• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan diwilayah

perkebunan kelapa sawit milik PT.

Perkebunan Nusantara V (PTPN V) yang berada di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Estimasi nilai ekonomi

lingkungan perkebunan kelapa sawit

dilakukan di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Desa ini merupakan

Desa Binaan dan hampir seluruh

masyarakatnya merupakan petani sawit. Pengambilan data primer berupa kuisioner dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan

Juli tahun 2010. Pengolahan data

dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah:

a)Seperangkat komputer lengkap dengan software MS. word dan MS. excel 2007

b)Satu berkar kuisioner

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data

sekunder. Adapun data primer yang

digunakan adalah data hasil kuisoiner dari responden yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a)Data curah hujan tahun 1979-2009 dari

Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru

b)Data suhu tahun 1979-2009 dari

Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru

jumlah besar secara tidak langsung membuat sungai-sungai yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air bahkan sebagian sungai mengalami kondisi kekeringan. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit. Selain itu, pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke sungai yang letaknya dekat dengan pabrik, tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Pembuangan limbah pabrik tersebut banyak didapati di sepanjang daerah aliran sungai antara lain DAS Sungai Siak (Riau) dan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat)

(Gindho 2009). Kondisi ini membuat

penduduk yang memanfaatkan sungai sebagai sumber mata air mengalami gangguan kesehatan, terutama penyakit kulit. Menurujuk data World Bank (1992), sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan mencuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standard). Penggunaan air yang tercemar telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank 1992).

d. Penurunan tingkat kesuburan tanah

Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk

menyuburkan perkebunan kelapa sawit

mencapai 2,5 Juta ton dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 Ha. Selain pupuk, 1,5 juta liter pestisida juga disemprotkan untuk menjaga hama dan gulma pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini mengakibatkan

menurunnya kemampuan tanah untuk

memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009).

e. Penurunan tingkat keanekaragaman

hayati akibat pengerusakan hutan

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) pada tahun 2005-2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta Ha dari 127 juta Ha total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian

tadi masih dilanjutkan oleh lembaga

Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun

mendatang (Reid 1992 dalam Gindho 2009). Proses alih lahan yang paling berpengaruh terhadap hilangnya beberapa spesies burung

adalah pada saat pembukaan lahan (land

clearing). Kegiatan pembukaan lahan melalui

proses land clearing menyebabkan

musnahnya habitan burung dan terjadinya fragmentasi habitat serta timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan

menyebabkan keanekaragaman burung

menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan diwilayah

perkebunan kelapa sawit milik PT.

Perkebunan Nusantara V (PTPN V) yang berada di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Estimasi nilai ekonomi

lingkungan perkebunan kelapa sawit

dilakukan di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Desa ini merupakan

Desa Binaan dan hampir seluruh

masyarakatnya merupakan petani sawit. Pengambilan data primer berupa kuisioner dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan

Juli tahun 2010. Pengolahan data

dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah:

a)Seperangkat komputer lengkap dengan software MS. word dan MS. excel 2007

b)Satu berkar kuisioner

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data

sekunder. Adapun data primer yang

digunakan adalah data hasil kuisoiner dari responden yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a)Data curah hujan tahun 1979-2009 dari

Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru

b)Data suhu tahun 1979-2009 dari

Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru

c)Data Siak Dalam Angka Kabupaten Siak tahun 2008 dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak

d)Data jenis tanah, TLP, dan KL dari PTPN V Pekanbaru

e)Data Luas Area Perkebunan Kelapa

Sawit dari PTPN V Pekanbaru dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak Tahun 2009

3.3 Analisis Neraca Air 3.3.1 Neraca Air Umum

Analisis neraca air umum dilakukan untuk melihat sebaran potensi hujan yang turun setiap bulannya secara rata-rata. Metode yang digunakan adalah model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite dan Matter (1957). Model ini menggunakan data-data

klimatologis dan bermanfaat untuk

mengetahui berlangsungnya bulan basah dan bulan kering. Data iklim yang dibutuhkan dalam metode ini adalah data suhu dan curah hujan bulanan rata-rata dalam rentang waktu 30 tahun (1979-2009).

3.3.2 Neraca Air Lahan

Model ini merupakan penggabungan data-data klimatologis dengan data-data jenis tanah terutama data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu Permanen (TLP), dan Air tersedia (WHC = Water Holding Capacity). Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik grafitasi. Air yang dapat ditahan tanah tersebut akan terus menerus diserap akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada saat itu akar tanaman tidak lagi mampu menyerap air sehingga tanaman menjadi layu. Titik layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akar-akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga tanaman layu. Data yang diperoleh dari PTPN V untuk KL di wilayah penelitian adalah sebesar 200 mm, sedangkan TLP adalah sebesar 80 mm, dengan jenis tanahnya adalah Podsolik Merah Kekuningan (PMK) atau menurut klasifikasi USDA

berjenis Ultisol. Air tersedia adalah

banyaknya air tersedia yang mampu

digunakan oleh tanaman, dimana besarnya adalah selisih antara KL dan TLP.

