• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGARUH PROGRAM RUTIN EXERCISE AEROBIK DAN PEMBERIAN LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR PADA LANSIA DI UPT PSLU MAGETAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PENGARUH PROGRAM RUTIN EXERCISE AEROBIK DAN PEMBERIAN LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR PADA LANSIA DI UPT PSLU MAGETAN"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PROGRAM RUTIN EXERCISE AEROBIK DAN PEMBERIAN

LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR PADA LANSIA DI UPT PSLU MAGETAN

PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL

Oleh: Komsiatiningsih NIM. 131311123033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

SKRIPSI

PENGARUH PROGRAM RUTIN EXERCISE AEROBIK DAN PEMBERIAN

LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR PADA LANSIA

DI UPT PSLU MAGETAN

PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep.) dalam Program Studi Pendidikan Ners

pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR

Oleh: Komsiatiningsih NIM. 131311123033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

2 MOTTO

“Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi

ketakutan yang membuat sulit karena itu jangan pernah

mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah

untuk mencoba, maka jangan katakan pada Allah aku

punya masalah tapi katakan pada masalah aku punya

Allah yang maha segalanya”

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga proposal penelitian yang berjudul “PROGRAM RUTIN EXERCISE AEROBIK DAN PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI

OTOT PROGRESIF TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR LANSIA DI UPT PSLU MAGETAN” dapat penulis selesaikan dengan baik. Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah memberi dukungan, bimbingan, serta arahan baik moral maupun material. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Purwaningsih, S.Kp.,M.Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah banyak memberikan ilmu serta dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

2. Dr. Joni Haryanto, S.Kp., M.Si., selaku pembimbing I yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan pengarahan, bimbingan dan solusi, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Eka Mishbahatul MHas, S.Kep,Ns., M.Kep., selaku pembimbing II yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan pengarahan dan bimbingan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(8)

5. Drs Setyo Budi, MM., selaku kepala Unit Pelaksana Teknis Pelayanan sosial Lanjut Usia (UPT PSLU) Magetan yang telah memberikan izin, bantuan, fasilitas dan keleluasaan dalam pelaksanaan penelitian.

6. Seluruh pegawai kepala Unit Pelaksana Teknis Pelayanan sosial Lanjut Usia (UPT PSLU) Magetan yang sudah menemani, memberikan bimbingan dan bantuan pelaksanaan penelitian.

7. Seluruh lansia dan responden di UPT PSLU Magetan yang telah bersedia berpartisipasi dalam proses pelaksanaan penelitian ini.

8. Segenap dosen Fakultas Keperawatan yang telah membimbing saya selama kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

9. Seluruh staf Fakultas Keperawatan yang telah membantu menyelesaikan skripsi. 10. Orang tua dan keluarga yang selalu memberi semangat, motivasi dan doa pada

peneliti untuk menyelesaikan skripsi.

11. Anakku tersayang Affan Jazir Akhmal yang selalu memberi motivasi dan semangat untuk melewati semua ini.

12. Kedua sahabat saya yang selalu memberi inspirasi, motivasi dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi.

13. Teman-teman seperjuangan angkatan B16 pendidikan NERS Fakultas Keperawatan UNAIR, yang selalu berbagi ceria dan saling mendukung dalam suka dan duka, “ terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini”

(9)

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi atau cara penulisannya.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Surabaya, 14 Januari 2015

Penulis

(10)

ABSTRACT

The Influence of Routine Aerobic Exercise Program and Progressive Muscle Relaxation Training to The Latency and Sleep Duration on elderly at UPT

PSLU Magetan

Quasy Experiment Research

By: Komsiatiningsih

Sleep is human basic need which has to be fulfilled by each person. One of non-pharmacological intervention to enhance sleep was aerobic exercise and progressive muscle relaxation training, it can stimulate optimal melatonin secretion and beta-endhorphin to help sleep improvement in elderly and mechanism of progressive muscle relaxation with using principle of sympathetic and parasympathetic nervous system theory. The purpose of this study was to analyze the influence of routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation training to the latency and sleep duration on elderly.

This study was used quasy-experiment design. Total sample was 20 elderly at UPT PSLU Magetan, devided into experiment and control group. Variable independent were routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation training, while variable dependent were latency and sleep duration on elderly. Data were collected by using structured interview. Data were then examine by using paired t-test and independent t-test with level of significance α <0.05.

The result had showed that sleep latency and duration on elderly after intervention. The improvement of sleep latency based on paired t-test showed p=0.000 for intervention group and p=0.726 for control group and independen t-test p=0.000 for post intervention and post control. Duration of sleep based on paired t-test had p=0.000 for intervention group and p=0.591 for control group and independen t-test p=0.000 for post intervention and post control.

It can be concluded that routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation training can be used as one of alternative intervention to enhance latency and sleep duration on elderly. Routine aerobic exercise program and progressive muscle relaxation training affect fulfillment of sleep need for elderly. Further research should involued bigger number of elderly as samples.

(11)

DAFTAR ISI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Lansia ... 10

2.1.1 Definisi lansia... 10

2.1.2 Batasan-batasan Lansia ... 10

2.1.3 Teori terjadinya proses penuaan... 10

2.1.4 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia ... 16

(12)

2.2.1 Definisi ... 20

2.2.2 Peranan neurotransmiter dalam pengaturan tidur ... 20

2.2.3 Kualitas tidur ... 22

2.2.9 Fisiologis tidur pada lansia... 26

2.2.10 Gangguan pemenuhan tidur ... 27

2.2.11 Penanganan gangguan pemenuhan tidur ... 28

2.3 Konsep Olahraga ... 29

2.3.1 Pengertian ... 29

2.3.2 Manfaat olahraga bagi kesehatan ... 29

2.3.3 Prinsip olahraga pada lansia ... 30

2.3.4 Olahraga yang baik bagi Lansia ... 31

2.4 HPA Axis ... 33

2.4.1 Konsep HPA Axis ... 33

2.4.2 Pengaruh olahraga terhadap HPA dan pemenuhan kebutuhan tidur ... 34

2.4.3 Pengaruh olahraga terhadap sekresi hormon endoprin ... 35

2.5 Program Rutin Exercise Aerobik ... 36

2.5.1 Definisi program rutin exercise aerobik ... 36

2.5.2 Metabolisme energi saat exercise aerobik... 37

2.6 Senam lansia ... 38

2.6.1 Definisi ... 38

2.6.2 Manfaat Senam Lansia ... 40

2.6.3 Pengaruh senam terhadap pemenuhan kebutuhan tidur ... 40

2.6.4 Prosedur senam ... 41

2.7 Konsep Relaksasi Otot Progresif ... 54

(13)

2.7.2 Alasan latihan otot progresif ... 55

2.7.3 Tujuan relaksasi otot progresif ... 56

2.7.4 Cara pelaksanaan ... 57

2.8 Konsep Comfort Kolcaba ... 69

2.9 Keaslian Penulisan ... 72

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ... 75

3.1 Kerangka Konseptual ... 75

3.2 Hipotesis ... 77

BAB 4 METODE PENELITIHAN ... 78

4.1 Desain Penelitian ... 78

4.2 Populasi, Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ... 79

4.2.1 Populasi ... 79

4.2.2 Sampel ... 80

4.3 Identifikasi Variabel Penelitian ... 80

4.3.1 Variabel Independen (variabel bebas) ... 80

4.3.2 Variabel Dependen (variabel terikat) ... 81

4.4 Definisi Operasional ... 81

4.5 Instrumen Penelitian ... 83

4.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 83

4.7 Uji validitas dan Reliabilitas ... 84

4.7.1 Uji Validitas ... 84

4.7.2 Uji Reliabilitas ... 85

4.7.3 Uji Coba Instrumen ... 86

4.8 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data ... 87

4.9 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... 87

4.10 Kerangka kerja ... 90

4.11 Analisa Data ... 91

4.12 Etika Penelitian ... 92

(14)

