekerja bersama, maka motivasi bisa diinterpretasikan dari kebijakan yang ditetapkan menjadi perilaku yang akan dikerjakan orang bersama-sama secara keseluruhan.

Motivasi pelaku tidak harus menyatakan niatnya secara terbuka. Motivasi sesungguhnya hanya berada di hati yang terdalam dari setiap individu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa dengan tidak menyatakan niat seseorang, bahwa orang lain tidak dapat menduga maupun membacanya, terutama bila motivasinya sudah mengambil bentuk nilai yang mendasari perilakunya itu. Walaupun motivasi tidak pernah diucapkan dan bersifat tersembunyi, perbuatan seseorang menjadi indikasi melalui perilaku yang nampak dan dapat diinterpretasikan dari perilaku yang juga merupakan cermin yang dapat terlihat lebih nyata dari motivasinya.

Walaupun motivasi bersifat tersembunyi, sekelompok orang yang melakukan sesuatu secara bersama-sama akan tercermin dalam perilaku kelompok. Hal tersebut juga dapat diketahui dari kebijakan yang dikeluarkan yang melahirkan motivasi kolektif melalui interaksi bersama dan pembicaraan dengan orang lain. Motivasi juga dapat dirasakan dari hasil kerja secara kolektif terutama dari keinginan mereka yang berada di luar organisasi.

Motivasi yang tinggi biasanya menjadikan seseorang berada dalam keadaan kejiwaan yang resah. Motivasi yang tinggi juga ditandai oleh orang yang

memberikan pelayanan (yaitu cermin motivasi) yang prima (tinggi), karena merasa tidak puas dengan keadaan yang dihadapinya. Keresahan yang demikian jelas menguntungkan orang lain. Keresahan dapat hilang jika aktivitas motivasi dapat tersalurkan melalui pemberian pelayanan yang lebih baik kepada orang lain. Bentuk pelayanan yang dapat menciptakan kesenangan bagi para pekerja dapat digambarkan sebagai suatu bentuk rasa kepuasan. Dengan tidak adanya keresahan ataupun kegelisahan dalam diri seseorang pekerja maupun sekelompok pekerja - terhadap keadaan yang ada, maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang mempunyai motivasi yang rendah (Viteles, 1973).

Kepemimpinan dalam situasi demikian dapat memainkan peranan penting untuk memelihara terjaganya motivasi yang tinggi, terutama terhadap jalannya arah organisasi dalam mencapai tujuan (pelayanan) agar dapat memenuhi kebutuhan orang lain yang tidak puas. Kepemimpinan dapat membedakan corak tingkah laku para pelaku antara organisasi satu dengan organisasi yang lain dan dengan bentuk pelayanan yang diberikan.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa motivasi dapat digambarkan sebagai suatu kebutuhan yang selalu tidak pernah terpuaskan bagi yang melayani maupun yang dilayani. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu keadaan yang menghasilkan keseimbangan antara kepuasan atau kesenangan secara silih berganti. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembalikan keadaan yang tidak seimbang menjadi seimbang kembali. Para pekerja tetap diminta untuk selalu bergerak sesuai tujuan untuk mengembalikan keadaan yang tidak senang dan tidak seimbang tersebut agar kebutuhan masyarakat dapat dilayani sepenuhnya. Masyarakat juga harus mendukung maksud baik dari pimpinan organisasi ini.

Oleh karena itu, jelas bahwa motivasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur manusia dalam suatu organisasi. Dalam kegiatan organisasi motivasi seharusnya bersifat ajeg, terutama dalam usaha-usaha yang mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Adanya suatu ke-ajeg-an mencerminkan motivasi untuk mencapai tujuan yang selalu menjadi usaha kerasnya. Keajegan adalah cara kerja yang menjadikan kualitas dari nilai kerja itu sendiri. Ke-ajeg-an dalam kerja menghasilkan nilai kerja yang lebih berkualitas dari suatu bentuk

kerja. Sementara nilai kualitas juga dapat diperoleh dari bentuk pengawasan di dalam organisasi. Disinilah peranan kepemimpinan menjadi sangat diperlukan.

