• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI KARTANEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI KARTANEGARA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Oleh:

RUSMIYANAH NIM: 1113033100068

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

iv

Judul: Konsep Epistemologi Menurut Mulyadhi Kartanegara

Epistemologi Islam Mulyadhi Kartanegara menggambarkan cara pandang pencapaian terhadap ilmu secara luas. Tidak hanya materi epistemologi umum dengan segala keterbatasan-keterbatasannya, melainkan juga epistemologi Islam dengan melihat ketentuan-ketentuan tertentu yang menjadikan epistemologi Islam sebagai pengetahuan yang kompleks. Tidak dapat dipungkiri, epistemologi umum yaitu Barat lebih dikenal dengan baik oleh masyarakat dibanding epistemologi Islam. Jika diamati sesungguhnya epistemologi Islam mampu menyajikan pemahaman lebih mendalam, yaitu dengan menentukan langkah-langkah berikut. Pertama, status ontologis obyek ilmu. Kedua, basis ontologis klasifikasi ilmu. Ketiga, metode-metode ilmiah. Keempat, kriteria obyektivitas ilmu.

Secara umum bentuk epistemologi yang ditawarkan Mulyadhi Kartanegara adalah sikap kritis dan perbandingan terhadap epistemologi Barat dan epistemologi Islam. Ia melihat bahwa epistemologi Barat telah mempengaruhi sistem pendidikan termasuk di negara-negara Muslim yang mana hal tersebut tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Islam yang apabila dibiarkan tentu dapat mempengaruhi keyakinannya. Sebagaimana diketahui epistemologi Islam memandang obyek ilmu lebih luas, yaitu ia mengakui obyek-obyek fisik juga nonfisik. Sebaliknya, berbeda dengan Barat yang memandang obyek ilmu secara sempit yaitu hanya membatasi kajian pada obyek yang fisik saja.

Skripsi ini mengkaji epistemologi Mulyadhi Kartanegara, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui, membahas dan menganalisis secara sistematis pemikiran Mulyadhi Kartanegara demi menjawab sejauh manakah konsep epistemologi menurut pandangannya. Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research.

(7)

ix

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual ... 10

B. Pokok-pokok Pikirannya ... 12

C. Karya-karyanya ... 15

D. Kedudukannya dalam Filsafat Islam………...19

BAB III TEORI TENTANG EPISTEMOLOGI DAN BAGIAN-BAGIANNYA A. Definisi Epistemologi ... 20

B. Obyek Kajian Epistemologi ... 24

C. Sejarah Epistemologi ... 27

D. Aliran-aliran Epistemologi Islam ... 41

1. Burhânȋ ... 42

(8)

x

BAB IV TINJAUAN TERHADAP KONSEP EPISTEMOLOGI

ISLAM

A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu ... 47

B. Konsep Klasifikasi Ilmu ... 57

C. Metode-metode Ilmiah ... 63

D. Kriteria Obyektivitas Ilmu ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 76

B. Saran-saran ... 77

Daftar Pustaka ... 78

(9)

vi

limpahan rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta kepada keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Alhamdulillah, penulisan skrpisi yang berjudul “ Konsep Epistemologi Menurut Mulyadhi Kartanegara”, telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. 2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam)

terimakasih telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan bantuannya.

3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.

(10)

vii

telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

5. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) beserta jajarannya.

6. Teruntuk kedua orang tua penulis Rusdi dan Maryunah, yang tak henti-hentinya memberikan doa, serta bantuan baik moril maupun materil kepada penulis demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendukung dan menyemangati penulis.

7. Para dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas sumber daya dan fasilitasnya.

8. Terimakasih untuk calon imam, Fahrurrozi Wahid, S.Pd. I yang selalu memberikan semangat setiap saat.

9. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat Islam angkatan 2013, Rizka, Fitroh, Puji, Dalilah, Geti, Cici dan teman-teman yang lainnya, atas diskusi dan partisipasinya dalam proses penyelesaian skripsi

10. Terimakasih untuk para pengurus Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia, untuk sarana dan prasarananya serta dukungannya.

(11)

viii ini akhirnya selesai.

Ciputat, 21 Februari 2018

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menyelesaikan permasalahan, kita dituntut untuk berpikir, bersikap, dan bertindak secara obyektif. Pertanyaannya adalah apa itu obyektif ? Apa ukuran atau kriteria sesuatu itu dapat dikategorikan obyektif atau tidak obyektif ? Inilah salah satu masalah utama dalam ranah epistemologi.

Salah satu aliran falsafah, yaitu positivisme berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Menurut posistivisme, sesuatu dapat dikatakan ilmiah jika sesuatu itu dapat terinderawi (terlihat, terdengar, terasa, teraba), dapat

diujicobakan (eskperimen), diukur dan diramalkan.1Sedangkan menurut Alfred

Jules Ayer menyangkut realitas inderawi maka mesti dilakukan observasi atau sekurang-kurangnya mempunyai hubungan dengan observasi. Begitupun sebuah ucapan dapat dikategorikan mempunyai makna jika menunjuk kepada suatu hal

yang sifatnya empiris. Misalnya “keranjang itu berisi 30 buah Mangga”.2Apakah

pernyataan tersebut benar ? Untuk mendapatkan benar atau tidak benarnya, maka diperlukan observasi dan verifikasi. Jika setelah diobservasi dan diverifikasi ternyata jumlah mangganya cuma 20 buah, maka pernyataan yang menyatakan

1

Keterangan lebih lanjut tentang positivisme lihat buku Filsafat Agama 1, oleh Amsal Bakhtiar, diterbitkan di Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 114. Dan buku Filsafat Ilmu dan Ilmu

KeIslaman, oleh Biyanto, diterbitkan di Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, h. 257.

2

(13)

bahwa keranjang itu berisi 30 buah Mangga menjadi tidak benar. Sebaliknya jika setelah diobservasi dan diverifikasi ternyata jumlah Mangganya 30, maka pernyataan itu benar. Benar dan tidak benarnya sesuatu mesti bersesuaian dengan fakta. Dalam epistemologi, kebenaran yang didasarkan pada fakta dilapangan

disebut korespondensi.3

Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Pengetahuan (knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan dan ilmu (science) merupakan salah satu cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakekat keilmuan dan sekaligus yang membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya. Karakteristik

keilmuan menjadikan pengetahuan menjadi bersifat ilmiah.4

David Hume berpendapat bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan inderawi. Hal ini mendorong kita bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan, diperlukan adanya pengalaman. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan kebenaran akan pengetahuan, diperlukan penelitian di lapangan, observasi, percobaan, agar manusia dapat mengetahui

berbagai hal.5Comte meyakini bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah

pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Ia mendepak metafisika dengan keyakinannya bahwa segala sesuatu yang dapat manusia ketahui adalah apa yang

3

Keterangan lebih lanjut soal korespondensi lihat buku Integrasi Ilmu Agama dan Umum:

Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan ditulis oleh Masri Elmahsyar Bidin, M. Syairozi Dimyati,

DKK, diterbitkan di Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003, h. 12.

