SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Ni Wayan Widayanti Arioka NIM: 059114089
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iii
pengetahuanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan
bakal bisa kemput.”
vi 059114089
Penelitian ini mengkaji makna dan sikap yang dimiliki kaum muda mengenai virginitas, ketika muncul gejala problematika sosial mengenai virginitas, di mana kaum muda menganggap virginitas tidak lagi penting untuk dipertahankan, sedangkan generasi tua masih menuntut kaum muda untuk mempertahankan virginitasnya. Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan seksual merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah pasti akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia, pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu. Agama juga menuntut dipertahankannya virginitas sebelum menikah.
Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial karena paradigma ini menempatkan individu dalam ruang sosialnya. Pendekatan ini memungkinkan untuk melihat bagaimana makna virginitas berkaitan dengan konteks sosial dan kebudayaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan asosiasi kata dan wawancara semi terstruktur kepada 26 mahasiswa dari 6 universitas di Yogyakarta.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kaum muda memaknai virginitas sebagai sesuatu yang melekat pada perempuan baik secara fisik maupun substansial. Virginitas merupakan sesuatu yang suci dan penting dijaga oleh perempuan. Menjaga virginitas merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dan bukan menjadi kewajiban laki-laki karena virginitas perempuan lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat berhubungan seksual. Hal ini berbeda dengan virginitas pada pria yang sulit ditentukan karena tidak ada tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.
vii 059114089
This research examined the meaning of virginity and the attitude of the young toward it, when young people consider that virginity is no longer important to be maintained, while on the other hand, the older generation still requires young people to maintain their virginity. Virginity has a close relation with the sexual intercourse, for this activity can cause somebody’s being not virgin. Yore, sexual intercourse was considered sacred thing; could only be done when a man and a woman intended to obtain an offspring. The marriage will be done when the woman was pregnant with her couple. But in its development, precisely when the religion came into Indonesia, marriage becomes a sacred thing, thus the way to get an offspring through sexual intercourse should be done after a couple had married. Religion also requires to maintained virginity before marriage.
This study used the paradigm of social representation because this paradigm puts the people in their society. This approach allows us to see how the meaning of virginity related to the social and cultural context. Data collecting was conducted by utilizing word association tehnique and semi-structured interview to 26 students from 6 universities in Yogyakarta.
The results of this research indicate that young people make sense of virginity as something inherent in women, both physically and substantially. Virginity is something sacred and important to maintain by women. Keeping virginity is a duty for women and not the duty of men because women’s virginity is more easily evidenced by looking at physical characteristics of the hymen and hemorrhage during sexual intercourse. It is different from the men’s virginity, which is difficult to determine because there is no physical sign that similar of what is owned by women.
ix
dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Representasi Sosial Virginitas pada Mahasiswa di Yogyakarta” ini dengan baik. Kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu mendampingi dan menuntun langkah penulis sungguh dirasakan oleh penulis, sehingga penulis bisa selalu mendapatkan jalan keluar setiap kali menemui kesulitan.
Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan, bantuan, saran dan kritik berharga dari orang-orang di sekitar penulis, dan kepada mereka penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya:
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, dukungan dan perhatian selama proses penyelesaian skripsi ini, juga untuk diskusi dan semangatnya yang menginspirasi.
2. Ibu M. L. Anantasari, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing saya selama proses menuntut ilmu di Fakultas Psikologi. Terimakasih untuk segala perhatiannya selama 4 tahun ini.
3. Pak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi dan Ibu Sylvia C. M. Y. M., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
x
6. Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Gi’, terima kasih untuk kemudahannya saat mengurus administrasi perkuliahan. Mas Muji dan Mas Doni, terimakasih untuk bantuannya selama perkuliahan baik dalam mempersiapkan presentasi maupun praktikum. Saya pasti akan merindukan suasana di ruang baca dan laboratorium.
7. KELUARGA ARIOKA.. Mama dan Papa.. yang telah mendukung saya secara lahir bathin dan financial.. Terima kasih karena selalu percaya pada saya.. Adek, Oming, Caca.. luv ya all, brotha..
8. MJ a.k.a. GEROMBOLAN SI BERAT.. Anne, Agatha, Henny, Jessi.. Ini bukan akhir petualangan kita kawan.. Terimakasih untuk kegembiraan dan semangat di masa kuliah yang selalu kalian tularkan padaku.. Sungguh 4 tahun yang luar biasa.. Petualangan selanjutnya akan lebih menyenangkan dari yang sebelumnya.. let’s go...
9. KELUARGA CEMARA.. Shinta, mbak Bella, Tiwi, Lilo, Arya, Alma, Lucky, Mbak Nana, Gita, Wira, dan Iin. Kita telah melewati masa-masa akhir kuliah yang menggemparkan.. mari kita lanjutkan perjalanan kita menggemparkan dunia..hahahay.. Tak lupa juga Mbak Chigie dan Om Troy yang ikut memberi warna dalam proses pengerjaan skripsi di Cemara.
xi
paling awet.. Ayo buruan nyusul.. ditunggu di Bali..
13. Segenap penghuni dan mantan penghuni KOST CANNA eksklusif, untuk tawa dan canda yang ditawarkan selama tiga tahun terakhir ini.
14. SEXENERS.. yang telah memperlihatkan hitamnya Yogyakarta lewat alunan musik yang indah.. hitam tak selalu gelap, hitam adalah berbagai warna yang berpadu menjadi satu..
15. PONDOKERS.. terimakasih untuk beberapa perjalanan alam yang menyenangkan..
16. Facebook.. terimakasih karena telah membantu saya menjalin komunikasi yang sempat terputus dengan kawan-kawan lama saya.. semoga layananmu bisa lebih berarti di masa-masa selanjutnya.
17. Teman-teman BEMF 2005-2006, BPMF 2006-2007, KMHD Swastika Taruna.. senang bisa bekerjasama dengan kalian semua..
18. EXCEL berplat DK 4247 GZ karena telah setia menemani saya. Kita pernah jatuh bangun bersama, brotha..
19. Vanila-Latte dan Blackykomputerhebat-ku tercinta, untuk kerelaannya dipanjer seharian buat ngetik tugas, nonton tv, nonton film, denger lagu, dan tentunya untuk menyelesaikan skripsi.
xii
beruntung bisa berproses bersama kalian selama 4 tahun. Banyak hal yang saya dapatkan dari proses belajar kita. Bersama kalian, aku belajar hidup.
