ESTIMASI NILAI LINGKUNGAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DITINJAU DARI NERACA
AIR TANAMAN KELAPA SAWIT
(
STUDI KASUS: PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN DAYUN
KABUPATEN SIAK PROPINSI RIAU
)
ISA TEGUH WIDODO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun,
Kabupaten Siak). Di bawah bimbingan Drs. Bambang Dwi Dasanto, MSi.
Kecamatan Dayun merupakan salah satu kecamatan yang menjadi sentral perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Siak. Salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun adalah PT. Perkebunan Nusantara Lima (PTPN V) dan merupakan perusahaan pertama yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Adanya perkebunan kelapa sawit menimbulkan berbagai dampak terhadap lingkungan, salah
adalah adanya penurunan ketersediaan air yang mampu dimanfaatkan oleh stakeholder pengguna
air. Penurunan ketersediaan air menyebabkan adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penurunan ketersediaan air di wilayah penelitian akibat adanya perkebunan kelapa sawit serta mengetahui seberapa besar biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan air. Metode yang digunakan adalah model neraca air Thornwhite 1957 dan analisis Willinges To Pays (WTP) dengan alat
analisisnya menggunakan metode Contingen Valuation Method yang berupa kuisioner. Sampel di
ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Perbedaan tutupan lahan (landcover) antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap neraca air lahan yang kemudian mempengaruhi ketersediaan di wilayah Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Besarnya penurunan nilai ketersediaan air sebanding dengan besarnya peningkatan kebutuhan air dari landcover hutan ke landcover tanaman kelapa sawit, yaitu sebesar 67 mm/tahun. Landcover lahan dengan tanaman kelapa sawit menghasilkan nilai run off yang
lebih besar di bandingkan dengan landcover hutan. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang ada
di Kecamatan Dayun adalah sebesar 42.728 liter/ha/hari. Besarnya kebutuhan air untuk satu batang pohon tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,012 m3/s per harinya. Berdasarkan hasil analisis debit estimasi, terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dilihat dari segi konsumsi sumberdaya air adalah sebesar Rp 7.500.000,
yang dihitung berdasarkan perbedaan landcover hutan dan tanaman kelapa sawit pada saat musim
iii
ABSTRAK
ISA TEGUH WIDODO. The Estimation of Oil Palm Plantation Environment Value Using Crop Evapotranspiration of Oil Palm (case study: Oil Palm Plantation in Dayun, Siak). Supervised by Drs. Bambang Dwi Dasanto M.Si.
Dayun is one of the center of oil palm plantations in Siak. Government company that develops the oil palm plantation in Dayun is PT. Perkebunan Nusantara Lima (PTPN V) and also the first company which develops the oil palm in Siak. The oil palm plantations cause various effects to the environment; one of them is the decreasing of water availability that can be used by the water stakeholders. The decreasing of water availability causes additional cost to the community. The objectives of this study are to determine the decreasing of water because of the oil palm plantation and cost that spent to meet the needs of water. The study uses water balance model by Thornwhite 1957 and Willingness to Pays (WTP) analysis using questionnaire of Contingent Valuation Method (CVM) in Sawit Permai, Dayun, Siak.The land cover, before and after, affect the water balance which impact the water availability in Dayun. The decreasing of water availability is comparable with the increasing of water demand in oil palm plantation, equal to 67 mm/year. Oil palm plantation has greater runoff than forest. The need of water in oil palm plantation in Dayun is 42.728 liters /ha /day, with the need of a single palm tree equal to 0,012 m3/s/day. Based on the analysis of debt estimation, there is debt decreasing which indicates the decreasing of water availability in Dayun, around 349 m3/s/year. The estimated value of the environment for oil palm plantations by water resources consumption based on the difference of forest and oil palm plantations during the dry season (JJA) is equal to Rp 7.500.000.. Average WTP for the water conservation program is Rp 26.400, with WTP maximum and minimum up to Rp 45.000 and Rp 5.000 respectively. The economic value of water conservation program is Rp 18.850.000/month.
AIR TANAMAN KELAPA SAWIT
(STUDI KASUS: PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI KECAMATAN DAYUN, KABUPATEN SIAK)
ISA TEGUH WIDODO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Pada
Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
v
Judul Skripsi : Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau
Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus:
Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten
Siak)
Nama
: Isa Teguh Widodo
NIM
: G24061110
Menyetujui,
Pembimbing
(Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si)
NIP : 19650919 199203 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.)
NIP : 19600305 198703 2 002
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Oktober 2010.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini terutama Allah SWT dan Kedua orang tua tercinta, ayahanda Suparno dan Ibunda Suminah, serta semua keluarga besar ku atas semua do’a dan dukungan baik moril maupun materil, serta kepada:
1. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, saran, serta masukan yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku dosen penguji, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
sekalu dosen penguji sekaligus ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Bapak Ir. Idung Risdiyanto,M.Si selaku pembimbing akademik
3. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru, PT. Perkebunan Nusantara
Lima (PTPN V) Pekanbaru, Kepala Desa Sawit Permai, yang telah bersedia memberikan data-data dalam skripsi ini.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak selaku penyandang dana beasiswa
5. Diah Ayu Kartika yang tiada henti memberikan semangat, bantuan serta perhatian.
6. Rika Alfyanti, Tri Yuli Kurniawati, Daniel Chrisendo, serta seluruh teman-teman labklim yang telah banyak memberikan masukan dan membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Luthfi Aziz, Uji Astrono Pribadi, Dipa Pradipta, Tia Erfiyanti, dan Anang Ahmadi yang selalu menemani penulis mengerjakan karya tulis, serta keluarga besar GFM 43, terima kasih atas kebersamaan dan semua cerita indah yang selalu akan diingat.
7. Teman-teman Asrama Riau “Dang Merdu” Bogor, yang telah memberikan doa dan
semangat selama tinggal bersama.
8. Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Mas Nandang, Mas Azis, Bu Inda, Mba Icha, Mba Wanti, terima kasih atas semua bantuannya.