4

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), h. 1.

5

(14)

tertangkap pancaindra. Para metafisikus yang bersibuk di kursi goyangnya mencoba mereka-reka kemutlakan semesta dipandang sebelah mata oleh Comte. Menurutnya, para failasuf spekulatif tersebut belum mencapai tahap kedewasaannya yaitu pada falsafah positif. Positivisme sangat menekankan ilmu

pengetahuan atau ilmu positif sebagai puncak perkembangan manusia.6

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, kiranya dapat ditarik pemahaman bahwa sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu bersesuaian dengan fakta di lapangan. Dengan kata lain, pengalaman inderawi dilihat sebagai sarana paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Melalui indera-indera seseorang dapat berhubungan dengan dan mencerap berbagai macam obyek di luar dirinya. Penekanan kuat pada kenyataan ini dikenal dengan nama realisme (hanya

kenyataan atau sesuatu yang sudah menjadi faktum dapat diketahui).7Jadi, dalam

empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris

yang diperoleh dari panca indera.8

Jika rumusan obyektivitas ilmu pengetahuan didasarkan semata-mata pada hal-hal yang empiris, maka disinilah muncul persoalan yang sifatnya sangat serius, yakni menyangkut keberadaan Tuhan. Sebagai Muslim, Tuhan ditempatkan sebagai dzat yang tertinggi. Dan keberadaan Tuhan tidak dapat diempiriskan. Karena itu jika kita menggunakan rumusan kaum positivisme, maka keberadaan

6

Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai

Thomas Kuhn, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 65.

7Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 43-44. 8

(15)

Tuhan menjadi tidak ada, karena Tuhan tidak dapat terinderawi, terukur dan terujicobakan. Kebenaran metafisika dianggap tidak obyektif.

Sebagai umat Muslim meyakini keberadaan Tuhan hukumnya adalah wajib, yaitu bisa dicapai melalui pengetahuan. Sebagaimana Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Al-qur’an adalah kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Hal ini seperti tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Misal, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan dengan perintah membaca (Iqra’) dan menulis yang disimbolkan dengan “pena”

(qalam).9Perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui wahyu pertama yang

diterimanya tersebut adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”, dan dari sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan tetapi

juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah.10

Tentu saja sebagai Muslim tidak sepakat dengan pandangan kaum positivisme. Pertanyaannya adalah kalau begitu apakah ada kriteria lain menyangkut obyektivitas ilmu pengetahuan ? Menurut perspektif falsafah Islam, obyektivitas ilmu itu tidak semata-mata didasarkan pada empiris semata. Ibn Sȋnâ dan Mulla Shadra misalnya, beliau berpendapat selain indera dan akal sebagai alat utama penelitian ilmiah, failasuf Ibn Sȋnâ masih mengakui adanya daya lain yang dimiliki manusia, yaitu hati (intuisi) yang disebutnya al-hads al-qudsi (intuisi

9

Adian Husaini, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 27-28.

10C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari, (Jakarta:

(16)

suci), yang dimiliki oleh para nabi dan sampai taraf tertentu oleh para wali (Sufi).11

Mulyadhi Kartanegara adalah Salah seorang yang menolak pandangan Barat tersebut. Beliau berpendapat bahwa mestinya obyektif itu artinya sesuai dengan obyeknya. Namun, karena yang nyata atau riil itu tidak hanya yang fisik, tetapi juga, paling tidak menurut para failasuf Muslim, yang non fisik, maka ukuran obyektivitas sebuah objek ilmu tidak bisa hanya diukur dengan kriteria fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan sifat dasar dari

obyeknya yang bisa fisik tetapi juga bisa non fisik.12

Dalam konteks inilah pentingnya menggali pemikiran Mulyadhi Kartanegara lebih lanjut, karena itu penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan epistemologi sebagai judul.

Sisi lainnya kenapa mesti perlu mengangkat pemikiran epistemologi Mulyadhi Kartanegara adalah tentang status ontologis obyek-obyek baik yang fisik maupun yang metafisik.

Para failasuf Muslim mempercayai status ontologis obyek-obyek metafisika seperti wujud sebagai wujud, Tuhan, Malaikat, akal dan jiwa, maka pengetahuan tentang obyek-obyek metafisika ini sebagaimana adanya adalah

sesuatu yang mungkin secara filosofis.13Untuk mengetahui obyek-obyek ilmu

sebagaimana adanya, seseorang bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur

11Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2003), h. 86.

12

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 64-65.

13

(17)

yang diambil oleh seorang ilmuwan untuk sampai pada pengetahuan tentang

sebuah obyek sebagaimana adanya.14Seperti peristiwa kenabian, menurut para

failasuf Muslim, tak lain adalah kontak Nabi dengan akal aktif, sedangkan dalam doktrin failasuf mereka, kontak dengan akal aktif merupakan pengalaman normal yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang telah mencapai tingkat akal Mustafad, yakni para failasuf. Bedanya adalah kalau para failasuf mencapai kontak tersebut melalui usaha yang keras dan melalui daya intelektual manusia, Nabi memperoleh kontak tersebut tanpa usaha dan melalui daya yang luar biasa istimewanya yang

dianugerahkan oleh Allah.15

Keyakinan para ilmuwan Barat / modern akan status ontologis obyek-obyek tidak didasarkan pada kenyataan bahwa mereka dapat dicerap oleh indera, sedangkan obyek-obyek non-fisik tidak. Tetapi mereka lupa bahwa dengan ketundukannya kepada “kejadian” (generation) dan “kehancuran” (corruption), maka alam fisik tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Itulah sebabnya maka menurut para pemikir Muslim alam membutuhkan agen lain yang lebih tetap sebagai “pencipta” dunia fisik ini. Tentu saja sebagai “pencipta” (atau “sebab pertama” dalam istilah falsafah), status ontologis sang Sebab akan lebih fundamental dari pada status ontologis akibat-akibatnya, yakni alam fisik ini. Kalau alam fisik ini sebagai akibat dari sebab pertama , sudah memiliki tingkat obyektivitas atau status ontologis yang begitu nyata, maka apalagi status ontologis pencipta, sebagai sebab primernya. Tentu ia akan jauh lebih sempurna dan lebih

14Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 51. 15

(18)

fundamental. Indikasi ketergantungan alam fisik pada sebab pertama, dapa dilihat misalnya dari sebutan yang diberikan Suhrawardi kepada alam sebagai al-faqȋr (yang membutuhkan) yaitu membutuhkan sebab pertama yang disebut al-Ghanȋ

(yang berdiri sendiri) dan tidak membutuhkan yang lain untuk keberadaan-Nya.16

Dalam konteks inilah saya merasa perlu mengangkat tema “Konsep Epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara” yang akan saya jadikan sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan sebuah hasil yang sistematis dan agar masalah tidak melebar dalam pembahasannya, pengaji merasa perlu memberikan batasan dan perumusan masalah terhadap obyek yang dikaji. Adapun batasannya adalah mengenai epistemologi Islam: telaah terhadap obyektivitas ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara dari Tahun 2002 – 2009. Sedangkan perumusannya adalah:

1. Bagaimana konsep epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara ? 2. Bagaimana obyektivitas menurut Mulyadhi Kartanegara ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah pengaji rumuskan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Mengetahui dan memahami pandangan Mulyadhi Kartanegara Tentang epistemologi

16

(19)

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi koleksi khazanah ilmu pengetahuan yang bermanfaat 2. Memberi wawasan kepada para pembaca tentang penjelasan

epistemologi

3. Secara akademis penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna meraih gelar sarjana Strata satu (S1).

D. Metode Penelitian

Dalam Penulisan skripsi ini, pengaji menggunakan kajian kepustakaan (library research), suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan secara sistematis dan analisi dengan bantuan dari berbagai macam sarana yang terdapat di ruang pustaka. Adapun buku-buku yang menjadi sumber primer dalam hal ini tentunya buku karangan Mulyadhi Kartanegara yang memuat pembahasan tentang epistemologi Islam. Sedangkan sebagai bahan penunjang adalah sumber sekunder yaitu diambil dari buku-buku yang terkait dengan pokok pembahasan ini. Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah metode analisis deskriptif analisis. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan memaparkan secara obyektif pemikiran Mulyadhi Kartanegara seputar epistemologi Islam berdasarkan referensi yang digunakan.

Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,

(20)

2007. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka pengaji mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II adalah mengandung isi biografi dan latar belakang intelektualnya, pokok-pokok pikirannya, karya-karyanya dan kedudukan Mulyadhi Kartanegara dalam filsafat Islam.

Bab III menjelaskan tentang teori epistemologi dan bagian-bagiannya. Sekilas akan dibahas mengenai definisi epistemologi, obyek kajian epistemologi, sejarah perkembangan epistemologi dari masa ke masa serta aliran-aliran epistemologi Islam.

BAB IV adalah pemikiran Mulyadi Kartanegara mengenai epistemologi. Dalam bab ini menyangkut pembahasan tinjauan terhadap konsep epistemologi yaitu konsep status ontologis obyek ilmu, konsep klasifikasi ilmu, metode-metode ilmiah dan kriteria obyektifitas ilmu. Dan BAB V adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran, daftar pustaka serta riwayat hidup peneliti.

(21)

10

BAB II

BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA

A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual

Mulyadi Kartanegara lahir di Tangerang pada tanggal 11 Juni 1959. Ia adalah seorang guru besar falsafah lulusan University of Chicago. Berkat keilmuwannya saat ini beliau mengajar mata kuliah falsafah di berbagai perguruan tinggi, diantaranya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; Program Pascasarjana UIN Jakarta; Islam College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta; Universitas Paramadina Jakarta. Pada tahun 2001-2003 beliau juga pernah menjadi Direktur Pelaksana Program Pascasarjana Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya

Universitas Gajah Mada.1

Mulyadhi Kartanegara mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok Tangerang dan melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang juga. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP) IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984. Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East Studies, The University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas dasar beasiswa dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California dan Fullbright Foundation. Hingga akhirnya program Master berhasil diraihnya pada

1Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h.

(22)

tahun 1989 dengan thesisnya yang berjudul “The Mistical Reflection Of Rumi”. Begitu juga dengan gelar Doktornya yang ia raih di universitas yang sama dan mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dari Department of Near Eastern Languages and Civilization (NELC), The University of Chicago (1996). Sekarang ia menjadi guru besar falsafah Islam lulusan Chicago yang menjabat sebagai staf ahli pada Yayasan Madania, serta sebagai dosen di berbagai universitas dan perguruan tinggi ternama di Indonesia. Kini ia juga aktif sebagai direktur di Center

of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta.2

Beberapa posisi akademik yang pernah dijabat oleh Mulyadhi Kartanegara diantaranya:

1. Wakil Direktur Pasca Sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000-2001).

2. Eksekutif Direktur di Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001-2003).

3. Direktur di Pusat Kajian Epistemologi Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2008-sekarang).

4. Professor Filsafat Islam dan Mistisisme di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dosen Filsafat Ilmu dan Etika Islam di Universitas Paramadina, Jakarta.

2

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-12,848, diakses pada tgl: 18 November 2017, Pukul: 22.10. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia

(23)

6. Dosen Filsafat di Swiss-German University BSD, Tangerang.

7. Senior Visiting Professor di ISTAC, Kuala Lumpur.3

B. Pokok-pokok Pikirannya

Dilihat dari berbagai karya-karya Mulyadhi Kartanegara, di sana terlihat bahwa ia ingin menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada khalayak pembaca guna diaktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bagaimana bersikap terhadap diri sendiri, masyarakat, alam semesta dan pencipta alam yaitu Tuhan. Diantaranya:

1. Etika

Dalam beberapa tulisannya Mulyadhi Kartanegara menuliskan tentang apa itu etika. Menurutnya etika adalah termasuk ke dalam salah satu cabang ilmu-ilmu praktis yang mana sasaran ilmu-ilmu praktis adalah tindakan manusia, bukan sesuatu, yang memiliki tujuan bagaimana mengarahkan tindakan manusia ke arah yang benar, sehingga ia menjadi orang yang baik. Di sini, etika mengajarkan kepada kita untuk menjadi sebaik-baiknya individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dikatakan, apabila sebuah masyarakat manusia sudah baik individunya, keluarganya dan masyarakatnya, maka ia akan menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Ia juga

3http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf, diakses pada tanggal: 21 Desember

2017, Pukul: 21.47. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia

(24)

mengutarakan bahwasanya etika berkaitan dengan psikologi yang membahas tentang tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari kejiwaan seseorang, karena tingkah laku itu adalah ekspresi apa yang manusia rasakan dalam jiwanya.

