• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG

B. Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung

1. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia. sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sebagai individu dan sebagai masyarakat. Jadi tujuan pendidikan adalah perkara yang teramat penting, sebab tujuan itulah yang menentukan sifat-sifat metode dan kandungan pendidikan. Namun, ini tidaklah bermakna bahwa dua komponen yang lain itu tidak penting (Langgulung, 2004:47).

Tujuan pendidikan dapat dikatakan sebagai tujuan hidup manusia karena pada hakikatnya seluruh kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, atau dalam hal ini dapat dikatakan

“belajar”. Setiap kegiatan manusia dimulai dari membuka mata

mengawali hari hingga tidur kembali sangat berhubungan dengan belajar, bahwa setiap hal baru yang kita temukan, kita lihat dan kita lakukan, tanpa kita sadari kita sedang belajar. Belajar memahami apa yang kita lihat, merasakan apa yang kita sentuh, mendengarkan hal yang belum pernah kita dengar serta mengucapkan apa yang tidak pernah kita ucapkan. Semua itu adalah bagian dari pendidikan. Maka tidak salah apabila dikatakan bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan hidup manusia.

Tujuan hidup seperti yang disebutkan dalam Al-Qur‟an (51: 56) yang bermakna: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaKu ”. Itulah tujuan kejadian

manusia, dan segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi „abid

inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam. Begitu juga ayat

Al-Qur‟an (2:30) yang bermakna : “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di bumi”. Jadi segala

usaha untuk membentuk watak manusia sebagai khalifah di bumi ini itulah pendidikan menurut pandangan Islam (Langgulung, 2004:48).

Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya

di akhirat. Pendidikan tidak berarti sekedar transfer of knowledge,

tetapi juga transfer of value dan berorientasi dunia akhirat. Untuk

trasfer of value ini perlu ada nilai yang dimiliki oleh pendidik sebagai pelaku atau subyek dan juga ilmu itu sendiri sebagai objek yang ditransfer. Islam memandang pendidikan adalah sebagai bentuk ibadah umat Islam yang menyebarkan nilai-nilai umum yang didasarkan pada al-Qur‟an sebagai sumber dasar dan pokok dari berbagai cabang

disiplin ilmu pengetahuan, dan juga al-Hadis (Kurniawan dan Mahrus, 2011:276).

Hasan Langgulung (2004:51) merumuskan tujuan pendidikan Islam dalam dua tahap, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat dari tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus. Supaya lebih jelas dapat dikatakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan tidak tergantung pada institusi pendidikan tertentu, atau pada tahap pendidikan tertentu, atau pada jenis pendidikan tertentu, atau pada masa dan umur tertentu. Sedangkan pada tujuan umum dan tujuan khusus ia dapat dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu, dan masa atau umur tertentu.

a) Tujuan Umum Pendidikan Islam

Hasan Langgulung mengutip rumusan tujuan umum

pendidikan Islam dari Al-Abrasyi. Muhammad Athiyah

al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 1954-1970. Beliau adalah satu dari sederetan nama yang tidak boleh dilupakan oleh para cendekiawan Arab dan muslimin. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1981

(Al-Abrasy, 1974:2). Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan Islam, yaitu :

1) Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum

Muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.

2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya, sekali.

3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi

manfaat, atau lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional.

4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan

keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.

5) Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan

pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki

dalam hidup disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

b) Tujuan Khusus Pendidikan Islam

Sebagai seorang pemikir terakhir dari zaman keemasan tamaddun Islam yang banyak menulis mengenai pendidikan, terutama pada karyanya yang terkenal, yaitu Muqaddimah, Ibn Khaldun membagikan tujuan-tujuan pendidikan itu kepada :

1) Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu

mengajarkan syiar-syiar agama menurut al-Qur‟an dan

sunnah, sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana halnya dengan potensi-potensi lain yang jika telah mendarah daging maka ia seakan-akan menjadi fitrah.

2) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.

3) Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.

4) Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.

Dikatakannya bahwa mencari dan menegakkan hidupnya mencari pekerjaan, sebagaimana ditegaskannya pentingnya pekerjaan sepanjang hidup manusia, sedang pengajaran atau pendidikan dianggapnya termasuk diantara keterampilan-keterampilan itu.

5) Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang itu dapat memegang berbagai pekerjaan dan pertukangan atau keterampilan tertentu seperti telah diterangkan di atas.

6) Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuklah

musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.

Tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh di samping badan, kemauan yang bebas, dan akal (Langgulung, 2004:55).

Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai. Tujuan akhir pendidikan Islam merupakan kristalisasi nilai-nilai ideal Islam yang diwujudkan dalam pribadi anak didik. Oleh karena itu tujuan akhir itu harus meliputi semua aspek yang terintegrasi dalam pola kepribadian yang ideal. Dalam konsepsi Islam, pendidikan berlangsung sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam harus terefleksi sepanjang kehidupan manusia. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana kata

menjadi „abid (penyembah Allah) inilah tujuan tertinggi pendidikan Islam” (Kholiq dkk., 1999:47).

Tujuan utama dari pendidikan Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam sesungguhnya menjadikan peserta didik memiliki sifat-sifat seperti halnya seorang khalifah. Seorang khalifah hendaknya memiliki akhlakul karimah atau akhlak yang baik sehingga dapat memiliki hubungan sosial yang baik pula dalam kehidupan bermasyarakat atau dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter pribadi peserta didik.

Hasan Langgulung (2004:29) menjelaskan ciri-ciri seorang

khalifah menururt Al-Qur‟an, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Fitrah

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, ia tidak mewarisi dosa karena Nabi Adam a.s.meninggalkan syurga.

b. Roh

Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah. Inilah dua sifat yang membedakan khalifah dari makhluk yang lain.

c. Kebebasan kemauan

Kebebasan untuk memilih tingkahlakunya sendiri. Khalifah itu menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidak dapat dipikul oleh makhluk-makhluk lain.

d. Aqal

Aqal dapat menjadikan manusia membuat pilihan antara yang betul dan yang salah.

Selain itu, dapat memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal sehingga dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan di dunia. Akan tetapi, yang paling penting dari itu semua adalah seorang khalifah harus memiliki keimanan yang kuat, yang memiliki kesadaran penuh bahwa dirinya merupakan makhluk dan sudah seharusnya jika makhluk adalah penyembah Sang Pencipta yaitu Allah SWT. dengan cara beribadah sesuai yang telah ditetapkan. Hal itulah yang akan mengantarkannya pada kebahagiaan di akhirat.

Pendapat Hasan Langgulung tentang tujuan pendidikan Islam senada dengan hasil dari World Conference on Muslim Education yang didefinisikan sebagai berikut:

“Education should aim at the balanced growth of the total personality of man through the training of man‟s spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the

realization of complete submission to Allah on the level of

individual, the comunity of large.”(Langgulung, 2004:133)

Pendidikan Islam seharusnya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dari seluruh kepribadian manusia melalui latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera. Oleh karenanya pendidikan semestinya dapat memberikan pelayanan pada pertumbuhan manusia dalam semua aspek kehidupannya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik individual maupun kolektif, serta mendorong ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan agar terlaksana aktivitas pengabdian kepada Allah SWT.

Pemikiran Hasan Langgulung sejalan dengan Zakiah Dratjat (1993:95) yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam secara besarnya adalah untuk membina manusia agar menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya.

Potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu haruslah dikembangkan, sedang pengambangan potensi sesuai dengan petunjuk

Tuhan itulah yang disebut „ibadah. Jadi kalau tujuan kejadian manusia

adalah ibadah, dalam pengertian pengembangan potensi-potensi, maka kita lihat di sini bahwa ia bertemu dengan tujuan tertinggi pendidikan Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu mencipta manusia abid. Manusia yang mengaktualisasikan segala potensi yang

dikaruniakan Tuhan akan mencapai derajat yang paling tinggi sebagai waliy (Langgulung, 1991:362).

2. Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Kurikulum dapat dikatakan sebagai acuan maju tidaknya proses

pendidikan yang telah direncanakan. Hasan Langgulung

(2002:241) mendefinisikan perkataan “kurikulum”, berasal dari bahasa latin “curriculum” yang berarti suatu kursus, terutama suatu

kursus di Universitas. Beliau menyimpulkan definisi kurikulum

dari beberapa pemikir-pemikir pendidikan bahwa, “Kurikulum

adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan

pendidikan”.

Hasan langgulung (2004) menambahkan bahwa menurut konsep yang luas dan menyeluruh, yang merupakan sumber kurikulum pada zaman modern ini, maka kurikulum itu mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu:

a) Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu.

b) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data-data,

aktivasi-aktivasi dan pengalaman-pengalaman darimana terbentuk kurikulum itu.

c) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti

murid-murid untuk mendorong mereka belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki dan tujuan yang dirancangkan.

d) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam

mengukurdan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang dirancangkan dalam kurikulum.

Atau dengan kata lain yang lebih ringkas lagi kurikulum pada pengertiannya yang luas terdiri dari tujuan-tujuan, kandungan, metode mengajar dan metode penilaian.

Dalam keterangan lain Hasan Langgulung menyebutkan, kurikulum adalah serangkaian kegiatan belajar mengajar yang direncanakan dan diprogram secara terperinci bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di luar maupun di dalam sekolah demi mencapai tujuan yang diinginkan (Kurniawan dan Mahrus,2011: 278).

Dari definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, Hasan Langgulung (2004) mengemukakan bahwa kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sehubungan dengan itu, perlu adanya pembaruan dan pengembangan kurikulum pada setiap saat karena pengembangan kurikulum merupakan upaya konstruktif untuk mencapai tujuan pendidikan.

Hasan Langgulung menangkap suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan, beliau memandang perlu mengubah paradigma ilmu pengetahuan yang telah kehilangan identitas Islam melalui proses islamisasi ilmu terhadap salah satu komponen dalam pendidikan Islam yaitu kurikulum. Hasan menguraikan proses islamisasi ilmu melalui penyusunan kembali dasar-dasar kurikulum oleh karena pendidikan Islam selama ini telah kehilangan makna dan jauh dari tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurutnya proses islamisasi ilmu tidak hanya fokus pada segi ilmu pengetahuan saja, tetapi juga meliputi tiga komponen kurikulum yakni tujuan pendidikan, metodologi pengajaran dan penilaian (Langgulung, 2002:296).

Salah satu gagasan Hasan Langgulung dalam pendidikan Islam di Indonesia adalah tentang konsep Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada sebelum dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Beliau bukanlah satu-satunya ilmuwan pendidikan yang mengangkat gagasan tentang

Islamisasi ilmu karena beberapa ilmuwan juga telah mengemukakannya.

Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Definisi Islamisasi ilmu dalam konsepsi al-Attas lahir dari pengetahuan dan pemahamannya terhadap konsep Islamisasi ilmu secara umum sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam. Al-Attas mendefinisikan Islamisasi ilmu secara umum yaitu: Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis, dan faham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam kemudian dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya (Al-Attas, 1996:95).

Islamisasi merupakan upaya untuk mengembalikan kembali sifat-sifat manusia sesuai yang digariskan dalam Islam. Beberapa hal yang melekat dalam diri manusia sendiri yang sering disebut tradisi ataupun kebiasaan seperti adat umat manusia sebelum Islam datang perlu untuk di-Islamisasi. Ditambah pada masa sekarang dimana paham sekuler yang semakin berkembang, dan jika terus seperti itu akan mengendalikan sifat manusia itu sendiri.

Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern ynag disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis dan relavistis, menganggap bahwa pendidikan

bukan untuk membuat manusia bijak, yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas, tetapi memandang realitas sebagai suatu yang bermakna secara material bagi manusia (Nata, 2003:126-127).

Untuk mencapai kurikulum yang diharapkan, menurut Hasan Langgulung (1988:142) kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengacu pada dasar-dasar pokok sebagai berikut:

a. Keutuhan, kurikulum pendidikan Islam harus utuh. Proses ini

menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus memeperhatikan seluruh aspek manusia: badan, jiwa, akal dan rohnya. Sedangkan dari segi pelaksanaannya, harus meliputi segala aktivitas pendidikan formal, non-forlam dan informal seperti pendidikan di rumah, masjid, pekerjaan, lembaga sosial dan budaya.

b. Keterpaduan, kurikulum pendidikan Islam harus memedukan

berbagai macam komponen dari segala jenis dan tahap pendidikan, memadukan individu dengan masyarakat luas, dan memadukan individu itu sebdiri dengan kepribadiannya: jasad, jiwa, akal dan roh yang berkaitan secara organik dan berbaur satu dengan yang lain sehingga apabila terjadi perubahan pada salah satu komponennya, maka akan berlaku perubahan pada komponen-komponen yang lain.

c. Kesinambungan, kurikulum yang digunakan hendaknya memiliki kesinambungan dari segi umur, jenjang persekolahan dan suasana. Sistem pembelajarannya dibangun dari yang mudah sampai pada yang sulit yang diberikan secara terus menerus dan antara materi yang satu dengan yang lain saling terkait.

d. Keaslian, kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengambil

komponen, tujuan, kandungan dan metodologi dari ajaran Islam tanpa menolak unsur yang datang dari luar selama tidak bertentangan dengan ruh ajaran Islam. Pendidikan Islam harus memberikan prioritas terhadap pendidikan kerohanian yang diajarkan oleh Islam, mengangkat derajat manusia tanpa meninggalkan alam kebendaan.

e. Bersifat ilmiah, kurikulum pendidikan Islam hendaknya

memandang sains dan teknologi sebagai salah satu komponen

terpenting dari peradaban modern, hanya dalam

mengaplikasikannya harus sesuai dengan semangat Islam.

f. Bersifat praktikal, kurikulum pendidikan Islam tidak hanya

mengacu pada tataran teoritis saja, tetapi harus mengandung nilai-nilai praktikal yang dapat dimanfaatkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tugas pendidikan Islam selain membentuk manusia yang beriman pada ajaran Islam juga

membentuk pekerja produktif dalam bidang ekonomi dan individu yang aktif dalam masyarakat.

g. Kesetiakawanan, diantara ajaran yang terpenting dalam Islam

adalah kerjasama, persaudaraan dan keterpaduan di kalangan

kaum Muslim. Kurikulum pendidikan Islam harus

menenamkan dan menumbuhkan rasa setia kawan dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin, dan antara pendidik dan peserta didik.

h. Keterbukaan, dalam kurikulim pendidikan Islam harus

ditanamkan rasa kesaman hak antar individu dan

menghilangkan rasa fanatisme karena dalam Islam tidak ada etnisitas, hanya takwa dan iman yang membedakan seseorang. Pendidikan Islam adalah pendidikan kemanusiaan yang berdiri di atas persaudaraan seiman dan perutusan untuk umat manusia seluruhnya.

Hasan Langgulung (2004:137) Langkah selanjutnya adalah penjenisan kembali (reclassification) pengetahuan yang ada ini berdasar pada dua sumber, wahyu dan akal. Dan selanjutnya menamakannya pengetahuan abadi (perennial) dan pengetahuan diperoleh (acquired) sebagai berikut :

“Planning of education to be based on the classification of

(a) “Perennial” knowledge derived from the Quran and The

Sunnah meaning all Sharia – oriented knowledge

relevant and related to them, and

(b) “acquired” knowledge susceptible to quantitative growth

and multiplication, limited variavons and cross-cultural borrowings as long as consistency with the Sharia as the

sources of value is maintained”.