xiii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. i
HALAMAN PENGESAHAN ……… ii
HALAMAN MOTTO ……… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v
ABSTRAK ……….. vi
ABSTRACT ……… vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………... viii
KATA PENGANTAR ……… ix
DAFTAR ISI ………...xiii
DAFTAR TABEL ……….. xvi
DAFTAR SKEMA ………. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang Masalah ……….1
B. Rumusan Permasalahan ………. 8
C. Tujuan Penelitian ………... 8
xiv
2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas ……... 11
3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya ………..18
B. Konteks Penelitian : Mahasiswa di Yogyakarta ……… 23
1. Kontribusi Kultural dalam Makna Virginitas pada Mahasiswa di Yogyakarta ………... 23
2. Mahasiswa ………... 25
3. Masa Dewasa Awal ………. 26
C. Representasi Sosial Tentang Makna Virginitas pada Kaum Muda di Yogyakarta ………... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 36
A. Jenis Penelitian ……….. 36
B. Batasan Istilah ………... 37
C. Responden Penelitian ……… 38
D. Metode Pengumpulan Data ………... 39
1. Metode Asosiasi Kata dengan Menggunakan Kuesioner Terbuka ……… 39
2. Metode Wawancara ………... 43
E. Analisis Data ………..45
xv
2. Tahap Pengambilan Data ………. 50
B. Hasil Penelitian ……….. 51
1. Analisis Data Metode Asosiasi Kata Menggunakan Kuesioner Terbuka ……….. 53
2. Analisis Data Hasil Wawancara ……….. 63
3. Analisis Data Berdasarkan Demografi Responden ………. 77
C. Pembahasan Penelitian ……….. 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 98
A. Kesimpulan ……… 98
B. Saran ……….. 100
DAFTAR PUSTAKA ……… 101
xvi
Tabel 2 Pandangan Agama mengenai Virginitas ………... 13
Tabel 3 Pedoman Wawancara ……… 44
Tabel 4 Data demografi Responden ………... 53
Tabel 5 Kata yang Populer Mengenai Virginitas pada Responden ………... 54
Tabel 6 Kata yang Populer Mengenai Virginitas pada Responden Beserta Maknanya ……… 54
Tabel 7 Kategori Hasil Asosiasi Kata Beserta Maknanya ………. 57
Tabel 8 Frekuensi Hasil Asosiasi Kata Berdasarkan Kategori ……….. 60
Tabel 9 Frekuensi Hasil Asosiasi Kata Berdasarkan Kategori pada Tiap Prioritas ……… 62
Tabel 10 Persentase Respon dan Responden Data Wawancara Berdasarkan Kategori ………64
Tabel 11 Sikap terhadap Virginitas pada Diri Sendiri ………. 67
Tabel 12 Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………..69
Tabel 13 Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ……….. 70
Tabel 14 Usia Responden Mendapatkan Informasi tentang Virginitas ……... 71
Tabel 15 Sumber Informasi tentang Virginitas ……… 72
Tabel 16 Orang-orang yang Dianggap Berperan Terkait dengan Virginitas ... 74
Tabel 17 Perbedaan Makna Virginitas pada Perempuan dan Laki-laki ……... 78
xvii
Tabel 21 Alasan Tidak Mempermasalahkan Virginitas Pasangan …………... 82 Tabel 22 Alasan Laki-laki Menganggap Virginitas Pasangan Penting
tapi Tidak Harus ……… 83 Tabel 23 Perbedaan Sikap antara Laki-laki dan Perempuan terhadap
Virginitas pada Orang Lain ………... 83 Tabel 24 Alasan Menganggap Virginitas Merupakan Hak Setiap Orang …… 84 Tabel 25 Perbedaan antara Responden Laki-laki dan Perempuan tentang
Sumber Informasi mengenai Virginitas ……… 85 Tabel 26 Sumber Informasi tentang Virginitas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 86 Tabel 27 Perbedaan Sumber Informasi Berdasarkan Sikap terhadap
xviii
xix
Lampiran 2 Data Demografi Responden ……… 109 Lampiran 3 Persebaran Data Metode Asosiasi Kata Virginitas ………. 110 Lampiran 4 Frekuensi Kata yang Muncul dari Hasil Asosiasi Kata
Virginitas ……….115 Lampiran 5 Koding Data Asosiasi Kata Virginitas Berdasarkan
Kategori ………...117 Lampiran 6 Frekuensi Respon dan Total Responden Hasil Asosiasi
Kata ………. 118 Lampiran 7 Makna Kata Hasil Asosiasi Kata Virginitas ………....120 Lampiran 8 Persebaran Data Makna Virginitas Berdasarkan Wawancara ….125 Lampiran 9 Persebaran Data Sikap terhadap Virginitas Diri Sendiri ………. 128 Lampiran 10 Alasan Sikap terhadap Diri Sendiri ……….129 Lampiran 11 Persebaran Data Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………….131 Lampiran 12 Alasan Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………132 Lampiran 13 Persebaran dan Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ………....134 Lampiran 14 Alasan Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ……….135 Lampiran 15 Persebaran Data Usia Responden Mendapatkan Informasi
Mengenai Virginitas ………137 Lampiran 16 Persebaran Data Sumber Informasi Mengenai Virginitas ……...138 Lampiran 17 Frekuensi Kemunculan Respon dan Total Responden yang
Menjawab Sumber Informasi tentang Virginitas ……….139 Lampiran 18 Persebaran Data Orang-orang yang Dianggap Berperan
1 A. LATAR BELAKANG
Kultur masyarakat secara umum memandang seks sebagai suatu hal yang
sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hubungan
seks ’dilegalkan’ bila pasangan laki-laki dan perempuan telah mengikatkan diri dalam
sebuah lembaga perkawinan dan disahkan secara hukum sebagai suami istri
(Al-Fayyadl, 2006; Haryatmoko, 2006). Ini juga berarti bahwa virginitas hanya boleh
’dilepas’ ketika sudah menikah.
Tuntutan untuk menjaga virginitas terlihat dari simbol-simbol yang ada dalam
upacara pernikahan adat di Jawa, yaitu pada prosesi menginjak telur yang
ditempatkan di sebuah cobek. Prosesi ini dikenal dengan nama midag endhog. Adapun yang menginjak telur adalah mempelai laki-laki (Purwadi, 2005). Telur
melambangkan keperawanan mempelai perempuan yang masih utuh saat menikah.
Midak endhog bermakna bahwa mempelai wanita merelakan pamor dan keperawanannya direngkuh oleh mempelai laki-laki (Listyorini, tanpa tahun). Simbol
dalam upacara pernikahan Jawa ini menyiratkan bahwa virginitas merupakan hal
yang penting untuk dijaga hingga menikah pada tradisi Jawa. Pandangan ini sedikit
banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang ada di Indonesia. Kelima agama resmi
menikah.
Dewasa ini, muncul gejala problematika sosial mengenai virginitas, dimana
generasi tua menganggap virginitas merupakan hal yang penting dan menuntut kaum
muda untuk tetap mempertahankan virginitasnya sebelum menikah, sedangkan
generasi muda sudah menganggap virginitas tidak lagi penting untuk dipertahankan.
Tuntutan menjaga virginitas tersebut terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan
generasi tua sebagai pencegahan terhadap pergaulan bebas kaum muda, seperti
penolakkan terhadap ATM kondom di Indonesia (Salman, 2009), pembatasan jam
malam terutama untuk perempuan, bahkan larangan berpacaran bagi kaum muda
(Sarwono, 2008). Ketika anak perempuan bertanya mengapa ia dilarang keluar
setelah jam malam yang telah ditentukan, orang tua beralasan "ora elok" jika perempuan berkeliaran di jalan tengah malam (“Ruas Malam Jogja”, 2009).
Di sisi lain, kaum muda menganggap virginitas tidak lagi penting untuk
dipertahankan. Ini diperkuat oleh beberapa hasil survei mengenai virginitas yang
dilakukan pada kaum muda. Hasil survei mengenai virginitas tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 1
Hasil Survei tentang Virginitas
Tahun Sumber Hasil Survei Wilayah Survei Keterangan
2002 harian Kompas, (“Sulit Dikontrol”, 2002)
97,05% mahasiswi yang menjadi responden mengaku telah
kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (kuliah)
(“Bila Seks”, 2002)
dari 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya telah melakukan hubungan seks pranikah
Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002 2005-2006 Jawa Pos (“Remaja Cicipi Seks”, 2008)
47,54% remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks sebelum nikah
Jabodetabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar Disampaikan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat
2008 Jawa Pos (“Remaja Cicipi Seks”, 2008)
63% remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks sebelum nikah
33 provinsi di Indonesia
Hasil survei di atas memperlihatkan fakta bahwa dewasa ini sebagian dari mereka
yang berusia 19-24 tahun terkesan memandang virginitas sebagai sesuatu tidak
penting dan tidak sakral lagi, serta mulai meninggalkan norma yang selama ini
berlaku di masyarakat.
