• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Obyektivitas Ilmu

MULYADHI KARTANEGARA

D. Kriteria Obyektivitas Ilmu

Mulyadhi Kartanegara berargumen tentang apa yang dimaksud obyektif

adalah sesuai dengan kenyataan.41Di sini yang dimaksud nyata dan riil tidak

hanya pada bidang yang fisik tetapi juga mencangkup pada bidang yang nonfisik. Maka dari itu, ukuran obyektivitas sebuah obyek ilmu tidak bisa hanya diukur dengan kriteria fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan sifat dasar dari obyeknya baik fisik, maupun nonfisik.

Untuk membuktikan penjelasan di atas, Mulyadhi Kartanegara memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Seperti ketika berbicara tentang obyek-obyek fisik, untuk mencapai obyektivitas tidaklah mudah, ketika berbicara tentang obyektivitas pengamatan inderawi. Contoh: berbicara tentang obyektivitas pulpen yang digunakan untuk menulis. Sepintas pulpen yang digunakan itu berwarna abu-abu, namun apakah warna abu-abu itu obyektif dalam pengertian ada di sana secara terpisah dari substratumnya ? Ternyata, jika bagian pulpen itu dibesarkan sampai ratusan atau ribuan kali besarnya melalui mikroskop, tiba-tiba warna abu-abu yang tadi hilang entah ke mana. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar apakah warna abu-abu

pada pulpen tadi obyektif atau subyektif.42Contoh lain, anak-anak Indonesia tentu tidak asing dengan lagu “bintang kecil”, di sana terdapat lirik yang berbunyi “bintang kecil di langit yang biru”, jika berbicara tentang obyektivitas pengamatan inderawi, bintang yang jauh nun di sana jika dilihat dengan mata telanjang benar adanya bahwa bintang tersebut terlihat kecil, tapi apakah itu benar adanya ? dan ternyata tidak, seorang astronom mengatakan bahwa bintang itu sesungguhnya ukurannya besar. Oleh karena itu pengamatan saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai instrumen mengukur obyektivitas sebuah benda fisik.

Dalam kasus ini Mulyadhi Kartanegara juga ingin menjelaskan bahwa untuk mencapai pengetahuan tidak bisa obyek berdiri sendiri melainkan di sana ada juga unsur subyektivitas. Seperti penemuan yang diperoleh dari Ibn Haitsam, dijelaskan bahwa pada masanya telah berkembang dua teori yang sangat membingungkan tentang penglihatan ini. Aristoteles beserta para pengikutnya termasuk al-Kindȋ, menyatakan bahwa seseorang bisa melihat sebuah obyek karena matanya memancarkan cahaya pada obyek tersebut, sedangkan ahli-ahli matematika mengatakan sebaliknya bahwa seseorang bisa melihat suatu obyek karena obyek tersebut memantulkan cahaya pada matanya. Menurut pengakuan Ibn Haitsam kedua teori ini bertahan sama kuatnya. Setelah itu Ibn Haitsam memecahkan masalah ini dengan melakukan eksperimen terhadap cahaya dan pengaruhnya terhadap mata, dan menghasilkan kesimpulan yang akurat bahwa

pendapat yang kedualah yang benar, yaitu bahwa seseorang dapat melihat karena

sebuah obyek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata.43

Mulyadhi Kartanegara mengutip perkataan Rolston yang mengakui bahwa dalam pengetahuan alam, subyektivitas dapat terus ditekan. Namun dengan berkembangnya kecanggihan ilmiah ia jatuh dalam paradoks. Semakin jauh ia mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin tidak bisa melepaskan diri dari subyektivitas. Akhirnya Rolston menyimpulkan bahwa fisika, kimia dan astronomi, yakni tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif, nyatanya tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan

semakin subyektif saja.44

Contoh selanjutnya, anggapan bahwa mata dapat melihat semua benda selama benda tersebut bersifat fisik atau anggapan bahwa seseorang bisa mendengar semua suara selama bukan suara gaib. Namun, penyelidikan ilmiah ternyata membuktikan bahwa seseorang hanya bisa melihat gelombang cahaya dengan frekuensi tertentu. Di luar itu, mata tidak bisa lagi melihat atau mencerapnya. Itulah sebabnya mengapa mata tidak bisa melihat sinar X (X ray), sinar gamma, ultraviolet, inframerah dan sinar kosmik. Demikian juga telinga hanya bisa mencerap gelombang suara yang berfrekuensi dari 15-20.000 hertz per detik sehingga gelombang suara yang berfrekuensi kurang dari rentangan tersebut atau melebihinya tidak bisa ditangkap oleh alat pendengaran. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa gelombang cahaya atau suara yang ada di luar

43

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 95.