9. Seluruh kakak dan adik kelasku GFM, senang bisa kenal kalian semua.
10. Seluruh kakak dan adik kelasku BUD Kabupaten Siak, terima kasih untuk semua doa
dan kebersamaannya.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Bogor, Februari 2011
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Siak pada tanggal 10 Agustus 1988 sebagai anak ke tujuh dari tujuh bersaudara. Penulis lahir dari pasangan Suparno dan Suminah. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2000 di SD Negeri 034 Jayapura dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Bungaraya dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Siak dan lulus pada tahun 2006. Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Siak tahun 2006 dan diterima pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
DAFTAR TABEL ... v
DAFAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan ……… 1
2.2 Neraca Air Lahan dan Tanaman ……….. 3
2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan ... 4
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 6
3.2 Alat dan Bahan ... 6
3.3 Analisis Neraca Air ... 7
3.3.1 Neraca Air Umum ... 7
3.3.2 Neraca Air Lahan ... 7
3.3.3 Neraca Air Tanaman ... 7
3.4 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit ... 8
3.5 Estimasi Debit (Q) ... 8
3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit ... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 9
4.2Analisis Neraca Air ……….. 10
4.2.1 Neraca Air Umum ... 10
4.2.2 Neraca Air Lahan ... 11
4.2.3 Neraca Air Tanaman ... 12
4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit ... 13
4.4 Estimasi Debit (Q) ... 13
4.5 Analisis Ekonomi Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit ... 14
4.5.1 Karakteristik Umum dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden ... 14
4.5.2 Nilai Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit ... 15
4.5.3 Nilai Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit ... 15
4.5.4 Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit ... 15
4.5.5 Analisis WTP Program Konservasi Sumberdaya Air ... 16
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……….. 18
5.2 Saran ……… 18
DAFTAR PUSTAKA ……… 19
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Teknik valuasi non-market ... 2
2 Surplus konsumen... 4
3 Hasil perhitungan neraca air umum Kecamatan Dayun ... 11
4 Hasil perhitungan neraca air lahan Kecamatan Dayun ... 11
5 Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ... 12
6 Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ... 12
7 Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ... 14
8 Umur Rata-rata Responden... 14
9 Pekerjaan Responden... 14
10 Pendidikan Responden... 14
11 Pendapatan Responden... 14
12 Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit... 15
13 Dampak Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Responden... 15
14 Hubungan Antara Besar WTP dengan Jumlah Responden... 17
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Perhitungan Peluang Hujan Terlampaui ... 21
2 Hasil Perhitungan Neraca Air Umum... 21
3 Hasil Perhitungan Neraca Air Tanaman Landcover Hutan... 21
4 Hasil Perhitungan Neraca Air Tanaman Landcover Tanaman Kelapa Sawit ... 22
5 Hasil Perhitungan Debit Estimasi ... 22
6 Table 2 Monthly Values of I corresponding to Monthly Mean Temperature (oC) ... 23
7 Table 5 Values of unadjusted Daily Potential Evapotranspiration for Mean Temperature Above 80 oF or 26 oC... 24
8 Table 7 Mean Possible Monthly Duration of Sunlight in the Southern Hemisphere Expressed in Units of 12 Hours... 25
9 Kuisioner Penelitian ... 26
10 Tabulasi Hasil Kuisioner ... 28
11 Peta Lokasi Penelitian... 30
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan kelapa sawit (oilpalm
plantation) merupakan perkebunan yang tengah berkembang di Kabupaten Siak. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyebutkan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 mencapai 186.819 Ha. Luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunan. Kecamatan Dayun
merupakan sentral pertumbuhan dan
perkembangan utama areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Luas areal perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mencapai 21.949 Ha pada tahun 2008 (BPS Kab. Siak 2008).
Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak nyata terhadap
lingkungan diantaranya adalah semakin
berkurangnya ketersediaan air. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan
air dalam proses pertumbuhannya.
Perkebunan kelapa sawit merupakan
perkebunan yang diterapkan secara
monokultur pada suatu lahan. Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut. Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut.
Estimasi nilai lingkungan dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai kerugian lingkungan yang terjadi akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini di dekati sebagai nilai konsumsi sumberdaya air oleh perkebunan kelapa sawit pada suatu lahan yang diperoleh melalui perhitungan neraca air tanaman kelapa sawit. Besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit kemudian di nilai dalam bentuk rupiah dengan
tujuan untuk memudahkan dalam hal
perbandingan antara total nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit yang diterima oleh masyarakat dengan total nilai lingkungan yang harus di tanggung oleh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Program konservasi sumberdaya air dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana kekeringan dan kelebihan air yang mungkin timbul akibat adanya alih fungsi
lahan. Keikutsertaan masyarakat dalam
mendukung adanya program konservasi sumberdaya air ini sangat dibutuhkan. Dukungan masyarakat dalam mendukung program konservasi sumberdaya air terlihat
melalui Willingess To Pays (kemauan
membayar) dari masyarakat dalam program konservasi sumberdaya air. Besarnya nilai WTP dari masyarakat dapat ditentukan berdasarkan survei langsung yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Hasil nilai WTP kemudian digunakan untuk melihat seberapa besar nilai manfaat lingkungan yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya program konservasi sumberdaya air.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menghitung serta menganalisis neraca
air lahan sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit
2. Menghitung besarnya kebutuhan air
perkebunan kelapa sawit
3. Mengestimasi nilai ekonomi lingkungan
tanaman kelapa sawit
4. Menganalisis WTP masyarakat untuk
program konservasi sumberdaya air
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan (utilitas) yang diperoleh
seorang konsumen dari kegiatan
barang atau jasa yang dibutuhkan oleh individu tersebut. Setiap orang/individu akan
memiliki kemampuan dan keinginan
membayar yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan dari
setiap individu yang menginginkan
barang/jasa tersebut. Kemampuan atau
keinginan membayar dari setiap individu tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk
WTP (Willingness To Pays). Dalam WTP
dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar setiap individu didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh, dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan
peningkatan kualitas dan degradasi
lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Menghitung biaya yang bersedia
dikeluarkan oleh individu untuk
mengurangi dampak negatif pada
lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. Menghitung pengurangan nilai atau
harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan. 3. Melalui suatu survei untuk menentukan
tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik.
Secara umum teknik valuasi ekonomi
sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non
market valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yakni teknik langsung dan teknik tidak langsung. Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Kelompok pertama adalah teknik valuasi tidak langsung, yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut
teknik yang mengandalkan revealed WTP
(keinginan untuk membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk kelompok ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing, dan teknik yang relatif baru disebut Random Utility Model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi langsung, yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh
langsung dari responden yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik penilaian yang cukup popular adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model (DCM).
Gambar 1 Teknik Valuasi Non-Market.
Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui metode valuasi
langsung (contingen valuation method).
Metode valuasi langsung adalah suatu metode survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Menurut Haab dan
McConnell (2002) Contingent Valuation
adalah sebuah metode dalam mengumpulkan informasi mengenai preferensi atau kesediaan membayar (WTP) dengan teknik pertanyaan
secara langsung. Kesedian membayar
1. Menyusun Hypothetical market
2. Penentuan besarnya penawaran/lelang
(bid curve)
3. Menghitung rataan WTP dan/atau WTA
4. Menjumlahkan data
5. Mengevaluasi perhitungan CVM
Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu. Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa
orang tersebut mempunyai kemampuan
mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya, orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan.
