• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSERVASI TANAH DALAM MENDUKUNG KELESTARI AN AIR UNTUK MASYARAKAT

PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN

DALAM REHABILITASI DAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

C. Pemilihan Jenis Tanaman untuk Konservasi Tanah dalam rangka Fitoremedias

III. KONSERVASI TANAH DALAM MENDUKUNG KELESTARI AN AIR UNTUK MASYARAKAT

Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati

Kegiatan konservasi tanah dalam bentuk penanaman pohon oleh masyarakat akan mendatangkan manfaat tidak langsung seperti ketersediaan air terjaga dan produktivitas tanah meningkat. Kegiatan penanaman pohon oleh masyarakat lokal yang dapat menjamin kelestarian air merupakan contoh cerita keberhasilan (success story) yang dapat dijadikan teladan dan pembelajaran bagi masyarakat luas. Success story di bidang kehutanan diartikan sebagai kegiatan-kegiatan di bidang kehutanan yang memberikan manfaat/keuntungan kepada masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa contoh kegiatan konservasi tanah melalui upaya rehabilitasi lahan kritis telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelestarian air dan ekonomi untuk masyarakat sekitar hutan (Dharmawan et al., 2008) diilustrasikan sebagai berikut:

a. Pada awal pembentukannya, Kelompok Tani Hutan Baru Rangga, Kadungora, Kabupaten Garut didirikan dengan motivasi untuk lebih meningkatkan kekuatan sesama petani sayur. Seiring dengan perkembangan bahwa di sekitar lokasi mereka terdapat lahan kritis yang luas, maka mereka bertekad untuk lebih meningkatkan peran mereka dalam merehabilitasi lahan kritis tersebut. Untuk itu, mereka bersepakat membentuk kelompok tani supaya dapat menghijaukan kembali lahan kritis di desa mereka dan dapat meningkatkan hasil penjualan sayurnya. Kegiatan penanaman lahan kritis dilakukan di lahan milik sebagai hutan rakyat dan didanai oleh anggaran GERHAN sebesar Rp 2.450.000,-/ha pada luasan 25 ha. Untuk proporsi luasan masing-masing anggota bervariasi antara 0,2 ha sampai dengan 1,0 ha. Jenis-jenis tanaman yang ditanam meliputi suren, mahoni, alpukat, nangka, durian,

145 mangga, dan waru gunung. Waru gunung ditanam atas inisiatif masyarakat dan bukan jenis yang direkomendasikan dalam Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Namun demikian, jenis ini memiliki pertumbuhan yang sangat bagus dan pada umur enam tahun sudah bisa ditebang karena diameternya sudah mencapai 20 cm, sehingga jenis ini merupakan jenis yang ekonomis dan dapat cepat dipanen. Kegiatan GERHAN telah memberikan manfaat yang banyak kepada masyarakat antara lain kondisi tanah lebih subur, kekeringan air sudah dapat dikurangi, air tidak keruh lagi, dan tidak adanya longsoran dari tempat-tempat yang berlereng curam karena tanahnya sudah terikat oleh akar. Pada waktu sebelum GERHAN, kawasan di sekitar kelompok tani merupakan lahan yang gundul/kritis dan hanya ditanami sayur-sayuran saja, tanpa ada tanaman tahunan (buah-buahan atau jenis tanaman hutan) sehingga secara keseluruhan hasilnya tidak maksimal. b. Kelompok Tani Hutan Hegar Sari 2 berlokasi di Dusun