Kaum muda yang sudah tidak lagi menganggap virginitas penting untuk
dipertahankan sebelum menikah sedangkan generasi tua yang masih menuntut kaum
muda untuk mempertahankan virginitasnya sebelum menikah akhirnya memunculkan
maraknya seks pranikah yang terselubung, namun bisa terlihat dari banyaknya kasus
kehamilan pada remaja, tingkat aborsi yang tinggi di kalangan kaum muda, dan
beredar video-video porno yang diperankan oleh kaum muda. Di tahun 2008, angka
kejadian aborsi di Indonesia berkisar antara 2 sampai 2,6 juta kasus pertahun, dan
30% di antaranya dilakukan remaja berusia 15-24 tahun. Hal tersebut berarti sekitar
600 sampai 780 ribu remaja Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya (“780 Ribu
Setiawan (2007) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa lebih dari 500
video porno sudah dibuat dan diedarkan di Indonesia, dan sebanyak 90% pembuat
video porno itu berasal dari kalangan kaum muda, mulai dari SMP sampai
mahasiswa.
Permasalahan tersebut diatas salah satu kemungkinannya disebabkan oleh
pemahaman dan pendekatan yang kurang tepat dari orang tua terhadap permasalahan
kaum muda, khususnya terkait dengan seksualitas. Orang tua hanya memberikan
larangan-larangan pada anaknya dan kurang memberikan pembelajaran yang konkrit
mengenai persoalan yang terkait dengan seksualitas. Bagi masyarakat, seksualitas
hampir selalu dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan (Komandoko, 2009).
Akibatnya anak cenderung mencari tahu sendiri informasi yang terkait dengan
seksualitas, termasuk virginitas, misalnya melalui media maupun pergaulannya (lihat,
Sarwono, 2008). Banyaknya sumber informasi mengenai seksualitas memungkinkan
pemaknaan mengenai hal-hal yang terkait dengan seksualitas yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, penting dalam hal ini untuk mengungkap bagaimana persoalan
seksualitas terutama makna virginitas dalam perspektif kaum muda.
Penelitian ini mengungkap masalah virginitas dan tidak mengenai perilaku
seksual pranikah kaum muda. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Alasan yang
pertama, karena seksualitas merupakan hal yang sensitif dalam budaya timur
(Indonesia) sehingga apabila langsung menggunakan istilah perilaku seksual pranikah
masyarakat.
Alasan kedua, istilah virginitas sudah cukup lazim digunakan di Indonesia dan
memiliki pengertian yang tidak hanya menunjuk keperawanan, tapi juga keperjakaan.
Istilah virginitas sudah cukup populer di masyarakat Indonesia, yang terlihat dari data
sistem pencarian Google yakni ada sekitar 22.800 halaman dalam bahasa Indonesia
yang menggunakan istilah virginitas untuk membicarakan keperawanan maupun
keperjakaan. Istilah virginitas juga dipergunakan dalam artikel koran dan majalah
yang membahas mengenai seksualitas, misalnya pada harian Kompas (“Makin
Greng”, 2008), Majalah Femina (Sarwono, 2009), dan Majalah Cosmopolitan (Citra,
2009). Istilah virginitas juga populer di kalangan kaum muda. Seluruh responden
dalam penelitian ini, ketika ditanya tentang istilah virginitas di awal proses
pengambilan data, menyatakan bahwa istilah virginitas cukup familiar untuk mereka
dan sering mereka dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah virginitas merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu virginity. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), virginity diartikan sebagai keadaan dimana seseorang masih ‘virgin’. Virgin adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Hal ini terlihat dari contoh yang diberikan dalam
laki-laki.
Alasan ketiga, penelitian ini dilakukan untuk memberi kontribusi solusi pada
permasalahan seksualitas pada kaum muda seperti yang telah dipaparkan di atas
dengan melihat bagaimana pemahaman kaum muda tentang seksualitas, ditinjau dari
pemaknaan dan sikap mereka terhadap virginitas, serta darimana mereka
mendapatkan pemahaman tersebut. Setelah mengetahui pemaknaan dan sikap kaum
muda terhadap virginitas, maka diharapkan penelitian ini bisa mengidentifikasi
mengapa ada kecenderungan banyaknya kaum muda yang melepaskan virginitas
sebelum menikah belakangan ini.
Yogyakarta dipilih sebagai tempat dilakukannya penelitian karena Yogyakarta
masih memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat sehingga diasumsikan nilai dan budaya
Jawa akan menentukan kehidupan kaum muda yang tinggal di kota Yogyakarta,
termasuk dalam memandang makna virginitas. Di sisi lain, belakangan ini bisnis
pondokan atau kost-kostan di Yogyakarta semakin menjamur. Sayangnya, hingga
Agustus 2009 ternyata 90% dari pondokan yang ada di Yogyakarta tidak memiliki
ijin. (“90% Pondokan di Yogya”, 2009). Hal ini terbukti dari hasil operasi yang
dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta di empat kecamatan yaitu
Mantrijeron, Umbulharjo, Tegalrejo, dan Gondokusuman (“90% Pondokan di
Yogya”, 2009). Padahal, untuk mengatur bisnis pondokan telah diterbitkan Perda
kota Yogyakarta no. 4 tahun 2003 yang isinya antara lain, penyelenggara pondokan
pemondok untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat.
Selain itu, terdapat pula larangan untuk menyelenggarakan pondokan yang dihuni
pemondok yang berbeda jenis kelamin. Kemudian, di Yogyakarta juga mulai marak
berkembang tempat hiburan, seperti klub malam, café dan warung kopi yang buka di
malam hari hingga menjelang pagi. Tempat hiburan tersebut menawarkan hingar
bingar kehidupan Yogyakarta di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006).
Fasilitas ini memungkinkan kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan, untuk
berbincang-bincang dan melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari, bahkan
hingga pagi.
Makna virginitas adalah segala sesuatu yang dipahami mengenai virginitas
yang didapatkan melalui interaksi sosial. Makna yang ditafsirkan individu dapat
berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi (Blumer,
dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga berlaku untuk makna virginitas. Perspektif
representasi sosial akan membantu untuk mengungkap makna virginitas sebagai suatu
konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial
merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang
membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Dalam konteks ini, sistem
nilai, ide, dan praktek-praktek di masyarakat yang terkait dengan virginitas akan
membangun sebuah pemaknaan sosial mengenai virginitas pada kaum muda. Jadi,
secara khusus penelitian ini hendak mengkaji representasi sosial tentang makna
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kaum muda memaknai virginitas?