Para ahli teori perilaku biasanya meletakkan motivasi tidak hanya sebagai awal dari perilaku, melainkan juga sebagai suatu pemikiran niat perbuatan seseorang. Jadi, motivasi selalu mendahului nilai kerja (motivation precedes work values) ataupun tindakan (motivation precedes action). Niat seseorang mempunyai berbagai dasar pemikiran seperti kepentingan (interest) yang biasanya juga bertaut dengan suatu kemauan atau kehendak yang bertingkat-tingkat dari berbagai ragam kebutuhan (needs) yang kemudian menjelma menjadi suatu perilaku yang nyata. Salah satu pandangan yang bertautan antara kepentingan dan kebutuhan adalah teori yang banyak dibicarakan ilmuwan yang dikembangkan oleh Abraham Maslow.

Maslow memulai dengan teorinya yang disederhanakan pada kebutuhan manusia dari yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti kebutuhan makan dan minum dan kebutuhan seks; diikuti oleh kebutuhan keamanan (security or safety needs); kebutuhan akan bermasyarakat dan cinta (love and social needs); dan kebutuhan akan pengakuan (esteem needs) - sampai pada yang terakhir adalah kebutuhan menampilkan jagad-diri manusia (self actualization needs) (Maslow, 1970).

Abraham Maslow mengembangkan teorinya lebih jauh dalam buku yang selanjutnya menjadi kajian klasik dalam subjek ini (Maslow, 1970). Pemikiran Maslow tersebut mendapat banyak kritikan sehingga melahirkan pemikiran rintisan lain terutama dalam pandangan teori konten (content theories) di mana Maslow juga menjadi salah satu perintisnya. Disini dia mengindikasikan bahwa pada akhirnya manusia juga membutuhkan kehidupan spiritual yaitu nilai agama yang juga memainkan peranan sangat penting bahkan meliputi keseluruhan tangga teori motivasi.

Masih dalam pemikiran teori motivasi, ada juga pemikiran yang dirintis oleh McGregor (1960). Dalam bukunya yang lain, pemikiran ini dikembangkan lebih jauh dengan membagi motivasi dalam Teori X (Theory X) dan Teori Y (Theory Y) secara lebih luas lagi. Dalam teori X, McGregor (1960) mendasarkan pemikirannya pada suatu anggapan bahwa orang pada dasarnya tidak suka

bekerja. Pemikiran dari McGregor ini menganggap bahwa dalam bekerja pada umumnya manusia malas dan hanya ingin keamanannya terjamin. Dalam bekerja, orang lebih suka berleha-leha dan selalu membutuhkan bimbingan serta pengawasan dan harus diberi rasa takut agar mereka bekerja dengan baik dan benar.

Oleh karena itu, apabila pemimpin melihat keadaan seperti yang digambarkan di atas, maka pemimpin itu sendiri cenderung menjadi orang yang menuntut dan memaksa dengan keras pada bawahannya untuk bekerja dengan baik. Seringkali pemimpin menjadi otoriter dalam keadaan yang demikian. Teori ini mencerminkan gaya dari perilaku yang dilahirkan berbeda, terutama dengan corak kepemimpinan yang lebih egaliter yang digambarkan sebagai teori Y.

Teori Y beranggapan bahwa manusia dalam bekerja cenderung seperti ketika istirahat atau bermain. Anggapan lainnya adalah bahwa para pekerja mempunyai komitmen pada tujuan organisasinya, mengendalikan diri untuk mencapai tujuan organisasi dan berharap pada pengakuan dan balasan yang baik pula. Teori Y juga berhasrat agar orang memimpin dirinya sendiri dan orang lain, daripada rasa aman semata. Orang diharapkan agar mempunyai semangat inovatif dan kreatif, suatu pemikiran yang melahirkan bentuk lain dari kepemimpinan (McGregor, 1970).

Dalam teori Y, pemimpin cenderung melahirkan pemikiran yang lebih egaliter kepada sesama para pekerjanya. Pemimpin cenderung bekerja bersama (to work with people) orang lain dan bukan hanya melalui (and not only through and with other people) melainkan menguasai orang lain (over-ruling other people’s thinking) yaitu memaksa pemikirannya pada orang lain, maka pemimpin bukan lagi memimpin (leading) akan tetapi menjadi menguasai (ruling). Apabila pemimpin menjadi asyik dengan posisi kekuasaannya, maka seorang cenderung menjadi penguasa yang memimpin dan bukan pemimpin yang berkewenangan.

