• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG

A. Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir

1. Tujuan Pendidikan Islam

Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh nasional yang sudah sangat tersohor di seluruh penjuru nusantara. Beliau banyak dikenal karena jejaknya di dunia perpolitikan negeri bahkan hingga mancanegara. Kiprahnya masih hangat di benak kita adalah prestasi beliau menjadi tangan kanan presiden pertama republik ini, yaitu sebagai Perdana Menteri sekaligus orang kepercayaan Soekarno. Walaupun pada perjalanannya kedua tokoh kemerdekaan ini memiliki ideologi yang berbeda dalam membangun negeri. Warna perdebatan dan pertentangan intelektual di setiap jejak langkah mereka menjadi saksi terbentuknya negara yang kuat dan menjunjung tinggi azas persatuan.

Natsir sebagai mujahid dakwah yang sangat gigih

memperjuangkan Islam di negeri ini melalui berbagai cara antara lain dari karya-karyanya di media massa maupun juga dalam dunia politik ketika beliau diberi amanah menjabat di pemerintahan maupun melalui organisasi yang didirikannya. Meskipun dakwahnya tidak selalu diterima terutama dari kalangan pemerintah, akan tetapi beliau tidak pernah

mundur. Beliau memakai cara-cara yang lain, salah satunya adalah melalui pendidikan.

Beliau memang seorang pendidik sehingga tahu apa dan bagaimana pendidikan itu. Menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa yang ingin maju. Pada tahun 1949, Natsir memimpin sebuah program pendidikan yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam di daerah yang dikuasai Darul Islam. Pengalamannya sebagai pemimpin pendidikan membuat cara pandangnya mengenai pendidikan semakin luas. Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya tanggal 17 Juni 1934, ia menyampaikan pidatonya dalam Rapat persatuan Islam di Bogor. Judul pidatonya nampak sederhana, tetapi kajiannya cukup mendasar, yaitu

“Ideologi Pendidikan Islam” (Luth, 1999:94).

Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan memang sudah diakui dengan melihat rekam jejaknya. Seperti dalam pidatonya yang disebut

sebagai “Ideologi Pendidikan Islam” mengajak seluruh elemen

masyarakat agar dapat memahami arti penting dan tujuan sebagai dasar pendidikan Islam. Beliau menjelaskan dengan bahasa yang cukup mudah untuk dipahami dan dapat diterima sebagai ideologi yang dapat diimplementasikan terutama dalam pendidikan..

Beliau mengatakan bahwa maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi

maju, melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan pemuda mereka. Bangsa jepang, satu bangsa Timur yang sekarang menjadi buah mulut orang seluruh dunia karena majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang selama ini tertutup rapat bagi orang-orang pintar dan ahli-ahli ilmu negeri lain yang akan memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi pemuda-pemuda mereka, disamping mengirim pemuda-pemuda pereka ke luar negeri mencari ilmu. Spanyol, satu negeri di benua Barat, yang selama ini termasuk golongan kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah sesudah enak dalam kesenangan mereka dan

tidak memperdulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan

menggantikan pujangga-pujangga di hari kelak (Natsir, 1980: 77).

Dua negara yang ditampilkan Natsir mewakili negara-negara di Timur dan di Barat, adalah contoh konkret betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa. Maksudnya adalah kemajuan suatu negara bergantung kepada kepedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Demikian pula merosot atau keterbelakangan suatu negara terletak pada ketidakpedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Kemajuan suatu bangsa tidak tergantung dari letak negara tersebut, entah itu di Barat atau di Timur, apakah negara tersebut di kelilingi negara maju atau tidak, tetapi tergantung pada pendidikan para pemuda-pemuda dari negara tersebut apakah baik atau tidak. Semua tergantung pada kesadaran dan kemauan untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih maju dari

sebelumnya. Dalam Al-Qur‟an surat ar-Ra‟du ayat 11 Allah telah berfirman yang artinya:”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib

suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri

mereka sendiri.” Jika kita sadar akan kekurangan kita dan memiliki kemauan untuk berubah agar menjadi lebih baik maka jika Allah mengizinkan kita akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kenyataan ini tidak hanya dirasakan oleh dua negara yang disebut Natsir dalam pidatonya, tetapi telah dirasakan dan disadari oleh berbagai negara di dunia ini, termasuk negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pendidikan Indonesia yang dari tahun ke tahun terus mengevaluasi pendidikannya, salah satunya yaitu kurikulum yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju. Dengan demikian, pendidikan merupakan tolok ukur peradaban orang perorangan atau suatu bangsa.