2. Sikap apa yang dipegang oleh kaum muda tentang virginitas?
3. Darimana mereka mendapat pengetahuan tentang virginitas?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi faktual mengenai
gambaran makna virginitas yang dipahami oleh kaum muda dan dari mana mereka
mendapatkan pemahaman mengenai virginitas, serta sikap apa yang dimiliki kaum
muda mengenai virginitas.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis:
a. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan Masa Dewasa Awal
dengan memberikan kajian atas makna dan sikap terhadap virginitas yang
dimiliki oleh kaum muda.
b. Bagi peneliti yang tertarik pada bidang psikologi perkembangan dan sosial,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk perbandingan penelitian
Bagi orangtua dan masyarakat luas.
Penelitian ini dapat memberikan gambaran kontekstual mengenai pemahaman
kaum muda tentang virginitas, sehingga orang tua dan masyarakat luas dapat
memahami pedoman apa yang sebenarnya kaum muda pegang saat ini, terkait
10
Pada landasan teori, peneliti menguraikan tentang virginitas, yang merupakan
pokok bahasan dalam penelitian ini, mulai dari pengertiannya hingga bagaimana
pandangan agama dan budaya Indonesia, terutama budaya Jawa, terhadap virginitas
yang akhirnya membentuk konstruksi gender terkait dengan virginitas. Kemudian,
teori perkembangan masa dewasa awal juga dipaparkan sebagai konteks yang diteliti
dalam penelitian ini. Peneliti juga menjelaskan tentang paradigma representasi sosial
sebagai perspektif yang membantu mengungkap makna dan sikap virginitas pada
mahasiswa.
A. VIRGINITAS
A. 1. Definisi
Di Indonesia, ada dua istilah untuk membicarakan virginitas yaitu
keperawanan bagi perempuan dan keperjakaan bagi laki-laki. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001), perawan diartikan sebagai anak perempuan yang belum
pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, sedangkan keperawanan adalah perihal
perawan, kegadisan, atau kesucian seorang gadis. Berdasarkan definisi ini maka dapat
disimpulkan bahwa keperawanan adalah kesucian yang dikarenakan belum pernah
mengalami hubungan seksual bagi perempuan. Virginitas pada laki-laki lebih umum
istilah perjaka hanya dijelaskan sebagai lelaki yang belum berumah tangga.
Masyarakat beranggapan bahwa seorang lelaki sudah tidak perjaka lagi bila pernah
melakukan hubungan seks dalam arti penetrasi penis ke dalam vagina, sekalipun
laki-laki tersebut belum menikah (Oetomo, 2001).
Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), mengartikan virginity sebagai keadaan dimana seseorang masih ‘virgin’. Virgin adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Kemudian, Wijaya (2004) dalam bukunya yang
berjudul Seksplorasi 53 Masalah Seksual mengatakan bahwa: “Sesungguhnya
virginity itu lebih merupakan masalah purity yaitu sejauh mana seseorang menjaga kemurnian dirinya dan memandang aktivitas seksual sebagai aktivitas yang sakral
yang hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa virginitas adalah
kesucian yang dimiliki, baik laki-laki maupun perempuan, ketika mereka belum
pernah melakukan aktivitas seksual, yaitu berhubungan seksual.
A. 2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas
Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena
hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan
seksual sudah menjadi hal yang sakral pada budaya Indonesia bahkan sebelum agama
simbol kesuburan bagi bumi dan jimat ampuh bagi keberhasilan sebuah panen dan
kesejahteraan rakyat (Anoegrajekti, 2006). Seks lebih merupakan hal yang spiritual
dan adiluhung, tidak hanya berorientasi pada hubungan biologis semata. Maksudnya,
seks dalam hal ini bertujuan untuk mengetahui asal usul kemanusiaan dan tujuan
kesempurnaan hidup (Endraswara, 2002). Hubungan seksual dalam pandangan Jawa
merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga
keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia (Roqib, 2007).
Pada saat masyarakat Indonesia masih menganut sistem kepercayaan dan
agama belum masuk ke Indonesia, hubungan seksual antara mereka yang tidak terikat
dalam pernikahan dianggap sebagai hal yang wajar asal hubungan seksual dilakukan
untuk meneruskan keturunan demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Di
Terunyan (Bali), misalnya, merupakan suatu kewajaran bila sepasang kekasih
melakukan hubungan seksual dan baru menikah ketika si perempuan terbukti hamil
(Danandjaja, 1985). Sebelum mengenal ajaran agama, masyarakat menganggap
pernikahan bukanlah merupakan hal yang kudus, namun hanya dilakukan untuk
memperoleh keturunan (Tohari, 2007). Seorang perempuan baru akan dinikahi oleh
pasangannya apabila ia sudah terbukti dapat memberikan keturunan. Akan tetapi,
merupakan hal yang haram apabila seorang perempuan hamil tanpa ada seorang pria
yang mau mengakui janinnya dan memiliki bayi di luar pernikahan (Tohari, 2007).
Menurut Michel Foucault (dalam Sudiarja, 2006), seks adalah bagian dari
berhasrat. Namun, Agama yang di Indonesia berkembang menjadi lembaga resmi,
dalam menjalankan fungsi sosialnya mencoba mengendalikan hasrat seks umatnya
dengan norma-norma maupun upacara-upacara (Sudiarja, 2006). Hubungan seksual
merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan
laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan
hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah pasti
akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari
pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia,
pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui
hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu.
Hal ini terlihat dari praktek-praktek keagamaan yang berlaku di masyarakat sebagai
berikut:
Tabel 2
Pandangan Agama mengenai Virginitas
Hindu
(Angganingrum,2009)
•Merupakan sebuah dosa apabila seseorang memberikan virginitasnya sebelum ia memasuki tahap Grahasta (tahap berkeluarga) dalam tahapan Catur Asrama (4 tahap kehidupan).
•Pernikahan merupakan prosesi yang ditujukan pada leluhur dan Tuhan untuk seorang perjaka dan perawan, dan merupakan awal memasuki tahapan Grahasta
Buddha •Berpedoman pada sila ketiga pada pancasila Buddha, yaitu “Kami bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila/hubungan yang salah”, penganut agama Buddha, kecuali para petapa diperbolehkan melakukan hubungan seksual jika sudah berumah tangga. Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah adalah hubungan seksual yang salah (Vajhiradhammo, 2008)
Islam •Menikah adalah ibadah (Anoegrajekti, 2006)
•Seks adalah masalah suci serta sakral, karena hanya bisa diraih dan dinikmati melalui proses ijab-qabul atau akad pernikahan (Anoegrajekti, 2006). Penikahan merupakan satu-satunya cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksual dan emosi (Halstead, 2006)
•Hubungan seksual sebelum waktunya mengundang rasa malu dan hukuman sosial (Rathus, 2008)
Katolik (Rathus, 2008)
•Menjaga virginitas adalah salah satu bentuk memujaan pada Tuhan (adanya konsep selibat)
•Hubungan seksual hanya boleh dilakukan untuk meneruskan keturunan
•Tuntutan virginitas pada pengantin perempuan
Protestan • Pernikahan adalah suatu proses dua orang dewasa, pria dan wanita, dan hanya satu-satunya tempat yang sah untuk bersetubuh (Halstead, 2006)
• Hubungan seksual sebelum menikah dianggap sebagai hal yang amoral dan penuh dosa (Rathus, 2008)
Kelima agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan
Buddha, menyatakan bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, bukan hanya untuk
membentuk sebuah keluarga tapi juga merupakan situasi yang menjadi pertanda
utama diperbolehkannya hubungan seksual pada orang dewasa. Agama menanamkan
norma yang melarang seks pranikah. Seks dianggap sebagai suatu hal yang sakral,
yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hidup berkeluarga
dan lembaga perkawinan adalah hal yang penting, sehingga hubungan seksual hanya
boleh dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan bila disahkan oleh hukum, yaitu
Ini berarti bahwa agama menganggap virginitas merupakan hal yang penting untuk
dipertahankan sebelum menikah.