Sapuangin, Desa Karangsari, Kabupaten Ciamis. Kelompok tani ini dibentuk berdasarkan inisiatif sendiri. Inisiatif ini muncul karena kepedulian mereka terhadap kondisi lahan yang sangat kritis dan memiliki topografi berat/berlereng. Untuk itu, mereka berkeinginan menghijaukan kembali lahan kritis menjadi lahan yang produktif. Usaha kelompok tani ini tidak sia-sia karena telah berhasil menghijaukan kembali lahan kritis seluas 230 ha menjadi lahan yang benar-benar produktif dan pada tahun 2006 meraih Juara I Lomba GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) Tingkat Provinsi Jawa Barat. Lahan di desa ini bertopografi berat dengan tingkat kelerengan 45% dan pada awalnya hanya berhamparkan tanaman pisang. Pada tahun 2007 sudah terdapat 60 ribu pohon antara lain jati, mahoni, waru gunung, durian, kopi, cengkeh, dan nilam. Kendala dalam penghijauan yang masih dihadapi saat ini adalah terdapatnya lahan seluas 25 ha yang belum tertanami karena kondisi tanahnya yang berbatu dan curam sehingga sulit untuk ditanami. Usaha penanaman baru dilakukan sebatas pada jenis gliricidia. Manfaat yang telah diperoleh dengan adanya penghijauan ini adalah sumber air di desa sudah terisi kembali dan apabila kemarau masih terdapat sumber air serta iklim di desa makin sejuk.

c. Kelompok Tani Subur Makmur di Desa Bumisari, Kabupaten Purbalingga telah melakukan penanaman sengon sejak tahun 1996 untuk merehabilitasi lahan kritis

146

di desanya. Desa Bumisari merupakan daerah hulu (wilayahnya sampai ke puncak Gunung Slamet) dari Obyek Wisata Air Bojongsari (OWABONG) yang merupakan salah satu penopang sumber air dari obyek wisata tersebut. Oleh karena itu, Bupati Purbalingga sangat peduli pada kelestarian hutan di daerah hulu. Dengan kegiatan tersebut Bupati Purbalingga menjadi Juara I Tingkat Nasional sebagai Bupati Peduli Kehutanan. Dengan adanya aktivitas masyarakat Desa Bumi Sari yang telah menanam sengon, maka hal itu telah memberikan sumbangan/pasokan air yang berarti bagi kawasan wisata OWABONG. Hal ini membuktikan bahwa penanaman pohon sengon di hulu (Desa Bumi Sari) telah menjamin kelestarian pasokan air ke OWABONG.

Para hadirin sekalian yang saya hormati

Selanjutnya, contoh keberhasilan upaya konservasi tanah yang telah memberikan manfaat kelestarian air adalah yang dilakukan oleh:

d. Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Margomulyo berlokasi di Dusun Pringsurat, Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Keinginan membentuk paguyuban tersebut dilandasi oleh semangat dan keinginan warga untuk memperoleh kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik. Komoditas kayu yang menjadi andalan masyarakat daerah ini adalah jati, mahoni, dan Acacia auriculiformis. Masyarakat banyak menanam jati di lahan-lahan kritis mereka dalam bentuk hutan-hutan rakyat. Jati dapat dipanen paling cepat umur 15 tahun dengan harga rata-rata Rp 600.000,- per batang. Untuk menjaga kelestarian maka disepakati tebang 1 tanam 10 dan sudah dituangkan dalam bentuk peraturan KTHR secara tertulis. Kelompok tani tersebut mempunyai lahan seluas 186 ha dengan jarak tanam 3 m x 4 m. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan dilakukan penjarangan dua kali, yaitu pada umur lima tahun dan sembilan tahun. Tanaman jati ini, selain mendapatkan keuntungan secara ekonomi, secara ekologi masyarakat juga merasakan munculnya sumber mata air pada tahun 2001 setelah mereka menanam tanaman jati. Sungai masih tetap berair walaupun pada musim kemarau panjang.

e. Masyarakat Desa Selopamioro sudah menanam jati dari tahun 1970-an. Kegiatan pembangunan hutan oleh

