• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Observasi atau Eksperimen

MULYADHI KARTANEGARA

C. Metode-metode Ilmiah

1. Metode Observasi atau Eksperimen

Metode observasi atau eksperimen (tajrȋbȋ) adalah melakukan pengamatan inderawi terhadap obyek-obyek fisik dan percobaan-percobaan ilmiah terhadap fenomena alam baik di arena terbuka maupun di laboratorium-laboratorium yang tertutup. Pengamatan atau observasi inderawi bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu, tetapi kadang perlu alat bantu seperti teleskop untuk benda-benda langit yang jauh, juga mikroskop untuk

benda-benda yang teramat kecil, seperti kuman atau atom.28Hal ini bertujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang obyek-obyek fisik, maka diperlukan cara-cara dan alat-alat bantu bagi indera, dengan begitu pengamatan indera akan menjadi tepat.

Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Haitsam, yang menyatakan bahwa ia sangat memerlukan metode observasi yang khusus yaitu metode eksperimen dan alat-alat bantu bagi indera karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan inderawi, khususnya pengamatan mata. Dalam karangan bukunya yang berjudul Al-Manâzhir (The Optics), di sana ia menunjukkan kelemahan pandangan mata yang ditimbulkan beberapa faktor, seperti jarak, posisi, transparansi, keburaman, lamanya memandang dan juga

26

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 52.

27

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195.

28

kondisi mata. Oleh karenanya, menurut Ibn Haitsam observasi sebagai metode, perlu dibantu oleh metode matematika, Laplace menyebutnya dengan kalkulasi yaitu bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih

akurat.29Kitab yang ditulis oleh Ibn Haitsam dalam tujuh jilid, merupakan

karya optik monumental yang pengaruhnya dapat dilihat dari karya-karya fisikawan dan astronom Barat, seperti Roger Bacon, Vitello dan Kepler. Di mana karya ini membahas tentang teori penglihatan dan yang berkaitan

dengan itu, seperti pelangi, refraksi dan refleksi.30

Selain itu untuk melakukan pengamatan yang lebih akurat dan obyektif terhadap sebuah benda yang fisik dan untuk menghindarkan kesan subyektif dari seorang pengamat, maka para ilmuwan Muslim dan kemudian dilanjutkan serta dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sampai taraf yang begitu canggih, mereka melakukan berbagai pengukuran baik terhadap jarak, seperti kilometer, hektometer, dekameter, meter, desimeter, sentimeter, millimeter. Selain itu ada juga alat untuk mengukur beban, seperti, kilogram, gram, pons dan ons. Tentu saja alat-alat ukur harus diciptakan untuk tujuan pengukuran, sehingga munculah satuan-satuan ukuran dengan alat-alat yang dibutuhkannya seperti timbangan dan meteran. Pada masa modern pengukuran menjadi sangat canggih sehingga dapat mengukur bukan hanya jarak dan beban, tetapi

29

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 53.

30

juga tekanan, misalnya tekanan darah, yang menghasilkan tensometer,

tekanan udara dan barometer.31

Metode ini tentunya diakui kebenarannya oleh semua kalangan baik ilmuwan Muslim maupun Barat. Tidak dapat dipungkiri, pada prakteknya di lapangan panca indera menjadi salah satu faktor mencari pengetahuan yaitu dengan mengamati obyek-obyek fisik. Tetapi bagi failasuf Muslim tidak cukup hanya dengan metode tajrȋbȋ, karena metode ini tidak dapat menangkap obyek yang metafisik melainkan terbatas hanya pada obyek-obyek yang fisik saja.

2. Metode Demonstratif (burhânȋ)

Metode demonstratif merupakan salah satu metode rasional atau logis yang digunakan oleh para ilmuwan dan failasuf Muslim untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Diantaranya dilakukan dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantarai kedua premis tersebut. Dalam ilmu logika metode tersebut disebut silogisme (al-qiyâs). Mengenai tujuan metode demonstratif, Mulyadhi Kartanegara setuju dengan apa yang digambarkan oleh al-Fârâbȋ, yaitu pertama, untuk mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah. Kedua, untuk

melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah. Ketiga, untuk memberi sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan. Alat bantu yang dimaksud al-Fârâbȋ adalah kaidah-kaidah yang hubungannya dengan akal dan pengetahuan yang

sama dengan hubungan kaidah-kaidah tata bahasa dengan bahasa dan lafal.32

Pada metode ini akan diperkenalkan dengan metode silogisme, yaitu penarikan kesimpulan dari premis mayor, premis minor, middle term dan kesimpulan. Mekanismenya adalah sebagai berikut: premis mayor + premis minor + middle term + kesimpulan. Seperti contoh berikut ini:

Semua makhluk yang bernyawa akan mati Kucing makhluk yang bernyawa

Maka kucing akan mati

Baris yang pertama disebut premis mayor, baris kedua disebut premis minor dan baris ketiga disebut kesimpulan. Middle termnya adalah “makhluk yang bernyawa”. Menurut keyakinan para failasuf kesimpulan tersebut niscaya benar dan karena itu berkorespondensi dengan kenyataan, dengan syarat bahwa premis mayor dan minornya merupakan proposisi yang

kebenarannya tidak diragukan.33Menurut Mulyadhi Kartanegara, metode

demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menagkap realitas obyek-obyek yang ditelitinya dengan tepat, karena

telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis.34

Akal memang mampu menangkap obyek-obyek yang metafisik, akan tetapi perlu diketahui bahwa ia bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan

32

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 56.