Pertanyaan tersebut digunakan untuk
menentukan suatu pasar hipotesis terhadap
perubahan lingkungan yang diinginkan.
Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotesis harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik kondisi yang ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik
yang dipergunakan untuk pembayaran.
Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (WTP) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan
kesenangan (estetic) seperti pemandangan
alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik. Penilaian lingkungan secara
langsung dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik penentuan nilai hipotesis dari barang lingkungan yang ingin di nilai (Hufschmidt et al 1987). Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis. Namun, dalam pelaksanaannya, CVM mempunyai kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Kelemahan utamanya adalah munculnya bias. Bias terjadi jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang
sebenarnya diinginkan oleh masyarakat
ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang
sebenarnya diinginkan. Sumber-sumber bias menurut Fauzi (2004) ditimbulkan oleh dua hal utama, yaitu:
1) Bias yang timbul karena strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita
melakukan wawancara dan dalam
kuisioner kita nyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan
lingkungan, sehingga timbul
kecenderungan responden untuk member nilai kurang dari yang sebenarnya. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya.
2) Bias yang ditimbulkan oleh rancangan
penelitian. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam
dari pencemaran limbah oleh
pengunjung, karcis masuk harus
dinaikkan. Hal tersebut tentu saja akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain (misalnya
melalui yayasan, trust fund, dan
sebagainya).
Surplus konsumen timbul karena
konsumen menerima lebih dari yang
dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen karena konsumen mampu membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus 1990, dalam Djijono 2003). Besarnya surplus konsumen dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu area atau bidang di bawah kurva permintaan dan diatas garis harga (Gambar 2).
Gambar 2 Surplus konsumen (Sumber:
Samuelson dan Nordhaus
1990).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1979) neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan keseimbangan antara aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow) dari air di suatu hamparan lahan pada periode tertentu. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hillel (1972), dimana neraca air lahan merupakan rincian perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lingkungan tertentu selama periode tertentu. Neraca air lahan dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan air suatu tanaman. Metode yang lebih spesifik yang digunakan dalam menentukan kebutuhan air suatu tanaman adalah dengan neraca air agroklimat.
Secara spesifik, Doorenbos dan Pruitt (1976) menjelaskan kebutuhan air merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk
mengimbangi kehilangan air melalui
evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada
lingkungan pertumbuhannya. Dengan
mengabaikan jumlah air yang digunakan
dalam kegiatan metabolisme maka
evapotranspirasi dapat disamakan dengan kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, Sasrodarsono dan Takeda (1978) menyatakan
bahwa kebutuhan air disebut juga
evapotranspirasi.
Ketersediaan air tanah (Total Available Water, TAW) merupakan jumlah air yang tersedia diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen dari jenis tanah tersebut. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang
cukup lembab yang menunjukkan air
terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Titik layu permanen adalah kondisi dimana akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah. Titik kritis adalah batas minimum air tersedia yang dipertahankan agar tidak habis
mengering diserap tanaman hingga mencapai titik layu permanen. Titik kritis ini berbeda untuk berbagai jenis tanaman, tanah, iklim serta diperoleh berdasarkan penelitian di lapangan (Benami dan Offen 1984, dalam
Yanwar 2003). Kandungan air antara
kapasitas lapang dan titik kritis disebut RAW (Readily Available Water). Perbandingan antara RAW dengan total air tanah yang
tersedia dipengaruhi oleh iklim,
evapotranspirasi, tanah, jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman (Raes 1988).
Berdasarkan penelitian Harahap dan
Darmosarkoro (1999), yang melakukan
pendugaan kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit, diketahui bahwa kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit di lapang berkisar antara 4 – 4,65 mm/hari atau sekitar 120 – 140 mm/bulan. Pemberian air melalui sistem irigasi secara umum dilakukan pada akhir Juli sampai akhir Oktober. Air yang dibutuhkan sistem irigasi saluran terbuka berkisar antara 1.960 – 2.460 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (2.460 m3/ha/bulan). Air yang dibutuhkan sistem irigasi tertutup (sprinkler dan drip) berkisar
antara 1570 – 1970 m3/ha/bulan, dengan
puncaknya pada Agustus (1.970 m3/ha/bulan).
Jumlah kebutuhan air ini setara dengan 0,9 liter/detik/ha, yang hampir sama dengan kebutuhan air untuk irigasi padi sawah. 2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan
Lahan
Pengaruh langsung akibat adanya konversi lahan dari hutan menjadi tanaman monokultur adalah adanya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan (surface runoff) (Onrizal 2005). Penurunan debit dan volume air serta peningkatan keragamannya kemungkinan disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air
wilayah akibat meningkatnya fluktuasi
musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan
kapasitas storage DAS baik di permukaan
(tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002)
juga mengemukakan bahwa perubahan
permukaan kedap air menyebabkan
berkurangnya infiltrasi, menurunkan
pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung
mempengaruhi penurunan debit dan
peningkatan run off secara langsung
mempengaruhi peningkatan debit.
Konversi hutan alam untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat sekarang walaupun di Indonesia sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta hektar, sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk
berbagai keperluan (Badan Planologi
Kehutanan dan Perkebunan 2000).
Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang
pesat sejak tahun 1978 dengan laju
pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Salah satu elemen hutan tanaman industri (HTI) yang masih produktif adalah hutan alam dan besarnya rata-rata 22 % dari seluruh kawasan hutan yang dikelola. Besarnya hutan alam yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai pada Juni 1998 adalah seluas 1 Juta Ha. Hal ini berarti kerusakan hutan alam yang
terjadi merupakan salah satu dampak
pembangunan HTI (Kartodiharjo dan
Supriono 2000).
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi
(Manurung 2000, Potter and Lee 1998). Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah 80% untuk tanaman dan 80 - 90% (untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati sebagai akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat berkorelasi positif dengan tingginya kasus illegal loging yang begitu marak sejak tahun 1998 - 2007. Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10 Juta ha pada tahun 1997 - 1998. Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 - 1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3 Milyar (Bappenas 2000).
