• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4.2 Konsep Tidur .1Definisi

Menurut Asmadi (2008), tidur adalah keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Kebutuhan tidur muncul secara otomatis jika tubuh merasa lelah yang diawali oleh respon mengantuk, dan menjadi isyarat tubuh untuk mendapatkan istirahat secara fisik dan mental.

4.2.2 Peranan neurotransmiter dalam pengaturan tidur

Menurut Japardi (2002) mengatakan bahwa sistem tidur sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending Reticulary Activity System):

1. Sistem seretonergik

Serotonergik dipengaruhi oleh hasil metabolime asam amino tryptophan, bertambah tryptophan maka jumlah serotonin yang dihasilkan meningkat sehingga bisa menyebabkan rasa kantuk dan sebaliknya apabila jumlah tryptophan yang dihasilkan berkurang atau terhambat akan membuat seseorang susah tidur.

2. Sistem Andrenergik

Neuron-neuron yang mengandung norepineprin terletak di badan sel nucleus cerelus di batang otak. Kerusakan cerelus dibatang otak akan mempengaruhi penurunan dan hilangnya fungsi REM.

3. Sistem Kholinergik

Stimulasi jalur kholinergik ini mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik central yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada pasien yang menggunakan obat anti kholionergik akan didapatkan gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

4. Sistem histaminergik

Sistem histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur 5. Sistem Hormon

Hormon yang mempengaruhi sistem tidur yaitu ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon-hormon ini di sekresi oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus

pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmister norepineprin, dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

4.2.3 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, dkk, 2004). Kualitas tidur yang baik dapat dinilai dari tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas. Busyee, dkk (1989) pertama kali melakukan penelitiannya tentang pengukuran kualitas dan pola tidur menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang membedakan antara tidur yang baik dan buruk melalui pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Kunnert, 2007). Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif dari tidur.

4.2.4 Kuantitas tidur

Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur seorang idnividu (Kozier, dkk 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan setiap orang itu berbeda-beda menyesuaikan dengan tahap perkembangan, dari bayi hingga lansia. Namun, seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (pada usia dewasa tengah 6-7 jam) belum menjamin ia untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.

4.2.5 Latensi tidur

Sleep latency adalah lama waktu yang dibutuhkan responden untuk jatuh tidur. Lansia secara normal membutuhkan waktu untuk jatuh tidur sekitar 10-15 menit. Kebiasaan lansia yang minum kopi dan merokok, hal ini dapat mempengaruhi lansia untuk jatuh tertidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia adalah kondisi lingkungan dan kebiasaan sebelum tidur yang tidak sehat seperti: makan dan

minum, merokok, mengonsumsi alkohol akan mengganggu tidur seseorang yang bisa berdampak pada meningkatnya latensi tidur pada lansia (Chayatin, 2007).

4.2.6 Durasi tidur

Kebutuhan dan pola tidur normal pada lansia adalah tidur sekitar 6-7 jam sehari. Lansia mengalami tidur 6-7 jam sehari karena adanya penurunan fase NREM 1 dan 2, stadium 3 dan 4 aktivitas gelombang delta menurun atau hilang, hal ini membuat tidur lansia menjadi lebih singkat atau berkurang dibandingkan dengan orang dewasa yang rata-rata 8 jam sehari. Lansia yang tidurnya lebih dari 7 jam, hal ini dimungkinkan lansia mampu beradaptasi dengan perubahan seiring dengan proses penuaan pada dirinya (Potter & Perry, 2005).

4.2.7 Irama Sirkadian

Irama sirkadian merupakan pola bioritme yang selama rentang waktu 24 jam terjadi secara berulang. Pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam mempengaruhi fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik dan suasana hati (Potter & Perry, 2005). Irama sirkadian diatur oleh hipotalaus dan berfungsi untuk mengkoordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormon, pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert & Kolkhorst, 2007). Pola tidur-bangun yang muncul dapat menyebabkan dan disebabkan oleh adanya pelepasan hormon tertentu. Melatonin yang disintesis di kelenjar pineal dikala gelao, yang saat siang hari kelenjar pineal tidak aktif tetapi saat hari mulai gelap, maka pineal mulai memproduksi melatonin yang dilepaskan ke dalam darah. Selain dipengaruhi oleh hormon, siklus tidur-bangun seseorang juga dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan dan alarm jam.