5 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 95

5.1 Hasil Penelitian ... 95

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 95

5.1.2 Data umum ... 97

5.1.3 Data Khusus ... 101

5.2 Pembahasan ... 105

5.2.1 Latensi tidur sebelum dan sesudah program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif lansia di UPT PSLU Magetan... 105

5.2.2 Durasi tidur sebelum dan sesudah program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif lansia di UPT PSLU Magetan... 107

5.2.3 Pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan109 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

6.1 Kesimpulan ... 117

6.2 Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Identifikasi Masalah Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik Dan

Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Latensi Dan

Durasi Tidur Pada Lansia Di UPT PSLU Magetan ………... 7

Gambar 2.1 Model Healthy Aging dengan faktor-faktornya……….…… 13

Gambar 2.3 Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif para lanjut usia………..………… 14

Gambar 2.10 Peralihan ... 44

Gambar 2.11 Inti 1...………..………..…45

Gambar 2.21 Pendinginan 2……….……….…….… 50

(16)

Gambar 2.23 Pendinginan 4 ... 53

Gambar 2.24 Pendinginan 5……….………...53

Gambar 2.25 Pendinginan 6 ... 54

Gambar 2.26 Pendinginan 7 ... 54

Gambar 2.27 Pendinginan 8 ... 55

Gambar 2.27 Pendinginan 9 ... 55

Gambar 2.28 Gerakan melatih otot tangan………...……...…. 59

Gambar 2.29 Gerakan melatih otot tangan bagian belakang………...… 60

Gambar 2.30 Gerakan melatih otot-otot bisep………...…… 61

Gerakan 2.31 Gerakan melatih otot bahu………..……….….. 62

Gambar 2.32 Gerakan mengerutkan otot dahi……….….. 63

Gambar 2.33 Gerakan mengerutkan otot mata……… 63

Gambar 2.34 Gerakan menegangkan otot rahang……….…..…… 64

Gambar 2.35 Menegangkan otot di sekitar mulut………..…….….. 65

Gambar 2.36 Menegangkan otot leher………...…….… 66

Gambar 2.37 Gerakan melatih otot leher bagian depan………..……….. 67

Gerakan 2.38 Melatih otot punggung………..…….…. 67

Gambar 2.39 Gerakan melatih otot dada………..….. 68

Gambar 2.40 Gerakan melatih otot perut………..………. 69

Gambar 2.41 Gerakan melatih otot kaki………..…….……. 71

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Keaslian penulisan ... 73

Tabel 4.1 Tabel Desain Penelitian... 79

Tabel 4.2 Definisi operasional ... 81

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ... 97

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan umur ... 98

Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan lama tinggal dipantai ... 89

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan riwayat pekerjaan dahulu 98 Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan riwayat perkawinan... 100

Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan agama ... 100

Tabel 5.7 Latensi tidur pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah melakukan program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot progresif... 101

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Keterangan lolos etik... 124

Lampiran 2 Permohonan fasilitas pengambilan data awal ... 125

Lampiran 3 Permohonan fasilitas pengambilan data penelitian ... 126

Lampiran 4 Izin pengambilan data awal dari DEPSOS... 127

Lampiran 5 Izin penelitian dari DEPSOS ... 128

Lampiran 6 Izin pengambilan data dari UPT PSLU Magetan ... 129

Lampiran 7 Surat keterangan penelitian dari UPT PSLU di Magetan ... 130

Lampiran 8 Lembar penjelasan penelitian ... 131

Lampiran 9 Lembar penjelasan menjadi responden kelompok perlakuan 133 Lampiran 10 Lembar penjelasan menjadi responden kelompok kontrol.... 135

Lampiran 11 Informed Consent... 137

Lampiran 12 Lembar kuesioner pengumpulan data ... 138

Lampiran 13 SAK senam lansia ... 141

Lampiran 14 Lembar SPO senam lansia ... 145

Lampiran 15 SAK relaksasi otot progresif ... 147

Lampiran 16 Lembar SPO relaksasi otot progresif ... 153

Lampiran 16 Lembar Kuesioner ... 156

Lampiran 23 Tabulasi skor senam lansia dan relaksasi otot progresif ... 173

Lampiran 24 Hasil uji statistik ... 174

(19)

DAFTAR SINGKATAN

NREM : Non Rapid Eye Movement NSC : Nucleus Supra Chiasmatic PSQI : Pitssburgh Sleep Quality Index

REM : Rapid Eye Movement

BPS : Badan Pusat Statistik

ACTH : Adrenocorticotropoc hormon

ARAS : Ascending Reticulary Sistem

HPA Axis : Hypotalamic Pytuitari Adrenal Axis

GH : Growth hormon

GAS : General Adaptasi Syndrome TSH : Thyroid Stimulating Hormon

LH : Lutenizing Hormone

PVN : Paraventricularis Hypotalamic Hormon

WHO : World Health organization ATP : Adenosine tripospate

(20)

3 BAB I PENDAHULUAN

3.1 Latar Belakang

Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa konsekuensi pertambahan jumlah lanjut usia. Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of population aging). Dari data BPS diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk lanjut usia. Hasil prediksi menunjukkan presentasi penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77% dari total jumlah penduduk sekitar 23,9 juta dan tahun 2010 dan menjadi 11,34% pada tahun 2020 atau tercatat 28,8 juta orang (Efendi, 2009). Seiring perubahan usia, tanpa disadari lanjut usia akan mengalami perubahan fisik, psikososial dan spiritual. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan kualitas tidur baik latensi atau durasi tidur pada lansia.

Menurut National Sleep Foundation sekitar 67 % dari 1508 lansia di Amerika

(21)

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada bulan Oktober 2014 didapatkan jumlah lansia di UPT PSLU Magetan sebanyak 87 lansia, maka diperoleh data 44 orang mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur yang dialami bervariasi mulai dari kesulitan untuk memulai tidur yaitu membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk tertidur, sering terbangun di malam hari hingga jumlah waktu tidur yang kurang dari 4 jam. Dari 44 Lansia yang mengalami gangguan tidur, 45% dari Lansia tersebut melaporkan membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk tidur (latensi tidur) dan 55% lainnya mengalami durasi tidur yang kurang dari 6 jam.

Tidur merupakan suatu kebutuhan dasar yang penting bagi kehidupan manusia, kurang lebih dari sepertiga kehidupan dijalankan dengan aktifitas tidur. Pada kondisi tidur, individu berada dalam kondisi yang tidak sadar yakni persepsi terhadap lingkungan yang hilang atau menurun. Semakin bertambahnya usia berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur akan berkurang dari usia bayi sampai usia lanjut. Perubahan kualitas tidur pada lansia disebabkan oleh kemampuan fisik lansia yang semakin menurun. Kemampuan fisik menurun karena kemampuan organ dalam tubuh yang menurun, seperti jantung, paru-paru, dan ginjal. Penurunan kemampuan organ mengakibatkan daya tahan tubuh dan kekebalan tubuh turut terpengaruh (Prasadja, 2009). Kemampuan tidur seseorang dipengaruhi oleh suatu sistem mekanisme khusus yang disebut sebagai irama sirkadian (circadian

rhythm).

Irama sirkadian merupakan pola bioritme yang selama rentang waktu 24 jam

(22)

kemampuan sensorik dan suasana hati (Potter & Perry, 2005). Irama sirkadian diatur oleh hipotalamus dan berfungsi untuk mengkoordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormon, pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert & Kolkhorst, 2007). Siklus tidur secara fisik dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti noradrenalin/adrenaline, asetilkolin, hipokretin, histamin, GABA (Gamma Amino Butyric Acid), galanin, adenosin, serotonin, dan hormon melatonin. Hormon ini masing – masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran

neurotransmitter yang mempengaruhi proses tidur dan bangun seseorang dengan kadar hormon dalam tubuh berbeda – beda pada setiap orang (Prasadja, 2009).