Menurut data Sawit Watch tahun 2004, luas kebun sawit di Indonesia saat ini berjumlah 7,4 Juta ha yang menghasilkan 18,7 Juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Seperempat bagian atau 4,5 Juta ton dari minyak sawit mentah tersebut digunakan untuk konsumsi domestik, sedangkan sisanya
ditujukan untuk pasar ekspor. Secara
ekonomi, ada nilai tambah yang diperoleh dari minyak sawit, namun ada nilai yang tak terhitung besarnya akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak yang timbul akibat perluasan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, diantaranya:
a. Kebakaran hutan
Sejak tahun 1997 sampai awal tahun 2008, bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan juga gambut untuk membuka kebun sawit terus saja terjadi, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Ada ribuan masyarakat yang mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat pembakaran lahan dan hutan. Lebih dari seribu jiwa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, terkena ISPA (Kompas 2008). Jumlah penderita yang tak jauh berbeda juga didapati di Kota Pekanbaru, Jambi, Palangkaraya dan Samarinda.
b. Bencana banjir
Penebangan hutan secara Illegal yang menjadi daerah resapan air ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Secara ekologis, tanaman sawit sangat banyak membutuhkan air, namun tidak mampu menangkap air dalam jumlah besar. Artinya perkebunan kelapa sawit bukan areal yang bisa dijadikan tangkapan air (Manurung 2000).
c. Kesulitan air bersih dan pencemaran air
Secara ekologis, kelapa sawit
jumlah besar secara tidak langsung membuat sungai-sungai yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air bahkan sebagian sungai mengalami kondisi kekeringan. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit. Selain itu, pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke sungai yang letaknya dekat dengan pabrik, tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Pembuangan limbah pabrik tersebut banyak didapati di sepanjang daerah aliran sungai antara lain DAS Sungai Siak (Riau) dan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat)
(Gindho 2009). Kondisi ini membuat
penduduk yang memanfaatkan sungai sebagai sumber mata air mengalami gangguan kesehatan, terutama penyakit kulit. Menurujuk data World Bank (1992), sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan mencuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standard). Penggunaan air yang tercemar telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank 1992).
d. Penurunan tingkat kesuburan tanah
Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk
menyuburkan perkebunan kelapa sawit
mencapai 2,5 Juta ton dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 Ha. Selain pupuk, 1,5 juta liter pestisida juga disemprotkan untuk menjaga hama dan gulma pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini mengakibatkan
menurunnya kemampuan tanah untuk
memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009).
e. Penurunan tingkat keanekaragaman
hayati akibat pengerusakan hutan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 2005-2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta Ha dari 127 juta Ha total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian
tadi masih dilanjutkan oleh lembaga
Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun
mendatang (Reid 1992 dalam Gindho 2009). Proses alih lahan yang paling berpengaruh terhadap hilangnya beberapa spesies burung
adalah pada saat pembukaan lahan (land
clearing). Kegiatan pembukaan lahan melalui
proses land clearing menyebabkan
musnahnya habitan burung dan terjadinya fragmentasi habitat serta timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan
menyebabkan keanekaragaman burung
menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan diwilayah
perkebunan kelapa sawit milik PT.
Perkebunan Nusantara V (PTPN V) yang berada di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Estimasi nilai ekonomi
lingkungan perkebunan kelapa sawit
dilakukan di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Desa ini merupakan
Desa Binaan dan hampir seluruh
masyarakatnya merupakan petani sawit. Pengambilan data primer berupa kuisioner dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan
Juli tahun 2010. Pengolahan data
dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah:
a)Seperangkat komputer lengkap dengan software MS. word dan MS. excel 2007
b)Satu berkar kuisioner
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data
sekunder. Adapun data primer yang
digunakan adalah data hasil kuisoiner dari responden yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a)Data curah hujan tahun 1979-2009 dari
Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru
b)Data suhu tahun 1979-2009 dari
c)Data Siak Dalam Angka Kabupaten Siak tahun 2008 dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak
d)Data jenis tanah, TLP, dan KL dari PTPN V Pekanbaru
e)Data Luas Area Perkebunan Kelapa
Sawit dari PTPN V Pekanbaru dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak Tahun 2009
3.3 Analisis Neraca Air 3.3.1 Neraca Air Umum
Analisis neraca air umum dilakukan untuk melihat sebaran potensi hujan yang turun setiap bulannya secara rata-rata. Metode yang digunakan adalah model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite dan Matter (1957). Model ini menggunakan data-data
klimatologis dan bermanfaat untuk
mengetahui berlangsungnya bulan basah dan bulan kering. Data iklim yang dibutuhkan dalam metode ini adalah data suhu dan curah hujan bulanan rata-rata dalam rentang waktu 30 tahun (1979-2009).
3.3.2 Neraca Air Lahan
Model ini merupakan penggabungan data-data klimatologis dengan data-data jenis tanah terutama data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu Permanen (TLP), dan Air tersedia (WHC = Water Holding Capacity). Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik grafitasi. Air yang dapat ditahan tanah tersebut akan terus menerus diserap akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada saat itu akar tanaman tidak lagi mampu menyerap air sehingga tanaman menjadi layu. Titik layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akar-akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga tanaman layu. Data yang diperoleh dari PTPN V untuk KL di wilayah penelitian adalah sebesar 200 mm, sedangkan TLP adalah sebesar 80 mm, dengan jenis tanahnya adalah Podsolik Merah Kekuningan (PMK) atau menurut klasifikasi USDA
berjenis Ultisol. Air tersedia adalah
banyaknya air tersedia yang mampu
digunakan oleh tanaman, dimana besarnya adalah selisih antara KL dan TLP.
3.3.3 Neraca Air Tanaman
Model ini merupakan penggabungan data klimatologis, data tanah, dan data jenis tutupan lahan yang ada. Data tanaman yang
digunakan adalah data koefisien tanaman
(Kc). Tanaman tutupan lahan (Landcover)
dibagi kedalam dua bagian, yaitu sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah untuk landcover sebelum adanya
perkebunan kelapa sawit berupa hutan primer
sedangkan landcover sesudah adanya
perkebunan kelapa sawit berupa tanaman kelapa sawit dan tidak ada tanaman lain yang tumbuh pada lahan perkebunan kelapa sawit tersebut. Asumsi berikutnya adalah faktor intersepsi tajuk oleh pohon kelapa sawit tidak dimasukan kedalam perhitungan kebutuhan air serta besarnya limpasan yang terjadi.
Kebutuhan air dan limpasan dihitung
berdasarkan persamaan empiris yang
digunakan dalam penelitian ini.