44

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 3-4.

frekuensi normal itu tidak ada. Akan tetapi semuanya ada dan bahkan bersifat fisik. Hanya saja alat indera seperti mata dan telinga tidak sanggup mendeteksinya sehingga sepertinya mereka tidak ada atau gaib. Bahkan pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa mata tidak bisa melihat udara,

bahkan ketika udara tersebut telah dipadatkan dalam sebuah tabung transparan.45

Ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subyektivitas sang ilmuwan dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan obyektif, bebas nilai dan

universal.46Pembahasan masalah obyektivias juga berkaitan dengan pengalaman

mistik yang menjadi basis sebuah mistisisme atau dalam kasus Islam disebut sufisme atau tasawuf. Banyak yang berkata bahwa pengalaman mistik tidak bisa dijadikan basis bagi sebuah ilmu, seperti tasawuf karena sifat subyektivitasnya. Tentu saja pengalaman mistik adalah subyektif. Adakah pengalaman manusia yang tidak subyektif ? Bahkan, pengalaman inderawi juga subyektif. Seperti, pengalaman setiap pengunjung sebuah pameran elektronik pasti berbeda satu sama lainnya. Kenyataannya bahwa pengalaman setiap pengunjung pameran tersebut berbeda-beda, tentu merupakan hal yang sangat wajar dan alamiah. Bahkan memang seharusnya begitu. Akan tetapi variasi atau perbedaan pengalaman setiap pengunjung pameran tersebut tidak bisa menghilangkan obyektivitas pameran itu sendiri, serta tempat dan waktu penyelengaraannya. Ini penting dikemukakan karena pernyataan bahwa pengalaman mistik bersifat subyektif sering mengisyaratkan bahwa pengalaman mistik tersebut tidak riil,

45

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h.66.

atau dalam artian lain tidak didasarkan atau dialami di dunia yang sungguh-sungguh ada. Padahal, seperti dalam kasus pengunjung pameran, pengalaman subyektif mereka yang bervariasi tidak mengisyaratkan ketidakriilan ruang dan

waktu (atau dengan kata lain keberadaan) pameran tersebut.47

Dapat disimpulkan bahwa, obyektivitas hendaknya tidak dijadikan kriteria bagi keabsahan sebuah ilmu karena sulit bagi seseorang untuk bisa benar-benar secara mutlak memperoleh obyektivitas yang sama sekali terlepas dari subyektivitasnya. Dapat disadari bahwa obyektivitas memang absolut, betapapun para ilmuwan mengusahakannya adalah tetap sebuah ilusi. Dalam ilmu apapun bidangnya, seyogianyalah diakui adanya unsur subyektif pada bidang-bidang nonempiris, tidaklah berarti bisa begitu saja mengabaikan ukuran-ukuran obyektif yang bisa ditemukan dalam metode-metode ilmiah yang digunakan ataupun basis ontologisnya, yang di dalamnya mereka membangun ilmu dengan bahan-bahan yang ditemukan dan diolah dengan cara yang mungkin terasa pelik

tetapi juga unik.48

47

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 71-72.

48

76

A. Kesimpulan

Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara terkait obyektif ilmu adalah yang sesuai dengan obyeknya yakni obyek fisik dan metafisik. Ukuran obyek ilmu fisik adalah dengan yang fisik dan ukuran obyek metafisik adalah dengan yang metafisik. Tentu status ontologis obyek ilmu nonfisik (metafisik) adalah riil, karena itu bahwa Tuhan sebagai obyek ilmu adalah sah.