147 masyarakat sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Adanya gerakan GERHAN dapat memacu semangat masyarakat untuk membangun hutan. Untuk mensukseskan GERHAN, mereka mamperkuat Kelompok Tani Sapuangin yang sudah terbentuk menjadi Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktan) Sapuangin yang beranggotakan 932 orang dari 18 dusun yang ada di Desa Selopamioro. Gapoktan Sapuangin menanam jati dan melinjo (terutama jati) pada lahan seluas 350 ha yang tersebar di 11 dusun. Di samping itu terdapat lahan hutan konservasi seluas 336 ha dan hutan pelestarian seluas 1 ha di mana lahan tersebut milik Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai lahan SG (Sultan Ground). Pada lahan SG masyarakat diijinkan mengelola tanpa membayar apapun. Tanah di Dusun Jetis, Desa Selopamioro mempunyai solum sangat tipis (berbatu-batu). Namun setelah kegiatan GERHAN, air tersedia sepanjang tahun. Sebelum GERHAN, warga Desa Selopamioro hanya mempunyai ketersediaan air sampai bulan Agustus – September dan hanya cukup untuk 30 KK saja. Setelah September warga kekurangan air dan harus mengambil dari Kali Oyo. Setelah menanam jati secara swadaya selama 30 tahun ditambah dengan program GERHAN, ketersediaan air cukup untuk kebutuhan 90 KK warga, bahkan masih cukup untuk irigasi sawah dan air melimpah sepanjang tahun.

f. Kelompok Tani Sidomulyo sebagai Juara I Kinerja GERHAN 2004 Tingkat Nasional berlokasi di Desa Kertowono, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang. Berdasarkan letaknya Desa Kertowono merupakan desa penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN- BTS). Kelompok tani ini pada tahun 2004 dan 2006 menjadi Juara I Nasional Lomba GERHAN. Kelompok Tani Sidomulyo mempunyai anggota 87 orang yang berasal dari empat dusun, yaitu Sidomulyo, Karanganyar, Sidodadi, dan Sidomakmur yang mengelola lahan milik seluas 75 ha pada saat dibentuk. Saat ini sudah berkembang seluas 395,7 ha dengan anggota kelompok 345 orang. Sebelum kegiatan GERHAN, mata air di daerah ini hanya 10 buah, tetapi sejak berkembangnya hutan rakyat sengon yang dimulai pada tahun 1996, saat ini terdapat 44 buah mata air yang dapat memenuhi kebutuhan air bagi warga di tiga kecamatan yaitu Kedojajang, Padang, dan Gucialit. Dengan meningkatnya jumlah mata air maka hal ini memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sumber air.

148

IV. KESIMPULAN

Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati

Berdasarkan fakta dan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Strategi konservasi tanah melalui pemilihan jenis yang

tepat dan remediasi tanah dari kontaminasi pada areal bekas penambangan emas dapat meningkatkan produktivitas tanah dan pertumbuhan tanaman. Media tailing dapat diturunkan kandungan Pb-nya dari 10,2 ppm menjadi 7,5 ppm dan Cu dari 2,0 ppm menjadi 1,2 ppm setelah diaplikasikan pupuk kandang (kotoran kambing) ke dalam media tailing (limbah penambangan emas) dengan perbandingan pupuk kandang : tailing (1:1, v/v). Penurunan Pb tersebut menjadikan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Gmelina arborea meningkat masing-masing sebesar 3,7 cm/bulan dan 0,3 cm/bulan. Sementara itu, pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Paraserianthes falcataria juga meningkat masing-masing sebesar 1,6 cm/bulan dan 0,07 cm/bulan.

b. Motivasi masyarakat dalam melakukan konservasi tanah

pada kondisi lingkungan yang kritis sangatlah tinggi sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air di lingkungan mereka. Ketersediaan air dapat dilihat dari meningkatnya jumlah mata air sebelum penanaman dari 10 buah menjadi 44 buah setelah penanaman selama 10 tahun di Desa Kertowono. Di Desa Selopamioro, ketersediaan air mencukupi untuk 30 KK selama musim kemarau sebelum penanaman jati dan GERHAN. Namun, 30 tahun setelah penanaman jati dan ditambah program GERHAN, maka ketersediaan air mencukupi untuk 90 KK selama musim kemarau.

c. Dalam melakukan pemilihan strategi konservasi tanah

yang tepat dapat disesuaikan dengan karakteristik dan potensi lingkungan serta masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kelestarian tanah dan air yang dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang menjadi tolok ukur keberhasilan suatu kegiatan konservasi tanah.