Pengertian bentuk pertama (perennial) diterima melalui

wahyu yang terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits, sedang bentuk

kedua (acquired) diperoleh melalui imajinasi dan pengalaman-indera. Hanya pengetahuan bentuk terakhir inilah yang kita pelajari melalui falsafah dan model Barat, sedang wahyu hanya diajarkan di sekolah-sekolah agama atau sekolah-sekolah non-formal, ataupun ditempelkan dalam kurikulum sebagai mata pelajaran tambahan, bukan dasar, padahal menurut konsepsi Islam agar kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata pelajaran yang lain.

3. Metode Pendidikan Islam

Metode bermakna cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. Tiga aspek pokok yang berkaitan dengan seorang guru yang berdedikasi yang penuh kesadaran tentang tenggungjawabnya sebagai seorang Muslim terhadap orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya.

Hasan Langgulung (2004:36) mengemukakan bahwa menggunakan metode yang akan digunakan harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :

a. Aspek pertama tentang kaitan metode pendidikan dengan

tujuan utama pendidikan Islam untuk membina karakter. Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang baik, sudah tentu kepercayaan akan baiknya fitrah akan mempunyai implikasi praktikal terhadap metode-metode yang akan digunakan oleh guru. Tidak cukup seseorang guru hanya berusaha melindungi murid-muridnya dari pengaruh-pengaruh buruk dan menunggu agar sifat-sifat asalnya itu

berkembang sendiri. Seorang pendidik Islam

bertanggungjawab mengasuh seorang murid dengan cara-cara tertentu. Peranannya bukan hanya mengusahakan suasana pengajaran dan membiarkan pelajar menentukan sendiri pilihan tanpa mempertimbangkan akibat pilihan itu. Dia tidak boleh duduk diam sedang murid-muridnya memilih jalan yang salah. Ini berbeda sekali dengan sikap Rosseau, yang membincangkan masa kanak-kanak awal, yang mengatakan :

“....pendidikan permulaan seharusnyalah semata -mata bersifat negatif. Ia terdiri bukan dari mengajarkan kebaikan dan kebenaran, tetapi menjaga jiwa dari dosa dan fikiran dari kesalahan".

b. Terkait dengan aspek kedua, yaitu metode-metode yang digunakan dalam pendidikan Islam, telah diterangkan juga di atas bahwa seorang guru tidak dapat memaksa muridnya dalam cara yang bertentangan dengan fitrahnya. Salah satu cara ialah lemah lembut, seperti dinyatakan dalam berbagai

ayat Al-Qur‟an dan Hadis dalam menyebarkan dakwah.

Tetapi guru-guru yang ingin agar pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya itu mudah diterima, tidaklah cukup hanya bersifat lemah-lembut saja, ia haruslah memikirkan metode-metode yang akan digunakannya, seperti memilih waktu yang tepat, memulai dengan yang mudah, kemudian yang susah, mempelbagaikan metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu mata pelajaran, bercerita, berulang-ulang, menanyakan soalan-soalan deduksi, dan lain-lain lagi metode-metode yang digunakan ahli-ahli pendidikan Islam dari zaman dahulu lagi yang memang ada bukti-buktinya

dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.

c. Aspek ketiga daripada metode pendidikan yang perlu

perhatian kita adalah bagaimana guru menggalakkan murid-muridnya belajar menerima ganjaran dan hukuman. Berkesannya ganjaran dan hukuman bertitik tolak dari fakta bahwa mereka sangat berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan

memahaminya sebagai suatu tanda penerimaan terhadap pribadinya, yang menyebabkan ia merasa tenteram. Sedang ketentraman itu adalah salah satu kebutuhan asas dari segi psikologi, dan hukuman sangat dibenci sebab ia mengancam ketentraman. Jadi metode pendidikan yang kita kemukakan di sini mencakup pendidikan dalam pengertian yang luas, yaitu