Epistemologi Islam dalam mencari pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya meliputi obyek fisik sekaligus juga obyek-obyek nonfisik. Status ontologis sebuah obyek-obyek ilmu berpaduan dengan kedudukannya dalam hierarki wujud. Tuhan adalah sebagai sebab dari segala yang ada menduduki posisi tertinggi pada hierarki wujud. Maka dapat dikatakan bahwa wujud Tuhan itu adalah riil atau nyata, karena jika tidak ada sebab yaitu Tuhan, maka tidak akan ada alam semesta sebagai bentuk dari akibat keberadaan Tuhan.

Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara ingin menunjukkan bahwa epistemologi Islam dengan epistemologi Barat sangatlah berbeda, ia ingin membangunkan masyarakat dari tidur lelapnya dikarenakan pemahaman yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan Islam.

Pengetahuan tentang Tuhan tentu menjadi wajib hukumnya bagi umat Muslim, inilah yang disajikan konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara,

yaitu dalam mencari kebenaran pengetahuan meyakini dengan tiga cara, yakni tajrȋbȋ, burhânȋ, ‘irfânȋ dan bayânȋ. Jika umat Muslim berkiblat dengan epistemologi Barat maka bisa dipastikan mereka akan gagal dalam mengenal pengetahuan tentang Tuhan.

B. Saran-saran

Kontribusi Mulyadhi Kartanegara dalam mengembangkan materi kuliah dari lisan menuju tulisan dengan tema-tema epistemologi telah mampu menghilangkan dahaga ilmu. Dikarenakan kajian epistemologi belum mendapatkan perhatian yang mendalam juga minimnya kajian epistemologi Islam di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus dieksplorasi dari pemikiran Mulyadhi Kartanegara ini, untuk itu kiranya diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan metode dan pendekatan yang lebih tepat terhadap sumber data atau subyek penelitian agar hasil yang diperoleh bisa lebih baik.

78

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

---. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Alfan, Muhammad. Filsafat Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Al-Jabiri, Muhammed ‘Abid. Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Amien, Miska Muhammad. Epistemolgi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.

Anwar, Rosihon. dkk. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. ---. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Bernadien, Win Usuluddin. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Bertens, K. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: PT. Gramedia, 1981.

---. Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Bidin, Elmahsyar, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.

Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Daito, Apollo. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi,

Aksiologi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011. Djalil, Basiq. Logika: Ilmu Mantiq. Jakarta: Kencana, 2010.

Gahral Adian, Donny. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.

---. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

---. dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Diterjemahkan dari History of Islamic Philosophy. Bandung: Mizan, 2003. Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Umum: dari Metologi

sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-2prof-mulyadhi-kartanegara.html, diakses pada tgl: 24 November 2017, Pukul: 14.31

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-12,848, diakses pada tgl: 18 November 2017

Husaini, Adian. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2013.

Jalaluddin. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

K, Baihaqi A. Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik. Jakarta: Darul Ulum Press, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf. Jakarta: Ushul Press, 2009.

---. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

---. Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.

---. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka, 2002.

---. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.

---. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.

---. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.

---. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas. Jakarta: Erlangga, 2007.

Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011. Latif, Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Molan, Benyamin. Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis. Jakarta: PT Indeks, 2012.

Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.

Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Sidharta, B. Arief . Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007.

Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008.

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama, 2014.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994.

Waid, Abdul. Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang diKlaim Barat. Jogjakarta: Laksana, 2014.

Wattimena, Reza A. A. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.

Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Zaprulkhan. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

83

Rusmiyanah lahir di kota Tangerang, 31 Oktober 1993. Mengenyam pendidikan sekolah dasar di SDN Jombang Tengah satu, kemudian melanjutkan

Tarbiyah al-mu’allimin wa al-mu’allimat (TMI) di Pondok Pesantren

Madinatunnajah, Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan. Selanjutnya pada tahun 2013 masuk ke perguruan tinggi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.

Sejak tahun 2010 mengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia, Jombang dan di TPA Al-Hikmah Ciater BSD. Kemudian pada tahun 2017 diberi tanggungjawab lebih untuk mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia. Disamping itu juga mengajar privat untuk mata pelajaran umum dan agama. Di lingkungan masyarakat mengikuti kegiatan Majelis Ta’lim Ikatan Remaja Mushalah (IRMUS) dan sudah menduduki berbagai jabatan, seperti bendahara, sekretaris juga ditunjuk sebagai ketua baik di organisasi tersebut maupun diacara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Maulid Nabi dan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw.

Dokumen terkait