• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu

MULYADHI KARTANEGARA

A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu

Unsur ilmu terdiri dari subyek, obyek dan hubungan antara keduanya. tidaklah dapat dikatakan sebuah ilmu jika salah satu diantara dua hal tersebut tidak dihadirkan. Melainkan sesuatu dapat disebut ilmu apabila adanya hubungan antara subyek (sebagai pengamat) dan obyek (yang diamati). Obyek dapat dibagi menjadi dua, yaitu obyek yang fisik dan obyek metafisik. Obyek yang fisik adalah obyek yang dapat terindera, yakni dapat dilihat, diraba, dicium, terukur, sedangkan obyek yang metafisik adalah sebaliknya.

Epistemologi Islam, sesuai dengan kepercayaan ilmuwan-ilmuwannya kepada dunia metafisik, telah menciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja obyek-obyek inderawi, sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga obyek-obyek metafisik. Di sini terdapat perbedaan mengenai pemahaman teori ontologi yang dianut oleh failasuf Barat dengan teori ontologinya para failasuf Muslim. Kalau di Barat mereka cenderung menolak status ontologis obyek-obyek metafisika dan lebih memusatkan perhatiannya pada obyek-obyek fisik, sedangkan epistemologi Islam masih mempertahankan status ontologis tidak hanya obyek-obyek fisik,

tetapi juga obyek-obyek matematika dan metafiska.1

1

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:

Maka dari itu dalam pembahasan ontologi obyek ilmu tidak terlepas dari pengetahuan tentang Tuhan dan Malaikat yang metafisik, alam meliputi benda-benda langit serta benda-benda-benda-benda bumi termasuk tumbuhan dan hewan non-rasional, dan manusia atau yang biasa disebut hewan rasional.

Telah jelas pemaparan di atas bahwasanya failasuf Muslim meyakini keberadaan status ontologis obyek fisik dan juga obyek metafisik. Dengan demikian epistemologi Islam telah berhasil menyusun “klasifikasi ilmu” yang komprehensif dan disusun secara hierarkis, yaitu metafisika menempati posisi

tertinggi, disusul oleh matematika dan terakhir ilmu-ilmu fisik.2Oleh karena itu

mereka telah menyusun hierarki wujud (martabah al-maujȗdât) yang dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan sebagai puncaknya, kemudian menurun melalui alam tempat manusia hidup dan berkembang.

Mulyadhi Kartanegara sependapat dengan al-Kindȋ mengenai hierarki wujud Tuhan yang memandang Tuhan sebagai sebab pertama (al-‘illah al-ȗlâ). Sebagai sebab pertama, Dia menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain, termasuk alam materiil ini (bumi) adalah sebagai akibat-akibatnya. Jika dilihat dari sudut status ontologis, Tuhan sebagai Sebab Pertama tentu lebih utama dibandingkan status ontologis alam fisik, karena Posisi Tuhan adalah sebagai sebab atau sumber, sedangkan alam materiil hanyalah sebagai akibat atau derivat dari Tuhan. Tentu status sebab akan lebih tinggi dibandingkan akibatnya karena sebab bisa dibayangkan adanya walaupun tidak ada akibatnya, sedangkan akibat

2Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan

tidak bisa dibayangkan adanya tanpa sebab. Oleh karena itu, sekalipun Tuhan bersifat imateriil dalam pandangan failasuf Muslim, akan tetapi pada hakikatnya Dia (Tuhan) lebih riil dari pada dunia yang kasat mata, dan sebaliknya bagi para pemikir Barat sekuler, yang materiillah yang lebih riil, sedangkan yang gaib (imateriil) sering dipandang sebagai ilusi atau delusi.

Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ mengenai keutamaan Tuhan dipandang dari sudut status ontologisnya, yaitu Tuhan sebagai Wâjib al-Wujȗd (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan status ontologis alam sebagai mumkin al-wujȗd (wujud yang mungkin atau potensial). Sebagai wujud yang mungkin dalam arti potensial, alam sangat bergantung keberadaannya pada Wujud Niscaya, dalam arti Wujud Yang Senantiasa Aktual. Tanpa adanya Wujud Yang Senantiasa Aktual, alam sebagai wujud yang mungkin (potensial) akan tetap berada dalam keadaan potensial. Ia memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia bisa mengada hanya apabila ada wujud lain yang telah aktual yang dapat mengubah potensi alam itu menjadi aktualitas. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa Tuhan sebagai Wâjib al-Wujȗd lebih tinggi derajatnya dan status ontologisnya lebih fundamental, karena alam materiil saja dipandang begitu tinggi status ontologisnya oleh pemikir Barat, padahal posisinya ia hanya sebatas akibat, apalagi status ontologis Tuhan

yaitu satu-satunya Sebab Awal keberadaan alam semesta.3

Bukti pertama berdasarkan pendapat bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu. Telah ditunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas dalam badan,

3

waktu dan gerak, yang berarti bahwa alam semesta pasti telah diciptakan.4 Berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan. Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada

yang mencipta dan Sang Pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan.5

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, Tuhan adalah sebagai sumber dari yang ada di alam ini tempat makhluk hidup berpijak, Dialah pencipta langit, bumi beserta isinya. Dengan demikian status ontologis Tuhan lebih unggul dibandingkan dengan yang lainnya.

Selanjutnya, tentang hierarki wujud Malaikat, Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan apa yang dilontarkan oleh al-Fârâbȋ yaitu Malaikat digambarkan sebagai “wujud yang imateriil”, al-Fârâbȋ dan Ibn Sȋnâ menamakan Malaikat sebagai akal, seperti dalam istilah akal aktif (al-‘aql al-fa’âl) yaitu sebutan untuk Malaikat Jibril, ialah yang mengadakan kontak dengan para Nabi ataupun failasuf. Dalam hal ini Mulyadhi Kartanegara juga sepakat dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah cahaya (al-nȗr al-aqrab) sebutan untuk Malaikat pertama yang muncul dengan intensitas cahaya yang karena dekatnya hampir sama dengan Tuhan yaitu sebagai “Cahaya dari segala cahaya” (nȗr al-anwâr).

Kemudian tentang status ontologis para Malaikat, Mulyadhi Kartanegara sependapat dengan failasuf Muslim yang mengatakan bahwa Malaikat memiliki

4George N. Atiyeh, Al-Kindi: Tokoh Failasuf Muslim, diterjemahkan sah dari Al-Kindi: The

Philosopher of the Arabs, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 55.

5A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

status ontologis yang lebih tinggi dan riil dibandingkan alam materi. Mengapa demikian ? yaitu karena pengaruhnya yang besar terhadap pembentukan benda-benda fisik, seperti planet-planet termasuk bumi.

Selanjutnya, pernyataan keunggulan status para Malaikat dibanding alam materi di atas, Mulyadhi Kartanegara setuju dengan sistem falsafah Suhrawardȋ yang berargumen mengenai salah satu jenis Malaikat adalah ide-ide Platonik. Ide-ide Platonik ini dipandang sebagai “prototipe” atau dalam istilahnya arbâb al-ashnâm dari benda-benda yang ada di dunia ini, yang ia sebut ashnâm. Kata arbâb bentuk jamak dari Rabb, biasanya diterjemahkan sebagai Tuhan atau tuan (Lord). Sedangkan kata ashnâm yang arti harfiahnya adalah berhala-berhala merujuk pada benda-benda derivatif sebagai obyek penderita atau “hamba”. Karena “Tuan” pasti mempunyai posisi yang lebih kuat daripada hambanya, demikian juga status ontologis ide-ide Plato (Suhrawardȋ menyebutnya Malaikat), tentu lebih fundamental dan lebih riil dari pada benda-benda fisik. Dapat dikatakan bahwa ide-ide ini mengambil bentuk sebab, sedangkan benda-benda fisik merupakan akibat. Kesimpulannya adalah status ontologis sebab, dalam bentuk apapun akan lebih unggul, riil dan fundamental, dari pada status

ontologis akibat-akibatnya.6

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, status ontologis Malaikat berada di bawah status ontologis Tuhan, akan tetapi lebih tinggi status ontologisnya dibanding dengan status ontologis alam materil.