Besarnya pengaruh agama dalam masyarakat Indonesia, menyebabkan
nilai yang ada pada agama juga melembaga dalam kultur masyarakat, termasuk
nilai-nilai kesakralan perkawinan dan virginitas. Virginitas menjadi hal yang sakral dalam
budaya Indonesia setelah mendapat pengaruh agama. Di Indonesia, terdapat dua jenis
pemaknaan mengenai virginitas yang beredar di masyarakat. Hal ini tercermin dari
berbagai novel yang memiliki konteks budaya Indonesia. Novel sebagai salah satu
bentuk karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami
oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya
dengan lingkungan sehingga dalam novel sastra terdapat makna tertentu tentang
kehidupan.
Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) yang mengambil setting jaman Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam, Ni Semangka yang merupakan abdi
puri Kerajaan Mataram, menjawab pertanyaan Genduk Duku, seorang dayang cilik,
mengenai keperawanan, sebagai berikut:
“‘Perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, kata ibuku, Nduk, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta, Nduk Duku, seandainya pun dia sudah ditiduri Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya percaya ibuku benar, ‘Seseorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, dia pun perawan dalam arti yang sejati.’” (h. 22).
Pernyataan ini mengesankan bahwa adanya pemaknaan terhadap keperawanan secara
substansial, yaitu keperawanan merupakan kesucian bagi perempuan. Selama
perempuan tersebut tidak memiliki niat untuk mengkhianati pasangannya atau
suaminya, serta tetap mengabdi sebagai seorang istri dan ibu yang setia, maka
perempuan tersebut akan tetap dianggap perawan, sekalipun ia pernah diperkosa atau
telah memiliki banyak anak.
Di masyarakat, keperawanan juga dimaknai sebagai hal fisik dan hanya terkait
dengan selaput dara, dimana seseorang dikatakan sudah tidak perawan lagi ketika
selaput daranya robek. Hal ini tercermin dari pernyataan Hanggalana, pemuda yang
bekerja di kandang kuda kerajaan, kepada Genduk Duku. Pada novel sastra trilogi
Rara Mendut (2008) Hanggalana menyatakan bahwa terlalu sering naik kuda akan
menyebabkan seorang perempuan tidak perawan lagi. Aktivitas berat seperti berkuda
dianggap dapat menghilangkan keperawanan karena aktivitas ini dapat menyebabkan
robeknya selaput dara. Pernyataan Hanggalana membuat cemas Genduk yang
kesehariannya diisi dengan latihan berkuda agar ia mampu mengendarai kuda yang
merupakan alat transportasi utama pada masa itu (Mangunwijaya, 2008). Kecemasan
Genduk dikarenakan ia takut selaput daranya robek dan kehilangan keperawannya
apabila terlalu sering berkuda.
Virginitas yang dimaknai sebagai robeknya selaput dara juga digambarkan
pengantin baru harus berwarna putih polos. Hal ini dilakukan agar noda perawan
dapat terlihat setelah malam pertama. Noda perawan yang dimaksud adalah darah
yang keluar dari vagina akibat robeknya selaput dara ketika seorang perempuan
melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya (Wirodono, 2009).
Di Masyarakat juga bermunculan mitos-mitos tentang virginitas yang
menyatakan bahwa perempuan yang masih perawan atau tidak dapat dilihat dengan
mudah melalui kondisi fisiknya. Salah satunya tertulis dalam novel sastra yang
menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia di tahun 1960an, Ronggeng Dukuh
Paruk (Tohari, 2007). Novel ini menceritakan sebuah desa bernama Dukuh Paruk
yang belum terkena pengaruh agama padahal pada masa tersebut agama sudah mulai
berkembang di desa-desa tetangga Dukuh Paruk tersebut. Pada novel tersebut
terdapat sebuah pernyataan ketika ronggeng dari Dukuh Paruk berkunjung ke desa
Dawuan yang merupakan desa tetangga Dukuh Paruk, sebagai berikut :
“Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa perempuan, betapa muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi” (h. 124)
Dewasa ini mitos-mitos tentang virginitas semakin banyak beredar di
masyarakat. Sarwono (2006), dalam buku Psikologi Prasangka Orang Indonesia:
Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang
Indonesia, juga menggungkapkan beberapa mitos yang berkembang di masyarakat
tentang virginitas, yaitu kalau malam pertama harus berdarah, anak gadis tidak boleh
melambangkan keperawanan. Banyaknya mitos di masyarakat saat ini tentang
virginitas yang dihubungkan dengan tampilan fisik memperlihatkan bahwa virginitas
hanya dimaknai sebagai hal fisik oleh masyarakat.
Berbeda halnya dengan virginitas pada perempuan atau keperawanan yang
banyak dipermasalahkan pada novel-novel sastra dan dalam masyarakat, keperjakaan
justru tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Virginitas yang hanya dimaknai
sebagai kondisi fisik seseorang menyebabkan virginitas semakin melekat pada
perempuan dan keperjakaan semakin tidak dipermasalahkan. Keperawanan seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri perempuan
yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat melakukan hubungan
seksual untuk pertama kalinya. Hal ini tidak berlaku pada laki-laki karena pada
keperjakaan tidak ada tanda fisik yang seperti apa yang dimiliki perempuan (“Bangga
Jadi Perjaka”, 2009).
A. 3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya
A. 3. a. Definisi Gender
Secara biologis, individu dibedakan dari karakteristik fisik, yaitu laki-laki dan
perempuan yang disebut seks. Secara sosial budaya, individu dibedakan dari
sifat-sifat yang melekat pada laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) berdasarkan
berbeda dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) merupakan pembagian dua
jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu, sedangkan gender sendiri merupakan konstruksi sosial
psikologis pada jenis kelamin (Handayani & Novianto, 2004).
Oakley (dalam Kasiyan, 2008) membedakan istilah antara gender dan seks.
Secara prinsip dijelaskan bahwa gender merujuk pada kategori sosial dan seks adalah
kategori biologis. Hal ini juga ditegaskan oleh Mosses (dalam Kasiyan, 2008), bahwa
secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin
biologis merupakan pemberian (given), yakni kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Akan tetapi untuk menjadi ‘feminim’ atau ‘maskulin’ bukan hanya
pemberian namun juga kultural berdasarkan kondisi biologis seseorang. Gender
merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (Oakley, dalam
Nugroho, 2008). Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan
Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural
(Nugroho, 2008)
Sekalipun tampak jelas perbedaan antara jenis kelamin dan gender, sampai
saat ini masih terlihat bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan
gender. Perbedaan gender (gender differences) tersebut, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (Kasiyan,
A. 3. b. Ketidakadilan Gender pada Virginitas
Pada budaya Indonesia, virginitas diidentikan dengan perempuan meskipun
kondisi tersebut juga dimiliki oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman
bahwa virginitas dapat dibuktikan secara fisik. Virginitas yang dinilai sebatas kondisi
fisik saja, yaitu menyangkut keutuhan selaput dara yang hanya dimiliki perempuan.