Natsir yang mengaku berguru politik pada H. Agus Salim dan Syeikh Ahmad Surkati, ternyata memiliki wawasan yang luas tentang berbagai masalah, termasuk soal pendidikan. Sejak belajar di Algememe Midelbare School (AMS) Bandung, Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah pelajar-pelajar bumi putera yang belajar di sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim (Luth, 1999). Haji Agus Salim merupakan salah satu tokoh Sarekat Islam sedangkan Syeikh Ahmad

Surkati adalah pendiri Al-Irsyad. Selama di Bandung Natsir banyak bertemu tokoh-tokoh nasional yang membentuk cara berpikir dan kemampuan berpolitiknya.

Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan yang besar dapat kita lihat melalui pidato tersebut. Beliau menekankan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa ini, terlebih pendidikan dasar sebagai pondasi yang kokoh bagi generasi yang akan menggantikan generasi saat ini. Dengan pengetahuan yang beliau miliki, mampu mengilustrasikan dengan baik dan mudah diterima bagi pendengarnya. Dua negara yang disebutkan beliau merupakan contoh yang konkrit bagaimana pendidikan memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan bangsa.

Hal ini menjelaskan bagaimana sebuah bangsa dapat dengan cepat berkembang pesat diantara bangsa-bangsa yang lain dan sebaliknya sebuah bangsa juga dapat tenggelam dalam kebodohan yang semua itu tergantung pada perhatian terhadap pendidikannya terutama bagi pemuda-pemuda karena mereka adalah generasi penerus bangsa.

Pendidikan yang didefinisikan Natsir adalah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya (Natsir, 1954:82). Pimpinan disini dapat diartikan sebagai bimbingan atau pengarahan kepada yang dibimbing atau yang diarahkan. Bimbingan dalam pengertian ini tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan intelektual

dan keterampilan saja, akan tetapi sikap spiritual dan sikap sosial juga tidak boleh ditinggalkan dalam proses pendidikan tersebut.

Pengertian pendidikan Natsir memiliki kesamaan dengan para ahli pendidikan Islam seperti Ahmad D. Marimba yang mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil), serta pendapat Ahmad Tafsir yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Al-Rasyidin dan Nizar,2005: 32). Ketiga pendapat tersebut memiliki persamaan bahwa pendidikan merupakan proses bimbingan dan pengajaran dari seorang pendidik agar dapat mengembangkan potensi jasmani dan rohani peserta didik secara optimal sesuai ajaran Islam.

Pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. tugas pendidikan bukan melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia (Zuhairini,1995: 149). Oleh karena itu, pendidikan dapat meliputi beberapa aspek dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya melalui pendidikanlah dapat membentuk dan melengkapi sifat-sifat kemanusiaannya, atau lebih jelasnya bahwa pendidikan merupakan proses pembentukkan karakter peserta didik yang berlandaskan ideologi Islam.

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya , ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hubungan ini pendidikan memegang peranan yang amat penting (Nata, 1997: 35). Terutama Pendidikan Islam yang membangun kecerdasan spiritual yang memberikan pemahaman terhadap agama dan membentuk kecerdasan emosional agar peserta didik memiliki mental yang kuat untuk menghadapi kehidupan yang akan dilalui oleh mereka.

Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Kita sulit membayangkan dalam benak, jika ada suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan. Hal itu bisa dimengerti karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang amat penting. Ahmad D. Marimba (1989:45), misalnya menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan yaitu:

a. Tujuan berfungsi mengakhiri usaha,

b. Tujuan berfungsi mengarahkan usaha,

c. Tujuan berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai

tujuan-tujuan yang lain, dan

Dari uraian di atas maka tampak jelas pentingnya merumuskan tujuan pendidikan sebelum pendidikan itu dilaksanakan. Dengan begitu para pelaku pendidikan dapat mengambil langkah-langkah dan merencanakan proses pendidikan yang mengacu pada tujuan tersebut.

Menurut Natsir (1954:54), suatu pendidikan harus memiliki setidaknya dua hal, yaitu

a. Satu tujuan yang mengarahkan pendidikan itu sendiri, dan

b. Satu asas yang menjadi dasar dari pendidikan tersebut.

Pendidikan tersebut tidak akan berjalan sebagaimana yang direncanakan jika tidak ada salah satu dari kedua hal tersebut. Tujuan pendidikan kita tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup kita sendiri karena keduanya adalah sama. Tujuan dari pendidikan adalah tujuan hidup, M. Natsir

menjelaskan dengan mengutip ayat dalam Al-Qur‟an surah Adz Dzariat

ayat 56:















Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.”

Tujuan hidup setiap muslim telah ada dalam al-Qur‟an yaitu

hanya untuk menyembah kepada Allah Tuhan semesta alam. Dalam pengertian sederhana, menyembah adalah mengamalkan segala perintahNya seperti mendirikan sholat lima waktu dan berpuasa di bulan

Ramadhan. Selain itu, tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

Pengertian “menyembah Allah” dalam konteks tujuan hidup

disini memiliki makna yang sangat luas, yang mencakup ibadah khusus (hablum min Allah) dan ibadah umum (hablum min al-khalqiah) melalui aktivitas yang memposisikan manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia ini. Pengertian penyembahan secara spesifik dalam pendidikan adalah :

“melengkapi ketaatan dan ketundukan manusia kepada semua perintah

Ilahi yang membawa kepada kejayaan duniawi dan kemenangan ukhrawi, serta menjauhkan diri dari segala laraangan yang dapat menghalangi

tercapainya kemenangan dunia dan akhirat itu”. Dengan demikian

urgensi penyembahan bukanlah untuk kepentingan Allah karena Allah tidak membutuhkan sesuatu apapun dari makhluk-Nya, tapi merupakan

“kebutuhan dasar” bagi manusia dalam upaya pembebasan dari penghambaan diri dan rasa ketergantungan terhadap sesama makhluk Tuhan yang terkadang lebih rendah martabatnya dari manusia (Ramayulis dan Nizar, 2005: 307).

Sebagai makhluk, sudah seharusnya manusia menyembah penciptanya, hal tersebut merupakan kebutuhan bagi manusia sendiri dan bukan karena Allah membutuhkan. Allah adalah Sang Pencipta, Dia tidak membutuhkan apapun karena Dia memiliki segalanya. Manusia seharusnya menyadari hal tersebut sehingga hanya Allah-lah tempatnya bergantung, bukan pada sesama makhluk.

Hal tersebut dapat dikatakan juga bahwa menjadi hamba Allah merupakan tujuan dari pendidikan, Natsir mengemukakan bahwa yang disebut hamba Allah ialah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin untuk manusia. mereka mematuhi segala perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama makhluk, serta menunaikan ibadah terhadap Tuhannya, seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah: 177 yang artinya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan

(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar

(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa” (Natsir,

1954:57).

Disisi lain Natsir menambahkan bahwa untuk dapat meraih kemenangan hidup dunia dan akhirat, setiap individu harus didukung dengan penguasaan ilmu pengetahuan, karena penguasaan ilmu pengetahuanlah yang dapat membuat posisi seseorang menjadi terhormat, baik di sisi Allah maupun di sisi sesama makhluk. Untuk melengkapi pendapatnya, Natsir mengutip firman Allah:







