6

Berikutnya mengenai hierarki wujud benda langit atau benda-benda angkasa. Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan pendapat Suhrawadȋ yang mengatakan bahwa benda-benda angakasa berada pada posisi Middle Occident (Barat Tengah) yang dibedakan dengan posisi entitas-entitas imateriil (yaitu para Malaikat) yang menduduki posisi Oriental (Dunia Timur) di atas mereka, dan dengan posisi benda-benda fisik seperti mineral, tumbuhan dan hewan di bawah mereka yang masuk ke dalam dunia Occident (Barat Murni).

Kemudian Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ yang berargumen benda angkasa memiliki pengaruh besar terhadap benda-benda fisik di bawah bulan. Daya-daya yang berperan dalam mengatur interaksi atau reaksi-reaksi kimiawi dan fisik pada unsur-unsur (dalam istilah modernnya disebut atom-atom dan molekul-molekul) tak lain adalah daya-daya yang diberikan oleh benda-benda angkasa tersebut. Selain itu, karena tidak mungkin ada dinamika dalam alam tanpa gerak-gerak yang dipengaruhi oleh daya-daya benda angkasa, bisa dilihat pentingnya peranan yang dimainkan oleh benda-benda angkasa ini terhadap gerak, dinamika dan perkembangan dinamis alam

semesta selanjutnya.7

Dapat ditarik kesimpulan bahwa, status ontologis benda-benda angakasa tidak lebih tinggi dibanding status ontologis Tuhan dan Malaikat, akan tetapi ia lebih unggul status ontologisnya dari pada status ontologis benda-benda materiil.

Terakhir adalah hierarki wujud benda-benda bumi. Dalam hal ini Mulyadhi Kartanegara sepemahaman dengan al-Fârâbȋ yang mengemukakan

7

macam-macam benda dilihat dari sudut yang terendah sampai yang tertinggi. yaitu unsur-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan non rasional dan hewan rasional (manusia).

Falsafah Islam dalam pemikirannya dipengaruhi oleh falsafah Yunani, seperti Aristoteles, yang membagi unsur-unsur sebagai bagian yang terendah dari hierarki wujud yang berjumlah empat, diantaranya, tanah, air, api dan udara. Keempat unsur ini berpadanan dengan empat sifat utama yang menjadi ciri benda alami, yaitu tunduk pada kejadian dan kehancuran seperti panas dan dingin, basah dan kering. Unsur inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan benda-benda alami lainnya dengan komposisi yang berbeda-beda, yaitu mineral,

tumbuhan dan hewan.8

Penelitian di bidang minerologi atau ilmu tentang benda-benda mineral seperti batu-batuan atau logam-logaman diarahkan pada distribusi, identifikasi dan sifat-sifat dari benda-benda mineral tersebut. Itulah sebabnya, maka di samping berat dan ukuran, penelitian minerologis juga diarahkan pada warna, kecemerlangan, tekstur dan bentuk dari sebuah batu. Juga diteliti peranan batu-batu tertentu dalam menenangkan jiwa atau menimbulka rasa senang atau keadaan psikologis lainnya. Al-Kindȋ menulis dua buku tentang berbagai jenis batu-batuan berharga dan sebuah risalah tentang berbagai jenis batu-batuan dan

permata.9

8

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 36-37.

9

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h. 138.

Obyek batu yang semula hanya menempati bentuk batu yang kasar kemudian karena melalui proses ia dapat berubah menjadi batu yang berharga dan mulia seperti perak, emas bahkan berlian. Dari sini dapat dipahami bahwa semakin halus dan mulia sebuah benda mineral, maka status ontologisnya juga akan semakin tinggi.

Selanjutnya benda-benda alami tumbuh-tumbuhan. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan bisa jadi merupakan evolusi dari dunia mineral. Perubahan evolutif ini dapat dilihat dalam dunia mineral karena perubahan benda-benda mineral yaitu berupa batu-batuan dan logam, dari yang rendah ke arah yang lebih mulia barangkali merupakan proses alamiah yang sangat gradual. Jadi ketika dunia mineral telah sampai pada puncak perkembangannya, perkembangan vertikal alam kemudian berhasil melakukan penerobosan fundamental dengan munculnya jenis makhluk lain yang disebut

tumbuhan.10

Tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu pertama, kemampuan untuk tumbuh (growth). Kedua, menyerap makanan (nutritive faculty). Ketiga,

berkembang biak (reproductive faculty).11Tumbuh-tumbuhan memiliki daya

tumbuh, yakni ia dapat tumbuh dari benih yang kecil hingga berkembang menjadi pohon yang besar dan tinggi, yang mana tumbuhan yang sudah tumbuh besar itu dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, seperti kayunya dapat dijadikan bahan bakar untuk masak, bangunan rumah, perabotan rumah