Sleep latency adalah lama waktu yang dibutuhkan lansia untuk jatuh tidur.

Lansia secara normal membutuhkan waktu untuk jatuh tidur sekitar 10-15 menit. Kelatenan ini berhubungan dengan proses awal penurunan aktivitas RAS (Reticular

Activating System) hingga pelepasan serotonin. Kelatenan tidur dipengaruhi oleh

pengaturan suhu tubuh, sistem peredaran darah dan perubahan hormon, namun yang pada lansia, mengalami perubahan pada hormon dan kemampuan pengaturan suhu tubuh sehingga mempengaruhi lama waktu yang dibutuhkan untuk kelatenan tidur tersebut (Chayatin, 2007).

Masalah lain yang sering dialami lansia adalah pemendekan durasi tidur. Durasi tidur berhubungan dengan lamanya seseorang tertidur atau masuk dalam tahapan-tahapan tidur yang dikenal dengan NREM (Non Rapid Eye Movement) dan

REM (Rapid Eye Movement). Normalnya, NREM berlangsung selama 60-90 menit

(23)

Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai memendek. Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak memiliki tahap 4. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf pusat yang mempengaruhi pengaturan tidur (Saryono &Widianti, 2010).

Selama ini terdapat beberapa penanganan yang bisa diberikan pada pasien lansia dengan gangguan pemenuhan kebutuhan tidur, yaitu farmakologis golongan benzodiazepine dan non farmakologis (Ganong, 2002). Salah satu terapi non farmakologis yang dapat diberikan adalah olahraga secara rutin. Salah satu olahraga yang meningkatkan pemenuhan tidur adalah olah raga kardiovaskular atau olahraga aerobik yang melibatkan otot-otot besar seperti paha, yang dilakukan selama 15 menit (Saputra, 2009). Pada penelitian Rahmawati (2013) di Posyandu Lansia Harapan I dan II Kelurahan Pabuaran menyebutkan bahawa lansia yang diberi perlakuan terapi aktifitas senam ergonomis dapat memperbaiki kualitas tidur.

Exercise aerobik adalah merupakan serangkaian aktivitas yang terstruktur dan

(24)

dan mengalami rasa rileks dengan membedakan sensasi tegang dan rileks dengan cara menegangkan atau melemaskan beberapa kelompok otot (Resti, 2014).

Salah satu bentuk olahraga aerobik yang sesuai dengan lansia adalah senam secara rutin. Senam memiliki gerakan yang dinamis, mudah dilakukan, menimbulkan rasa gembira dan semangat serta beban yang rendah. Salah satu senam yang cocok untuk lansia adalah senam lansia. Frekuensi latihan yang berguna untuk mempertahankan kesegaran jasmani dilakukan sedikitnya satu minggu sekali dan sebanyak-banyaknya lima kali dalam seminggu (Maryam dkk, 2008). Senam ini merupakan olahraga yang ringan dan mudah dilakukan, dan tidak memberatkan. Aktifitas olahraga ini membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena dapat melatih tulang menjadi kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran didalam tubuh.

Relaksasi mengakibatkan renggangan pada arteri akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteora & vena divasilitasi oleh pusat vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yaitu reflek baroreseptor, reflek femoreseptor, reflek brain, reflek pernafasan. Dalam hal ini yang paling kuat yaitu reflek baroreseptor yang mana relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup (CO) menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula.

(25)

tercapainya tidur yang dalam. Beberapa latihan sudah diterapkan untuk meningkatkan kualitas tidur lansia, namun efektifitas latihan terhadap latensi dan durasi masih belum jelas. Berdasar fenomena di atas penulis akan melakukan penelitian tentang pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian latihan relaksasi otot

progresif terhadap latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.

3.2 Identifikasi Masalah

Gambar 1.1 Identifikasi Masalah Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik

Dan Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Latensi Dan Durasi Tidur Pada Lansia Di UPT PSLU Magetan.

Faktor-faktor yang waktu lebih dari 30 menit untuk tidur (latensi tidur)

Program rutin exercise aerobik

(26)

Adanya proses aging maka akan terjadi gangguan pemenuhan tidur baik latensi atau

durasi. Masalah yang menjadi faktor penyebab gangguan pemenuhan tidur yakni proses degeneratif tubuh, gangguan mental dan psikologi. Faktor penyebab gangguan tidur antara lain antara lain penyakit, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi, gaya hidup dan latihan. Dan apabila tidak diatasi faktor-faktor tersebut akan mengakaibatkan tergangguanya kualitas dari tidur lansia.

3.3 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik

relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan?

3.4 Tujuan Penelitian 3.4.1 Tujuan umum

Menjelaskan pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik

relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia di UPT PSLU Magetan.

3.4.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi latensi tidur lansia sebelum dan sesudah dilakukan program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap

(27)

2. Mengidentifikasi durasi tidur lansia sebelum dan sesudah dilakukan program rutin

exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi

dan durasi tidur lansia tidur lansia di UPT PSLU Magetan.

3. Menganalisis pengaruh program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik

relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia tidur lansia di UPT PSLU Magetan.

3.5 Manfaat Penelitian 3.5.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini menjelaskan program rutin exercise aerobik dan

pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi dan durasi tidur lansia tidur lansia di UPT PSLU Magetan, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka dalam pengembangan ilmu keperawatan gerontik yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia.

3.5.2 Manfaat praktis 1. Lansia

Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif

dapat menjadi pilihan bagi lansia untuk mengatasi gangguan latensi dan durasi tidur pada lansia di di UPT PSLU Magetan.

(28)

Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif

diharapkan menjadi intervensi pilihan bagi perawat dalam menangani gangguan tidur berupa latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.

3. Panti

Program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif

diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu metode alternatif dalam menangani gangguan pemenuhan kebutuhan tidur berupa latensi dan durasi tidur pada lansia di UPT PSLU Magetan.

4. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan, pengetahuan serta pemahaman tentang program rutin exercise aerobik dan pemberian teknik relaksasi otot progresif terhadap latensi

(29)

4 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Lansia

4.1.1 Definisi lansia

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Di Indonesia istilah untuk kelompok lansia masih memiliki sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutkan istilah usia lanjut ada pula yang menyebutkan lanjut usia (Tamber & Noorkasiani, 2009). Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara berlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak bisa bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).

4.1.2 Batasan-batasan Lansia

Menurut WHO dalam Nugroho (2008) membagi batas-batas rentang lanjut usia :

1) Usia pertengahan (middle/young elderly) usia antara 45-59 tahun

2) Lanjut usia (elderly) usia antara 60-74 tahun

3) Lanjut usia tua (old) usia antara 75-90 tahun

4) Usia sangat tua (very old) berusia di atas 90 tahun.

4.1.3 Teori terjadinya proses penuaan 1. Teori biologis

(30)

1). Teori Genetic clock

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk spesies spesies tertentu. Tiap spesies di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik di yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut konsep ini bila jam kita itu berhenti kita akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit. Secara teoritis dapat memungkinkan memutar teori genetic clock meski

hanya dengan beberapa waktu menggunakan pengaruh-pengaruh dari luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan obat-obatan atau tindakan tertentu.

2). Mutasi somatik (Error Catastrope)

Dalam teori ini disebutkan bahwa dikatakan ada faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik, proses menua disebabkan radiasi dan zat kimia dan menghindari zat kimia yang bersifat kardiogenik dapat memperpanjang

umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi maupun proses translasi, kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga akan mengurangi fungsional sel, maka akan terjadi kesalahan yang makin banyak sehingga terjadilah catastrop (Suhana, 1994 dalam Darmojo &

Martono, 2010).

(31)

Teori rusaknya autoimun mutasi adalah suatu mutasi yang berulang atau

perubahan protein pascatranslasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik

menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Goldstein, 1989 dalam Darmojo & Martono,

2010). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Peristiwa inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun.