3.3.3 Neraca Air Tanaman

Model ini merupakan penggabungan data klimatologis, data tanah, dan data jenis tutupan lahan yang ada. Data tanaman yang

digunakan adalah data koefisien tanaman

(Kc). Tanaman tutupan lahan (Landcover)

dibagi kedalam dua bagian, yaitu sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah untuk landcover sebelum adanya

perkebunan kelapa sawit berupa hutan primer

sedangkan landcover sesudah adanya

perkebunan kelapa sawit berupa tanaman kelapa sawit dan tidak ada tanaman lain yang tumbuh pada lahan perkebunan kelapa sawit tersebut. Asumsi berikutnya adalah faktor intersepsi tajuk oleh pohon kelapa sawit tidak dimasukan kedalam perhitungan kebutuhan air serta besarnya limpasan yang terjadi.

Kebutuhan air dan limpasan dihitung

berdasarkan persamaan empiris yang

digunakan dalam penelitian ini.

Model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite menggunakan sistem tata buku dengan kaidah analisisnya sebagai berikut:

1. Data Suhu (T)

Suhu yang digunakan dalam analis neraca air ini berupa data suhu bulanan rata-rata selama 30 tahun, yaitu periode 1979 - 2009.

2. Indeks Panas (I)

Data indeks panas disesuaikan

berdasarkan data suhu bulanan yang mengacu pada tabel indeks panas yang terdapat pada buku Thornwhite.

3. ETP belum disesuaikan (ETP Unadj)

Perhitungan ETP Unadj mengacu pada tabel indeks panas berdasarkan data suhu udara yang ada. Tabel ETP Unadj mengacu pada buku Thornwhite.

4. ETP disesuaikan (ETP adj)

Langkah ini dibagi kedalam dua bagian:

a. Mencari Faktor Koreksi

Faktor koreksi merupakan nilai

tetapan yang diperoleh

berdasarkan informasi nilai

lintang wilayah kajian. Data faktor koreksi terhadap posisi lintang terdapat pada lampiran.

b. Menetapkan ETP disesuaikan

(ETP adj)

ETP adj diperoleh dengan cara mengalikan nilai ETP Unadj dengan faktor koreksi.

5. Curah Hujan (CH)

Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan bulanan selama 30 tahun dengan peluang terlampaui 70%. Periode hujan yang digunakan adalah curah hujan bulanan tahun 1979-2009. Adapun persamaan yang digunakan untuk menghitung peluang hujan terlampaui 70%

= CH rata-rata – (0,53*SD CH)…(1)

6. CH-ETP adj

Langkah ini adalah langkah

mengurangkan nilai CH bulan tertentu dengan nilai ETP adj pada bulan tersebut.

7. Kehilangan Air Potensial Terakumulasi

(APWL)

Langkah ini adalah mengisi data CH-ETP adj yang bernilai negatif dan

diakumulasikan sampai bertemu

dengan data CH-ETP adj yang bernilai positif.

8. KAT atau WHC

Langkah ini adalah memasukan data KL dan TLP dari jenis tanah yang ada.

Nilai KAT didapat dengan

menggunakan rumus:

KAT = KL exp (APWL/KL)………. .(2)

9. KAT (Perubahan Kadar Air Tanah)

KAT merupakan selisih kandungan air tanah antara satu periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Nilai KAT yang positif menunjukkan terjadinya penambahan kandungan air tanah. Penambahan ini akan terhenti setelah KL terpenuhi.

10. ETA (Evapotranspirasi Aktual)

Mengisi kolom ETa dengan catatan sebagai berikut:

Apabila CH > ETp,

maka ETa = ETp……….(3) Apabila CH < ETp,

maka ETa = CH + KAT………...(4) Pada kondisi CH < ETp, maka tanah akan mulai mengering dan ETa menjadi lebih rendah dari nilai evapotranspirasi potensialnya (ETp). 11. Defisit

Mengisi kolom defisit dengan

menghitung selisih antara ETp dengan ETa. Defisit berarti berkurangnya air

untuk keperluan evapotranspirasi

potensial. Nilai defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan

untuk memenuhi keperluan ETP

tanaman.

12. Surplus

Mengisi kolom surplus dengan

menggunakan persamaan berikut: S = CH – ETP - KAT…………(5) Surplus merupakan suatu keadaan dimana air mencapai kapasitas lapang pada saat terjadi kelebihan curah hujan. 13. Run off (Limpasan)

Run off menunjukan besarnya air yang mengalir dipermukaan tanah. Adapun

cara perhitungannya menggunakan

persamaan:

Ro1 (Januari) = 50% x S1, Ro2 (Februari) = 50% x 50% x S1 (Januari) + 50% x S2 (Februari), dan seterusnya sampai pada Ro12 (Desember).

3.4 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Menurut Doorenbos dan Pruitt (1976), kebutuhan air suatu tanaman merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui proses evapotranspirasi tanaman, sehingga jumlah kebutuhan air suatu tanaman akan sebanding dengan nilai evapotranspirasi tanaman (ETc).

Kebutuhan air tanaman kelapa sawit

ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:

ETc = Kc x ETp………..(6) Untuk tanaman kelapa sawit, berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) nilai crop coefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0,82 pada (untuk LAI< 2) sampai 0,93 (untuk LAI> 5). Kelapa sawit dengan kelompok umur >7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara 4,9-5,1. Umur rata-rata tanaman kelapa sawit yang terdapat di wilayah penelitian saat ini lebih dari >7 tahun (PTPN V 2010). Oleh karena itu, nilai crop coefisien yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman pada penelitian ini adalah sebesar 0,93. Hasil ETc tanaman kelapa sawit kemudian di konversi kedalam

satuan m3/s, yang didapatkan dengan

mengalikan ETc dengan data luas area perkebunan kelapa sawit.

3.5 Estimasi Debit (Q)

Perhitungan estimasi debit

menggunakan metode neraca air yang dikembangkan oleh FJ. Mock (1973).

Perhitungan ini membutuhkan data Curah run

off dan Surplus. Kedua data ini telah

didapatkan dari analisis neraca air sebelumnya dengan menggunakan metode neraca air

Thornwhite. Adapun Persamaan yang

dikembangkan oleh Mock untuk menduga besarnya debit estimasi adalah sebagai berikut: Q = ………..(7) Ro = Bf + DRO Bf = I x Vn Vn = [0.5 x (1+k) x I] I = S x i

Dimana: I = infiltrasi, S = surplus, i = koefisien infiltrasi, Vn = simpanan air tanah, Bf = merupakan aliran dasar, Ro = aliran permukaan/limpasan, Q = estimasi debit (m3/s), CA = luas DAS (m2), dan N = jumlah hari dalam satu bulan. Nilai i berkisar antara 0,3 untuk dataran rendah dan lebih dari 0,5 untuk dataran tinggi, sedangkan nilai k berkisar antara 0,5 untuk dataran rendah dan 0,6 untuk dataran tinggi.

3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit

Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati dengan menghitung jumlah air yang hilang yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit dalam satu hektar lahan

perkebunan. Adapun persamaan yang

digunakan adalah sebagai berikut:

Nilai Lingkungan = (ETc Sawit – ETc Hutan) x Harga Air x Luas Lahan Nilai Ekonomi = Pendapatan rata-rata per

hektar per bulan x 12 Nilai Lingkungan dan Nilai Ekonomi dihitung dalam satuan rupiah (Rp). Hasil perbandingan antara nilai ekonomi dan nilai

lingkungan kemudian digunakan untuk

mengestimasi apakah perkebunan kelapa

sawit memberikan keuntungan atau

memberikan kerugian berdasarkan besarnya

kebutuhan air yang digunakan oleh

perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan adalah CVM (contingen valuation method) yang berupa kuisioner yang langsung ditujukan kepada individu/masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Output dari CVM berupa dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Dalam metode ini, kuisioner di desain sampai kepada taraf perbaikan

lingkungan melalui program konservasi

sumberdaya air. Analisis yang digunakan

adalah WTP (Wilingness to Pays). WTP

merupakan kemampuan atau kesediaan

membayar dari setiap individu untuk

mendapatkan perbaikan kualitas lingkungan akibat adanya ekstraksi sumberdaya. Adapun langkah-langkah analisis yang digunakan

untuk menilai program konservasi

sumberdaya air adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan harga bayangan kerusakan

lingkungan

Diperoleh dengan persamaan:

Nilai lingkungan (per bulan) / jumlah KK

2. Menentukan nilai rata-rata WTP

Diperoleh dari hasil kuisioner, yang berupa Nilai Max. WTP, Nilai Min WTP, dan Nilai Rata-rata WTP dari responden

3. Menetapkan Bid Curve

Merupakan hubungan anatara harga bayangan dengan rata-rata WTP

4. Mengagregatkan data

Merupakan tabulasi hasil kuisioner dan perhitungan manfaat ekonomi dari program perbaikan lingkungan. Besarnya nilai program perbaikan

lingkungan melalui upaya konservasi

sumberdaya air merupakan hasil perkalian antara nilai WTP rata-rata dari responden dengan jumlah penduduk yang terdapat di wilayah kajian.

Sampel di ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Jumlah warga yang tinggal di desa ini sebanyak 4393 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 1034 jiwa. Sampel diambil sebanyak 200 KK di desa tersebut. Jumlah sampel dinilai sudah cukup untuk mewakili seluruh penduduk yang ada diwilayah ini. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah warga masyarakat yang telah lama tinggal di daerah tersebut, dengan lama tinggal kurang lebih 20 tahun sejak perkebunan tersebut ada.

BAB IV