149

V. PENUTUP

Para hadirian sekalian yang saya hormati

Upaya konservasi tanah pada bekas areal penambangan emas perlu lebih banyak ditindaklanjuti dengan seleksi/pemilihan jenis yang tepat yang memiliki kemampuan besar untuk menurunkan kandungan logam berat Pb dan Cu. Selain itu, perlu juga dicoba penggunaan pupuk kompos lainnya selain pupuk kandang yang berpotensi untuk menekan kandungan logam berat Pb dan Cu pada media tailing.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sedikit kontribusi untuk upaya konservasi tanah di areal bekas penambangan emas serta memberikan contoh-contoh keberhasilan tentang pentingnya konservasi tanah mendukung kelestarian air untuk masyarakat. Bagi pengelola areal penambangan emas, komposisi media tailing : pupuk kandang (1:1, v/v) dapat digunakan sebagai media tanam dalam kegiatan rehabilitasi areal bekas penambangan emas. Bagi Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, contoh-contoh keberhasilan upaya konservasi tanah yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditindaklanjuti untuk menentukan kriteria dan indikator keberhasilan konservasi tanah oleh masyarakat.

Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati

Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu masukan dan saran konstruktif akan memperbaiki kualitas dari tulisan ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati

Ijinkan saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi atas kesempatan dan peluang yang telah diberikan untuk melaksanakan kegiatan penelitian terkait konservasi tanah.

Saya sampaikan juga ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak/Ibu Tim Penilai Peneliti Instansi yang telah meluangkan waktu, pemikiran, dan tenaga untuk membimbing peneliti selama ini.

150

Tidak lupa juga, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para guru dan para dosen yang telah memberikan ilmunya dan membimbing penulis selama menempuh studi dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.

Para hadirin sekalian yang saya hormati

Karir yang penulis capai saat ini, mustahil akan terwujud tanpa dukungan dan pengorbanan dari orang tua, saudara, istri, dan anak-anak penulis. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada orang tua, saudara, istri dan anak-anak saya yang telah memberikan dukungannya selama ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan setinggi- tingginya kepada teman peneliti dan teknisi lingkup Kelti Pengaruh Hutan yang telah memberikan banyak dukungan pemikiran dan tenaga demi kelancaran kegiatan penelitian selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press.

Balkema, A. A. 1997. Tailings and mine waste. Rotterdam, Netherlands.

Bruijnzeel, L.A.S. 2006. To plant or not to plant? Hydrological benefits of tropical forestation programs under scrutiny. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat. Surakarta.

Dharmawan, I. W. S., 2003. Pemanfaatan endomikorhiza dan pupuk organik dalam memperbaiki pertumbuhan Gmelina arborea LINN pada tanah tailing. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dharmawan, I. W. S. 2007. Bioremoval dan fitoremediasi dalam konservasi tanah bekas tambang emas. Jurnal Enviro Vol. 9 No. 1. PPLH – LPPM UNS Surakarta. Surakarta.

Dharmawan, I. W. S. 2006. Aplikasi cendawan endomikorhiza dan pupuk organik pada media tailing untuk meningkatkan pertumbuhan semai Paraserianthes falcataria. Jurnal Widya Riset Vol. 9 No. 4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

Dharmawan, I. W. S, E. Widyati, A. Ng. Gintings, Syafruddin dan H. Sudiana. 2008. Penanaman pohon dan kelestarian air:

151 Sebuah cerita keberhasilan masyarakat lokal. Info Hutan Vol. V No. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Ilyas, M.A., A. Ng. Gintings, F. Agus dan I.B. Pramono. 1996. Pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap banjir, erosi dan sedimentasi pada Sub-Das Cigulung Maribaya. Sekretariat Tim Pengendali Penghijauan dan Reboisasi Pusat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Irawan, U.S. 2004. Aplikasi ektomikorhiza dan pupuk organik

untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman pada media tailing. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Matsushita, K., N. Miyauchi and S. Yamamuro. 2000. Kinetics of

15

N-labelled nitrogen from co-compost made from cattle manure and chemical fertilizer in a paddy field. Soil Sci. Plant Nutr. Vol. 46 No. 2.