4). Teori menua akibat metabolisme

Dalam teori ini dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Pentingnya metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan pula oleh Ballin dan Allen (1989) dikutip oleh Suhana (1994) dalam Darmojo & Martono (2010). Menurut mereka ada hubungan antara tingkat metabolism dengan panjang umur. Hewan-hewan di alam bebas dikatakan lebih panjang umurnya daripada hewan laboratorium.

5). Kerusakan akibat radikal bebas

(32)

bebas terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati (Oen, 1993 dalam Darmojo & Martono, 2010). Walaupun ada sistem penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati.

Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic dan exogenic factor (Darmojo & Martono, 2010). Endogenic factor yang dimulai dengan cellular aging, lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh.

Proses ini seperti jam yang terus berputar. Sedangkan Exogenic factor, yang dapat

dibagi dalam sebab lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan faktor

sosio budaya yang paling tepat disebut gaya hidup (life style). Faktor exogenic aging

tadi sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko.

Gambar.2.1. Model Healthy Aging dengan Faktor-Faktornya (Darmojo & Martono,

(33)

Menuju healthy aging (menua sehat) dapat dengan jalan peningkatan mutu

(promotion), pencegahan penyakt (prevention), pengobatan penyakit (curative), dan

pemulihan (rehabilitation), sehingga keadaan patologikpun dicoba untuk

disembuhkan karena proses patologik akan mempercepat jalan jam waktu tadi,

endogenic dan exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisah-pisahkan karena

saling mempengaruhi dengan erat maka bila faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya, maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal. Faktor endogenic dan

exogenic ini lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko, hubungan antara faktor

resiko dengan penyakit degeneratif pada para lanjut usia dapat lebih jelas dilihat pada gambar menyerupai laba-laba di bawah ini (Darmojo & Martono, 2010)

(34)

Faktor resiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan sehingga memungkinkan terjadi banyak penyakit pada satu penderita (multi patologi) maka faktor resiko tadi haruslah dicegah dan dikendalikan.

2. Teori psikososial

Teori Psikososial, yang terdiri dari menurut Stanley& Barre 2007, sebagai berikut :

1). Teori kepribadian

Kepribadian ada dua yaitu introvert dan ektrovert yang mana harus ada

keseimbangan di antaranya. Penuaan juga berpengaruh pada kepribadian lansia tersebut. Teori ini mengatakan untuk mengembangkan diri dapat melalui aktifitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri. Lansia yang sehat tidak tergantung pada jumlah aktivitas sosial seseorang tetapi tergantung dari kepuasan dari aktivitas kesehatan yang dilakukan (Stanley dan Barre, 2007).

2).Teori tugas perkembangan

Tugas utama lansia harus mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Jika tidak ada pencapaian menjalani hidup dengan baik lansia akan beresiko untuk menghadapi penyesalan. Aktifitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai tahapan spesifik dalam kehidupan.

a. Teori disengagement

(35)

akan di berikan pada generasi muda supaya lansia dapat menyediakana waktu untuk dapat merefleksikan pencapaian hidup dan harapan hidup yang belum terpenuhi. b. Teori aktifitas

Jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif, penting aktifitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan dengan pentingnya perasaan dari yang dibutuhkan orang lain.

c. Teori kontinuitas

Dikenal dengan teori perkembangan yang merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat menua. Lansia yang terbiasa memiliki kendali dalam membuat keputusan mereka sendiri tidak akan mudah menyerahkan kendali kepada generasi muda.

4.1.4 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia

Menurut Nugroho (2008), selama proses penuaan terjadi perubahan pada lansia, baik perubahan fisik, mental maupun psikososial.

(36)

1. Perubahan Fisik 1) Sel

Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati. Jumlah sel otak menurun dan otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5– 10%, lekukan otak menjadi dangkal dan lebar dan mekanisme perbaikan sel terganggu. 2) Sistem integument

Kulit keriput, permukaan kulit kasar dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu. Berkurang elastisitas kulit akibat penurunan vaskularisasi dan cairan, fungsi keringat menurun dan terjadi perubahan pada kuku.

3) Sistem Muskulo sekeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh. Terjadi kifosis,

persendian membesar dan menjadi kaku. Tendon mengerut dan mengalami skelerosis, serta terjadi atrofi serabut otot. Komposisi otot berubah, dan terjadi penurunan aliran darah keotot.

4) Sistem endokrin

(37)

aldosteron dan hormon reproduksi seperti progesterone, estrogen dan testoteron.

5) Sistem Neurologis

Menurunnya hubungan persyarafan, berat otak menurun, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, mengecilnya saraf panca indera dan kurang sensitif terhadap sentuhan, terjadi defisit memori.

6) Sistem kardiovaskuler

Katup jantung menjadi tebal, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun. Hilangnya pembuluh darah dan tekanan darah meninggi.

7) Sistem pendengaran

Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga, membrana timpani menjadi atrofi dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres, terjadi tinnitus dan vertigo.

8) Sistem penglihatan

Hilangnya respon terhadap sinar, sfingter pupil timbul sklerosis, lensa lebih suram, kehilangan daya akomodasi dan menurunya lapang pandang. Daya membedakan warna menurun terutama warna biru atau hijau pada skala. 9) Sistem pengaturan temperature tubuh

(38)

10)Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan timbul konstipasi, serta fungsi absorpsi melemah, hati mengecil.

11)Sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. Penurunan aktifitas dari silia dan paru-paru kehilangan elastisitas. Ukuran alveoli melebar, reflek untuk batuk berkurang dan menurunnya kemampuan kemampuan pegas dada dan otot-otot pernapasan.

12)Sistem Reproduksi

Pada wanita vagina terjadi kontraktur dan mengecil, ovarium mengecil dan atrofi pada uterus, vagina, dan vulva. Pada laki-laki testis masih memproduksi spermatozoa walaupun terjadi penurunan serta kehidupan seksual masih menetap.

13)Sistem genitourinaria

Pada ginjal dan otot vesika urinaria mengalami kelemahan sehingga mengakibatkan frekuensi buang air seni meningkat pada lansia wanita, sedangkan vesika urinaria pada lansia laki-laki susah dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urin. Sekitar 77% pria di atas usia 65 tahun mengalami pembesaran prostat.

2. Perubahan mental

(39)

diberi perana dalam masyarakat, ini tetap berwibawa dan jika meninggal ingin secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu adanya perubahan fisik (khusus organ perasa), kesehatan umum, tingkat pendidikan, hereditas (keturunan) dan lingkungan.

3. Perubahan Psikososial

Jika seseorang pensiun, akan mengalami kehilangan, antara lain kehilangan finansial, kehilangan status, hilangnya teman atau relasi, kehilangan pekerjaan atau kegiatan. Perubahan dalam cara hidup, hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri, menderita penyakit kronis gangguan syaraf panca indra serta terjadi gangguan gizi.

4.2 Konsep Tidur 4.2.1 Definisi

Menurut Asmadi (2008), tidur adalah keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Kebutuhan tidur muncul secara otomatis jika tubuh merasa lelah yang diawali oleh respon mengantuk, dan menjadi isyarat tubuh untuk mendapatkan istirahat secara fisik dan mental.

4.2.2 Peranan neurotransmiter dalam pengaturan tidur

(40)

1. Sistem seretonergik

Serotonergik dipengaruhi oleh hasil metabolime asam amino tryptophan, bertambah tryptophan maka jumlah serotonin yang dihasilkan meningkat sehingga bisa menyebabkan rasa kantuk dan sebaliknya apabila jumlah tryptophan yang dihasilkan berkurang atau terhambat akan membuat seseorang susah tidur.

2. Sistem Andrenergik

Neuron-neuron yang mengandung norepineprin terletak di badan sel nucleus cerelus di batang otak. Kerusakan cerelus dibatang otak akan mempengaruhi penurunan dan hilangnya fungsi REM.