Pemikiran tentang motivasi mempunyai ciri adanya usaha yang dikerjakan. Usaha ini tercermin dalam nilai yang melahirkan perilaku. Jadi, perilaku manusia sangat dipengaruhi lingkungan dalam organisasi dimana dia berada. Kata dipengaruhi menjelaskan adanya hubungan yang erat antara pribadi orang dalam suatu sistem sosial yang organik dengan lingkungannya.

Pribadi seseorang bisa saja meliputi watak maupun temperamen yang menjadi bawaan dirinya (ingrained in the self). Kedua hal tersebut terjelma dalam nilai yang menjadi anutan kerjanya. Pribadi seseorang juga meliputi pengetahuan, skill, sikap dan beberapa pengaruh yang didapat dari lingkungannya. McGregor menyebutkan hal ini sebagai fungsi I. Semua yang dijelaskan sebagai fungsi I terjelma dalam nilai yang lebih konkrit yang tidak dijelaskan oleh McGregor sendiri. Sementara lingkungan digambarkan sebagai fungsi E. Oleh karena itu, dirumuskanlah aksi kerja (Work Performance) dengan rumusan sebagai berikut:

P = f( I, E)

P = f {I( a,b,c,d,) …E( m,n,o,p…)}

dimana, P adalah kinerja atau perilaku, I adalah berbagai karakteristik dari para individu dan E adalah environment atau lingkungannya yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh P maupun I. Secara singkat seluruh performance (P) atau perilaku seseorang, baik yang didapat dari pendidikan, keahlian atau pengalaman, sikap dan tindakan adalah cermin atau terjemahan dari nilai kerja seseorang dari dalam organisasi dan tertuju pada lingkungan dalam dan luar organisasi (Gregor, 1967).

Motivasi belum menjadi perilaku yang ekspresif selama manusia belum melakukan suatu tindakan (aksi dari dirinya) dan tidak ada aksi kecuali ada nilai yang mendasarinya. Motivasi hanya merupakan suatu suasana batin yang tidak kita ketahui, kecuali bagi dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri yang menganggap bahwa ia akan berbuat seperti apa yang dituntut oleh organisasinya. Motivasi bisa memberi warna pada tingkah laku (behaviour) sehari-hari, sedangkan perilaku merupakan jelmaan dari nilai kerja dalam bentuk norma yang mengatur kerjanya itu, yaitu: dari apa dan bagaimana yang harus diperbuat; serta peran atau tugas yang diembankan pada seseorang dalam suatu struktur organisasi yang ada. Jadi, motivasi dalam kenyataannya merupakan penjelmaan dari nilai dasar seperti agama dan budaya yang dianutnya maupun nilai keseharian yang didapat dari pendidikan maupun pergaulannya dan yang tertuju pada tujuan di lingkungan dari organisasinya.

Pertama, motivasi orang yang bekerja di dalam organisasi jelas akan dipengaruhi pula oleh lingkungan luar organisasi (external organizational

environment) maupun lingkungan dalam organisasi (internal organizational environment) itu sendiri. Keduanya hal tersebut akan menjelma pada suatu bentuk persepsi dan proyeksi dalam bentuk perilaku (behaviour) dalam melaksanakan tujuan (objective) dari mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi (internal organizational environment). Sementara nilai kerja mendahului dan mendasari perilaku kerja seseorang atau sekelompok orang.

Kedua, perilaku itu sendiri ada penyebabnya (caused by). Penyebabnya biasanya dipengaruhi oleh lingkungan luar organisasi yang bisa saja melahirkan motivasi. Perilaku juga mempunyai dampak (effect) pada lingkungan luar organisasi (Kolasa, 1970). Penelitian ini sebenarnya merupakan kajian dari sebagian aspek budaya kerja dari mereka yang bekerja di bandara yaitu lingkungan dalam yang berkaitan dengan lingkungan luar organisasi. Oleh karena itu, kurangnya mutu pelayanan dapat diartikan sebagai akibat dari kurangnya perhatian manusia yang bekerja terhadap nilai-nilai kerjanya sendiri yang membentuk peran dan norma organisasi serta turut mempengaruhi kinerja di lingkungan luar organisasi. Hal ini berarti bahwa pelayanan yang baik hanya bisa terjadi apabila nilai kerja yang dianut mempunyai pengaruh pada lingkungan organisasi yang ada secara signifikan.