Tidak adanya penanda fisik pada keperjakaan laki-laki seperti halnya selaput dara
yang dianggap penanda fisik keperawanan perempuan diperlihatkan dalam novel
sastra Saman (Utami, 2008), sebagai berikut:
“Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis” (h. 152)
Pernyataan dalam novel ini memperlihatkan pandangan masyarakat bahwa
keutuhan selaput dara mengindikasikan virginitas. Keperawanan pada perempuan
seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu
keutuhan selaput dara dan pendarahan pada saat terjadi persenggamaan. Selain
memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan anggapan bahwa virginitas dimaknai
sebagai hal fisik yang lebih terlihat pada perempuan, budaya ini juga memperlihatkan
adanya tuntutan bagi perempuan untuk menjaga virginitasnya hingga menikah.
Isu virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan yang
bertanggung jawab menjaga virginitasnya adalah perempuan. Tuntutan untuk masih
perjaka bagi laki-laki hampir tidak ada (Oetomo, 2001). Selain itu, eksplorasi seksual
yang menyebabkan laki-laki kehilangan keperjakaan lebih dapat ditoleransi dan
2008). Virginitas memiliki peran sosial yang penting khususnya bagi perempuan.
Berbeda dengan yang dirasakan oleh perempuan terkait dengan keperawanan, secara
sosial budaya masyarakat tidak terlalu memperhatikan keperjakaan, sehingga
laki-laki tidak merasakan adanya beban sosial (Oetomo, 2001).
Keperawanan merupakan persembahan wajib perempuan kepada suaminya di
malam pertama pengantin (Wirodono, 2009; Utami, 2008). Oleh karena itu,
perempuan hanya boleh menyerahkan virginitasnya setelah menikah, dan apabila
seorang perempuan tidak perawan lagi, suaminya dan keluarga suaminya akan
menjadikannya sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan (Machali, 2005). Hal
tersebut tidak berlaku pada pria. Keperjakaan pada pria sulit ditentukan karena tidak
ada tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.
Selain dikarenakan adanya pemahaman bahwa virginitas terkait dengan
kondisi fisik seseorang, perempuan juga akan menanggung beban yang lebih berat
apabila ia sampai melepaskan virginitasnya dan melakukan hubungan seksual
sebelum menikah. Pada laki-laki, mereka hanya perlu menyumbangkan spermanya
saja untuk menghasilkan keturunan (Durrant & Ellis, 2002). Apabila sepasang kaum
muda melakukan hubungan seksual pranikah dan hubungan tersebut menghasilkan
keturunan, pihak laki-laki bisa saja tidak mengakui benih tersebut sebagai anaknya
dan lari dari tanggung jawabnya. Sedangkan pada perempuan ketika hubungan
seksual tersebut menghasilkan keturunan, ia harus menghadapi sembilan bulan
menyusui dan mengasuh anak juga merupakan beban bagi perempuan apabila
hubungan seksual menghasilkan seorang anak (Durrant & Ellis, 2002). Masa-masa
mengandung, melahirkan, hingga menyusui dan mengasuh anak akan lebih berat bagi
perempuan ketika anak tersebut merupakan hasil hubungan seksual pranikah, karena
pihak perempuan akan lebih menanggung malu daripada pihak laki-laki. Hal ini akan
semakin buruk apabila pihak laki-laki tidak mau mengakui anak hasil hubungan
seksual pranikah tersebut sebagai anaknya. Beban yang akan dihadapi perempuan
ketika ia melakukan hubungan seksual pranikah (yang memiliki kemungkinan besar
dapat menghasilkan keturunan) menyebabkan masyarakat lebih mempermasalahkan
keperawanan daripada keperjakaan.
Keperawanan ternyata sudah dihargai tinggi bahkan oleh budaya yang belum
terkena pengaruh agama, sekalipun belum ada kewajiban untuk menjaga
keperawanan sebelum menikah. Keperawanan perempuan yang memiliki profesi
tertentu, misalnya menjadi ronggeng, akan dihargai sangat tinggi. Hal ini
digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novel sastranya yang berjudul Ronggeng
Dukuh Paruk (2007). Pada novelnya Ahmad Tohari mengangkat prosesi bukak klambu yang merupakan syarat terakhir untuk menjadi penari ronggeng di Dukuh Paruk, desa yang belum mengenal agama. Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon
ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh
wajib diserahkan oleh laki-laki yang menginginkan virginitas calon ronggeng sangat
banyak pada masa itu (Tohari, 2007).
Perempuan diharapkan lebih dapat mempertahankan keperawanannya yang
sangat berharga, sedangkan pada laki-laki tuntutan akan keperjakaan hampir tidak
ada (Oetomo, 2001). Ini mencerminkan adanya ketidakadilan gender pada viginitas di
masyarakat. Masyarakat menuntut perempuan untuk mempertahankan virginitasnya
namun mengganggap pelepasan virginitas sebelum menikah pada laki-laki sebagai
sesuatu yang wajar (Crooks, 2008).
B. KONTEKS PENELITIAN : MAHASISWA DI YOGYAKARTA
B. 1. Kontribusi Kultural dalam Makna Virginitas pada Mahasiswa di
Yogyakarta
Menurut Koentjaraningrat (dalam Roqib, 2007), kebudayaan Jawa berakar di
Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Hal ini menyebabkan Daerah
Istimewa Yogyakarta menyandang nama besar sebagai pusat kebudayaan Jawa
dengan khasanah tradisi yang melimpah. Yogyakarta dipandang memiliki ikatan
tradisi yang kuat dan seakan-akan hal tersebut menjadi norma untuk menilai
kehidupan yang ada di Yogyakarta. Adapun nilai budaya Jawa yang saat ini dipegang
oleh masyarakat jawa adalah perpaduan antara budaya Jawa dan pengaruh nilai-nilai
Agama. Salah satunya yang terkait dengan virginitas adalah penundaan pelepasan
budaya Jawa namun merupakan budaya yang dibawa oleh Agama sehingga juga
dimiliki oleh seluruh budaya di Indonesia. Agama menanamkan norma yang
melarang seks pranikah, karena hubungan seksual dan pernikahan merupakan hal
yang sakral. Ini berarti bahwa agama juga menganggap virginitas adalah hal yang
penting untuk dipertahankan sebelum menikah.
Yogyakarta yang dipandang memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat
memunculkan anggapan bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang menolak
perubahan-perubahan yang ada (Subanar, 2008). Terkait dengan hal tersebut, ketika
terjadi pelanggaran atas nilai-nilai kesakralan virginitas dan pernikahan, seperti
maraknya pelepasan virginitas di kalangan kaum muda yang belum menikah,
terjadilah gejolak yang lebih besar dari kota-kota lain yang tidak menyandang atribut
seberat Yogyakarta. Misalnya, ketika hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga
Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) di
tahun 2002 menyatakan 97,05% mahasiswi yang menjadi responden penelitian
mengaku telah kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (“Sulit
Dikontrol”, 2002), berbagai respon bermunculan menyikapi hasil penelitian tersebut.
Kontroversi seputar penelitian tersebut mewarnai hampir seluruh pemberitaan di
beberapa koran lokal di D.I. Yogyakarta. Ada yang menggugat hasil penelitian
tersebut, baik dari segi validitas, objektivitas, tujuan dan manfaat penelitian serta
menuntut dicabutnya hasil penelitian tersebut karena dianggap telah meresahkan
Penelitian ini dianggap mencemarkan nama baik Yogyakarta. Di sisi lain, ada juga
pihak-pihak yang memandang hasil penelitian tersebut penting sebagai peringatan
dan mawas diri bagi semua pihak, dan atas dasar itu perlu diambil langkah-langkah
preventif (Munti, 2005).