3. Sistem Kholinergik

Stimulasi jalur kholinergik ini mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik central yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada pasien yang menggunakan obat anti kholionergik akan didapatkan gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

4. Sistem histaminergik

Sistem histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur 5. Sistem Hormon

Hormon yang mempengaruhi sistem tidur yaitu ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon-hormon ini di sekresi oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus

pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmister

(41)

4.2.3 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, dkk, 2004). Kualitas tidur yang baik dapat dinilai dari tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas. Busyee, dkk (1989) pertama kali melakukan penelitiannya tentang pengukuran kualitas dan pola tidur menggunakan The

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang membedakan antara tidur yang baik dan

buruk melalui pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Kunnert, 2007). Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif dari tidur.

4.2.4 Kuantitas tidur

Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur seorang idnividu (Kozier, dkk 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan setiap orang itu berbeda-beda menyesuaikan dengan tahap perkembangan, dari bayi hingga lansia. Namun, seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (pada usia dewasa tengah 6-7 jam) belum menjamin ia untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.

4.2.5 Latensi tidur

Sleep latency adalah lama waktu yang dibutuhkan responden untuk jatuh

(42)

minum, merokok, mengonsumsi alkohol akan mengganggu tidur seseorang yang bisa berdampak pada meningkatnya latensi tidur pada lansia (Chayatin, 2007).

4.2.6 Durasi tidur

Kebutuhan dan pola tidur normal pada lansia adalah tidur sekitar 6-7 jam sehari. Lansia mengalami tidur 6-7 jam sehari karena adanya penurunan fase NREM 1 dan 2, stadium 3 dan 4 aktivitas gelombang delta menurun atau hilang, hal ini membuat tidur lansia menjadi lebih singkat atau berkurang dibandingkan dengan orang dewasa yang rata-rata 8 jam sehari. Lansia yang tidurnya lebih dari 7 jam, hal ini dimungkinkan lansia mampu beradaptasi dengan perubahan seiring dengan proses penuaan pada dirinya (Potter & Perry, 2005).

4.2.7 Irama Sirkadian

Irama sirkadian merupakan pola bioritme yang selama rentang waktu 24 jam terjadi

(43)

4.2.8 Pola tidur

Siklus tidur dan terjaga manusia dikontrol dalam otak dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (DeLaune & Ladner, 2002). Secara fisiologis, proses tidur yang normal diawali oleh respon mengantuk. Pada kondisi ini, terjadi penurunan kesadaran tubuh akan rangsangan dari luar, namun rangsangan tersebut masih dapat diterima dengan mudah dan membuat individu kembali tersadar. Proses berikutnya kesadaran individu semakin menurun dan masuk ke dalam tahapan tidur NREM. Pada tahapan ini, rangsangan dari luar masih dapat diterima (sayup-sayup) namun tidak mengganggu kesadaran. Tahapan NREM berganti menjadi tahap akhir yakni tahap tidur REM (Lanywati, 2001). Pola tidur dapat diklasifikasi berdasarkan tanda-tanda pergerakan mata menjadi fase Non REM dan REM. Persentase durasi tidur normal manusia yakni 75-80% fase Non REM dan 20-25% fase REM (Darmojo & Martono, 2010). Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan yaitu tidur REM mulai memendek. Penurunan progresif pada tahap NREM 3 dan 4 dan hampir tidak memiliki tahap 4. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf pusat yang mempengaruhi pengaturan tidur (Saryono &Widianti, 2010).

Perubahan kualitas tidur pada lansia

1. Tidur Non REM (Non Rapid Eye Movement)

(44)

diam tanpa gerak (Lanywati, 2001). Berdasarkan kedalaman tidurnya, fase NREM digolongkan menjadi 4 fase, antara lain:

1) Tingkat 1

Tingkat pertama ini merupakan tahap transisi individu dari kondisi sadar menuju kondisi tidur. Ciri-ciri dari tingkat 1 yakni seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan kanan, kecepatan jantung dan pernafasan menurun secara jelas (Asmadi, 2008). Kualitas tidur pada tingkat ini masih rendah, dengan artian individu masih dapat terbangun dengan mudah (deLaune & Ladner, 2002). Pada orang normal, fase ini berkisar 5-10% bagian dari total waktu tidur. Jika dilihat melalui EEG, terjadi penurunan gelombang alfa dan muncul gelombang yang lebih lambat yakni beta dan teta.

2) Tingkat 2

Merupakan masih tahap tidur ringan namun proses tubuh terus menurun dari tingkat pertama. Karakteristik dari tingkat 2 yakni kedua bola mata berhenti, bergerak, suhu tubuh menurun, tonus otot perlahan berkurang, serta kecepatan jantung dan pernapasan menurun. Tahap 2 memiliki waktu 10-15 menit dan muncul gelombang beta dengan frekuensi 14-18 siklus/detik (Asmadi, 2008).

3) Tingkat 3

Pada tingkat ini individu mendapatkan tidur yang cukup dalam sehingga lebih sulit untuk dibangunkan. Durasi dari tingkat 3 membutuhkan waktu 30-45 menit. Individu berada pada kondisi rileks, jarang bergerak, dan kondisi medium deep sleep.

(45)

sistem parasimpatis. Pada monitor EEG diketahui terdapat gelombang lambat (slow

wave) delta dan teta mencapai 50%.

4) Tingkat 4

Pada tingkat 4, individu berada pada kondisi yang lelap dan paling sulit untuk dibangunkan. Karakteristik tingkat ini yakni jarang bergerak, fisik lemah dan lunglai, napas serta denyut jantung menurun sekitar 20-30%, dan individu berada pada tahap

deep sleep. Pada EEG, terlihat hanya gelombang delta yang lambat dengan frekuensi

1-2 siklus per detik (Asmadi, 2008). 2. Tidur REM (Rapid Eye Movement)

Disebut fase REM karena pada waktu ini individu mengalami pergerakan bola mata yang lebih tinggi dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini kondisi individu berbeda dari tidur Non REM, yakni merupakan tahap tidur yang sangat aktif. Karakteristik dari tidur REM yakni napas dan denyut jantung tak teratur, terdapat mimpi, lebih sulit dibangunkan, dan pergerakan otot irreguler. Status kerja otak bekerja aktif ketika tahap REM dan metabolisme otak meningkat hingga 20% (Guyton, 2006). Dengan kata lain, tidur jenis REM merupakan tidur paradoks, yakni meskipun individu tertidur namun otak masih bekerja sama seperti ketika bangun. 4.2.9 Fisiologis tidur pada lansia

(46)

untuk jatuh tidur. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada lansia antara lain penyakit, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, motivasi, gaya hidup dan latihan (Saryono & Widianti, 2010). Tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Perry & Potter, 2005). Peningkatan melatonin dimulai pukul 9 malam dan terus meningkat sepanjang malam dan hilang pada jam 9 pagi (Martono & Darmojo, 2010).

4.2.10 Gangguan pemenuhan tidur 1. Gangguan tidur karena pernapasan

Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok pada tidur dan mengantuk hebat pada siang hari. Terdapat tiga jenis gangguan tidur karena pernapasan yaitu berupa sindrom tahanan saluran atas (Upper Airway Resisten Sindroma/UARS), henti napas

karena obstruksi (Obtruktive Sleep Apnue/OSA) dan sindroma hiperventilasi karena

obesitas (Obesity Hypoventilation Syndrome) (Martono & Pranarka, 2009)

2. Sindroma kaki kurang tenang (Restless Legs Syndrome) dan gangguan gerakan

tungkai yang periodik ( Periodic Limb Disorder)

(47)

3. Gangguan perilaku REM

Sering muncul pada lansia, disebabkan karena adanya disinhibisi transmister aktifitas motorik saat bermimpi. Pasien sering bermimpi dan jatuh dari tempat tidur sehingga terjadi resiko perlukaan (Martono & Pranarka, 2009).