Artinya :”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Bertolak dari ayat diatas, maka kecintaan dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari penyembahan diri kepada Allah sekaligus menjadi salah satu tujuan dari pendidikan yang diinginkan Islam. Menurut Natsir, secara khusus tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkembangkan potensi manusia sehingga menjadi makhluk yang selalu berada dalam keseimbangan, keseimbangan-keseimbangan tersebut antara lain:

a. Seimbang antara perkembangan jasmani dan rohani,

b. Seimbang antara pertumbuhan akal dan budi pekertinya,

c. Seimbang antara ilmu dan imannya,

d. Seimbang antara doa dan ikhtiarnya,

e. Seimbang hubungannya dengan sesama makhluk beserta

alam sekitarnya, dan

f. Seimbang hubungannya dengan pencipta seluruh alam

semesta, yakni Allah Rabb al-alamin (Ramayulis dan Nizar, 2005:308).

Dalam pandangan Natsir, setiap peserta didik memiliki potensi dasar yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara dinamis, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif. Inti proses pendidikan adalah terletak pada upaya menumbuhkembangkan potensi tersebut secara optimal dan seimbang ke arah yang baik. Sedangkan hasil yang ingin dicapai adalah terbentuknya manusia yang memiliki integritas pribadi yang utuh dan dapat memberikan kebermaknaan hidup bagi diri sendiri, keluarganya, masyarakat dan alam lingkungan sekitarnya. Beliau mengatakan bahwa yang menjadi tujuan hidup dan tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu perhambaan yang memberi keuntungan kepada obyek yang disembah,

tetapi perhambaan yang memberi kekuatan kepada yang

memperhambakan dirinya. Dalam uraian selanjutnya Natsir mengutip Q.S. al-Naml: 40 :

























Artinya: “Dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia

bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Selanjutnya ia mengatakan bahwa akan menjadi orang yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia di atas dunia. Dan

itulah tujuan pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita kaum Muslimin (Nata, 1997: 50).

Gagasan M. Natsir juga diperkuat dengan rumusan hasil kongres pendidikan Islam sedunia yang diselenggarakan di Islamabad pada tahun 1980 yang intinya menetapkan bahwa pendidikan Islam harus ditujukan ke arah tercapainya pertumbuhan yang berkeseimbangan dari seluruh kepribadian manusia melalui latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera. Oleh karenanya pendidikan semestinya dapat memberikan pelayanan pada pertumbuhan manusia dalam semua aspek kehidupannya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik individual maupun kolektif, serta mendorong ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan agar terlaksana aktivitas pengabdian kepada Allah SWT sesuai dengan tuntunan yang telah digariskan Islam (Ramayulis dan Nizar, 2005:307).

2. Kurikulum Pendidikan Islam

Dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Akal Merdeka”, Natsir (2015) menekankan bahwa sebuah pendidikan atau bimbingan harus didasari oleh ketauhidan. Beliau menceritakan kehidupan seorang yang bernama Paul Ehrenfest, beliau merupakan seorang yang terpelajar yang diberi gelar Guru Besar dalam Ilmu Fisika di Amsterdam. Ia berasal dari keluarga yang baik dan mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya ditempat kelahirannya. Beliau telah melampaui kemampuan berfikir

manusia di zamannya dengan otak geniusnya. Terus menyelidiki ilmu pengetahuan dan mengajarkanya kepada dunia luar. Memiliki kepribadian yang santun, penyayang, bergaul dengan orang yang baik pula, tak pernah terdengar melakukan perbuatan tercela. Akan tetapi, tiba-tiba melakukan perbuatan yang dibenci dan melebihi perbuatan penjahat atau pencuri sekalipun. Beliau membunuh anaknya dan setelah itu bunuh diri. Kejadian ini membuat orang-orang disekitarnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Setelah diselidiki dari surat yang ditinggalkannya untuk teman sejawatnya terungkap bahwa peristiwa itu bukan karena nafsu belaka, tetapi merupakan hal yang telah dipikirkan sejak lama.

Beliau telah kehilangan tujuan hidup. Beliau tidak mendapatkan kebutuhan rohaninya, walaupun dari sisi jasmani atau intelektualnya sangat terpenuhi. Beliau tidak dapat menemukan hubungannya dengan Tuhan, yang sejak kecil tidak pernah dikenalkan kepada Tuhan. Pendidikan yang demikian sebenarnya adalah mempertukarkan alat dengan tujuan.