33

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 190-191.

untuk menangkap realiats metafisik, karena selain akal manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan hati.

3. Metode Intuitif (‘irfânȋ)

Metode intuitif berkaitan dengan intuisi atau hati. Intuisi dapat menangkap obyeknya secara langsung. Obyek-obyek intuisi bersifat abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa dan bahagia. Metode intuitif ini juga bersifat

langsung.35Misalnya, seseorang tahu tentang cinta, tetapi sebelum ia

mengalami sendiri maka pengetahuannya tentang cinta sangatlah artificial atau superfisial, tidak sesunguhnya. Karena tidak ada jalan lain untuk memahami cinta kecuali dengan memahami atau merasakan cinta itu. Contoh lainnya adalah seperti pengetahuan seseorang tentang manis yang dicapai dengan cara mencicipinya, tentu sangat berbeda kualitasnya dengan pengetahuan tentangnya yang diperoleh lewat pelajaran biologi meskipun

dengan membaca buku sampai berhalaman-halaman.36

Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial

(presential) yaitu karena obyek-obyeknya hadir (present) dalam jiwa seseorang, karena itulah modus ilmu seperti ini disebut ilmu ḫudhuri (knowledge by presence). Oleh karena obyek-obyek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, maka dapat dialami dan dirasakan sendiri obyeknya dan dari sinilah muncul istilah dzauqi (rasa). Selain itu, obyek-obyek itu juga bisa diketahui secara langsung karena tidak ada lagi jurang pemisah antara subyek sebagai peneliti dengan obyek-obyek yang diteliti karena di sini telah terjadi

35

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 60.

kesatuan antara subyek dan obyek, yakni antara yang mengetahui dan yang diketahui.37

Perlu diketahui bahwa ilmu ḫudhuri tidak serta merta datang begitu saja, melainkan harus melalui tahapan terlebih dahulu. Seperti dengan cara isti’dâd, yaitu dengan mempersiapkan diri untuk menyongsong iluminasi (pencahayaan) langsung dari Tuhan, yakni dengan membersihkan diri (hati) dari segala kotoran atau dosa dan noda. Untuk bisa menangkap obyek-obyek pengenalan intuitif dengan lebih sempurna, maka kebersihan dan kehalusan lensa hati harus tetap dijaga. Itulah sebabnya berdzikir yang intinya adalah menghapus setiap debu syirik dari dalam hati serta tazkiyat al-nufȗs (pembersihan diri terutama dari egosentrisme) menjadi sangat penting dalam upaya mengenal dengan lebih baik obyek-obyek yang hadir dalam diri. Dengan demikian yang terpenting adalah olah batin atau spiritual, seperti yang dilakukan oleh orang-orang salih, termasuk Nabi dan para wali juga seperti dalam latihan-latihan spiritual (riyadhat al-nafs) yang diselenggarakan dalam tarekat-tarekat.38

4. Metode Bayânȋ

Metode bayânȋ diperlukan untuk menyibak realitas yang lebih dalam dari al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah ayat atau tanda-tanda Allah, di sini metode bayânȋ mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam beberapa kategori, seperti ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat

37

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 65.

dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang bersifat mujmal, zahir dan mubayan. Ayat-ayat zahir dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang musykil dan khafi, sedangkan mubayan dibagi lagi ke dalam mufassar dan nashsh. Kategorisasi ini menunjukkan tingkat kejelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu penanganan yang hati-hati di dalam menafsirkan dan

memahami ayat-ayat tersebut dan tidak boleh semena-mena.39

Oleh karena itu, metode ini tidak diperuntukkan bagi orang awam, melainkan hanya akan ditempuh oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis. Beberapa metode ilmiah tersebut adalah, 1. Tafsȋr, yaitu mengubah redaksi bahasanya dengan redaksi bahasa lain, baik yang sama kedudukannya dalam bahasa Arab atau sepadan pengertiannya dalam bahasa asing. 2. Ta’wȋl, yaitu menjelaskan makna sebuah ayat al-Qur‟an setelah menghilangkan makna eksoterisnya. 3. Tashrȋf, yakni melakukan pengubahan kata yang berimplikasi pada penambahan dan pengurangan. 4. Tafri’, yakni mengembangkan sebuah obyek dengan partisi-partisi atau sub-sub bahasa. 5. Jam’, yaitu menggabungkan yang terpisah dan terakhir. 6. Tafrȋq, yakni

memisah-misahkan hal yang telah terhimpun.40

39

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195.

40

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN

Demikianlah, apabila keempat metode ilmiah di atas digunakan maka obyek-obyek fisik sampai obyek-obyek metafisik dapat diketahui dan ditelusuri.

Dokumen terkait