Model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite menggunakan sistem tata buku dengan kaidah analisisnya sebagai berikut:
1. Data Suhu (T)
Suhu yang digunakan dalam analis neraca air ini berupa data suhu bulanan rata-rata selama 30 tahun, yaitu periode 1979 - 2009.
2. Indeks Panas (I)
Data indeks panas disesuaikan
berdasarkan data suhu bulanan yang mengacu pada tabel indeks panas yang terdapat pada buku Thornwhite.
3. ETP belum disesuaikan (ETP Unadj)
Perhitungan ETP Unadj mengacu pada tabel indeks panas berdasarkan data suhu udara yang ada. Tabel ETP Unadj mengacu pada buku Thornwhite.
4. ETP disesuaikan (ETP adj)
Langkah ini dibagi kedalam dua bagian:
a. Mencari Faktor Koreksi
Faktor koreksi merupakan nilai
tetapan yang diperoleh
berdasarkan informasi nilai
lintang wilayah kajian. Data faktor koreksi terhadap posisi lintang terdapat pada lampiran.
b. Menetapkan ETP disesuaikan
(ETP adj)
5. Curah Hujan (CH)
Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan bulanan selama 30 tahun dengan peluang terlampaui 70%. Periode hujan yang digunakan adalah curah hujan bulanan tahun 1979-2009. Adapun persamaan yang digunakan untuk menghitung peluang hujan terlampaui 70%
= CH rata-rata – (0,53*SD CH)…(1)
6. CH-ETP adj
Langkah ini adalah langkah
mengurangkan nilai CH bulan tertentu dengan nilai ETP adj pada bulan tersebut.
7. Kehilangan Air Potensial Terakumulasi
(APWL)
Langkah ini adalah mengisi data CH-ETP adj yang bernilai negatif dan
diakumulasikan sampai bertemu
dengan data CH-ETP adj yang bernilai positif.
8. KAT atau WHC
Langkah ini adalah memasukan data KL dan TLP dari jenis tanah yang ada.
Nilai KAT didapat dengan
menggunakan rumus:
KAT = KL exp (APWL/KL)………. .(2)
9. KAT (Perubahan Kadar Air Tanah)
KAT merupakan selisih kandungan air tanah antara satu periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Nilai KAT yang positif menunjukkan terjadinya penambahan kandungan air tanah. Penambahan ini akan terhenti setelah KL terpenuhi.
10. ETA (Evapotranspirasi Aktual)
Mengisi kolom ETa dengan catatan sebagai berikut:
Apabila CH > ETp,
maka ETa = ETp……….(3) Apabila CH < ETp,
maka ETa = CH + KAT………...(4) Pada kondisi CH < ETp, maka tanah akan mulai mengering dan ETa menjadi lebih rendah dari nilai evapotranspirasi potensialnya (ETp). 11. Defisit
Mengisi kolom defisit dengan
menghitung selisih antara ETp dengan ETa. Defisit berarti berkurangnya air
untuk keperluan evapotranspirasi
potensial. Nilai defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan
untuk memenuhi keperluan ETP
tanaman.
12. Surplus
Mengisi kolom surplus dengan
menggunakan persamaan berikut: S = CH – ETP - KAT…………(5) Surplus merupakan suatu keadaan dimana air mencapai kapasitas lapang pada saat terjadi kelebihan curah hujan. 13. Run off (Limpasan)
Run off menunjukan besarnya air yang mengalir dipermukaan tanah. Adapun
cara perhitungannya menggunakan
persamaan:
Ro1 (Januari) = 50% x S1, Ro2 (Februari) = 50% x 50% x S1 (Januari) + 50% x S2 (Februari), dan seterusnya sampai pada Ro12 (Desember).
3.4 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Menurut Doorenbos dan Pruitt (1976), kebutuhan air suatu tanaman merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui proses evapotranspirasi tanaman, sehingga jumlah kebutuhan air suatu tanaman akan sebanding dengan nilai evapotranspirasi tanaman (ETc).
Kebutuhan air tanaman kelapa sawit
ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
ETc = Kc x ETp………..(6) Untuk tanaman kelapa sawit, berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) nilai crop coefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0,82 pada (untuk LAI< 2) sampai 0,93 (untuk LAI> 5). Kelapa sawit dengan kelompok umur >7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara 4,9-5,1. Umur rata-rata tanaman kelapa sawit yang terdapat di wilayah penelitian saat ini lebih dari >7 tahun (PTPN V 2010). Oleh karena itu, nilai crop coefisien yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman pada penelitian ini adalah sebesar 0,93. Hasil ETc tanaman kelapa sawit kemudian di konversi kedalam
satuan m3/s, yang didapatkan dengan
mengalikan ETc dengan data luas area perkebunan kelapa sawit.
3.5 Estimasi Debit (Q)
Perhitungan estimasi debit
Perhitungan ini membutuhkan data Curah run
off dan Surplus. Kedua data ini telah
didapatkan dari analisis neraca air sebelumnya dengan menggunakan metode neraca air
Thornwhite. Adapun Persamaan yang
dikembangkan oleh Mock untuk menduga besarnya debit estimasi adalah sebagai berikut:
Q = ………..(7)
Ro = Bf + DRO Bf = I x Vn
Vn = [0.5 x (1+k) x I] I = S x i
Dimana: I = infiltrasi, S = surplus, i = koefisien infiltrasi, Vn = simpanan air tanah, Bf = merupakan aliran dasar, Ro = aliran permukaan/limpasan, Q = estimasi debit (m3/s), CA = luas DAS (m2), dan N = jumlah hari dalam satu bulan. Nilai i berkisar antara 0,3 untuk dataran rendah dan lebih dari 0,5 untuk dataran tinggi, sedangkan nilai k berkisar antara 0,5 untuk dataran rendah dan 0,6 untuk dataran tinggi.