Nilai yang berpengaruh saja tidak akan cukup. Oleh karena itu, penelitian ini juga perlu mencari nilai apa saja yang ikut mempengaruhi atau yang sebenarnya ikut mendukung nilai utama yang berpengaruh pada lingkungan luarnya itu. Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku yang merupakan faktor yang berdampak pada organisasi secara keseluruhan. Fokusnya pada perilaku keseluruhan karena sebagian besar kerusakan yang dihadapi masyarakat sekarang ini berpusat pada perbuatan kolektif manusia yang secara sadar maupun tidak sadar membantu merusak lingkungan. Sedangkan penyebabnya adalah nilai-nilai yang terkait yang juga ikut mempengaruhi nilai utama yaitu nilai pendukung yang menyebabkan perilaku tersebut terjadi (caused behaviour). Dengan demikian, kerusakan harusnya dapat diperkirakan terlebih dahulu agar tidak terjadi, jika nilai pendukung utama juga di perhitungkan sebagai nilai yang berpengaruh pada nilai keseluruhan.

Dalam motivasi, lingkungan luar dapat menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi di manapun mereka berada dan tidak terkecuali di bandara itu sendiri. Padahal perilaku manusia pada dasarnya berbeda dengan kemauan kerjanya. Ada diantara mereka yang gigih dibanding dengan teman kerja lainnya. Mereka itulah yang lebih berhasil dalam menjalankan tugas dibandingkan teman lainnya sesama rekan pekerja.

Adanya nilai kerja yang lebih dan yang kurang gigih adalah cerminan dari motivasi kerja yang sesungguhnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak melihat perilaku orang per-orang melainkan melihat perilaku secara keseluruhan dari semua yang bekerja di lingkungan bandara. Namun, hal ini tidak berkaitan dengan suatu diskursive yaitu suatu gagasan yang banyak bergulir tanpa suatu rencana. Akan tetapi, hal tersebut terkait dalam suatu hubungan dari para individu dengan apa yang sebenarnya terjalin dan yang diketahui oleh masing-masing pekerja. Dengan demikian, arti nilai (meaning) sangat terkait dengan konteks dari para individu yang melakukan suatu tindakan. Jadi, ekspresi yaitu membuat informasi tersedia bagi orang lain bukanlah tindakan akhir melainkan efek sampingan dari tugas yang mau dijalankan dengan nilai kerja yang ada (Goffman, 1980).

Motivasi dalam pandangan ini juga merupakan esensi yang terdalam dari manusia (inner-self wishes), sedangkan nilai adalah bentuk lahiriah (expressive wishes) dari nilai yang terdalam itu yaitu motivasi. Adapun yang dimaksud dengan nilai yang terdalam adalah ajaran baku yang tertanam pada diri seseorang seperti agama, budaya dan pendidikan yang juga ikut membentuk motivasi dari mereka yang bekerja. Ajaran yang baku ini juga menjadi alat interpretasi dari diri (the objective interpretation of and by the self) yang menerjemahkan apa yang dipersepsikannya secara fleksibel dari luar diri.

Motivasi dapat dibentuk melalui proses persepsi dari mereka yang bekerja yang biasanya menangkap dari lingkungan luar dirinya (outer-self inwardly) (Burger dan Luckmann 1969). Rajin atau malas seseorang juga dibentuk oleh keadaan yang membentuk dirinya sendiri maupun lingkungan luar organisasi yang berpengaruh membentuk sikap tersebut. Oleh karena itu, terdapat siklus yang saling mempengaruhi antara motivasi yang mendasari nilai kerja, walaupun bukan

nilai kerja yang merupakan cermin dari lingkungan dalam yang berpengaruh kemudian menjelma dalam nilai kerja.

