• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan (utilitas) yang diperoleh

seorang konsumen dari kegiatan

mengkonsumsi suatu barang dan jasa. Menurut Fauzi (2004) pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama dari berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan dan kemudian disebut sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam. Bagi suatu individu nilai dari suatu barang atau jasa adalah keinginan dan kemampuannya untuk berkorban terhadap barang atau jasa tersebut. Berkorban yang dimaksud adalah kemampuan dan keinginan membayar lebih terhadap suatu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkebunan kelapa sawit (oilpalm

plantation) merupakan perkebunan yang tengah berkembang di Kabupaten Siak. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyebutkan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 mencapai 186.819 Ha. Luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunan. Kecamatan Dayun

merupakan sentral pertumbuhan dan

perkembangan utama areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Luas areal perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mencapai 21.949 Ha pada tahun 2008 (BPS Kab. Siak 2008).

Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak nyata terhadap

lingkungan diantaranya adalah semakin

berkurangnya ketersediaan air. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan

air dalam proses pertumbuhannya.

Perkebunan kelapa sawit merupakan

perkebunan yang diterapkan secara

monokultur pada suatu lahan. Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut. Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut.

Estimasi nilai lingkungan dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai kerugian lingkungan yang terjadi akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini di dekati sebagai nilai konsumsi sumberdaya air oleh perkebunan kelapa sawit pada suatu lahan yang diperoleh melalui perhitungan neraca air tanaman kelapa sawit. Besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit kemudian di nilai dalam bentuk rupiah dengan

tujuan untuk memudahkan dalam hal

perbandingan antara total nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit yang diterima oleh masyarakat dengan total nilai lingkungan yang harus di tanggung oleh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit.

Program konservasi sumberdaya air dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana kekeringan dan kelebihan air yang mungkin timbul akibat adanya alih fungsi

lahan. Keikutsertaan masyarakat dalam

mendukung adanya program konservasi sumberdaya air ini sangat dibutuhkan. Dukungan masyarakat dalam mendukung program konservasi sumberdaya air terlihat

melalui Willingess To Pays (kemauan

membayar) dari masyarakat dalam program konservasi sumberdaya air. Besarnya nilai WTP dari masyarakat dapat ditentukan berdasarkan survei langsung yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Hasil nilai WTP kemudian digunakan untuk melihat seberapa besar nilai manfaat lingkungan yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya program konservasi sumberdaya air.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menghitung serta menganalisis neraca

air lahan sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit

2. Menghitung besarnya kebutuhan air

perkebunan kelapa sawit

3. Mengestimasi nilai ekonomi lingkungan

tanaman kelapa sawit

4. Menganalisis WTP masyarakat untuk

program konservasi sumberdaya air

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan (utilitas) yang diperoleh

seorang konsumen dari kegiatan

mengkonsumsi suatu barang dan jasa. Menurut Fauzi (2004) pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama dari berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan dan kemudian disebut sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam. Bagi suatu individu nilai dari suatu barang atau jasa adalah keinginan dan kemampuannya untuk berkorban terhadap barang atau jasa tersebut. Berkorban yang dimaksud adalah kemampuan dan keinginan membayar lebih terhadap suatu

membayar yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan dari

setiap individu yang menginginkan

barang/jasa tersebut. Kemampuan atau

keinginan membayar dari setiap individu tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk

WTP (Willingness To Pays). Dalam WTP

dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar setiap individu didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh, dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan

peningkatan kualitas dan degradasi

lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:

1. Menghitung biaya yang bersedia

dikeluarkan oleh individu untuk

mengurangi dampak negatif pada

lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.

2. Menghitung pengurangan nilai atau

harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan. 3. Melalui suatu survei untuk menentukan

tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik.

Secara umum teknik valuasi ekonomi

sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non

market valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yakni teknik langsung dan teknik tidak langsung. Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Kelompok pertama adalah teknik valuasi tidak langsung, yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut

teknik yang mengandalkan revealed WTP

(keinginan untuk membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk kelompok ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing, dan teknik yang relatif baru disebut Random Utility Model.

Kelompok kedua adalah teknik valuasi langsung, yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh

Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model (DCM).

Gambar 1 Teknik Valuasi Non-Market.

Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui metode valuasi

langsung (contingen valuation method).

Metode valuasi langsung adalah suatu metode survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Menurut Haab dan

McConnell (2002) Contingent Valuation

adalah sebuah metode dalam mengumpulkan informasi mengenai preferensi atau kesediaan membayar (WTP) dengan teknik pertanyaan

secara langsung. Kesedian membayar

merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu (Pearce et al 1994). Tujuan dari CVM adalah untuk mengukur keinginan membayar individu (WTP) untuk perubahan kuantitas atau kualitas dari barang dan jasa lingkungan. Pendekatan CVM disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan lainnya) dan kedua, keinginan menerima (Willingness To Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan perairan (Fauzi 2004). Hanley dan Spash (1993) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam penggunaan CVM terdiri dari:

3

1. Menyusun Hypothetical market

2. Penentuan besarnya penawaran/lelang

(bid curve)

3. Menghitung rataan WTP dan/atau WTA

4. Menjumlahkan data

5. Mengevaluasi perhitungan CVM

Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu. Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa

orang tersebut mempunyai kemampuan

mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya, orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan.

Pertanyaan tersebut digunakan untuk

menentukan suatu pasar hipotesis terhadap

perubahan lingkungan yang diinginkan.

Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotesis harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik kondisi yang ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik

yang dipergunakan untuk pembayaran.

Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (WTP) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan

kesenangan (estetic) seperti pemandangan

alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik. Penilaian lingkungan secara

langsung dapat dilakukan dengan

menggunakan teknik penentuan nilai hipotesis dari barang lingkungan yang ingin di nilai (Hufschmidt et al 1987). Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis. Namun, dalam pelaksanaannya, CVM mempunyai kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Kelemahan utamanya adalah munculnya bias. Bias terjadi jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang

sebenarnya diinginkan oleh masyarakat

ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang

sebenarnya diinginkan. Sumber-sumber bias menurut Fauzi (2004) ditimbulkan oleh dua hal utama, yaitu:

1) Bias yang timbul karena strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita

melakukan wawancara dan dalam

kuisioner kita nyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan

lingkungan, sehingga timbul

kecenderungan responden untuk member nilai kurang dari yang sebenarnya. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya.

2) Bias yang ditimbulkan oleh rancangan

penelitian. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam

dari pencemaran limbah oleh

pengunjung, karcis masuk harus

dinaikkan. Hal tersebut tentu saja akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain (misalnya

melalui yayasan, trust fund, dan

sebagainya).

Surplus konsumen timbul karena

konsumen menerima lebih dari yang

dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen karena konsumen mampu membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus 1990, dalam Djijono 2003). Besarnya surplus konsumen dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu area atau bidang di bawah kurva permintaan dan diatas garis harga (Gambar 2).

2.2.Neraca Air Lahan dan Tanaman