3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati dengan menghitung jumlah air yang hilang yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit dalam satu hektar lahan
perkebunan. Adapun persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Nilai Lingkungan = (ETc Sawit – ETc Hutan) x Harga Air x Luas Lahan Nilai Ekonomi = Pendapatan rata-rata per
hektar per bulan x 12
Nilai Lingkungan dan Nilai Ekonomi dihitung dalam satuan rupiah (Rp). Hasil perbandingan antara nilai ekonomi dan nilai
lingkungan kemudian digunakan untuk
mengestimasi apakah perkebunan kelapa
sawit memberikan keuntungan atau
memberikan kerugian berdasarkan besarnya
kebutuhan air yang digunakan oleh
perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan adalah CVM (contingen valuation method) yang berupa kuisioner yang langsung ditujukan kepada individu/masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Output dari CVM berupa dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Dalam metode ini, kuisioner di desain sampai kepada taraf perbaikan
lingkungan melalui program konservasi
sumberdaya air. Analisis yang digunakan
adalah WTP (Wilingness to Pays). WTP
merupakan kemampuan atau kesediaan
membayar dari setiap individu untuk
mendapatkan perbaikan kualitas lingkungan akibat adanya ekstraksi sumberdaya. Adapun langkah-langkah analisis yang digunakan
untuk menilai program konservasi
sumberdaya air adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan harga bayangan kerusakan
lingkungan
Diperoleh dengan persamaan:
Nilai lingkungan (per bulan) / jumlah KK
2. Menentukan nilai rata-rata WTP
Diperoleh dari hasil kuisioner, yang berupa Nilai Max. WTP, Nilai Min WTP, dan Nilai Rata-rata WTP dari responden
3. Menetapkan Bid Curve
Merupakan hubungan anatara harga bayangan dengan rata-rata WTP
4. Mengagregatkan data
Merupakan tabulasi hasil kuisioner dan perhitungan manfaat ekonomi dari program perbaikan lingkungan. Besarnya nilai program perbaikan
lingkungan melalui upaya konservasi
sumberdaya air merupakan hasil perkalian antara nilai WTP rata-rata dari responden dengan jumlah penduduk yang terdapat di wilayah kajian.
Sampel di ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Jumlah warga yang tinggal di desa ini sebanyak 4393 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 1034 jiwa. Sampel diambil sebanyak 200 KK di desa tersebut. Jumlah sampel dinilai sudah cukup untuk mewakili seluruh penduduk yang ada diwilayah ini. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah warga masyarakat yang telah lama tinggal di daerah tersebut, dengan lama tinggal kurang lebih 20 tahun sejak perkebunan tersebut ada.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Dayun merupakan
Perda No. 13 Tahun 2001. Kecamatan ini terletak 24 km dari ibukota kabupaten dengan jarak tempuh sekitar ¼ jam ke arah barat daya dari Siak Sri Indrapura. Kecamatan Dayun merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Siak. Kecamatan ini
merupakan tempat pertama untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak oleh PT. Perkebunan Nusantara Lima yang telah dimulai sejak tahun 1985. Secara geografis wilayah Kecamatan Dayun terletak pada posisi 1o18’21’’LU - 0o14’49’’LU dan 105o50’20’’
BT - 102o10’59’’BT. Kecamatan Dayun
memiliki Luas 1373,34 Km2 dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Mempura dan Kecamatan Siak
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Kerinsi Kanan dan
Kabupaten Pelalawan
3. Sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Sungai Apit
4. Sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Koto Gasib dan Tualang Jumlah penduduk Kecamatan Dayun, pada tahun 2008 sebanyak 24.266 jiwa, yang tersebar pada 11 desa. Desa-desa yang ada berasal dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dari PTPN V yang mengembangkan komoditas kelapa sawit, para pendatang karyawan dan sub-kontraktor pada PT CPI.
Kondisi meteorologi dan klimatologi Kecamatan Dayun untuk curah hujan, termasuk ke dalam tipe curah hujan Equatorial, dimana dalam setiap bulan terjadi kejadian hujan, dengan puncak musim hujannya pada bulan Februari dan November. Curah hujan rata-rata yang turun dalam setahun di wilayah ini adalah sebesar 2657 mm/tahun, dengan suhu udara rata-rata bulanannya sebesar 26,8 oC.
Kecamatan Dayun sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Secara umum ketinggian wilayahnya berada antara 1-103 m dpl. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah Podsolik Merah Kekuningan dari batuan, alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Dengan kondisi wilayah dan iklim seperti ini, wilayah ini
sebagian besar sangat cocok untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit. PT. Perkebunan Nusantara Lima merupakan salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan perkebunan kelapa
sawit di Kecamatan Dayun. Perkebunan ini telah dimulai sejak tahun 1985 di dua tempat, yaitu kebun Sei Buatan dan kebun Lubuk Dalam. Luas area perkebunan milik PTPN V di Kecamatan Dayun saat ini adalah sebesar 3276,63 Ha. Perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mengalami perkembangan pesat, yang dilakukan baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, maupun oleh pihak swasta. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta yang berada di wilayah ini antara lain adalah PT. Sinar Mas, PT. Astra, PT. Teguh Karsa, dan beberapa perusahaan lainnya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Siak cukup serius dalam usaha pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak menyebutkan dimana perkebunan kelapa sawit milik pemda yang tengah dikembangkan di wilayah ini adalah sebesar 7500 Ha pada program pengembangan perkebunan kelapa sawit tahap satu (I) tahun 2008.
4.2 Analisis Neraca Air 4.2.1 Neraca Air Umum
Analisis neraca air umum memberikan informasi mengenai hubungan yang terjadi antara besarnya curah hujan yang terjadi dengan besarnya nilai evapotranspirasi yang terjadi. Neraca air umum juga memberikan informasi pola hujan yang terjadi pada suatu wilayah. Informasi ini berfungsi untuk melihat apakah ketersediaan air pada suatu lahan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air melalui proses evapotraspirasi (ETp). Data hujan yang digunakan dalam analisis ini merupakan data hujan bulanan dalam jangka waktu 30 tahun (periode 1979-2009) dengan peluang 70%. Peluang 70% dinilai lebih realistis untuk terjadi diwilayah ini mengingat besarnya fluktuasi curah hujan bulanan pertahunnya yang cukup besar. Berdasarkan hasil ploting data hujan, dalam setiap bulannya terjadi kejadian hujan dengan besar yang berbeda setiap bulannya. Artinya tidak ada bulan-bulan dengan curah hujan nol. Hal ini sesuai dengan posisi lintang dari wilayah ini, dimana Kecamatan Dayun terletak di wilayah khatulistiwa, sehingga menurut klasifikasi iklim Koppen, wilayah Kecamatan Dayun termasuk kedalam tipe iklim Af.
Kecamatan Dayun termasuk kedalam kategori equatorial dengan puncak hujannya pada bulan April dan bulan November, masing-masing besarnya adalah 227 mm dan 241 mm, dan curah hujan minimumnya terjadi pada bulan Juni sebesar 99 mm (Gambar 3).