Pembicaraan mengenai seksualitas merupakan hal yang tabu pada budaya
Jawa. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan
masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan di pergaulan banyak
lelucon mengenai seks (Roqib, 2007). Orang tua dan guru di sekolah menempatkan
masalah seks sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan (Komandoko,
2009). Padahal keluarga merupakan tempat terbentuknya norma-norma sosial dan
pengkhayatan (internalisasi) nilai-nilai (Surbakti, 2008). Anggapan tabu terhadap
hal-hal mengenai seksualitas yang dimiliki orang tua menyebabkan orang tua cenderung
enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak, sehingga nilai-nilai yang
terkait dengan seksualitas pun kurang terbentuk pada anak. Ketertutupan lingkungan
keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum muda
akhirnya mencari informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah
seksualitas, misalnya media dan lingkungan pergaulan (Sarwono, 2008).
B. 2. Mahasiswa
Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang menjalankan studi di Perguruan
Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Sarwono, 1979), mendefinisikan mahasiswa
sebagai golongan pemuda (umur 18-30 tahun), yang secara resmi terdaftar pada salah
satu perguruan tinggi dan aktif pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika dilihat
dari segi usia, yaitu antara 18-30 tahun, Mahasiswa adalah golongan yang baru saja
meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal.
B. 3. Masa Dewasa Awal
B. 3. a. Batasan Usia Masa Dewasa Awal
Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berada pada masa dewasa
awal, yaitu yang berusia 21-26 tahun. Masa dewasa awal dimulai sejak usia 20 tahun
dan berlangsung hingga usia 30 tahun (dalam Santrock, 2007). Sedangkan menurut
Haditomo (dalam Monks et al, 2002) masa dewasa awal dimulai dari usia 21 tahun
dan berakhir pada usia 35 tahun.
Di Indonesia, usia 21 tahun dianggap sebagai batas kedewasaan. Pada usia ini
seseorang dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung pada orang
tuanya (Monks et al, 2002). Hal ini terlihat dari Undang-undang yang diterapkan di
Indonesia. Mereka yang telah berusia 21 tahun dalam UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan diperbolehkan menikah tanpa izin dari orang tua. Pada usia tersebut
seseorang dianggap sudah mampu memegang tanggung jawab terhadap perbuatannya
B. 3. b. Ciri Masa Dewasa Awal
Salah satu ciri orang yang berada di masa dewasa awal adalah
kemandiriannya dalam membuat keputusan, yang meliputi pembuatan keputusan
secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta tentang gaya hidup
(Santrock, 2002). Berdasarkan Undang-undang yang diterapkan di Indonesia, mereka
yang telah berusia 21 tahun dianggap telah mampu membuat keputusan untuk dirinya
sendiri, termasuk keputusan tentang nilai-nilai yang ia pegang dan hubungan
percintaannya.
Ciri lain yang dinyatakan dalam Mappiare (1997) adalah bahwa usia dewasa
awal adalah usia banyak masalah. Pada masa dewasa ini banyak persoalan baru yang
muncul, namun beberapa ada juga yang merupakan kelanjutan atau pengembangan
dari persoalan yang dialami dalam masa remaja akhir. Persoalan-persoalan baru yang
mungkin muncul, antara lain: persoalan mengenai pekerjaan dan jabatan, pemilihan
teman hidup, dan keuangan. Persoalan yang berhubungan dengan pemilihan teman
hidup merupakan satu diantara persoalan sangat penting dalam masa dewasa awal ini.
Pada proses pemilihan teman hidup sebelum memasuki jenjang perkawinan, telah
terdapat persoalan yang berhubungan dengan penyesuaian, baik terhadap calon
istri/suami maupun terhadap orang-orang lain yang terkait dengan calon suami/istri,
beserta norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Dengan banyaknya
persoalan yang dialami orang yang memasuki masa dewasa awal, maka muncul
dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran. Sebelum
usia 27 tahun kekhawatiran yang muncul berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam
kontak-kontak yang berkisar hubungan antara dua jenis kelamin, misalnya kencan
dan romans.
Ciri khas anak muda adalah bahwa dia dapat mewujudkan dirinya sendiri dan
berusaha membebaskan dirinya dari lindungan orang tua. Ini tidak hanya berarti ia
dalam usahanya untuk mencoba membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang
tuanya, baik dari segi afektif maupun dalam segi ekonomi. Secara mental, anak muda
juga tidak suka lagi menurut pada orang tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi
tua seperti orang tua, guru, pemimpin-pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi
begitu saja diterima. Meskipun kecenderungan akan perkembangan sikap ini terdapat
pada semua remaja atau anak muda pada masa ini, tetapi manisfestasinya banyak
dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Di Indonesia, sikap ingin membebaskan dirinya
dari generasi tua ini mungkin masih disertai oleh sikap hormat dan menjaga jarak
antara kaum muda dan orang tua sesuai dengan norma-norma yang dipercaya. Tetapi
bagaimanapun juga keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan dirinya sendiri
ini merupakan kecenderungan yang ada pada setiap kaum muda (Monks et al, 2002)
B. 3. c. Tugas Masa Dewasa Awal
Tugas perkembangan yang khusus bagi orang Indonesia belum ada, maka
berbeda. Rumusan tugas perkembangan yang dapat digunakan adalah tugas
perkembangan menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), yang menyatakan bahwa
pada masa dewasa awal individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan
relasi yang akrab dan intim dengan seseorang. Erikson menggambarkan keintiman
sebagai penemuan diri sendiri pada orang lain, namun tidak kehilangan diri sendiri.
Saat mereka yang berada pada masa dewasa awal menemukan relasi yang intim
dengan orang lain, keintiman akan dicapai. Namun jika tidak, isolasi yang terjadi.
