• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Menurut WCED (1987), bahwa pembangunan berkelanjutan identik dengan pembangunan yang berkesinambungan. Mengingat pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan, maka pembangunan berkesinambungan mensyaratkan pertumbuhan ekonomi di tempat-tempat yang kebutuhan esensialnya belum terpenuhi. Di tempat lainnya, pembangunan berkesinambungan bisa konsisten dengan pertumbuhan ekonomi asalkan pertumbuhannya mencermi nkan prinsip-prinsip yang luas mengenai keberlanjutan dan non-eksploitasi kepada sesama. Dengan demikian tersirat tujuan pokok dalam pembangunan berkelanjutan yaitu bagaimana memadukan aspek lingkungan dan kepentingan ekonomi dalam pengambilan keputusan.

Menurut Serageldin (1996) yang diacu dalam Bengen (2003) pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial yang membentuk sebuah bangunan segetiga (Gambar 3). Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada

pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik antar generasi maupun dalam suatu generasi.

Sumber: Munasinghe (1993) yang diacu dalam Bengen (2003)

Gambar 3 Tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan

Menurut Serageldin (1993), keberlanjutan aspek ekonomi, meliputi pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan modal (capital maintenance) dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan modal. Keberlanjutan ekologi meliputi kesatuan (integrity) ekosistem, daya dukung lingkungan, perlindungan keanekaragaman jenis dan sumberdaya alam. Keberlanjutan aspek sosial adalah adanya keadilan (equity), pemberdayaan (empowerment), partisipasi dan kelembagaan.

Kegagalan aplikasi keberlanjutan selama ini diakibatkan oleh kurangnya perhatian terhadap aspek sosial. Serageldin (1993) mengemukakan bahwa implementasi pembangunan berkelanjutan yang pertama kali harus diperhatikan adalah aspek sosial karena manusia dengan aspek sosial berperan sebagai sentral dari pembangunan itu sendiri. Aspek sosial yang paling penting adalah kesejahteraan dan pemberdayaan. Kelompok masyarakat yang harus diutamakan adalah masyarakat marginal dan kelompok masyarakat miskin karena ke dua masyarakat tersebut bisa merupakan pemicu rusaknya keamanan dalam berusaha. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan membuka akses pada kelompok

Ekonomi Sosial Ekologi - Distribusi Pendapatan - Penyerapan Tenaga Kerja - Penilaian Lingkungan - Valuasi Internalisasi.

Partisipasi, Konsultasi dan Pluralisme

masyarakat kepada sumber modal, penyuluhan, training, kesempatan berusaha dan kerja (Sumodiningrat, 1990).

Untuk membumikan atau mengoperasionalkan konsep atau rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Bank Dunia telah melakukan beberapa prakarsa. Sebagai langkah pertama, Bank Dunia telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan, bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan SDA dengan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat keberkelanjutan (Serageldin, 1996 yang diacu dalam Bengen, 2003). Keberkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya, serta investasi secara efisien. Keberkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Sedangkan keberkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.

Dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta (stakeholders), dan konsultasi dalam setiap program pembangunan. Koordinasi dan keterpaduan antara pihak yang terlibat dan terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembangunan serta masyarakat juga harus ditingkatkan. Dengan cara ini, rakyat (masyarakat) akan merasa memiliki terhadap setiap kegiatan pembangunan dan konsekuensinya mereka akan berupaya semaksimal mungkin untuk mensukseskan kegiatan pembangunan.

Konsepsi keberlanjutan baik secara ekonomis, ekologis dan sosial ternyata juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Dahuri, et al. (2001), bahwa secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 (empat) dimensi, yaitu: (1) ekologis; (2) sosial, ekonomi dan budaya; (3) sosial politik; dan (4) hukum kelembagaan.

Dimensi ekologis, dimensi ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya.

Dimensi sosial, ekonomi dan budaya, dimensi ini mengandung arti bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi termasuk lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Dimensi sosial politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan.

Dimensi hukum dan kelembagaan, pembangunan berkelanjutan dapat tercapai apabila memiliki komitmen pengendalian diri dari setiap warga untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundangan-undangan yang berwibawa dan konsisten.

Menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan sektor perikanan tercermin dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) pada point Artikel 10: Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, isinya memuat:

(1) Kerangka kerja kelembagaan:

1) Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan sumberdaya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari ekosistem pantai dan sifat sumberdaya alamnya yang terbatas, dan kebutuhan dari masyarakat pesisir.

2) Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus menjamin bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap ikan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta kegiatan lainnya

yang terkait dalam perencanaan pengelolaan dan pembangunan wilayah pantai.

3) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan untuk mengatur akses terhadapnya, dengan memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek kebiasaan mereka untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan. 4) Negara harus memfasilitasi pemberlakuan praktek-praktek perikanan yang dapat menghindarkan konflik antar pengguna sumberdaya perikanan dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya.

5) Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam sektor perikanan dan antara pengguna sumberdaya perikanan dengan para pengguna wilayah pesisir lainnya.

(2) Ukuran kebijakan:

1) Negara harus mengusahakan kesadaran publik dari kebutuhan untuk perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengelolaan yang dipengaruh olehnya. 2) Membantu dalam hal pengambilan keputusan terhadap alokasi dan

penggunaan sumberdaya pesisir, negara harus mengusahakan penilaian dari masing-masing nilai tersebut ke dalam perhitungan faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya.

3) Dalam membantu kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, negara harus memperhatikan resiko dan ketidakpastian yang ada.

4) Negara, dalam kaitannya dengan kapasitasnya, harus membangun sistem untuk memantau lingkungan pesisir sebagai bagian dari proses pengelolaan pesisir dengan menggunakan parameter fisika, kimia, biologi dan sosial.

5) Negara harus mengusahakan penelitian multi disipliner untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir khususnya aspek lingkungannya, fisika, ekonomi, sosial, hukum dan kelembagaan.

(3) Kerjasama regional:

1) Negara dengan wilayah pesisir negara tetangga nya harus bekerjasama antara satu dengan yang lain untuk memfasilitasi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan konservasi lingkungan.

2) Dalam kasus kegiatan yang memiliki pengaruh lingkungan pada lintas batas (negara yang berbatasan), maka ne gara sebaiknya:

a. Memberikan informasi, jika mungkin memberitahukan kepada negara (tetangga) yang dipengaruhinya secara potensial.

b. Konsultasi dengan negara-negara tetangga seawal mungkin

3) Negara harus bekerjasama pada tingkat sub-regional dan regional untuk memperbaiki pengelolaan wilayah pesisir.

(4) Implementasi:

1) Negara harus menetapkan mekanisme kerjasama dan koordinasi diantara penguasa nasional yang meliputi perencanaan, pembangunan, konservasi dan pengelolaan wilayah pesisir.

2) Negara harus menjamin penguasa tersebut atau yang mewakili sektor perikanan dalam proses pengelolaan pesisir yang memiliki kapasistas teknis dan sumberdaya finansial yang sesuai.