Persepsi merupakan daya tangkap manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan luar organisasi termasuk lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alaminya. Dengan perkataan lain, persepsi merupakan suatu proses daya tangkap oleh diri yang sekaligus memberi interpretasi terhadap lingkungan luar (outer phenomena is perceived as problems by the inner-self through the interpretation of basic or acquired values). Pengaruh nilai kerja terdapat dalam organisasi di mana mereka yang bekerja. Sedangkan proses persepsi tidak luput dari pengaruh nilai dasar yang dianut oleh seseorang yang secara bersamaan dengan nilai kerja dalam memberi interpretasi dari fenomena yang diamati atau yang ditangkap oleh diri (the self) dari lingkungan luarnya (Toch dan Smith 1968).

Hal yang ingin dicari dari penelitian ini adalah nilai kerja yang berpengaruh secara signifikan. Jadi, pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini terkait dengan nilai-nilai dasar yang dapat memelihara lingkungan atau yang sangat berpengaruh pada lingkungan. Walaupun tidak dipungkiri bahwa ada nilai dasar yang dipengaruhi oleh motivasi (sebagai faktor terdalam dari manusia) maupun persepsi yang juga membantu membentuk motivasi orang untuk bekerja dan yang kemudian melahirkan sikap (attitude) dan perilaku (behavior) dari mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi.

Motivasi menurut pandangan Katerberg dan Blau (1983) mempunyai beberapa ciri yaitu adanya usaha (effort) yang menggambarkan usaha orang dalam suatu kegiatan yang mencerminkan kekuatan sebagai pendorong motivasi menjadi tingkah laku kerja (work related behaviour). Kerja keras dapat berarti motivasi kerja tinggi, tetapi bisa juga merupakan hasil kerja sehingga kerja yang dilakukan menjadikan motivasi tinggi. Orang yang bekerja di depan tungku api tidak bisa kerja dengan lengah. Oleh karena itu, kerja harus selalu mempunyai motivasi yang tinggi. Motivasi merupakan akibat dari bentuk kerjanya itu sendiri.

Motivasi diibaratkan sebagai jantungnya manajemen karyawan. Mangkuprawira (2008) memberikan definisi motivasi sebagai dorongan yang membuat karyawan melakukan sesuatu dengan cara dan untuk mencapai tujuan

tertentu. Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Stoner et al., 1996).

Menurut Mangkunegara (2000) untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, maka perlu diketahui pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya.

Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Perusahaan bukan saja mengharapkan karyawan yang ”mampu, cakap dan terampil”, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal (Hasibuan, 2003).

Motivasi kerja adalah sesuatu yang permanen dan terus-menerus dan diusahakan secara berkelanjutan (persistence), kecuali orang sudah menjadi lumpuh. Maka motivasi dapat pula menjadi bentuk pengobatan bagi kesembuhan bukan untuk kerja. Disini motivasi adalah usaha yang selalu mempunyai tujuan (goal directed) (Katerburg dan Blau 1983). Motivasi juga mengenal teori proses (process theory). Teori kebutuhan - yang dalam hal ini masuk dalam teori konten (content theory) – yaitu berbicara mengenai apa yang menggugah motivasi, maka teori proses yang mengemuka adalah terjadinya proses motivasi yang sesungguhnya.

Clayton Alerter menghaluskan sekaligus memperluas pandangan dari Maslow. Clayton mengatakan bahwa kebutuhan itu terkait dengan kebutuhan untuk eksis (existence needs) yang mencakup safety dan physiological dalam pandangan Maslow. Begitu juga ada kebutuhan untuk keterkaitan (relatedness) yang mencakup social dan self esteem needs. Sementara pandangan yang lain adalah pertumbuhan (growth) yang mencakup self esteem itu sendiri dan self actualization needs dalam pandangan Maslow sebagaimana dikutip oleh Alerter (1972). Masih banyak lagi teori dari kebutuhan ini seperti yang dikembangkan oleh McClelland, Herzberg, dan lain-lain.

Fredrick Herzberg melihat motivasi sebagai suatu sarana untuk membuat para pekerja lebih senang karena diberi tanggung jawab. Dengan demikian, terjadi adanya pengakuan terhadap orang yang bekerja. Tanggung jawab menimbulkan rasa pencapaian akan suatu hasil dan dapat mengetahui bagaimana hasil kerja dari seseorang. Dari segi ini Fredrick Herzberg mempunyai segi yang kurang lebih sama dengan motivasi orang Yunani dahulu, yaitu adanya tujuan yang menyenangkan. Dari segi kesenangan (happiness) maka motivasi yang digambarkannya memberi gambaran yang hedonistics.