Paul, E. A. and F. E. Clark. 1989. Soil microbiology and biochemistry. Academic Press, Inc. Hercourt Brace Jovanovich Publishers. San Diego.

Rachman, S. 2010. Kebijakan dan upaya pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari sektor kehutanan. Di dalam : Prosiding Seminar dan Kongres Nasional VII MKTI; Jambi, 23-24 Nopember 2010. Bogor : Perhimpunan MKTI.

Sinukaban, N. 2007. Peranan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Di dalam : Prosiding Seminar dan Kongres Nasional VI MKTI; Cisarua, 17-18 Des 2007. Bogor : Perhimpunan MKTI.

Subagyono, K. 2007. Konservasi air untuk adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim. Dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. PP-MKTI. Jakarta.

Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme : Suatu kajian kepustakaan (Heavy metal bioremoval by microorganisms : A literature study). Sinergy Forum – PPI Tokyo Institute of Technology. Tokyo.

Suprapto, J. S. 2008. Tinjauan reklamasi lahan bekas tambang dan aspek konservasi bahan galian. Pusat Sumber Daya Geologi. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta.

Widjajanto, D.W., T. Honmura, K. Matsushita, and N. Miyauchi. 2001. Studies on the release of N from water hyacinth

152

incorporated into soil-crop systems using 15N-labeling techniques. Pak. J. Biol. Sci. Vol. 4 No. 9.

Widjajanto, D.W., T. Honmura, and N. Miyauchi. 2002. Nitrogen release from green manure of water hyacinth in rice cropping systems. Pak. J. Biol. Sci. Vol. 5 No. 7.

Widjajanto, D.W., T. Honmura, and N. Miyauchi. 2003. Possible utilization of water hyacinth (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms), an aquatic weed, as green manure in vegetables cropping systems. Jap.J.Trop Agric. Vol. 47 No. 1.

153

TAMAN NASIONAL

Ir. Reny Sawitri, M.Sc1

I. PENDAHULUAN

Bapak, ibu, dan hadirin yang saya hormati,

Sejak era reformasi yang dimulai pada awal tahun 1998, paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia berubah drastis dan cenderung reaktif terhadap setiap tuntutan yang berlangsung di masyarakat melalui semboyan hutan untuk rakyat (Sardjono, 1999 dalam Sawitri et al., 2000). Perubahan tersebut meliputi upaya desentralisasi dan restrukturisasi pengusahaan hutan, yang berimplikasi terhadap peran masyarakat sekitar hutan untuk turut serta mengelola sumberdaya alam dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Hal ini perlu mendapat dukungan karena mengangkat kembali praktek pengelolaan hutan secara tradisional untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari yang melibatkan masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan (Sawitri, et.al., 2000).

Pengelolaan hutan berupa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, menurut PP RI Nomor 68 tahun 1998 ditujukan untuk memenuhi fungsi wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dijabarkan dalam PP RI Nomor 7 tahun 1999, meliputi kegiatan inventarisasi jenis, pembinaan habitat dan populasi jenis serta penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang dapat dilakukan oleh pemerintah, akademisi dan ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama rakyat. Hal ini mengingat bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati bertujuan untuk

1

154

mempertahankan pengembangan pemanfaatannya, melestarikan potensi dan ketersediaannya.

Kawasan pelestarian alam tersebut yang berfungsi sebagai kawasan konservasi yaitu taman nasional umumnya dikelilingi masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kesejahteraan yang belum memadai, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan kawasan konservasi tersebut. Untuk mengatasi kemungkinan tekanan masyarakat ke dalam kawasan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di sekitar kawasan konservasi sekaligus melindungi kelestarian keanekaragaman hayati, maka ditetapkan daerah penyangga taman nasional. Di dalam UU RI No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan.

II. DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

Bapak, ibu, dan hadirin yang saya hormati

Penetapan dan pengelolaan daerah penyangga menjadi sangat penting mengingat tekanan masyarakat yang mengintervensi masyarakat yang kurang memahami kebijakan, kepentingan ekonomi, keterbelakangan teknologi konservasi, dan permasalahan lahan yang berkembang di masyarakat sekitar kawasan. Pengelolaan dimaksud adalah perpaduan keserasian pengelolaan keragaman hayati dan lahan pertanian sesuai dengan kondisi fisik dan potensi daerah untuk mendapatkan hasil optimal guna menunjang sistem perokonomian masyarakat lokal dan mencegah konflik antara masyarakat dengan kawasan konservasi dan mengurangi bahaya satwaliar bagi masyarakat atau sebaliknya.

Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan daerah secara terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan objektif wilayah masing-masing yang disesuaikan

155

dengan sasaran pembangunan. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi di sekitarnya harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah dalam satu perencanaan terpadu, dimana program pembangunan kawasan konservasi tersebut akan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pembangunan daerah penyangga merupakan alternatif pemecahan masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi masyarakat desa hutan, serta upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam melestarikan potensi tumbuhan guna pelestarian jenis dan manfaatnya melalui pengembangan wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya dan industri dari tanaman hutan yang bernilai ekonomis tinggi guna mewujudkan ketahanan pangan. Dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, peranan hutan antara lain sebagai stok pangan, sumber air rumah tangga dan penopang utama sistem irigasi pertanian, sumber pendapatan, pendukung peternakan, penyedia obat-obatan, sumber energi, pemelihara keseimbangan lingkungan, sumber genetik keanekaragaman hayati, penyedia tempat tinggal dan lahan garapan serta pemberi warna kebudayaan. Hal ini terjadi di semua kawasan konservasi di daerah penyangga taman nasional seperti masyarakat di daerah penyangga Taman Nasional Merbabu yang setiap hari memasuki kawasan mengambil rumput untuk ternak sapinya di pagi hari dan kayu bakar untuk memasak di sore hari (Sawitri dan Iskandar, 2007). Kegiatan ini memiliki efek negatif berupa persaingan habitat dan ketersediaan pakan dengan satwaliar, merusak vegetasi, pemadatan permukaan tanah, perburuan liar dan perladangan liar (Alikodra dan Rinekso, 1991 dalam Sawitri et al., 2000).

Untuk menekan dampak negatif akibat ketergantungan masyarakat lokal pada hutan maka daerah penyangga taman nasional harus dikelola berdasarkan pada tiga aspek yang saling terkait yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar daerah penyangga dapat memiliki nilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada hutan yang tinggi di antaranya melalui pengembangan hutan rakyat dengan teknik agroforestri (Bismark et al., 2007). Oleh

156

karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga, dan masyarakat akan menunjukkan dan mempunyai hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Untuk itu diperlukan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terpadu yang saling mendukung dan sinergis dalam suatu kesatuan konsep program dan strategi pengembangan daerah penyangga.

Bapak, ibu, dan hadirin yang saya hormati

Pengembangan dan pengelolaan daerah penyangga dilakukan melalui pembagian lahan ke dalam wilayah atau zonasi yang ditujukan pada pengelolaan habitat dan populasi satwaliar serta kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Berdasarkan pengembangan dan pengelolaan daerah penyangga tersebut dibagi ke dalam tiga jalur (Setyawati dan Bismark, 2002), yaitu:

 Jalur hijau: fungsi jalur hijau adalah menyangga fisik kawasan dari gangguan dan pengaruh jenis eksotik tumbuhan dan sebagai perluasan daerah jelajah satwa. Areal yang dapat dikelola sesuai dengan fungsi di atas adalah hutan produksi, kawasan lindung, dan hutan rakyat yang berbatasan dengan kawasan konservasi.

 Jalur interaksi: fungsi jalur interaksi adalah menyangga kawasan konservasi dan jalur hijau dari perubahan ekosistem yang drastis, gangguan satwaliar ke kawasan