Itulah pendidikan yang ketinggalan dasar! Mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu bapak, betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipetaruhkan Allah kepada kita itu. Meninggalkan dasar ini berarti

melakukan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahayanya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik, walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya dan telah kita cukupkan pakaian dan perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar Ketuhanan seperti diterangkan diatas itu (Natsir,2015: 14).

Dari keterangan sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa yang menjadi dasar utama dalam pendidikan atau lebih khususnya pendidikan Islam adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dengan memiliki ketauhidan atau mengakui keesaan Tuhan maka manusia tidak akan memiliki keraguan dalam jiwanya karena mengetahui bahwa hanya kepada Tuhan lah tempat bergantungnya.

Natsir memberikan contoh seperti kisah Luqman di dalam

Al-qur‟an yang memberikan nasihat kepada anaknya berupa wasiat: “Perhatikanlah ketika Luqman berkata kepada anaknya yang sedang

dididik: “Hai anakku, janganlah engkau menyekutukan Tuhan,

sesungguhnya syirik itu ialah sebesar-besar kezaliman. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, Bersyukurlah kepada-Ku dan

kepada kedua ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu”

Melalui prinsip tauhid itu akan melahirkan pandangan bahwa pendidikan Islam itu sebenarnya bersifat utuh/menyatu (integral), tanpa memisahkan persoalan dunia dari urusan akhirat. Sebab dalam ajaran

Al-Qur‟an sendiri, dunia dengan segala kenikmatannya adalah sebagai

sarana untuk kehidupan di akhirat kelak. Hal ini didasari firman Allah

dalam surat Al-Qashash(28:77) yang artinya: “Dan carilah pada apa yang

telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan” (Saidan, 2011:228).

Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang ditawarkan oleh Natsir dalam hal ini merupakan pendidikan integral. Pendidikan yang tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, tetapi dengan menjadikan kedua ilmu tersebut agar menjadi utuh atau satu kesatuan yang mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikannya. Tidak ada pemisah antara ilmu umum dan ilmu agama karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah dan sama-sama dibutuhkan bagi peserta didik dalam mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Dalam hal materi pendidikan, antara ilmu umum dan ilmu agama tidak ada yang lebih penting karena keduanya sama pentingnya dalam

pelaksanaan pendidikan. Semua adalah ilmu Allah, tidak bisa jika dibatasi sebab saling berkaitan. Dalam kurikulum sekarang, bahkan baik ilmu-ilmu umum maupun agama dipadukan untuk kemajuan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Natsir juga menekankan pentingnya bahasa dalam pendidikan. Bahasa merupakan pintu menuju dunia luar dan lebih banyak pengetahuan. Jembatan bagi anak bangsa untuk mendapatkan ilmu yang lebih luas, tetapi juga tidak boleh meninggalkan bahasa negeri sendiri. M. Natsir (1954:103) mengatakan:

“Soal bahasa adalah salah satu soal ketjerdasan bangsa jang

terpenting! Bahasa-ibu, bahasa kita sendiri, adalah mendjadi sjarat bagi berdiri tegaknja kebudajaan kita. Akan tetapi kebudajaan jang hidup tidak tjukup hanja dengan tinggal berdiri tegak sadja.

Ia perlu tumbuh, bertambah, berubah, bergerak, „dinamis‟, kata orang sekarang. Dan untuk ini perlu kepada pertukaran „udara‟ perlu kepda tambahan „pupuk‟, perlu kepada tambahan „air‟ jang

mendjadi sjarat hidupnja. Tidak ada kebudajaan djadi hidup baik, apabila ia dikurung dan diikat menurut tradisi berbilang abad. Kebudajaan itu akan hidup, bertambah kekuatannja, akan bangun bibit kemungkinannja jang masih tersembunji, apabila dapat kesempatan berhubungan dengan sumber-sumber kebudajaan diluar lingkungan daerahnja. Satu kebudajaan, hidup dengan