Teori motivasi Frederick Herzberg dikembangkan oleh Herzberg pada tahun 1959. Teori ini menyatakan bahwa motivasi kerja ditentukan oleh dua faktor. Pertama, adalah faktor yang membuat karyawan merasa puas bekerja (satisfiers), yaitu faktor-faktor yang membuat karyawan merasa senang atau puas dan mendorong motivasi kerja (Motivation Factors). Faktor ini bersifat intrinsik yang artinya bersumber dari dalam diri seseorang dan selalu dihubungkan dengan isi pekerjaan seperti, pencapaian tujuan, prestasi (achievement), berhubungan dengan keberhasilan melakukan pekerjaan, memecahkan masalah, mempertahankan pendapat dan merasakan/melihat hasil pekerjaan, pengakuan (recognition) mendapat perhatian dari orang/pihak lain (teman, atasan, perusahaan atau organisasi), pekerjaan itu sendiri (work it self) cara-cara melaksanakan pekerjaan sehari-hari atau tugas yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan pekerjaan, tanggung jawab (responsibility) wewenang dan tanggung jawab pekerjaan, status (advancement), perubahan status dari posisi seseorang di dalam organisasi, peningkatan dan pengembangan.

Kedua, yaitu hygiene factor adalah faktor yang dapat menimbulkan rasa tidak puas kepada pegawai (de-motivasi) atau faktor yang menghambat motivasi kerja. Faktor-faktor ini bersifat ekstrinsik yaitu berada di luar diri dan selalu dihubungkan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan dan administrasi (company policy and administration) meliputi kebijakan organisasi, jalur komunikasi di organisasi dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan, supervisi (supervisor) pengawasan yang diterima seseorang dalam menjalankan tugasnya, termasuk kemampuan atasan dalam menjalankan tugasnya, termasuk kemampuan atasan dalam melaksanakan pengawasan; teknis (technical),

hubungan antar pribadi (interpersonal supervisor), kondisi kerja (working condition) meliputi kondisi fisik tempat bekerja, jumlah pekerjaan, atau fasilitas yang tersedia untuk melaksanakan pekerjaan; upah (wage) semua imbalan material yang diterima seseorang di dalam melaksanakan pekerjaannya, teknis, dan rasa aman.

Selanjutnya, apabila faktor-faktor hygiene ini diperbaiki, maka tidak ada pengaruhnya terhadap sikap kerja yang positif. Sebaliknya jika dibiarkan tidak sehat, maka pegawai hanya akan merasa kecewa atau tidak puas. Faktor hygiene menggambarkan hubungan kerja dengan konteks atau lingkungan ditempat pegawai melaksanakan pekerjaannya (job contex).

Antara teori Maslow, Herzberg dan McClelland hakikatnya adalah sama. Sebab faktor motivator dari Herzberg sama dengan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri dari Maslow, serta kebutuhan berprestasi dan kebutuhan kekuasaan dari McClelland. Begitu pula faktor hygiene dari Herzberg, pada dasarnya adalah sama dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan kebutuhan sosial dari Maslow, serta kebutuhan afiliasi dari McClelland (Gibson et al., 2005).

Maslow Herzberg McClelland

Gambar 2. Jenis Kebutuhan Menurut Maslow, Herzberg, dan McClelland

Dari ketiga teori mengenai motivasi tersebut, model Herzberg merupakan suatu model yang lebih relevan dibandingkan dua teori lainya. Teori Maslow, mempunyai kelemahan, yaitu karena adanya tingkatan kebutuhan dari individu sehingga dapat diartikan bahwa individu akan lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang paling tinggi terlebih dahulu, baru kemudian memenuhi kebutuhan yang kurang penting selanjutnya. Padahal setiap individu selalu

5. Aktualisasi diri 4. Penghargaan 3. Rasa sosial 2. Keselamatan dan keamanan 1. Fisiologis Motivator’s: 1.Prestasi 2.Pekerjaan sendiri 3.Pengakuan 4.Tanggung jawab 5.Status Hygiene’s:

1.kebijakan dan adm 2.Supervisi teknis