4. Insomnia

Insomnia adalah suatu keadaan tidak mampu untuk tidur walaupun ada keinginan untuk tidur. Terdiri dari 3 jenis insomnia yaitu jangka pendek, sementara dan kronik (Stanley, 2007)

5. Hipersomnia

Suatu keadaan tidur yang di tandai pasien tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode 24 jam dengan keluhan tidur berlebihan (Stanley, 2007)

4.2.11 Penanganan gangguan pemenuhan tidur

Ada dua cara untuk menangani gangguan tidur yaitu dengan cara farmakologis dan non farmalogi

1. Tindakan farmakologis

Terapi diberikan pada penyebab terjadinya gangguan tidur dan gangguan tidur yang terjadi. Obat tidur dapat membantu klien mengatasi gejala insomnia. Benzodiasepin paling sering digunakan mengatasi insomnia

2. Tindakan Nonfarmakologi

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur

(48)

3) Menghindari nikotin, kafein dan minuman berakhohol 4) Olah raga secara teratur

5) Membuat kamar tidur dingin, gelap, tenang dan nyaman

6) Tidur lebih awal, tidur siang mungkin bisa mengganti waktu tidur malam 7) Menggunakan alas tidur dan bantal yang nyaman

8) Melakukan rutinitas sebelum tidur 9) Tidur ketika merasa lelah

4.3 Konsep Olahraga 4.3.1 Pengertian

Menurut Menpora (2010) olahraga adalah proses sistematis yang berupa segala kegiatan yang dapat mendorong, mengembangkan, membina potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai individu atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan dan kegiatan jasmani yang intensif untuk memperolah rekreasi, kemenangan, dan pretasi puncak dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya yang berdasar pada Pancasila.

4.3.2 Manfaat olahraga bagi kesehatan 1. Sebagai pencegahan

Olahraga pada lansia bersifat endurance atau ketahanan tubuh sangat baik

(49)

2. Sebagai pengobatan

Penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan dengan olahraga adalah kelemahan sirkulasi darah, insufisiensi koroner, diabetes mellitus, kelainan infark jantung, kelainanpembuluh darah (depkes RI, 1989). Olahraga dapat meningkatkan kebutuhan tidur sehingga membantu mengatasi insomnia (Saputra, 2006)

3. Sebagai rehabilitasi

Untuk menambah kebugaran pada kondisi cacat tubuh, dengan latihan fisik tertentu dapat membantu latihan penggunaan otot dan memperkuat organ lain.

4.3.3 Prinsip olahraga pada lansia

Menurut Maryam dkk (2008) prinsip olahraga bagi lansia dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Latihan yang diberikan merupakan kegiatan yang digemari, bervariasi serta disesuaikan denan kondisi kesehatan peserta.

2) Latihan fisik harusnya bersifat aerobik, yaitu berlangsung lama dengan ritmik yang berulang-ulang

3) Latihan fisik berlangsung lama dan berulang. Durasi berkisar 15-45 menit secara kontinu dilakukan rutin 3-4 kali per minggu. Intensitas latihan sebesar 60-80% denyut nadi maksimal (Denyut Nadi Maksimal: 220 – usia)

4) Setiap latihan diawali pemanasan, peregangan dan latihan inti. Pada akhir olahraga sebaiknya diakhiri dengan pendinginan dan peregangan.

(50)

6) Pakaian yang digunakan terbuat dari bahan yang ringan dan tipis serta jangan

memakai pakaian yang tebal

4.3.4 Olahraga yang baik bagi Lansia

Pada lansia terjadi banyak penurunan fungsi seiring dengan proses degenerasi, kebutuhan dan kemampuan olahraga bagi lansia tidak sama dengan dewasa umumnya. Aktifitas fisik yang sesuai dengan lansia antara lain:

1. Pekerjaan rumah dan berkebun

Kegiatan harian yang dilakukan di rumah dapat memberikan latihan fisik yang dibutuhkan untuk menjaga kebugaran tubuh. Untuk hasil yang optimal, harus dikerjakan secara tepat agar napas dan denyut jantung sedikit lebih cepat, dan otot menjadi lelah sehingga tubuh mengeluarkan keringat (Maryam dkk, 2008). Kegiatan yang disukai lansia dapat menjadi olahraga rutin sehingga motivasi menjaga kebugaran meningkat.

2. Berjalan

(51)

3. Jalan cepat

Jalan cepat adalah olah raga lari yang bukan untuk perlombaan dan dilakukan dengan kecepatan dibawah 11 km/jam atau di bawah 5,5 menit/km. Jalan cepat berguna untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani.

4. Senam kebugaran lansia

Jenis olahraga ini membantu tubuh tetap bugar dan segar. Senam dapat menjaga tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh. Selain meningkatkan fungsi organ tubuh, senam juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Sumedi dkk, 2010).

5. Yoga

Yoga adalah dapat memberikan keuntungan fisik dan mental. Bentuk lain dari yoga adalah senam tera dan aerobik yang ideal bagi lansia.

6. Bersepeda

Bersepeda sangat baik bagi arthritis karena tidak menyentuh lantai yang

menyebabkan sakit pada sendi-sendinya, bersepeda juga baik untuk meningkatkan keregangan tapi tidak menambah kelenturan.

2.3.1Olahraga yang membahayakan Lansia

Menurut Maryam (2008) ada beberapa gerakan yang membayakan untuk dilakukan oleh lansia yaitu antara lain:

1. Sit up dengan kaki lurus

(52)

yang melekat pada columna vertebrate dan femur menanggung beban. Latihan seperti ini punggung akan naik keatas secara permanaen dan lengkung lordosis menjadi lebih banayak yang berakibat nyeri pada pinggang.

2. Meraih ibu jari kaki

Latihan seperti ini kurang baik dan mengakibatakan cidera. Latihan ini biasanya dilakukan ditujukan untuk menguatkan punggung bagian bawah.

3. Mengangkat kaki

Melatih dengan mengangkat kaki dan menahannya untuk beberapa saat. Latihan ini kurang baik karena dapat mengakibatkan nyeri pungung bagian bawah dan menyebabkan kejadian lordosis.

4. Melengkugkan punggung

Pada lansia olahraga ini tidak boleh dilakukan karena pada lansia hal ini tidak mengencangkan perut tapi menguatkan punggung bawah. Jika terjadi hiperextensi dari punggung maka bisa melampaui lengkungan dari punggung itu sendiri.

4.4 HPA Axis

4.4.1 Konsep HPA Axis

Hipotalamus pituitary adrenal (HPA Axis) yaitu kesatuan komplek yang

(53)

penyimpanan energy di tubuh. HPA Axis merupakan mekanisme umum sebagai interaksi antara kelenjar-kelenjar, hormone-hormon dan bagian dari batang otak yang mempengaruhi General Adaptasi Sindrom (GAS).

Komponen dari HPA Axis adalah paraventrikuler nucleus pada nucleus yang

terdiri dari neuro-neuron endokrin yang yang mensekresi vasoperin dan CRH atau CRF, vasoperin dan CRH atau CRF berfungsi sebagai:

1. Kelenjar pituitary di lobus anterior

2. Korteks adrenal yang memproduksi hormon glucorcortitoid dalam merespon

stimulasi ACTH.

Menurut Mc Cance dalam putra (2005) di sebutkan bahwa pengaruh respon stress terhadap fungsi sistem imun terjadi melalui peptide hipotalamuas pituitary

yaitu CRF dan ACTH. CRF merupakan faktor substansi utama yang merambatkan sinyal stressor ke sistem imun. CRF mengakibatkan HPA Axis menjadi aktif, berupa peningkatan ACTH yang merangsang kortex adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Sinyal stress yang dirasakan individu baik dari dalam atau dari luar akan mengaktifkan HPA axis. Beberapa dari monoamine neurotransmtter dibutuhkan dalam pengaturan HPA Axis seperti dopamine, serotonin dan non adrenalin.