Ajaran tentang etika memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Dalam bukunya ia mengutip pendapat dari Nashir al-Din Thusi menyatakan, bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila sesuatu atau seseorang telah mencapai kesempurnaannya, yakni mencapai tujuan penciptaannya. Dan karena kebaikan adalah tujuan akhir dari sesuatu, maka kebaikan merupakan

kesempurnaannya.4Di sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya

kebaikan pada akhirnya akan sama dengan kebahagiaan. Jika seseorang dapat berbuat baik kepada siapapun di muka bumi ini dan menyadari dirinya akan kehadiran Tuhan, maka disitulah ia akan mencapai kebahagiaan yang hakiki. 2. Tasawuf

Mulyadhi Kartanegara menyatakan dalam bukunya bahwa Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarrub ila Allah). Lalu dengan cara apa ? yaitu dengan cara ibadah melakukan kontak dengan sumber dan terus berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka manusia boleh berharap mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Tuhanlah tempat kembali dan Ia adalah asal dan kampung halaman manusia yang sesunguhnya. Hal ini sudah tertera di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 156

4Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf, (Ciputat: Ushul Press, 2009), h.

(25)

َ نوُعِج َٰ ر َِهْي لِإ َ اَّنِإ و ََِّ ِلِل اَّنِإ

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah

kami kembali”.

Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga mengajarkan manusia untuk mencintai makhluk ciptaan Tuhan. Perlu diketahui, alam bukan hanya obyek mati yang bisa dieksploitasi semaunya atau sebebas-bebasnya tanpa respek, karena sesungguhnya alam adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk menyinta dan dicinta. Di sini tasawuf dijadikan sarana bagi penyadaran

atau pencerahan akan hakikat alam semesta, sehingga dapat

memperlakukannya secara santun dan penuh cinta.5

3. Islamisasi Ilmu

Dikatakan bahwa munculnya upaya Islamisasi sains yaitu disebabkan adanya sekularisasi terhadap ilmu seperti yang terjadi di Barat. Akibat dari sekularisasi tersebut yaitu dapat menimbulkan ancaman-ancaman bahkan serangan-serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar-pilar kepercayaan kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar dunia. Maka dari itu Mulyadhi Kartanegara merasa perlu untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan perlu melindunginya yakni dengan cara islamisasi yaitu dengan mengambil bentuk naturalisasi. Islamisasi sains merupakan sebuah proses di mana ilmu yang diperoleh dari Barat diadaptasi dan diasimilasi kembali ke

5

(26)

dalam nilai-nilai budaya dan religius Islam. Islamisasi sains bukanlah sebuah upaya pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis, melainkan ia bekerja pada tingkat epistemologis yang meliputi pembahasan tentang status ontologis objek-objek ilmu, sistem klasifikasi ilmu yang meliputi ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika, serta metode ilmiah yang meliputi metode

eksperimen (tajrȋbȋ), demonstratif (burhânȋ) dan intuitif (‘irfânȋ).6

Dari pemaparan di atas, Penulis menyimpulkan agar tidak ada pemisah antara ilmu dan agama. Jika demikian maka dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Apabila terdapat ilmu yang mempunyai prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama maka harus disikapi secara kritis. Sebaliknya, jika ada ilmu yang bersifat positif maka harus dihargai. Karena sudah sepatutnya bagi mereka yang telah menuntut ilmu ia dapat lebih mengenal dan dekat kepada Tuhan, semakin tinggi ilmunya maka rasa cinta terhadap Tuhannya juga semakin meningkat. Karena sesungguhnya agama adalah bagian dari ilmu. Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhan-Nya.

C. Karya-karyanya

Mengenal Mulyadhi Kartanegara tidak akan lengkap hanya dengan melihat biografinya. Mengetahui pemikirannya dari karya-karyanya sangat penting untuk bisa membuka pengetahuan kita tentang sosoknya. Mulyadhi Kartanegara telah

6Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:

(27)

menulis sejumlah buku dalam rangka mengembangkan pemikirannya dan juga membagikan setiap ilmu yang dimilikinya.

Mulyadhi Kartanegara adalah seorang penulis yang mumpuni, di mana terdapat waktu luang maka ia manfaatkan dengan baik menuangkan isi pikirannya ke dalam tulisan, contohnya, ia pernah berkata di hadapan mahasiswanya ketika jam mata kuliah berlangsung bahwasanya ia berusaha mampu menulis di manapun ia berada, misalnya ketika berada dalam perjalanan menuju universitas di dalam mobil kata demi kata ia torehkan di buku catatannya, selain itu ia juga senang menulis di malam hari saat yang lain terlelap dalam tidurnya.

Berikut ini adalah karya-karya Mulyadhi Kartanegara, yaitu:

1) Renungan Mistik Jalan al-Din Rumi, diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1986.

2) Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 2000.

3) Menembus Batas Waktu: Panorama Falsafah Islam, diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2002.

4) Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2003.

5) Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, diterbitkan oleh Teraju pada tahun 2004.

6) Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat Menulis Efektif-Kreatif, diterbitkan oleh Mlc pada tahun 2005.

(28)

tahun 2005.

8) The Best Chicken Soup Philosopher, diterbitkan oleh Hikmah pada tahun 2005.

9) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2006.7

10) Sejarah Falsafah Islam (Translation of Majid Fakhry’s A History of Islamic Philosophy), diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1986.

11) The Mystical Reflections of Rumi (tesis master), pada tahun 1984. 12) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, diterbitkan oleh BI pada tahun 2006. 13) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam (Lentera Hati),

diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2006.

14) Nalar Religius: Mengenal Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007.

15) Islam Bagi Yang Ingin Tahu, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007. 16) Falsafah Islam, Tasawuf dan Etika, diterbitkan oleh Ushul Press pada tahun

2009.

17) Sains dan Matematika dalam Islam, diterbitkan oleh Ushul Press pada tahun 2009.

18) Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modernitas, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007.

19) Pengantar Studi Islam, diterbitkan oleh UIN Press pada tahun 2010. 20) The Essentials of Islamic Epistemology

(29)

21) Terjemahan the Venture of Islam 1, diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1999.

22) Terjemahan the Venture of Islam 2, diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 2002.

23) Muslim Scholars and Heroes, Chicago.

24) The Mukhtasar Siwan al-hikmah of Umar b. Sahlan al-Sawi, disertasinsaya dalam bahasa Arab pengantar Inggris, tentang kata- kata hikmah. , (desertasi) pada tahun 1996.

25) Para Pemikir dalam Tradisi Ilmiah Islam

26) Menyelami Lubuk Tasawuf, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2006. 27) Rasail Ikhwan al-Shafa’, buku 3

28) Rasa'il Ikhwan al-Shafa' buku 4 29) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku

30) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku 6.8

31) Pengantar Ilmu Kalam, diterbitkan oleh Masjid Sunda Kelapa pada tahun 2009.