Gambar 3 Hasil Perhitungan Neraca Air Umum Kecamatan Dayun Pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus), besarnya curah hujan yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Artinya periode musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA, sedangkan musim hujan terjadi pada
bulan Oktober-April. Besarnya ETPadj
(evapotranspirasi terkoreksi) berdasarkan hasil perhitungan neraca air umum pada Gambar 3 adalah sebesar 1677 mm/tahun. Pendugaan
besarnya ETPadj dilakukan melalui
pendekatan persamaan empiris dengan
Metode Thornwhite. Analisis data iklim yang digunakan dalam persamaan empiris ini adalah data suhu rata-rata bulanan. Besarnya ETPadj dalam setiap bulannya hampir sama, namun pada bulan Februari besarnya ETPadj yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan besarnya ETPadj pada bulan-bulan lainnya. Hal ini lebih disebabkan oleh besarnya faktor koreksi lintang wilayah Kecamatan Dayun pada bulan Februari lebih kecil dan jumlah hari pada bulan Februari juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, besarnya ETPadj pada bulan Februari lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
4.2.2 Neraca Air Lahan
Analisis neraca lahan merupakan analisis lanjutan dari analisis neraca umum. Analisis neraca air lahan berfungsi untuk melihat ketersediaan air pada suatu lahan disertai dengan periode defisit dan surplus pada lahan tersebut. Pada analisis neraca air lahan digunakan faktor KL dan TLP dari jenis
tanah yang ada. Berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Dayun adalah jenis tanah PMK (Podzolik Merah Kuning) atau menurut klasifikasi USDA termasuk kedalam kategori jenis tanah Ultisol. Nilai Kapasitas Lapang untuk jenis tanah ini adalah sebesar 200 mm, sedangkan nilai Titik Layu Permanen untuk jenis tanah ini adalah sebesar 80 mm. Hasil perhitungan neraca air lahan terlihat pada gambar berikut.
Gambar 4 Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Kecamatan Dayun Curah hujan yang turun pada bulan Juni, Juli, dan Agustus besarnya lebih kecil dibandingkan dengan besar ETPadj yang terjadi. Kondisi ini mengakibatkan adanya defisit pada lahan, karena besarnya curah hujan yang terjadi mengakibatkan adanya
perbedaan antara ETPadj dengan
evapotranspirasi aktual (ETA). Besarnya ETA yang terjadi dalam setahun berdasarkan hasil analisis yang dilakukan adalah sebesar 1655 mm. Besarnya defisit yang terjadi adalah sebesar ETPadj – ETA. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya defisit air pada ke tiga bulan tersebut secara kumulatif mencapai 22 mm. Dengan demikian, bulan JJA termasuk kedalam kategori musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun. Periode surplus terjadi pada bulan selain bulan JJA. Besarnya Surplus kumulatif dari bulan-bulan selain bulan-bulan JJA dalam setahun adalah sebesar 412 mm (Gambar 4).
Hal ini akan berpengaruh terhadap jenis tanaman yang ada diwilayah ini. Apabila
wilayah ini dirancang untuk tanaman
pertanian, maka pada bulan JJA diperlukan
suplai air tambahan untuk memenuhi
kebutuhan air pada saat terjadinya defisit air, seperti adanya irigasi. Namun apabila wilayah ini dirancang untuk perkebunan, maka perlu
perakaran) dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Secara umum, kedalamn perakaran untuk tanaman perkebunan adalah sebesar 60 cm. Pada bulan JJA, besarnya
curah hujan yang turun lebih kecil
dibandingkan dengan nilai KL yang ada. Namun, besarnya curah hujan yang terjadi pada ketiga bulan tersebut masih berada diatas nilai TLP dari jenis tanah yang ada sehingga
masih mampu mencukupi kebutuhan
evapotranspirasi baik potensial maupun
aktual, sehingga nilai kadar air tanah dan water holding capacity tidak akan mengalami gangguan.
4.2.3 Neraca Air Tanaman
Neraca air tanaman merupakan salah satu pendekatan untuk menetukan besarnya kebutuhan air suatu tanaman. Berdasarkan literatur yang ada, kebutuhan air suatu tanaman dapat dihitung berdasarkan jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman itu sendiri (crop evapotranspiration, ETc). Setiap tanaman memiliki koefisien tanaman (crop coeficien) yang akan mempengaruhi besarnya ETc yang terjadi. Pada penelitian ini, tutupan lahan yang ada mengalami perubahan, dimana tutupan lahan sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah berupa hutan alami dan setelah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman kelapa sawit. Nilai Kc rata-rata untuk jenis hutan adalah sebesar 0,87-0,89 (Shuttleworth 1988, dalam Van der Wert 1994), sedangkan untuk tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,93 untuk tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 7 tahun (Harahap 1999). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan besarnya ETc untuk hutan. Besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit adalah 1560 mm/tahun, sedangkan besarnya ETc untuk hutan adalah 1492 mm/tahun. Perubahan tutupan lahan antara landcover hutan dengan landcover tanaman kelapa sawit meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mm/tahun. Adanya peningkatan ETc dari lahan sebelum konversi (landcover hutan) dan setelah konversi (landcover tanaman kelapa sawit) akan mempengaruhi ketersediaan air yang ada pada lahan tersebut.
Perbedaan landcover antara sebelum
adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 5) dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 6) menyebabkan adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut. Besarnya penurunan surplus akibat adanya
perbedaan landcover antara sebelum dan
sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 50 mm per tahun.
Gambar 5 Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Gambar 6 Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Penurunan surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Debit pada
penelitian ini dihitung berdasarkan
pendekatan persamaan empiris yang
dikembangkan oleh FJ. Mock 1973. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya
perkebunan kelapa sawit mengalami
penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah
sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya
perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359
m3/s. Perhitungan debit estimasi
menggunakan inputan nilai surplus dan nilai run off hasil analisis dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Penurunan debit berarti berkurangnya nilai air tersedia yang mampu dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder pengguna air, dan salah satunya adalah sektor domestik.
Pengaruh lain dari adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman perkebunan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit
adalah adanya peningkatan nilai run off
untuk landcover hutan adalah sebesar 3 % dari surplus air yang ada, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, nilai koefisien limpasanya adalah sebesar 40% dari surplus air yang ada. Penelitian ini menggunakan asumsi dimana intersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit tidak diperhitungkan dan lahan perkebunan kelapa sawit hanya berupa tanaman kelapa sawit itu sendiri. Pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dilihat dimana besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan
besarnya run off untuk landcover hutan.