4.4.2 Pengaruh olahraga terhadap HPA dan pemenuhan kebutuhan tidur

(54)

akan merangsang pituitary anterior, selanjutnya pituitary anterior akan merangsang sekresi CTH sehingga terjadi peningkan kortisol.

Ada 4 hormon yang dihasilkan sebagai akibat peningkatan HPA Axis yaitu hormon CRH, AVP, ACTH, dan kortisol. Selain itu terjadi peningkatan ketokolamin akibat peningkatan fisik merangsang HPA Axis sedangkan kortisol melakukan hambatan timbal-balik (negative feedback mechanism) terhadap HPA Axis.

Kemudian kondisi tersebut dapat meningkatkan produksi hormon endoprin dan serotonin. Hormon-hormon tersebut mempengaruhi peningkatan pemenuhan kebutuhn tidur pada lansia. Sekresi melatonin yang optimal dapat mempengaruhi beta endorphin dan enkephalin membantu peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur lansia (Rahayu, 2008).

4.4.3 Pengaruh olahraga terhadap sekresi hormon endoprin

Endoprin adalah hormon penting dalam kehidupan untuk menciptakan rasa nyaman. Endoprin menyebabkan seseorang menjadi senang dan bahagia, serta memicu aktifitas gerak lebih banyak. Menurut Lousin Taylor dalam rahayu (2008) endoprin tidak datang secara tiba-tiba dalam tubuh kita, tapi manusia harus melakukan usaha untuk mendatangkan hormon endoprin. Karena hormon endorprin baru muncul kalau cadangan glukosa dalam tubuh mulai habis.

(55)

glukosa yang menghasilkan ATP sehingga endorphin akan muncul yang akan membawa rasa nyaman, senang dan bahagia. Sehingga setiap selesai olahraga tubuh menjadi bugar walaupun olahraga telah menggunakan tenaga dari tubuh kita.

4.5 Program Rutin Exercise Aerobik 4.5.1 Definisi program rutin exercise aerobik

Exercise adalah merupakan serangkaian aktivitas yang terstruktur dan

berirama dengan intensitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani (Afriadi, 2011). Olahraga aerobik merupakan olah raga yang menggunakan oksigen dalam penyediaan energi dan yang bertujuan untuk melatih efisiensi sistem jantung, pembuluh darah dan pernapasan (Kelly & Tracey, 2005).

Kata aerobik sering dipahami sebagai senam intruktur. Sebenarnya semua bentuk latihan atau aktivitas yang membuat anda menghirup oksigen dalam jumlah besar serta memompa jantung secara teratur, dapat disebut aerobik (Poniman, Nugroho, & Azzaini, 2007). Sebagai contoh olahraga aerobik adalah gerak jalan cepat, jogging, lari, senam, renang dan bersepeda.

(56)

Aerobik adalah latihan kebugaran yang dapat meningkatkan detak jantung. Dengan bantuan oksigen, aerobik membakar lemak, meningkatkan system kekebalan tubuh, dan memacu jantung (Kelly & Tracey, 2005). Salah satu olahraga yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur adalah dengan senam lansia. Frekwensi yang latihan yang berguna untuk mempertahankan dan memperbaiki kesegaran jasmani dilakukan sedikitnya satu minggu sekali dan sebanyaknya banyaknya lima kali dalam satu minggu dengan lamanya 15 menit (Maryam at al, 2008)

4.5.2 Metabolisme energi saat exercise aerobik

Proses metabolisme dalam tubuh adalah proses pembakaran molekul Adenosin trifosfat/ATP, yang prosesnya dapat berupa aerobik dan anaerobik. Pada saat olah raga terdapat tiga jalur metabolisme untuk menghasilakan ATP yaitu hidrolisis phospatcreatine (PCr), glikolisis anaerobik glukosa serta pembakaran karbohidrat, lemak dan protein.

(57)

berasal dari glikogen otot. Setelah melalui proses glikolisis, asam piruvat yang dihasilkan kemudian diubah menjadi Asetil-KoA di dalam mitokondria.

Saat latihan aerobik metabolisme berjalan melalui pembakaran simpanan karbohidrat, lemak dengan melipatkan oksigen yang diperoleh memlaui pernapasan untuk menghasikan ATP. Didalam tubuh metabolisme energy secara aerob glukosa

berasal dari glukosa darah dan glikogen otot akan mengalami glikolisis yang dapat menghasilkan molekul ATP serta asam piruvat, melalui glikolisis asam piruvat di ubah menjadi Asetil – KoA yang akan berjalan jika ada oksigen serta menghasilkan produk sampinga berupa NAOH dengan menghasilkan 32 ATP. Proses metabolisme energi secara aerobik juga dikatakan merupakan proses yang bersih karena selain menghasilkan energi, proses tersebut hanya menghasilkan produk samping berupa karbondioksida (CO2) dan air (H2O).

4.6 Senam lansia 4.6.1 Definisi

(58)

adalah senam secara rutin. Senam memiliki gerakan yang dinamis, mudah dilakukan, menimbulkan rasa gembira dan semangat serta beban yang rendah. Salah satu senam yang cocok untuk lansia adalah senam lansia. Frekuensi latihan yang berguna untuk mempertahankan kesegaran jasmani dilakukan sedikitnya satu minggu sekali dan sebanyak-banyaknya lima kali dalam seminggu (Maryam dkk, 2008). Macam senam aerobik menurut harber and scoot (2009) adalah senam high impacts, low impacts,

discorobic, rockrobic dan aerobic sports.

Senam lansia adalah masuk dalam jenis senam aerobik low impacts karena

kaki selalu menapak di lantai setiap waktu, terdiri dari tiga unsur gerakan yanga divariasikan yaitu berupa gerakan langkah tunggal, langkah ganda, langkah segitiga, berjalan dengan cara maju mundur dan gerakan langkah ganda.

Senam lansia adalah senam yang cocok bagi lansia karena gerakan di dalamnya menghindari gerakan-gerakan loncat-loncat (low impact), melompat, kaki

(59)

4.6.2 Manfaat Senam Lansia 1. Sebagai pencegahan

Pada usia 40 tahun keatas senam sangat baik untuk mengatasi proses-proses degenerasi tubuh. Setelah umur 40 tahun ternyata olahraga yang bersifat endurance

sangat baik untuk mengatasi proses degenerasi tubuh, sehingga orang kelihatan lebih muda. Kekurangan gerak juga menyebabkan otot dan tulang tidak tumbuh dengan baik, otot yang lemah akan menyebabkan kelainan posisi badan yang nantinya akan menjadi kelainan tulang.

2. Sebagai pengobatan (kuratif)

Penyakit yang dapat disembuhkan dan dikurangi dengan senam lansia adalah kelemahan/kelainan sirkulasi darah, DM, kelainan infark jantung, kelainan insufisiensi koroner, kelainan pembuluh darah tepi, thromboplebitis dan osteoporosis. 3. Sebagai rehabilisasi

Dengan senam yang baik dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut memperkuat degenerasi karena telah mengalami perubahan usia, mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan, fungsi melindungi yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam bertambahnya tuntutan (sakit).

4.6.3 Pengaruh senam terhadap pemenuhan kebutuhan tidur

(60)

jantung bekerja optimal dan membantu radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh (Widianti & Proverawati, 2010).

Senam lansia mampu mengembalikan posisi dan kelenturan sistem syaraf dan aliran darah. Senam mampu memaksimalakn aliran oksigen ke otak, menjaga kesegaran tubuh dan membuang energi negatif dari tubuh. Senam lansia merupakan kombinasi gerakan otot dan teknik pernapasan. Teknik pernapasan dilakukan dengan sadar dan menggunakan otot diafragma sehingga abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Teknik pernapasan tersebut bisa memberikan pijatan pada jantung sehingga bisa memperlancar aliran darah ke jantung dan ke seluruh tubuh.