32) Tiara, Sebuah Nyanyian Cinta (belum terbit). 33) Dua Sisi Kehidupan (belum terbit).

34) Pengantar Psikologi Islam (belum terbit).9

8Artikel diakses pada 24 November 2017 dari

http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-prof-mulyadhi-kartanegara.html. Ditulis oleh Fikri. Tentang daftar Buku Mulyadhi Kartanegara.

9Artikel diakses pada 21 Desember 2017 dari

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf. Ditulis oleh Hajar Mutahir, skripsi tentang

Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan

(30)

D. Kedudukan Mulyadhi dalam Falsafah Islam

Menurut Kusen, sebagaimana mengutip pendapat Haidar Bagir disampaikan secara langsung bahwa Mulyadhi Kartanegara adalah satu-satunya ilmuwan Muslim Indonesia yang secara linier konsisten pada falsafah Islam. Sedangkan Cak Nur beralih ke falsafah Politik dan Komarudin Hidayat beralih pada psikologi.

(31)

20

A. Definisi Epistemologi

Istilah epistemologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cabang ilmu falsafah tentang dasar-dasar dan batas-batas

pengetahuan.1Selanjutnya, Menurut Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus,

ditinjau dari segi etimologi Epistemologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu atau informasi. Dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan.

Adakalanya disebut “teori tentang ilmu pengetahuan”.2

Sedangkan menurut terminologinya, epistemologi berarti ilmu falsafah tentang pengetahuan atau

falsafah pengetahuan.3Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F.

Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakannya dengan cabang falsafah

lainnya yaitu ontology.4

Selanjutnya, Harun Nasution berpendapat dalam bukunya Falsafat Agama, epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan

dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.5Sedangkan, A. Susanto

mendefinisikan epistemologi sebagai cabang falsafah yang mempelajari asal

1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 234.

2Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 212.

3

Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Falsafah Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 2.

4Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,

2014), h. 31.

5

(32)

mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.6Di sisi lain, Jalaluddin dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan berpendapat bahwa epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengacu kepada proses. Dalam pandangan epistemologi, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan

penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia.7Kemudian Mukhtar

Latif dalam bukunya Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu mengatakan, epistemologi merupakan salah satu cabang falsafah yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan atau dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin falsafah yang secara khusus hendak

memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.8Selain itu, Inu Kencana

Syafiie dalam bukunya Pengantar Filsafat berargumen bahwa epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran

ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.9Terakhir Amsal Bakhtiar dalam

bukunya Filsafat Ilmu berpandangan epistemologi adalah cabang falsafah yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan

mengenai pengetahuan yang dimiliki.10

6A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan

Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 102.

7Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 166.

8Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014), h. 197.

9Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 10.

10

(33)

Jika dilihat dari penjelasan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu pengetahuan, mulai dari cara memperolehnya, melaui proses-proses hingga menjadi pengetahuan yang ilmiah yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan diakui masyarakat.

Sebagai cabang ilmu falsafah, epistemologi bermaksud mengkaji dan

mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.11

Menurut Surajiyo epistemologi membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah kriterianya ? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam

mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?.12

Epistemologi atau falsafah pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat

11Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), h. 63.

12Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,

(34)

dipertanggungjawabkan secara nalar. Selanjutnya, normatif adalah menentukan norma atau tolok ukur dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran

bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak

mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia

mengetahui.13

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Menurut AR Lacey, untuk menemukan kebenaran maka perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menemukan kebenaran dari masalah

2. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran 3. Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran

4. Falsification atau operasionalism (experimental operation, operation research)

5. Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran 6. Metode hipotetico-deduktif

7. Induksi dan presuposisi / teori untuk menemukan kebenaran fakta.14

Untuk mencapai kebenaran tersebut tentu memerlukan alat-alat pengetahuan yaitu dapat diperoleh melalui pengalaman data-data indera, benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau

benda-benda fisik.15

13J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Falsafah Pengetahuan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), h. 18-19.

14Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu

Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 78.

15Apollo Daito, Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,

(35)

Pembahasan tentang epistemologi (teori tentang ilmu pengetahuan) dimulai dengan penjelasan tentang definisi sains, ilmu dan opini. Ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sains dalam epistemologi dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara sains dipandang sebagai sembarang pengetahuan yang terorganisasi (any organized knowledge) Ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Ilmu bukanlah sembarang pengetahuan atau opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu tidak jauh berbeda dengan sains, hanya saja sains dibatasi pada bidang-bidang fisik atau inderawi, ilmu melampauinya pada bidang-bidang-bidang-bidang non fisik,

seperti metafisika.16

Dari pengertian di atas, pembahasan epistemologi kali ini lebih luas tidak hanya berkutat pada aspek yang fisik tetapi juga pada yang metafisik.

B. Obyek Kajian Epistemologi

Obyek kajian epistemologi terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu pengetahuan, logika dan metode.

1. Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)

16Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,

(36)

itu.17Di sisi lain Basiq Djalil mengatakan bahwa ilmu adalah suatu lafadz yang mempunyai pengertian ganda, pertama, berarti apa yang diketahui (Al-ma’rifah), yaitu dipercayai dengan pasti dan sesuai dengan kenyataan yang muncul dari satu alasan argumentasi yang disebut dalil. Kedua, yang berarti gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu, Seperti kuda, kambing, kucing. Dengan menyebut atau mendengar lafadz tertentu, dengan sendirinya muncul gambaran pada akal. Lafadz yang ada

gambaran dalam akal ini disebut tasawur.18

Pengetahuan, kata dasarnya adalah tahu, mendapatkan awalan dan akhiran pe dan an. Imbuhan pe-an berarti menunjukkan adanya proses. Jadi menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan. Sebagai salah satu bidang falsafah, masalah ini dipersoalkan secara khusus dalam epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, episteme

berarti pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya.19

Mohammad Adib memberikan definisi ilmu pengetahuan yaitu suatu pengetahuan tentang obyek tertentu yang disusun secara sistematis

sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu.20

2. Logika

Logika adalah cabang falsafah yang mempelajari kegiatan

berpikir manusia.21Selanjutnya Mundiri dalam bukunya yang berjudul

17

Baihaqi A. K, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2012), h. 9.

18Basiq Djalil, Logika: Ilmu Mantiq, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 1.

19Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu

Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), 48-49.

