• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan

Secara biologis, individu dibedakan dari karakteristik fisik, yaitu laki-laki dan perempuan yang disebut seks. Secara sosial budaya, individu dibedakan dari sifat-sifat yang melekat pada laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) berdasarkan nilai-nilai budaya yang disebut gender. Hilary M. Lips dalam buku Sex and Gender: an Introduction (2005) menyatakan bahwa gender sesungguhnya adalah hal yang

berbeda dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, sedangkan gender sendiri merupakan konstruksi sosial psikologis pada jenis kelamin (Handayani & Novianto, 2004).

Oakley (dalam Kasiyan, 2008) membedakan istilah antara gender dan seks. Secara prinsip dijelaskan bahwa gender merujuk pada kategori sosial dan seks adalah kategori biologis. Hal ini juga ditegaskan oleh Mosses (dalam Kasiyan, 2008), bahwa secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian (given), yakni kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Akan tetapi untuk menjadi ‘feminim’ atau ‘maskulin’ bukan hanya pemberian namun juga kultural berdasarkan kondisi biologis seseorang. Gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (Oakley, dalam Nugroho, 2008). Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural (Nugroho, 2008)

Sekalipun tampak jelas perbedaan antara jenis kelamin dan gender, sampai saat ini masih terlihat bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender. Perbedaan gender (gender differences) tersebut, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (Kasiyan, 2008; Nugroho, 2008).

A. 3. b. Ketidakadilan Gender pada Virginitas

Pada budaya Indonesia, virginitas diidentikan dengan perempuan meskipun kondisi tersebut juga dimiliki oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman bahwa virginitas dapat dibuktikan secara fisik. Virginitas yang dinilai sebatas kondisi fisik saja, yaitu menyangkut keutuhan selaput dara yang hanya dimiliki perempuan. Tidak adanya penanda fisik pada keperjakaan laki-laki seperti halnya selaput dara yang dianggap penanda fisik keperawanan perempuan diperlihatkan dalam novel sastra Saman (Utami, 2008), sebagai berikut:

“Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis” (h. 152)

Pernyataan dalam novel ini memperlihatkan pandangan masyarakat bahwa keutuhan selaput dara mengindikasikan virginitas. Keperawanan pada perempuan seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu keutuhan selaput dara dan pendarahan pada saat terjadi persenggamaan. Selain memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan anggapan bahwa virginitas dimaknai sebagai hal fisik yang lebih terlihat pada perempuan, budaya ini juga memperlihatkan adanya tuntutan bagi perempuan untuk menjaga virginitasnya hingga menikah.

Isu virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan yang bertanggung jawab menjaga virginitasnya adalah perempuan. Tuntutan untuk masih perjaka bagi laki-laki hampir tidak ada (Oetomo, 2001). Selain itu, eksplorasi seksual yang menyebabkan laki-laki kehilangan keperjakaan lebih dapat ditoleransi dan dimaklumi oleh masyarakat daripada eksplorasi seksual pada perempuan (Torsina,

2008). Virginitas memiliki peran sosial yang penting khususnya bagi perempuan. Berbeda dengan yang dirasakan oleh perempuan terkait dengan keperawanan, secara sosial budaya masyarakat tidak terlalu memperhatikan keperjakaan, sehingga laki-laki tidak merasakan adanya beban sosial (Oetomo, 2001).

Keperawanan merupakan persembahan wajib perempuan kepada suaminya di malam pertama pengantin (Wirodono, 2009; Utami, 2008). Oleh karena itu, perempuan hanya boleh menyerahkan virginitasnya setelah menikah, dan apabila seorang perempuan tidak perawan lagi, suaminya dan keluarga suaminya akan menjadikannya sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan (Machali, 2005). Hal tersebut tidak berlaku pada pria. Keperjakaan pada pria sulit ditentukan karena tidak ada tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.

Selain dikarenakan adanya pemahaman bahwa virginitas terkait dengan kondisi fisik seseorang, perempuan juga akan menanggung beban yang lebih berat apabila ia sampai melepaskan virginitasnya dan melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Pada laki-laki, mereka hanya perlu menyumbangkan spermanya saja untuk menghasilkan keturunan (Durrant & Ellis, 2002). Apabila sepasang kaum muda melakukan hubungan seksual pranikah dan hubungan tersebut menghasilkan keturunan, pihak laki-laki bisa saja tidak mengakui benih tersebut sebagai anaknya dan lari dari tanggung jawabnya. Sedangkan pada perempuan ketika hubungan seksual tersebut menghasilkan keturunan, ia harus menghadapi sembilan bulan mengandung dan bahaya melahirkan. Pada masyarakat tradisional, masa-masa

menyusui dan mengasuh anak juga merupakan beban bagi perempuan apabila hubungan seksual menghasilkan seorang anak (Durrant & Ellis, 2002). Masa-masa mengandung, melahirkan, hingga menyusui dan mengasuh anak akan lebih berat bagi perempuan ketika anak tersebut merupakan hasil hubungan seksual pranikah, karena pihak perempuan akan lebih menanggung malu daripada pihak laki-laki. Hal ini akan semakin buruk apabila pihak laki-laki tidak mau mengakui anak hasil hubungan seksual pranikah tersebut sebagai anaknya. Beban yang akan dihadapi perempuan ketika ia melakukan hubungan seksual pranikah (yang memiliki kemungkinan besar dapat menghasilkan keturunan) menyebabkan masyarakat lebih mempermasalahkan keperawanan daripada keperjakaan.

Keperawanan ternyata sudah dihargai tinggi bahkan oleh budaya yang belum terkena pengaruh agama, sekalipun belum ada kewajiban untuk menjaga keperawanan sebelum menikah. Keperawanan perempuan yang memiliki profesi tertentu, misalnya menjadi ronggeng, akan dihargai sangat tinggi. Hal ini digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novel sastranya yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2007). Pada novelnya Ahmad Tohari mengangkat prosesi bukak klambu yang merupakan syarat terakhir untuk menjadi penari ronggeng di Dukuh Paruk, desa yang belum mengenal agama. Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. Diceritakan bahwa uang yang

wajib diserahkan oleh laki-laki yang menginginkan virginitas calon ronggeng sangat banyak pada masa itu (Tohari, 2007).

Perempuan diharapkan lebih dapat mempertahankan keperawanannya yang sangat berharga, sedangkan pada laki-laki tuntutan akan keperjakaan hampir tidak ada (Oetomo, 2001). Ini mencerminkan adanya ketidakadilan gender pada viginitas di masyarakat. Masyarakat menuntut perempuan untuk mempertahankan virginitasnya namun mengganggap pelepasan virginitas sebelum menikah pada laki-laki sebagai sesuatu yang wajar (Crooks, 2008).

Dokumen terkait