Senam lansia merangsang penurunan aktifitas syaraf para simpatis sehingga mengakibatkan penurunan hormon adrenalin, noreprineprin dan ketokolamin serta vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen ke otak dan seluruh tubuh menjadi lancar, kondisi ini akan menyebabkan peningkatan relaksasi pada lansia, sekresi hormon melatonin yang maksimal dan pengaruh beta endorphin akan membantu peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur lansia (Rahayu, 2008). 4.6.4 Prosedur senam

1. Gerakan Pemanasan

Tujuan: untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan persendian serta menaikkan denyut jantung secara perlahan.

(61)

Gambar 2.3 Pemanasan 1 (Suroto, 2004) 2)Latihan 1, Jalan di tempat dengan hitungan 4x8 hitungan

Gambar 2.4 Pemanasan 2 (Suroto, 2004)

3)Latihan 2, Jalan maju mundur, gerakan kepala menengok ke samping, miringkan kepala, menundukkan kepala 8X8 hitungan.

(62)

4)Latihan 3, melangkah satu langkah ke samping dengan menggerakkan bahu 8x8 gerakan

Gambar 2.5 Pemanasan 4 (Suroto, 2004) 5)Latihan 4

Dorong tumit kanan depan bergantian dengan tumit kiri, angkat kaki, tekuk lengan dengan hitungan 8x8

(63)

6)Latihan 5

Peregangan dinamis dengan jalan ditempat hitungan 8x8

Gambar 2.7 Pemanasan 6 (Soroto, 2004) 7)Latihan 7

Gerakan peregangan dinamis dan statis

(64)

2. Gerakan inti 1) Gerakan peralihan

Gerakan dimulai dengan jalan tepuk dan goyang tangan 2 x 8 hitungan

Gambar 2.8 Gerakan Peralihan (Suroto, 2004)

2) Jalan maju mundur melatih koordinasi lengan dan tungkai 2x8 hitungan

(65)

3) Gerakan peralihan melangkah ke samping dengan mengayun lengan ke depan, menguatkan otot lengan 2x8 hitungan

Gambar 2.10 Inti 2 (Suroto, 2004)

4) Gerakan peralihan melangkah ke samping dengan mengayun lengan ke samping menguatkan lengan otot dan bawah, 2x8 hitungan.

(66)

5) Gerakan peralihan mendorong kaki ke belakang dengan lengan ke belakang 2x8 hitungan

Gambar 2.12 Inti 4 (Suroto, 2004)

6) Gerakan peralihan : gerakan mendorong ke samping dengan lengan mendorong ke atas, 2x8 hitungan

(67)

7) Gerakan mengangkat mengangkat lutut ke depan dengan tangan lurus keatas, koordinasi otot tungkai, 2x8 hitungan

Gambar 2.15 Inti 6 (Suroto, 2004)

8) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan

(68)

9) Mengangkat kaki ke depan serong dengan tangan tekuk lurus 2x8 hitungan

Gambar 2.17 Inti 8 (Suroto, 2004)

10) Gerakan mambo 1x8 hitungan, melangkah ke samping 2 langkah tekanan tangan diayun ke samping 1x8 hitungan, gerakan sebaliknya juga sama 2x8 hitungan

(69)

3. Gerakan pendinginan

1) Peregangan dinamis dengan mengangkat lengan 2x8 hitungan

Gambar 2.19 Pendinginan 1 (Suroto, 2004)

2)Peregangan dinamis mengangkat lengan keduanya 2x8 hitungan

(70)

3)Buka kaki, tekuk iutut sambil mengangkat tangan ke kanan atas, tangan kiri ke samping 2x8 hitungan

Gambar 2.21 Pendinginan 3 (Suroto, 2004)

4)Kaki terbuka, tekuk lutut kanan sambil mengangkat tangan kanan ke atas melalui samping, tangan kiri disamping badan 2x8 hitungan

(71)

5)Peregangan dinamis dan statis dengan memutar badan dan memindahkan kedua ujung kaki hitungan ke kanan, dan kiri dengan hitungan 4x8

Gambar 2.23 Pendinginan 5 (Suroto, 2004)

6)Gerakan pernapasan dengan membuka kaki selebar bahu mendorong ke samping dan ke kanan dan ke kiri hitungan 2x8

(72)

7)Gerakan pernapasan dengan lutut ditekuk tangan mendorong ke bawah 2x8 hitungan

Gambar 2.25 Pendinginan 7 (Suroto, 2004)

8)Gerakan pernapasan dengan lutut di tekuk dan tangan mendorong ke depan 2x8 hitungan

(73)

9)Gerakan pernapasan kaki terbuka lebar selebar bahu diangkat ke atas membentuk huruf V 2x8 hitungan

Gambar 2.27 Pendingin 9 (Suroto, 2004)

4.7 Konsep Relaksasi Otot Progresif 4.7.1 Definisi

(74)

Menurut Herodes (2010) dalam Setyoadi dan Kushariadi (2011) teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu teknik otot yang dalam penggunaannya tidak memerlukan ketekunan, imajinasi, dan sugesti.

Relaksasi otot progresif ditujukan untuk melawan rasa tegang, cemas dan stres. Seseorang dapat menghilangkan kontraksi otot dan mengalami rasa rileks dengan membedakan sensasi tegang dan rileks dengan cara menegangkan atau melemaskan beberapa kelompok otot (Resti, 2014).

4.7.2 Alasan latihan otot progresif

Latihan relaksasi otot progresif merupakan salah satu terapi yang membantu lansia dalam mengatasi gangguan tidur. Selain itu dengan latihan otot progresif lansia dapat meningkatkan ekspresi perasaan negatif menjadi positif sehingga membantu lansia mengubah pola hidup yang dapat mengganggu kualitas dan kuantitas tidur pada lansia (Sani, 2003).

Secara fisiologis latihan otot progresif dapat mengurangi aktifitas syaraf simpatisyang dapat mengembalikan tubuh dalam keadaan seimbang dari pupil, pendengaran, tekanan darah. Denyut jantung kembali normal dan otot-otot menjadi rilaks. Latihan relaksasi otot dapat menurunkan stress dan dapat berpengaruh pada peningkatan imun. Latihan ini meningkatkan endorphin dan menurunkan ketokolamin. Endorphin berinteraksi dengan HPA Axis yang berada di hipotalamus mengubah stimulus cemas akibat stressor menjadi tenang, senang dan nyaman (Davis, 1995).

Gambar

Gambar 1.1 Identifikasi Masalah Pengaruh Program Rutin Exercise Aerobik Dan Pemberian Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Latensi Dan Durasi Tidur Pada Lansia Di UPT PSLU Magetan
gambar menyerupai laba-laba di bawah ini (Darmojo & Martono, 2010)
Gambar 2.3 Pemanasan 1 (Suroto, 2004)
Gambar 2.5 Pemanasan 4 (Suroto, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan informasi mengenai kualitas attachment dengan orang tua di masa kecil pada wanita yang memiliki kecenderungan untuk

Provinsi Papua adalah Provinsi yang memiliki kebijakan khusus sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus, dan dalam rangka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan penggunaan senjata api illegal oleh anggotan

motivasi kerja yang dimiliki setiap karyawan perusahaan ini

Infrastruktur dan Energi Meningkatnya mobilitas barang antarwilayah Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya 1 Meningkatnya mobilitas

Gohonzon 37 symboloi SGI:n uskonharjoituksen keskeisintä ohjenuoraa, elämän lakina pidettyä nam-myoho-renge-kyota. Samalla sen voidaan katsoa symboloivan liikkeeseen

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kontribusi pendapatan usaha peternakan kambing terhadap tingkat pendapatan petani, skala usaha minimal yang memberikan

Berdasarkan hasil penelitian pada remaja putri yang mengalami obesitas yang dilaksanakan selama dua minggu di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran