• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Neraca Air Lahan dan Tanaman Neraca air lahan merupakan suatu

estimasi ketersediaan air yang berada pada suatu lahan tertentu dengan jenis tutupan tertentu. Ketersediaan air yang berada dibumi merupakan suatu sistem yang dinamik, artinya selalu berubah dari waktu ke waktu.

Gambar 2 Surplus konsumen (Sumber:

Samuelson dan Nordhaus

1990).

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1979) neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan keseimbangan antara aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow) dari air di suatu hamparan lahan pada periode tertentu. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hillel (1972), dimana neraca air lahan merupakan rincian perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lingkungan tertentu selama periode tertentu. Neraca air lahan dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan air suatu tanaman. Metode yang lebih spesifik yang digunakan dalam menentukan kebutuhan air suatu tanaman adalah dengan neraca air agroklimat.

Secara spesifik, Doorenbos dan Pruitt (1976) menjelaskan kebutuhan air merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk

mengimbangi kehilangan air melalui

evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada

lingkungan pertumbuhannya. Dengan

mengabaikan jumlah air yang digunakan

dalam kegiatan metabolisme maka

evapotranspirasi dapat disamakan dengan kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, Sasrodarsono dan Takeda (1978) menyatakan

bahwa kebutuhan air disebut juga

evapotranspirasi.

Ketersediaan air tanah (Total Available Water, TAW) merupakan jumlah air yang tersedia diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen dari jenis tanah tersebut. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang

cukup lembab yang menunjukkan air

terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Titik layu permanen adalah kondisi dimana akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah. Titik kritis adalah batas minimum air tersedia yang dipertahankan agar tidak habis

serta diperoleh berdasarkan penelitian di lapangan (Benami dan Offen 1984, dalam

Yanwar 2003). Kandungan air antara

kapasitas lapang dan titik kritis disebut RAW (Readily Available Water). Perbandingan antara RAW dengan total air tanah yang

tersedia dipengaruhi oleh iklim,

evapotranspirasi, tanah, jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman (Raes 1988).

Berdasarkan penelitian Harahap dan

Darmosarkoro (1999), yang melakukan

pendugaan kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit, diketahui bahwa kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit di lapang berkisar antara 4 – 4,65 mm/hari atau sekitar 120 – 140 mm/bulan. Pemberian air melalui sistem irigasi secara umum dilakukan pada akhir Juli sampai akhir Oktober. Air yang dibutuhkan sistem irigasi saluran terbuka berkisar antara 1.960 – 2.460 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (2.460 m3/ha/bulan). Air yang dibutuhkan sistem irigasi tertutup (sprinkler dan drip) berkisar

antara 1570 – 1970 m3/ha/bulan, dengan

puncaknya pada Agustus (1.970 m3/ha/bulan).

Jumlah kebutuhan air ini setara dengan 0,9 liter/detik/ha, yang hampir sama dengan kebutuhan air untuk irigasi padi sawah. 2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan

Lahan

Pengaruh langsung akibat adanya konversi lahan dari hutan menjadi tanaman monokultur adalah adanya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan (surface runoff) (Onrizal 2005). Penurunan debit dan volume air serta peningkatan keragamannya kemungkinan disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air

wilayah akibat meningkatnya fluktuasi

musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan

kapasitas storage DAS baik di permukaan

(tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002)

juga mengemukakan bahwa perubahan

5

permukaan kedap air menyebabkan

berkurangnya infiltrasi, menurunkan

pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung

mempengaruhi penurunan debit dan

peningkatan run off secara langsung

mempengaruhi peningkatan debit.

Konversi hutan alam untuk

pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat sekarang walaupun di Indonesia sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta hektar, sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk

berbagai keperluan (Badan Planologi

Kehutanan dan Perkebunan 2000).

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang

pesat sejak tahun 1978 dengan laju

pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Salah satu elemen hutan tanaman industri (HTI) yang masih produktif adalah hutan alam dan besarnya rata-rata 22 % dari seluruh kawasan hutan yang dikelola. Besarnya hutan alam yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai pada Juni 1998 adalah seluas 1 Juta Ha. Hal ini berarti kerusakan hutan alam yang

terjadi merupakan salah satu dampak

pembangunan HTI (Kartodiharjo dan

Supriono 2000).

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai

keanekaragaman hayati yang tinggi

(Manurung 2000, Potter and Lee 1998). Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah 80% untuk tanaman dan 80 - 90% (untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati sebagai akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat berkorelasi positif dengan tingginya kasus illegal loging yang begitu marak sejak tahun 1998 - 2007. Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10 Juta ha pada tahun 1997 - 1998. Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 - 1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3 Milyar (Bappenas 2000).

Menurut data Sawit Watch tahun 2004, luas kebun sawit di Indonesia saat ini berjumlah 7,4 Juta ha yang menghasilkan 18,7 Juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Seperempat bagian atau 4,5 Juta ton dari minyak sawit mentah tersebut digunakan untuk konsumsi domestik, sedangkan sisanya

ditujukan untuk pasar ekspor. Secara

ekonomi, ada nilai tambah yang diperoleh dari minyak sawit, namun ada nilai yang tak terhitung besarnya akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak yang timbul akibat perluasan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, diantaranya:

a. Kebakaran hutan

Sejak tahun 1997 sampai awal tahun 2008, bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan juga gambut untuk membuka kebun sawit terus saja terjadi, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Ada ribuan masyarakat yang mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat pembakaran lahan dan hutan. Lebih dari seribu jiwa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, terkena ISPA (Kompas 2008). Jumlah penderita yang tak jauh berbeda juga didapati di Kota Pekanbaru, Jambi, Palangkaraya dan Samarinda.

b. Bencana banjir

Penebangan hutan secara Illegal yang menjadi daerah resapan air ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Secara ekologis, tanaman sawit sangat banyak membutuhkan air, namun tidak mampu menangkap air dalam jumlah besar. Artinya perkebunan kelapa sawit bukan areal yang bisa dijadikan tangkapan air (Manurung 2000).

c. Kesulitan air bersih dan pencemaran air

Secara ekologis, kelapa sawit

membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk menopang hidupnya yang berakar serabut. Kebutuhan air perkebunan kelapa sawit dalam

debit air bahkan sebagian sungai mengalami kondisi kekeringan. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit. Selain itu, pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke sungai yang letaknya dekat dengan pabrik, tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Pembuangan limbah pabrik tersebut banyak didapati di sepanjang daerah aliran sungai antara lain DAS Sungai Siak (Riau) dan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat)

(Gindho 2009). Kondisi ini membuat

penduduk yang memanfaatkan sungai sebagai sumber mata air mengalami gangguan kesehatan, terutama penyakit kulit. Menurujuk data World Bank (1992), sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan mencuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standard). Penggunaan air yang tercemar telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank 1992).

d. Penurunan tingkat kesuburan tanah

Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk

menyuburkan perkebunan kelapa sawit

mencapai 2,5 Juta ton dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 Ha. Selain pupuk, 1,5 juta liter pestisida juga disemprotkan untuk menjaga hama dan gulma pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini mengakibatkan

menurunnya kemampuan tanah untuk

memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009).

e. Penurunan tingkat keanekaragaman

hayati akibat pengerusakan hutan

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) pada tahun 2005-2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta Ha dari 127 juta Ha total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian

tadi masih dilanjutkan oleh lembaga

Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun

adalah pada saat pembukaan lahan (land

clearing). Kegiatan pembukaan lahan melalui

proses land clearing menyebabkan

musnahnya habitan burung dan terjadinya fragmentasi habitat serta timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan

menyebabkan keanekaragaman burung

menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000).

BAB III