4.2.8 Pola tidur

Siklus tidur dan terjaga manusia dikontrol dalam otak dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (DeLaune & Ladner, 2002). Secara fisiologis, proses tidur yang normal diawali oleh respon mengantuk. Pada kondisi ini, terjadi penurunan kesadaran tubuh akan rangsangan dari luar, namun rangsangan tersebut masih dapat diterima dengan mudah dan membuat individu kembali tersadar. Proses berikutnya kesadaran individu semakin menurun dan masuk ke dalam tahapan tidur NREM. Pada tahapan ini, rangsangan dari luar masih dapat diterima (sayup-sayup) namun tidak mengganggu kesadaran. Tahapan NREM berganti menjadi tahap akhir yakni tahap tidur REM (Lanywati, 2001). Pola tidur dapat diklasifikasi berdasarkan tanda-tanda pergerakan mata menjadi fase Non REM dan REM. Persentase durasi tidur normal manusia yakni 75-80% fase Non REM dan 20-25% fase REM (Darmojo & Martono, 2010). Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai memendek. Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak memiliki tahap 4. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf pusat yang mempengaruhi pengaturan tidur (Saryono &Widianti, 2010).

Perubahan kualitas tidur pada lansia

1. Tidur Non REM (Non Rapid Eye Movement)

Fase NREM merupakan fase awal tidur manusia. Disebut Non REM karena tidak terdapat pergerakanan bola mata yang intensif dan cepat. Pada tahap ini, individu mendapatkan tidur yang nyaman dan dalam tanda-tanda tidur NREM yakni: sebagian besar organ tubuh secara berangsur-angsur menjadi kurang aktif, pernafasan teratur, kecepatan denyut jantung berkurang, otot mulai berelaksasi, mata dan muka

diam tanpa gerak (Lanywati, 2001). Berdasarkan kedalaman tidurnya, fase NREM digolongkan menjadi 4 fase, antara lain:

1) Tingkat 1

Tingkat pertama ini merupakan tahap transisi individu dari kondisi sadar menuju kondisi tidur. Ciri-ciri dari tingkat 1 yakni seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan kanan, kecepatan jantung dan pernafasan menurun secara jelas (Asmadi, 2008). Kualitas tidur pada tingkat ini masih rendah, dengan artian individu masih dapat terbangun dengan mudah (deLaune & Ladner, 2002). Pada orang normal, fase ini berkisar 5-10% bagian dari total waktu tidur. Jika dilihat melalui EEG, terjadi penurunan gelombang alfa dan muncul gelombang yang lebih lambat yakni beta dan teta.

2) Tingkat 2

Merupakan masih tahap tidur ringan namun proses tubuh terus menurun dari tingkat pertama. Karakteristik dari tingkat 2 yakni kedua bola mata berhenti, bergerak, suhu tubuh menurun, tonus otot perlahan berkurang, serta kecepatan jantung dan pernapasan menurun. Tahap 2 memiliki waktu 10-15 menit dan muncul gelombang beta dengan frekuensi 14-18 siklus/detik (Asmadi, 2008).

3) Tingkat 3

Pada tingkat ini individu mendapatkan tidur yang cukup dalam sehingga lebih sulit untuk dibangunkan. Durasi dari tingkat 3 membutuhkan waktu 30-45 menit. Individu berada pada kondisi rileks, jarang bergerak, dan kondisi medium deep sleep. Kecepatan jantung, pernapasan, dan proses tubuh semakin menurun akibat dominasi

sistem parasimpatis. Pada monitor EEG diketahui terdapat gelombang lambat (slow wave) delta dan teta mencapai 50%.

4) Tingkat 4

Pada tingkat 4, individu berada pada kondisi yang lelap dan paling sulit untuk dibangunkan. Karakteristik tingkat ini yakni jarang bergerak, fisik lemah dan lunglai, napas serta denyut jantung menurun sekitar 20-30%, dan individu berada pada tahap

deep sleep. Pada EEG, terlihat hanya gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1-2 siklus per detik (Asmadi, 2008).