(37)

logika, menerangkan bahwa logika berasal dari bahasa latin yaitu logos yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja națaqa yang berarti berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari seseorang

sering mendengar ungkapan seperti, alasannya tidak logis,

argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Di sini yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal dan tidak logis berarti tidak masuk akal.22

Logika di sini adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk menguji dan membedakan penalaran yang tepat dari

penalaran yang tidak tepat.23Kesimpulannya adalah bahwa logika ialah

alat untuk berpikir bagi manusia. 3. Metode

Secara etimologis, kata metodologi diderivasi dari kata method yang berarti cara, dan logy atau logos berarti teori atau ilmu. Jadi kata metodologi mempunyai arti suatu ilmu atau teori yang membicarakan cara. Anthony Flew yang dikutip oleh Wardi Bachtiar, mengatakan bahwa metodologi adalah suatu kajian tentang cara, yang dalam kajian kajian itu dibicarakan prosedur-prosedur, tujuan dari ilmu itu sendiri dan jalan yang harus dilakukan yang dengan jalan itu, ilmu itu dapat disusun.

Jadi metodologi adalah suatu proses dalam mencapai tujuan.24

21

B. Arief Sidharta, Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), h. 3.

22Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 1-2.

23

Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 1-2.

(38)

Selain itu, Wardi Bachtiar dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah berpandangan bahwa, metodologi penelitian atau metodologi riset dalam bahasa inggrisnya disebut science research method. Metodologi berasal dari kata methodology, maknanya ilmu yang menerangkan metode-metode atau cara. Penelitian adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research yang terdiri dari kara re

(mengulang) dan search (pencarian, pengejaran, penelusuran,

penyelidikan atau penelitian), maka research berarti berulang melakukan pencarian. Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil

kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.25

Sebagai suatu ilmu, metodologi merupakan bagian dari perangkat disiplin keilmuan yang menjadi induknya. Hampir semua ilmu

pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri.26

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa metodolgi adalah teori tentang cara atau metode untuk mendapatkan pengetahuan.

C. Sejarah Perkembangan Epistemologi

Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, segala sesuatu terkait permasalahan kehidupan manusia, relatif mudah dipecahkan dengan cara langsung minta pendapat dari Nabi, atau langsung merujuk pada al-Qur‟an. Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa khalifah

25

Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), h. 1.

26

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 61.

(39)

Utsman bin Affan, semakin banyak kaum mawali (orang non-Arab masuk Islam). Perluasan wilayah kekuasaan Islam disamping membawa citra positif bagi perkembangan dakwah, namun juga menimbulkan rasa kuatir akan timbulnya kesalahan bacaan dan kesalahan pemaknaan terhadap sumber pokok syariat Islam (al-Qur‟an). Dalam upaya menjaga kemurnian al-Qur‟an, maka dipandang perlu melakukan pembakuan aturan-aturan bayân (penjelas). Oleh banyak kalangan, Imam Syâfi‟î (150-204 H/767-812M) dianggap

sebagai peletak dasar aturan-aturan bayân Warisan ilmu dari Imam Syâfi‟î

yang bercorak bayâni itu ialah al-ushûl al-fiqh (azas-azas jurisprudensi). Salah satu bentuk azas al-ushûl al-fiqh itu ialah al-qiyâs (analog).

Al-qiyâs pada hakekatnya dimaksudkan sebagai cara pembenaran terhadap dalil naqli selaras dengan penjelasan akal atau setidak-tidaknya dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Ini berarti, metode bayâni tidak lagi sebatas bagaimana menjelaskan kata-kata sulit yang ada dalam al-Quran, tetapi telah bergerak merambah bagaimana memahami nash bersesuaian dengan kebenaran akliah. Dalam konteks inilah kemudian metode bayâni dimaknai sebagai metode ilmu yang ditopang oleh dua pendekatan, yaitu: berpegang pada lafadz (redaksi ayat) dengan menggunakan kaidah bahasa Arab (nahw/Sharf) sebagai alat analisis, dan menggunakan al-qiyâs (Al-Jabirî 1991; h.530).

Al-Qiyâs yang semula diterapkan untuk memahami fiqh (hukum Islam), oleh para mutakalimin dijadikan pendekatan memaknai ayat-ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan persoalan-persoalan ‘ilm kalâm (teologi). Dengan kata lain, qiyâs diterapkan untuk istidlal bi al-syahid ‘ala ghaib

(40)

(penalaran yang berangkat dari hal nyata, untuk mengukuhkan hal ghaib). Karena corak qiyâs yang demikian itu, metode ilmu yang terdapat dalam ‘ilm kalâm dinamakan al-qiyâs al-jadaly (dialektis). Dan pengetahuan yang dihasilkannya dari metode pendekatan al-qiyâs al-jadaly (dialektis) tak terlepas dari hubungan erat antara ilmu, iman dan kebebasan manusia. Hal demikian tercermin misalnya dari pemikiran Abd Al-Jabbâr (salah satu tokoh terkemuka di Mu‟tazilah). Seperti yang dinyatakannya:

تع لاا سنج نم هن ا : ملعل ا ا ه ى تىنو هىج ىىلع ىىع ,هىب هى اىم ىىلع ءيشلاب قلعت ىتمف ,داف

.املع اك ,سفنل “Ilmu adalah bahwa ia merupakan jenis keyakinan, dan ketika keyakinan tersebut berkaitan dengan suatu obyek tepat seperti realitas apa adanya, dan berproses dengan suatu cara yang meniscayakan timbulnya ketengan jiwa, itulah yang disebut pengetahan”.

(Mug XII, 25)

Penggunaan metode rasional di kalangan cendikiawan muslim semakin mendapatkan bentuknya yang lebih sistematis pada saat kontak dengan falsafah Yunani berjalan intensif, yakni pada abad ke-3 H/9 M. Munculnya falsafah Yunani di kalangan cendikiawan Muslim, mendorong lahirnya falsafah masysyâ’iyyah (peripatetik). Dan falsafah masysyâ’iyyah dilandaskan pada metode burhâni (rasional). Metode burhâni menempuh pendekatan secara bahtsi (diskursif), yaitu penjelasan yang dilandaskan pada tiga hal: al-ta’rif (definisi), al-qadhiyah (proposisi), dan al-qiyâs al-‘aqly (silogisme). Ketiga bentuk pendekatan tersebut di atas, ditengerai sebagai metode deduktif atau manthiq al-shury (logika formal).