10

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 38

tangga dan sebagainya. Selanjutnya, daya menyerap makanan, tumbuh-tumbuhan memasok makanan melalui bagian-bagian tertentu seperti akar menyerap air dan pupuk yang akhirnya tumbuhan tersebut dapat menghasilkan buah yang segar. Terakhir daya reproduktif, yaitu bertujuan untuk memperbanyak sekaligus memelihara spesiesnya.

Di samping itu, tumbuh-tumbuhan juga memiliki manfaat medis yang dikenal dengan cabang ilmu kedokteran yaitu farmakologi. Ilmu ini menyelidiki manfaat dan bahaya (racun) dari tumbuh-tumbuhan tertentu bagi kesehatan dan pengobatan tubuh manusia dan bagaimana dari berbagai tumbuhan yang telah diekstrak esensinya diracik sejenis obat tertentu, tentunya melalui berbagai

percobaan (tajribat).12

Dapat ditarik kesimpulan bahwa status ontologis tumbuh-tumbuhan lebih fundamental dibandingkan status benda-benda mineral yaitu karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.

Selanjutnya, benda-benda bumi (alami) hewan. Dunia hewan dibagi menjadi dua macam, yaitu hewan nonrasional yang biasanya disebut hewan pada umumnya, seperti kucing, kambing, sapi. Dan hewan rasional yang disebut manusia. Sebagai wujud yang mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, hewan memiliki daya-daya yang istimewa dibandingkan daya-daya yang dimiliki oleh dunia mineral ataupun dunia tumbuh-tumbuhan.

Hewan memiliki daya penginderaan (sensasi) dan gerak (lokomosi / ḫarakah).13

12

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 140.

Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa al-Jahizh telah meneliti dan mempelajari 350 hewan, melakukan penelitian bukan hanya terhadap pendeskripsian dan pengklasifikasian hewan ke dalam empat kategori menurut cara mereka bergerak. Selain itu al-Jahizh juga telah menjadikan zoologi sebagai sebuah cabang kajian agama, karena menurutnya tujuan mempelajari zoologi tidak lain dari pada menunjukkan keberadaan Tuhan dan kebijaksanaan yang ada

pada ciptaannya.14

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa status ontologis hewan lebih kuat dan lebih tinggi dibandingkan tumbuh-tumbuhan dan juga mineral.

Terakhir adalah hewan rasional atau yang dimaksud adalah manusia. Perbedaan yang fundamental antara hewan-hewan biasa dan manusia terletak pada akalnya (rasio). Dimana dengan akal manusia mampu menangkap informasi yang tidak pernah bisa dilakukan oleh indera manapun, yaitu dengan menanyakan raung, waktu, sebab-akibat dan seterusnya. Yang lebih menonjol lagi adalah kemampuan manusia untuk menangkap makna abstrak, baik dari benda-benda fisik maupun dari ucapan orang lain dan kemampuannya untuk mengomunikasikan pikiran-pikirannya kepada orang lain lewat symbol-simbol verbal ataupun tertulis seperti bahasa. Aspek lain yang menyebabkan status ontologis manusia lebih fundamental dan riil dari pada makhluk-makhluk lainnya adalah kenyataan bahwa akal bersifat imateiil dan bisa survive setelah kematian.15

14

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 141.

Selain itu, manusia juga adalah mikrokosmos (dunia kecil) karena terkandung di dalamnya segala unsur yang ada dalam kosmos, seperti, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan unsur Malaikat dan Illahi. Ide bahwa manusia adalah mikrokosmos yakni terkait erat dengan fakta bahwa manusia

merupakan puncak dari evolusi alam.16

Kesimpulannya adalah status ontologis manusia lebih unggul dibandingkan dengan hewan, hewan lebih kuat dibanding tumbuhan dan tumbuhan lebih tinggi dibanding mineral. Dan menurut falsafah Islam, status ontologis tidak diberikan hanya pada obyek-obyek alami (materiil), tetapi juga pada obyek-obyek imateriil.

Dokumen terkait