• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Karakteristik Rehabilitasi dan Pengelolaan Hutan

PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN

DALAM REHABILITASI DAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

A. Sejarah dan Karakteristik Rehabilitasi dan Pengelolaan Hutan

Penyebab utama terjadinya degradasi hutan dan lahan adalah penebangan liar, kebakaran hutan, konversi lahan hutan, perluasan lahan pertanian yang tidak terencana, reformasi politik dan kesenjangan sosial. Sesungguhnya laju degradasi hutan dan lahan secara nasional sejak periode 1997 s/d 2009 sudah mulai menurun. Pada periode 1997-2000 laju degradasi hutan dan lahan secara nasional mencapai 2,84 juta ha/tahun (Badan Planologi Kehutanan, 2005); pada periode 2000-2005 menurun menjadi 1,09 juta ha/tahun (Departemen Kehutanan, 2008), dan pada periode 2006-2009 menurun lagi menjadi 610.376 ha/tahun (Kementerian Kehutanan, 2011). Dari data laju degradasi hutan dan lahan tersebut, kita boleh berbangga dan optimis bahwa upaya rehabilitasi hutan dan lahan melalui berbagai program mulai memberikan hasil.

Rehabilitasi hutan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang yang dimulai pada zaman penjajahan Belanda, sementara sejarah pengelolaan hutan bahkan lebih panjang. Kegiatan yang paling penting selama periode penjajahan Belanda adalah penetapan Bosfonds atau dana rehabilitasi. Dana tersebut berasal dari pajak yang dikenakan atas konversi hutan di daerah hilir menjadi lahan pertanian, yang digunakan untuk merehabilitasi hutan di daerah hulu. Hutan pinus di Aek Nauli, Sumatera Utara membuktikan keberhasilan sistem pajak tersebut (Mursisin et al., 1997 dalam Murniati et al., 2007 dan Murniati et al., 2008a)

Upaya rehabilitasi hutan dan lahan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1950-an melalui gerakan Karang Kitri. Pada tahun 1976 mulai dilakukan rehabilitasi secara besar-besaran melalui Inpres Reboisasi, Inpres Penghijauan dan Pemgembangan Kebun Bibit Desa. Selanjutnya mulai tahun 1985 dilaksanakan rehabilitasi hutan bekas tebangan melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), disusul dengan Hutan Kemasyarakatan

78

pada tahun 1995, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) pada tahun 2003 dan Hutan Tanaman Rakyat pada tahun 2007. Program penghijauan yang menonjol selain Inpres Penghijauan adalah Pekan Penghijauan Nasional 1 s/d 35, kredit Hutan Rakyat, UP-UPSA (Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam), UP-UPM (Unit Percontohan Usaha Pertanian Menetap), dan KUK-DAS (Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai) (Murniati, 2005; Murniati et al., 2007 dan 2008a; Murniati dan Sumarhani, 2010). Kegiatan yang akhir-akhir ini digalakkan adalah kegiatan menanam sejuta pohon, one man one tree, Hari Menanam Pohon Indonesia, Bulan Menanam Nasional dan kegiatan menanam satu milyar pohon.

Kegiatan rehabilitasi selama masa pendekatan top-down dari tahun 1950-an hingga 1970-an didasari oleh kebijakan rehabilitasi hutan untuk menanggulangi bencana banjir dan bencana alam lainnya yang dicirikan dengan adanya mobilisasi massa. Lahan terdegradasi yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan secara berlebihan, terutama di luar Jawa, dan bencana alam yang semakin sering terjadi menjadi fokus perhatian kegiatan rehabilitasi selama periode transisi tahun 1980- an hingga 1990-an. Sejak akhir tahun 1990-an, tujuan ganda, seperti kesejahteraan masyarakat dan produksi kayu dari hutan tanaman telah menjadi ciri penting inisiatif pemerintah. Inisiatif dan program rehabilitasi dengan tujuan ganda ini dilakukan dalam rangka menyikapi permasalahan degradasi kawasan hutan yang semakin kompleks. Perubahan politik semakin memperumit permasalahan dalam kegiatan rehabilitasi. Pada awal Era Reformasi, transisi dari sistem pemerintahan yang terpusat menjadi desentralisasi, serta pengelolaan hutan yang tidak sesuai yang diikuti dengan banyaknya pencabutan HPH dan HPHTI telah mewariskan kawasan hutan bekas penebangan yang sangat luas yang harus direhabilitasi (Murniati et al., 2007 dan 2008).

Hasil studi Murniati et al. (2007 dan 2008) menunjukkan lebih dari 150 proyek rehabilitasi dilaksanakan di sekitar 400 lokasi antara tahun 1950 dan 2004. Jumlah proyek dan cakupan wilayah rehabilitasi meningkat tajam sejak 1980-an menjadi lebih dari dua kali lipat pada periode tahun 1990-an hingga 2004. Anggaran yang diperlukan untuk mendanai kegiatan tersebut juga meningkat drastis.

79

Sepanjang sejarah kegiatan rehabilitasi, daerah aliran sungai digunakan sebagai unit pengelolaan. Pendekatan daerah aliran sungai bersifat lebih holistik; dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dari daerah hulu ke hilir; dan merupakan cara yang cepat dan mudah dalam mengevaluasi dampak terhadap lingkungan. Lebih lanjut hasil studi Murniati et al. (2007 dan 2008a) menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi pada areal bekas penebangan cenderung lebih berhasil dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi lebih positif dan berkelanjutan daripada kegiatan rehabiliatsi pada hutan bekas terbakar. Proyek rehabilitasi yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan cenderung kurang menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi masyarakat setempat dibandingkan proyek rehabilitasi yang dilaksanakan di luar kawasan hutan, hal ini disebabkan masyarakat setempat tidak memiliki hak formal untuk memanen hasil kayu yang ditanam di dalam kawasan hutan.

Hasil analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada 10 proyek rehabilitasi (studi kasus) menunjukkan bahwa tujuh proyek masih menggunakan mobilisasi massa daripada partisipasi masyarakat interaktif. Mobilisasi massa sering disebut partisipasi semu, sedangkan partisipasi interaktif dianggap sebagai partisipasi murni. Secara mengejutkan, satu proyek yang berhasil, yaitu proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai Solo Hulu di Wonogiri, Jawa Tengah (1988-1995), mendorong keterlibatan masyarakat di bawah sistem mobilisasi massa. Ciri-ciri dari sistem mobilisasi adalah berhentinya partisipasi masyarakat segera setelah proyek berakhir, tingginya tingkat ketergantungan masyarakat pada proyek, terutama dalam hal pendanaan, serta rendahnya tingkat inisiatif masyarakat (Nawir et al., 2007 dan 2008).

Proyek-proyek rehabilitasi yang dilaksanakan pada tiga periode yang berbeda (top-down, transisi, dan partisipatif) masing- masing menunjukkan beberapa ciri positif. Proyek yang dimulai pada periode top-down mempunyai lebih banyak ciri positif dalam hal intervensi teknis daripada proyek yang dimulai dengan pendekatan transisi ataupun partisipatif. Hal ini terjadi karena proyek dimulai lebih dari 30 tahun yang lalu sehingga efek pengganda dan dampak telah diperoleh. Proyek yang dilaksanakan selama periode transisi masih dicirikan oleh situasi dan budaya

80

sentralisasi. Sebagai akibatnya, selalu terjadi benturan kepentingan antar pemangku kepentingan, sehingga pada umumnya kepentingan masyarakat setempat tidak terakomodir. Selama periode transisi, peran masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil, seperti LSM dan lembaga lokal atau adat, sedikit mengalami peningkatan. Pada umumnya perubahan ini terjadi sebagai akibat dari tekanan yang kuat dari kelompok yang menginginkan lebih banyak pelibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan. Aspek positif yang ditemukan pada proyek rehabilitasi yang dilaksanakan pada periode partisipatif adalah perlakuan terhadap petani sebagai mitra proyek (Nawir et al.,2007 dan 2008).

B. Implementasi Agroforestry dan Social Forestry pada