(41)

Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa pengenalan akal tidak akan mampu menyentuh realitas yang sejati. “Cinta”, misalnya, menurut para sufi tidak bisa dipahami oleh akal diskursif, berapapun buku teori cinta yang kita baca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalaminya secara

langsung (Mulyadhi 2006, 58-59)”.27

Sejarah epistemologi dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu Yunani, Kebangkitan Islam, Abad Pertengahan, Abad Modern dan Kontemporer. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif, karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoretis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai dari

peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.28Berikut adalah

proses perjalanan sejarah epistemologi dari masa kemasa: 1. Falsafah Ilmu di Era Yunani (600 SM – 500 SM)

Dalam dunia falsafah, zaman Yunani kuno terbagi menjadi dua periode yaitu, zaman Pra-Sokrates dan zaman Pasca-Socrates. Pertama, Falsafah pra-Socrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu (arche). Mereka yakin bahwa di balik keanekaragaman realitas

alam semesta ini hanya ada satu azas.29Zaman kuno meliputi zaman

27Dikutip dari Thesis Kusen, Ph. D

28Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 80.

29Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

(42)

falsafah pra-Socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama failasuf pertama atau failasuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala sesuatu. Misal, menurut Thales arche itu air, sedangkan Anaximandros berpendapat arche itu „yang tak terbatas‟ (to apeiron), selanjutnya Anaximenes berkata bahwa arche itu udara, Pythagoras arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api, ia juga

berpendapat bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.30

Periode falsafah Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena ketika itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan

mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi.31

Masyarakat pada masa pra-Socrates dalam kehidupannya meyakini tentang takhayul. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhayul, tetapi lama kelamaan, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan menggunakan rasio sebagai dasar pengetahuan

ilmiah.32Pada abad ke-6 SM mulai berkembang di Yunani suatu sikap

baru, di mana orang mulai mencari jawaban-jawaban tentang rahasia-rahasia alam semesta. Rasio mulai menggantikan mitos, logika menggantikan legenda. Dengan demikian, lahirlah falsafah Yunani, di mana mereka tidak mencari-mencari lagi keterangan-keterangan tentang alam semesta ini dalam cerita-cerita mitos, tetapi mereka mulai berpikir sendiri, untuk memperoleh keterangan-keterangan yang memungkinkan

30Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 83.

31Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 21.

32

(43)

mereka mengerti kejadian-kejadian dalam alam ini. Perubahan sikap baru yang rasional tersebut, mungkin sekali dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di Timur Kuno, karena banyak orang-orang Yunani yang mempelajari ilmu-ilmu, seperti ilmu ukur, ilmu hitung dan

astronomi dari bangsa Mesir dan Babilonia.33

Kedua, periode Pasca-Socrates ditandai dengan lahirnya tokoh Plato dan Aristoteles. Plato menyumbangkan ajaran tentang “idea”. Baginya hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-singa, nun di sana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-singa itu muncul semua singa yang kasat mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon dan burung bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon dan burung kekal adanya.

Sementara menurut Plato realitas tertinggi adalah yang dipikirkan dengan akal, sedangkan menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang dilihat dengan indera mata. Aristoteles adalah murid dari Plato. Di sini dapat dilihat walaupun Aristoteles murid dari Plato, akan tetapi pemikirannya berbeda. Aristoteles mengandalkan pengamatan

inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan sempurna.34Di

samping itu, Aristoteles menegaskan bahwa untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru ada dua cara, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Logika

33Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 72.

34

(44)

Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif yang sampai saat ini, bahkan masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya, ia juga

menyadari pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif.35

2. Kebangkitan Islam (657 – 1000 SM)

Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad. Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat 5 abad perjalanan yang menakjubkan dalam kegiatan pemikiran falsafah, yaitu antara abad ke-7 hingga abad ke-12. Dalam kurun waktu 5 abad itu para ahli pikir Islam merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungannya dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirnya. Mereka berpikir secara sistematis dan analitis serta kritis sehingga lahirlah para failasuf Islam yang mempunyai kemampuan tinggi karena

kebijaksanaannya.36

Sejak kedatangan Islam, akal dan agama berjalan bersama-sama dan serasi, terutama sejak tahun 80-an sampai tahun 1200-an. Ini adalah tahun-tahun hidupnya failasuf-failasuf besar Islam jalur rasional, seperti Al-Kindȋ (769-873), Al-Râzȋ (683-925), Al-Fârâbȋ (870-950), Ibn Sȋnâ (980-1037), Al-Ghâzâlȋ (1059-1111) dan Ibn Rȗsyd (1126-1198). Di

35Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, (Jogjakarta: IRCiSoD,

2014), h. 57-58.

36

(45)

samping itu masih banyak lagi failasuf yang terkenal, diantaranya adalah

Ibn Bajjah dan Ibn Thufail.37

Al-Kindȋ dalam hidupnya memberikan kontribusi besar terhadap terbukanya pintu-pintu falsafah bagi para ilmuwan Muslim. Umat Muslim pada zaman dahulu amat menentang untuk mempelajari ilmu falsafah, karena dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat kepada Tuhan. Namun, al-Kindȋ mencoba membangun nilai falsafah dan

mendesak mereka agar menoleransi gagasan-gagasan dari luar Islam.38

Selanjutnya al-Fârâbȋ sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) pada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles, seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan al-Fârâbȋ ke dalam bahasa Arab. Al-Fârâbȋ juga telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif dan induktif. Di samping itu, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Al-Fârâbȋ juga berkontribusi dalam mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, yaitu ke dalam tujuh cabang, di antaranya, logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan

ilmu fiqh (hukum).39

Kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam disebabkan oleh beberapa hal pokok, yaitu kesungguhan seluruh umat Muslim khususnya para ilmuwan Muslim dalam mengimani dan mempraktikkan ajaran Islam

37

Elmahsyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan, h. 42.

38Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, h. 240.

39

(46)

sehingga lahirlah individu-individu unggul. Dalam hal ini, umat Muslim menapaki peradaban sains dan teknologi atas dasar motivasi agama. Sedangkan di sisi yang lain, kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam juga disebabkan oleh faktor sosial politik, stabilitas ekonomi, serta

dukungan dan perlindungan dari pemimpin pemerintahan.40

3. Abad Pertengahan (1200 – 1500 SM)

Zaman ini dikatakan merupakan zaman keemasan kekristenan. Pada abad-abad ini Plato dan Aristoteles masih berpengaruh dan berperan penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas. Falsafah Augustinus merupakan suatu bentuk Platonisme yang sangat khas. Melalui pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran abadi sejak kelahiran dalam ingatan, manusia ikut mengambil bagian dalam ide-ide Tuhan namun manusia merupakan ciptaan yang unik (bukan pasif), melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih. Ia yang melampaui ciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan. Berpikir dan mengasihi sungguh sangat dekat dan tak dapat dipisahkan. Tuhan adalah ada sebagai pengada, bersifat pribadi dan yang menciptakan seluruh jagad raya secara bebas dan bukan

dengan jalan emanasi yang niscaya.41

Pada zaman ini falsafah berfungsi sebagai alat untuk pembenaran atau justifikasi ajaran agama (the philosophy as a handmaiden of theology). Sejauh falsafah bisa melayani teologi, ia bisa diterima. Namun,

40Abdul Waid, Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang

diKlaim Barat, (Jogjakarta: Laksana, 2014), h. 50.

41Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011),

(47)

falsafah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan gereja,

maka akan ditolak.42Masa abad pertengahan ini juga dikatakan sebagai

suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupan atau sistem kepercayaan yang fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta, karena itu perkembangan ilmu pengetahuan

terhambat.43

Falsafah abad pertengahan diawali oleh Boethius dan diakhiri oleh Nicolaus Cusanus. Nicolaus membedakan tiga macam pengenalan, yaitu panca indra, rasio dan intuisi. Dikatakan pengenalan inderawi kurang sempurna. Rasio membentuk konsep berdasarkan pengenalan inderawi. Dan dengan intuisi manusia dapat mencapai segala sesuatu yang tidak

terhingga yaitu Tuhan.44

4. Abad Modern (1600 – 1900 SM)

Abad 17 merupakan kelahiran falsafah modern di dunia Barat. Bapak falsafah modern adalah Rene Descartes (Perancis) dan Francis Bacon (Inggris). Kelahiran falsafah modern ini hasil pengaruh-pengaruh antara falsafah dan natural science dengan ahlinya Copernicus (Abad 15),

Kepler (Abad 17) yang waktu itu sudah mulai berkembang.45

Rene Descartes dalam berfalsafah dikenal dengan istilah cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Yang ditemukan dengan metode kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito”

42Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 106.

43

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 67-68.

44Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai

Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 77.

45Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,

(48)

atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena dapat mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah. Cogito ditemukan lewat pikiran, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab suci, dongeng, pendapat orang, juga tidak pada

prasangka.46Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Descartes dalam

mengukur kebenaran yaitu melalui rasio.

Tokoh pada abad modern selanjutnya yaitu John Locke. Berbeda dengan Rene Descartes yang memprioritaskan rasio dalam mencari kebenaran, John Locke lebih mengutamakan empirisme. Dia berpendapat bahwa idea-idea yang difikirkan adalah terjadi melalui proses penginderaan yang sangat rumit. Sebelum berfikir abstrak, seseorang lebih dulu harus mengamati warna, ukuran, bentuk, mencium bau atau mendengarkan sesuatu. Apa saja yang ditangkap dari dunia luar itu menjadi proses-proses internal seperti, berpikir, merasa dan berkehendak.

Proses internal langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu

menghasilkan idea-idea, seperti idea sakit, idea nikmat, idea kesatuan.47

Selanjutnya ada Immanuel Kant, Kant dalam berfalsafah dikenal dengan “kritisisme”. Kritisisme dipahami sebagai sebuah falsafah yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Kant mengatakan bahwa kritisme adalah falsafah yang lebih dahulu menyelidiki syarat-syarat kemungkinan

46F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 38-39.

47

(49)

pengetahuan. Immanuel Kant memahami “kritik” sebagai “pengadilan

tentang kesahihan pengetahuan” atau “pengujian kesahihan”.48

Terakhir, tokoh yang termasuk ke dalam abad modern adalah August Comte. Ia dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme yakni metafisika, atau dengan kata lain positivisme hanya percaya pada yang faktual. Fakta dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diobservasi”, maka sebenarnya positivism terkait erat dengan empirisme. Yang membedakannya, empirisme masih menerima adanya pengalaman subyektif yang bersifat rohani, sedangkan positivism menolaknya sama sekali. Yang dianggapmya sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat

lahiriah, yang bisa diuji secara inderawi.49

Para failasuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan terdapat perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber dan kebenaran pengetahuan adalah rasio (akal). Selanjutnya aliran empirisme meyakini pengalaman adalah sumber pengetahuan itu, baik yang batin maupun yang inderawi. Sedangkan aliran kritisisme mencoba

memadukan kedua pendapat berbeda itu.50

48F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 133.

49F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 204-205.

50Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Falsafah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(50)

Sejak para pemikir (scientis) dapat berbicara dengan penuh kepastian tentang keilmuwannya, sejak itu ilmu pengetahuan mulai berkembang lebih baik. Pada saat tersebut, susunan atom, virus dan bakteri, karena penggunaan mikroskop elektron dan metode-metode optik yang dapat membesarkan obyek-obyek yang diteliti mulai berkembang. Belakangan, manusia dapat meluncurkan roket-roket bertingkat ke suatu planet dengan kecepatan melebihi 17.000 km/jam. Dan akan memperoleh

kecepatan yang spektakuler bila menggunakan bahan bakar nuklir.51

5. Kontemporer (1900 – Dewasa Ini)

Pengkajian pemikiran falsafah kontemporer bisa dimulai dengan memahami tokoh-tokohnya, diantaranya, William James, Martin Heidegger, Karl Popper, Betrand Russell, Jean-Paul Sartre, Jurgen Habermas, Richard

Rirty, J. Derrida dan Mazhab Frankfurt.52

Karl Popper dalam bukunya Logika penelitian dari tahun 1934 memaparkan beberapa masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan alam. Menurutnya suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji (testable). Seperti ucapan “semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Seandainya terdapat satu jenis logam yang tidak memuai

51

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai Teofailasufi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 79-80.

52Ali Maksum, Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,

Referensi

Dokumen terkait

Jika dibedakan antarprovinsi maka pada Direktori 1981 terlihat bahwa perpustakaan khusus dan sumber informasi yang paling banyak (hanya dicantumkan 5 besar) berada di Provinsi

Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, ekonomi orang tua, pendidikan ibu dan DMFT pada gigi bercampur dengan pengalaman karies DMFT+deft maupun DMFT..

Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada paragraf sebelumnya bahwa kemungkinan karbon aktif berpotensi mengurangi dampak negatif dari VOCs termasuk formaldehida,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata dan perbedaan yang tidak nyata.Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pemanasan, suhu penyimpanan dan interaksi

Dalam proses pencernaan, 80 % air diserap dalam usus besar .Perpindahan air melewati membran sel terjadi dengan cara osmosis Na+ dan substansi dengan berat molekul rendah

Setiap individu dalam kelompok akan mengadakan penilaian terhadap sesama anggota kelompok, terhadap kebiasaan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam kelompok, sehingga timbul

Jika ketentuan hukum salah satu Pihak atau kewajiban yang terdapat dalam Hukum Internasional yang ada pada saat ini atau dibuat dimasa yang akan datang antara Para Pihak

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Klaten Nomor 20 Tahun