• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Sumberdaya dan Jasa Lingkungan Pulau Kecil 1 Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Potensi Sumberdaya dan Jasa Lingkungan Pulau Kecil 1 Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil

Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources); (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources); dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services).

Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, padang lamun atau seagrass, hutan mangrove, dan terumbu karang. Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.

(1) Sumberdaya dapat pulih a) Hutan mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Menurut (Dahuri, et al., 1996), hutan mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah instrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi ekonominya adalah penyedia kayu (sebagai kayu bakar, arang, bahan baku kertas), daun- daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain.

Indonesia memiliki lebih banyak hutan mangrove dibandingkan dengan negara lain, dan diperkirakan luasnya tercatat 5.209.543,16 ha (1982), kemudian menurun menjadi sekitar 496.185 ha (1993). Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total species sebanyak 89 (terdiri 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 species epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Tingginya keanekaragaman hayati hutan mangrove merupakan aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi ekologinya tetapi juga dari fungsi ekonomi.

b) Terumbu karang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur, dan mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken, 1988). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman species ini adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri, et al., 1996). Lebih lanjut dikatakan, selain mempunyai fungsi ekologis yakni sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi yang penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Menurut laporan Direktorat Jenderal Perikanan tahun 1991, bahwa potensi lestari sumberdaya ikan di daerah terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas total terumbu karang kurang lebih 50.000 km2 (Moosa, et al., 1996).

Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wisata bahari seperti selam, layar maupun snorkling.

c) Padang lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Sama halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang dangkal dan masih terjangkau oleh cahaya matahari. Di wilayah Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 spesies lamun, antara lain marga Hydrocharitaceae dengan spesiesnya Enhalus acoroides.

Padang lamun (seagrass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, ekinodermata dan cacing. Menurut Bengen (2000), secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.

c) Rumput laut

Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan kaya bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi, di samping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.

Sementara itu, potensi rumput laut atau alga di perairan Indonesia dapat diamati dari potensi lahan budidaya rumput laut yang tersebar di 27 propinsi. Menurut Dahuri, et al., (1996), potensi usaha rumput laut di Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Sampai saat ini, rumput laut hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat pesisir

terutama sebagai bahan pangan, seperti untuk lalapan, sayur, acar, manisan, kue. Selain itu, alga juga dimanfaatkan oleh industri untuk bahan obat-obatan dan bahan kosmetika. Pemanfaatan untuk kepentingan obat-obatan dan industri kosmetika ini disebabkan alga memiliki senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karagenan, agar dan algin (Nontji, 1987). Karagenan merupakan bahan kimia yang dapat diperoleh dari berbagai jenis alga merah seperti Gelidium, Gracilaria dan Hypnea; sedangkan algin adalah bahan yang terkandung dalam alga coklat seperti Sargassum. Dengan melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka sudah saatnya diupayakan untuk dikembangkan usaha budidaya ke arah yang lebih baik.

d) Sumberdaya perikanan laut

Pengertian sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya yang dapat pulih sering disalah tafsirkan sebagai sumberdaya yang dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan pelagis besar (451.830 ton/th) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumberdaya perikanan demersal (3.163.630 ton/th), udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi -cumi (328.960 ton/th) (Ditjen Perikanan, 1995 yang diacu dalam Dahuri, et al., 1996). Dengan demikian, secara nasional potensi lestari sumberdaya perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/th dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48 %.

(2) Sumberdaya tidak dapat pulih

Potensi sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) yang terdapat di pulau-pulau kecil meliputi seluruh mineral, yang terdiri dari tiga kelas: kelas A (mineral strategis: minyak, gas, dan batu bara); kelas B (mineral vital: emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan chromit); dan kelas C (mineral industri: termasuk bahan bangunan dan galian, seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin dan pasir).

Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum

tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).

2.2.2 Jasa-jasa lingkungan

Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata.

Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau- pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998). Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

2.3 Kawasan Konservasi Laut dan Pengembangannya