2. Tidur REM (Rapid Eye Movement)

Disebut fase REM karena pada waktu ini individu mengalami pergerakan bola mata yang lebih tinggi dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini kondisi individu berbeda dari tidur Non REM, yakni merupakan tahap tidur yang sangat aktif. Karakteristik dari tidur REM yakni napas dan denyut jantung tak teratur, terdapat mimpi, lebih sulit dibangunkan, dan pergerakan otot irreguler. Status kerja otak bekerja aktif ketika tahap REM dan metabolisme otak meningkat hingga 20% (Guyton, 2006). Dengan kata lain, tidur jenis REM merupakan tidur paradoks, yakni meskipun individu tertidur namun otak masih bekerja sama seperti ketika bangun. 4.2.9 Fisiologis tidur pada lansia

Jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia. Akan tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan usia lanjut. Episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Seorang lansia yang terbangun lebih sering pada malam hari, dan membutuhkan banyak waktu

untuk jatuh tidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada lansia antara lain penyakit, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi, gaya hidup dan latihan (Saryono & Widianti, 2010). Tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Perry & Potter, 2005). Peningkatan melatonin dimulai pukul 9 malam dan terus meningkat sepanjang malam dan hilang pada jam 9 pagi (Martono & Darmojo, 2010).

4.2.10 Gangguan pemenuhan tidur 1. Gangguan tidur karena pernapasan

Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok pada tidur dan mengantuk hebat pada siang hari. Terdapat tiga jenis gangguan tidur karena pernapasan yaitu berupa sindrom tahanan saluran atas (Upper Airway Resisten Sindroma/UARS), henti napas karena obstruksi (Obtruktive Sleep Apnue/OSA) dan sindroma hiperventilasi karena obesitas (Obesity Hypoventilation Syndrome) (Martono & Pranarka, 2009)

2. Sindroma kaki kurang tenang (Restless Legs Syndrome) dan gangguan gerakan tungkai yang periodik ( Periodic Limb Disorder)

Suatu sindroma ditandai dengan kaki kurang tenang berupa rasa sakit yang berlebihan terutama di malam hari pada waktu istirahat. Disebut akathisia berupa perasaan seperti dirayapi semut atau hewan lain, sehingga mendorong seseorang untuk menggerakkan kakinya atau bangun dan berjalan untuk menghilangkan rasa sakit (Martono & Pranarka, 2009).

3. Gangguan perilaku REM

Sering muncul pada lansia, disebabkan karena adanya disinhibisi transmister aktifitas motorik saat bermimpi. Pasien sering bermimpi dan jatuh dari tempat tidur sehingga terjadi resiko perlukaan (Martono & Pranarka, 2009).

4. Insomnia

Insomnia adalah suatu keadaan tidak mampu untuk tidur walaupun ada keinginan untuk tidur. Terdiri dari 3 jenis insomnia yaitu jangka pendek, sementara dan kronik (Stanley, 2007)

5. Hipersomnia

Suatu keadaan tidur yang di tandai pasien tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode 24 jam dengan keluhan tidur berlebihan (Stanley, 2007)

4.2.11 Penanganan gangguan pemenuhan tidur

Ada dua cara untuk menangani gangguan tidur yaitu dengan cara farmakologis dan non farmalogi

1. Tindakan farmakologis

Terapi diberikan pada penyebab terjadinya gangguan tidur dan gangguan tidur yang terjadi. Obat tidur dapat membantu klien mengatasi gejala insomnia. Benzodiasepin paling sering digunakan mengatasi insomnia

2. Tindakan Nonfarmakologi

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur

1) Memulai tidur dan usahakan pada waktu yang sama tiap hari 2) Makan dan minum dalam jumlah yang banyak sebelum tidur

3) Menghindari nikotin, kafein dan minuman berakhohol 4) Olah raga secara teratur

5) Membuat kamar tidur dingin, gelap, tenang dan nyaman

6) Tidur lebih awal, tidur siang mungkin bisa mengganti waktu tidur malam 7) Menggunakan alas tidur dan bantal yang nyaman

8) Melakukan rutinitas sebelum tidur 9) Tidur ketika merasa lelah

4.3 Konsep Olahraga

Dokumen terkait