Besarnya run off untuk landcover hutan
adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya landcover hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Kemampuan hutan untuk menahan
laju aliran permukaan lebih besar
dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan hutan memiliki serasah yang padat serta akar dari tanaman di hutan cenderung mampu menahan laju aliran, sehingga laju aliran permukaan dapat dihambat. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sistem neraca air yang terdapat pada suatu lahan. Fungsi ini akan hilang pada saat terjadi konversi lahan ke tanaman monukultur seperti perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perbandingan kondisi hidrologi suatu wilayah dengan adanya hutan dan tanpa adanya hutan adalah sebagai berikut:
•Terjadi peningkatan erosi dan sedimentasi
•Peningkatan volume limpasan
•Peningkatan intensitas banjir dan kemarau
Kondisi ini sejalan dengan paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Seminar Pelestarian dan Penyelamatan DAS Siak Tahun 2007 dimana terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau (Qmaks: 1.700 m3/detik, Qmin: 45 m3/detik, Qmaks/Qmin: 37,8). Angka ini menjelaskan dimana pada saat musim hujan, jumlah air yang ada akan berlebihan dan menyebabkan terjadinya banjir. Namun, pada saat musim kemarau tiba, jumlah air yang ada akan sangat kurang dan berada di bawah batas lestari sungai. Oleh karena itu, hutan sangat berperan penting dalam menjaga tata air pada sistem neraca air pada suatu lahan.
4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit
Kebutuhan air tanaman kelapa sawit didapatkan dari hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit. Hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit menjelaskan dimana
dalam setahun, kebutuhan rata-rata
perkebunan kelapa sawit mencapai nilai 1560 mm/tahun. Nilai ini kemudian dikonversi berdasarkan data luas area perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2008 menjelaskan dimana luas areal perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 21.949 Ha. Dari data luas area tersebut, maka total kebutuhan air untuk perkebunan kelapa sawit di
Kecamatan Dayun mencapai 42.728
liter/ha/hari. Kebutuhan air ini diperkirakan akan semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di kecamatan ini serta adanya peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Dalam satu hektar lahan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jumlah batang pohon kelapa sawit sebanyak 143 batang/pokok. Dengan jumlah
ini, maka dapat diestimasikan jumlah
kebutuhan air untuk satu pohon kelapa sawit dalam sehari mencapai 0,012 m3/s per harinya 4.4 Estimasi Debit (Q)
Model neraca air lahan yang
jumlah ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun
Gambar 7 Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan, besarnya debit estimasi hasil perhitungan yang terjadi di Kecamatan Dayun sebelum adanya perkebunan kelapa sawit
adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya
perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Adanya perubahan landcover pada suatu lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan air antara hutan dan tanaman kelapa sawit yang akan mempengaruhi nilai surplus air yang ada, yang pada akhirnya nilai surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Dari hasil analisis ini terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya.
4.5 Analisis Ekonomi Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit
Estimasi nilai ekonomi lingkungan dilakukan dengan menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) alat analisis berupa kuisioner yang diberikan kepada masyarakat yang tinggal disekitar perkebunan kelapa sawit. Sampel diambil di Desa Sawit Permai, dengan jumlah 200 KK dari 1034 KK yang ada di desa ini.
4.5.1Karakteristik Umum dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden
a. Umur
Gambar 8 Umur Rata-rata Responden.
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan, umur responden berada pada kisaran 37 tahun sampai 59 tahun dengan rata-rata umurnya 50 tahun.
b. Pekerjaan
Gambar 9 Pekerjan Responden. Secara umum, pekerjaan responden adalah petani kelapa sawit. Namun, sebanyak 27 % dari total responden merupakan wiraswasta.
c. Pendidikan
Gambar 10 Pendidikan Responden.
Berdasarkan hasil survey yang
dilakukan, tingkat pendidikan responden adalah sebagai berikut: SD 29 %, SMP 38,5 %, SMA 28,5 %, dan Sarjana 4 %.
d. Pendapatan
Gambar 11 Pendapatan Responden.
Pendapatan rata-rata responden
berdasarkan hasil kuisioner dalam sebulan
sebesar Rp 3.080.500. Pendapatan
maksimumnya sebesar Rp 4.500.000 dan
pendapatan minimumnya sebesar Rp
1.500.000.
e. Perkembangan perkebunan kelapa
sawit
cukup berkembang, dan sebanyak 1% responden menyatakan tidak berkembang secara baik (Gambar 12)
Gambar 12 Perkembangan
Perkebunan Kelapa Sawit. 4.5.2 Nilai Ekonomi Perkebunan
Kelapa Sawit
a. Biaya pemeliharaan tetap per bulan
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan, biaya tetap yang umumnya dikeluarkan oleh petani sawit di desa ini adalah pupuk dan pembayaran buruh waktu pemanenan.
b. Jasa buruh dalam pemanenan
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan, sebanyak 79,5 % responden
menggunakan jasa buruh waktu
pemanenan TBS (Tandan Buah Segar). Upah yang dikeluarkan sebesar 10% dari harga TBS yang dikeluarkan baik oleh perusahaan maupun dari pasar. 4.5.3 Nilai Lingkungan Tanaman
Kelapa Sawit
Dampak lingkungan yang dirasakan oleh responden yang tinggal di sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Gambar 13 Dampak Lingkungan Perkebunan
Kelapa Sawit Menurut
Responden.
a. Ketersediaan air
Sebanyak 22% dari total responden menyatakan bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit kondisi ketersediaan air semakin
menurun dan terjadi kekurangan air pada saat musim kemarau.
b. Perubahan cuaca
Sebanyak 17% dari responden yang ada memberikan pendapat bahwa perubahan cuaca terjadi saat setelah adanya perkebunan, terutama suhu udara yang dirasakan semakin meningkat sejak adanya perkebunan ini.
c. Kondisi tanah
Sebanyak 24% dari responden
memberikan pendapat bahwa kondisi tanah sejak ditanami tanaman kelapa sawit menjadi
tandus dan gersang. Kondisi ini
mengakibatkan para penduduk kesulitan untuk bisa menanam tanaman lain selain tanaman kelapa sawit.
d. Keanekaragaman hayati
Sebanyak 20% dari responden
memberikan pendapat bahwa adanya konversi lahan dari hutan alami ke perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan beberapa spesies baik flora maupun fauna yang ada di wilayah tersebut.
e. Kesulitan menanam tanaman lain
Sebanyak 17% dari responden
memberikan pendapat bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit mengalami kesulitan untuk menanam jenis tanaman lain, terutama jenis tanaman pangan. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang telah digunakan untuk perkebunan cenderung lebih gersang sehingga tanaman lain tidak mampu tumbuh di tanah tersebut.
4.5.4 Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati sebagai dampak langsung yang diterima oleh masyarakat sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini memfokuskan penilaian ekonomi lingkungan berdasarkan penurunan ketersediaan air oleh perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan pe