Keintiman diperlihatkan oleh mereka yang berada pada masa dewasa awal
melalui hubungan berpacaran dengan cinta yang romantis. Cinta yang romantis
sangat penting khususnya bagi mahasiswa perguruan tinggi. Pada suatu penelitian,
mahasiswa laki-laki dan perempuan yang belum menikah diminta untuk
mengidentifikasikan hubungan dekat mereka. Hasilnya, lebih dari separuh subyek
menyebutkan kekasih romantis daripada menyebut orang tua, saudara kandung, atau
teman (dalam Santrock, 2002). Cinta yang romantis, yang juga disebut sebagai cinta
penuh gairah, memiliki komponen-komponen seksualitas dan nafsu birahi. Cinta
yang romantis mencakup emosi-emosi yang beragam dan kompleks, seperti
ketakutan, kemarahan, dorongan seksual, rasa cemburu, dan kegembiraan (Hendrick
& Hendrick, dalam Santrock, 2007). Ellen Berscheid (dalam Santrock, 2007),
seorang peneliti cinta, menyatakan bahwa dorongan seksual adalah unsur yang
Dengan demikian, responden pada penelitian ini adalah kaum muda yang
merupakan mahasiswa berusia 21-26 tahun, dan tinggal di Yogyakarta. Yogyakarta
memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat, namun di sisi lain Yogyakarta telah
mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan, termasuk munculnya tempat
hiburan, mulai dari yang sifatnya hiburan keluarga hingga yang menawarkan hingar
bingar kehidupan di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006)
C. REPRESENTASI SOSIAL VIRGINITAS PADA KAUM MUDA DI
YOGYAKARTA
Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai
pemikiran pada masyarakat awam. Teori representasi sosial menekankan pentingnya
melihat keberagaman pengalaman individu dan bagaimana pengalaman
diorganisasikan dan dipahami dalam masyarakat awam. Representasi sosial
merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang
membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Jika dikaitkan dengan
representasi sosial, pemaknaan terhadap virginitas dapat dilihat melalui sistem nilai,
ide, dan praktek-praktek yang berlaku di masyarakat tentang virginitas. Nilai yang
dimiliki masyarakat Indonesia adalah kesakralan pernikahan dan larangan melakukan
hubungan seksual sebelum menikah. Ini berarti bahwa virginitas adalah hal yang
Makna adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa (Blumer,
dalam Mulyana, 2002). Makna merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam
proses interaksi antar manusia. Ini memperlihatkan bahwa makna tidak hanya berada
pada level individu saja, tetapi terdapat makna yang berada pada level masyarakat
yang dinamakan makna sosial atau representasi sosial (Blumer, dalam Sunarto,
2000). Makna yang ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan konteks situasi (Blumer, dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga
berlaku untuk makna virginitas. Dalam hal ini perspektif representasi sosial juga akan
membantu mengungkap makna virginitas sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Perspektif representasi sosial mengenal manusia
sebagai makhluk berpikir yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada
umumnya berpikir mengenai hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan
kolektif masyarakat. Dengan demikian representasi sosial merefleksikan pemahaman
pikiran awam (commonsense).
Representasi sosial terdiri atas tiga dimensi, yaitu informasi, sikap, dan ranah
representasi, yang mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, keyakinan, dan opini,
mengenai suatu obyek (Jodelet, 2006). Inti dari representasi sosial adalah keyakinan
yang menyatakan bahwa kondisi psikologis seseorang merupakan produk sosial yang
akan menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam lingkungan
melalui replika dari data persepsi” tetapi dilihat sebagai bagian dari realitas sosial.
Oleh karena itu, representasi sosial dilihat sebagai bagian dari realitas sosial.
Secara umum, penelitian representasi sosial melalui dua proses yaitu,
anchoring dan objectivication. Proses Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) dari suatu obyek tertentu dalam pikiran individu, dalam hal ini mengenai virginitas. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek yang
tidak familiar, dalam penelitian ini adalah virginitas, diterjemahkan dalam kategori
dan penggambaran yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.
Proses membuat yang tidak familiar menjadi familiar disebut dengan proses
objectification.
Moscovici (dalam Walmsley, 2004) berpendapat bahwa tujuan representasi
sosial adalah untuk membuat yang tidak familiar menjadi familiar. Pada penelitian
ini, proses objectivication mengacu pada penerjemahan ide tentang virginitas yang cenderung abstrak ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit. Hasil proses
objectification nantinya akan terkait dengan empat fungsi representasi sosial (dalam Walmsley, 2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi
orientasi, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu
realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan
kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah
orientasi mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan
sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Representasi juga menyediakan
pembenaran atas perbedaan sosial antar kelompok, khususnya saat stereotypes dan permusuhan terbukti. Penelitian ini sendiri menggunakan representasi sosial dengan
lebih menitik beratkan pada fungsi pengetahuan dan fungsi orientasi. Representasi
sosial yang berfungsi sebagai pengetahuan akan mengungkap realitas yang dipahami
kaum muda tentang virginitas, sedangkan fungsi orientasi akan mengarah pada sikap
dan praktek yang dimiliki kaum muda terkait dengan virginitas.
Sikap dalam representasi sosial adalah sikap sosial, yakni suatu hasil
konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek pikiran. Sikap sosial terbentuk dari
adanya interaksi sosial yang dialami individu. Interaksi sosial mengandung lebih dari
pada kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial.
Sikap sosial individu mengenai virginitas akan mengacu pada kumpulan pengetahuan
yang diperolehnya dalam lingkungan sosialnya, baik itu berupa informasi mengenai
virginitas yang ia miliki sendiri dan ia bagikan pada anggota kelompok yang lain,
atau informasi mengenai virginitas dari anggota kelompoknya yang dapat
mempengaruhi sikap individu tersebut terhadap virginitas (lihat Wagner et al, 1999). Masa dewasa awal dalam budaya Indonesia dimulai sejak usia 21 tahun dan
berakhir pada usia 30 tahun. Sebelum usia 27 tahun kaum muda mengalami
kekhawatiran yang muncul berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam
romans. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa mereka yang berada pada masa
dewasa awal sudah mampu mengambil keputusan tentang nilai-nilai yang ia pegang
dan dalam memilih pasangan. Nilai-nilai moral yang terkait dengan hubungan jenis
kelamin pada budaya Jawa khususnya adalah penundaan pelepasan virginitas, yang
berarti juga penundaan hubungan seksual sebelum menikah. Hal ini juga berarti
bahwa kaum muda harus mengontrol dorongan seksualnya, padahal masa dewasa
awal yang juga merupakan masa menjalin hubungan intim dengan lawan jenis dan
oleh karenanya pada masa ini seseorang juga memiliki dorongan seksual yang tinggi.
Kaum muda tidak begitu saja menerima nilai-nilai tentang virginitas yang
diturunkan oleh wakil-wakil generasi tua seperti orang tua, guru, dan
pemimpin-pemimpin agama. Orang tua dan guru di sekolah yang menempatkan masalah seks
sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan menyebabkan orang tua
cenderung enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak, sehingga
anak kurang mendapatkan nilai-nilai yang terkait dengan seksualitas. Ketertutupan
lingkungan keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum
muda cenderung mencari informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah
seksualitas, misalnya media massa dan lingkungan pergaulan. Representasi sosial
kaum muda mengenai virginitas terbentuk dari pengintegrasian nilai-nilai virginitas
yang mereka dapatkan dari generasi tua dengan informasi-informasi yang mereka
36 A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan paradigma representasi sosial. Penelitian kualitatif bertujuan untuk
memberikan uraian deskriptif yang kaya atau “padat” tentang fenomena yang
diselidiki serta melibatkan pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal
naturalistik dan analisis yang dilakukan bersifat tertulis (Smith, 2009). Penelitian ini
mencoba menggali data dan menganalisis data secara kualitatif. Namun untuk
mempermudah membaca data dan menemukan representasi sosial yang muncul maka
data kualitatif tersebut kemudian dianalisis secara kuantitatif.
Suryabrata (2008) mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk
membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang
ada dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2008). Pada penelitian
deskriptif jenis data yang dikumpulkan adalah data yang sifatnya deskriptif seperti
transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan sebagainya
(Poerwandari, 2005). Peneliti dalam melakukan penelitian menyusun suatu gambaran
yang menyeluruh dan kompleks, menganalisis kata-kata, melaporkan secara detail
pendapat atau pandangan responden dan melaksanakan penelitian tersebut dalam
mengungkapkan apa yang ada dalam masyarakat terkait dengan permasalahan sosial
yang ada. Paradigma representasi sosial merupakan kerangka berpikir konsep-konsep
dan ide-ide psikologis dalam dunia sosial, dalam rangka mempelajari fenomena
psikososial dalam masyarakat modern (Wagner et al., 1999). Paradigma ini
meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap sosial
individu terhadap virginitas dapat diketahui, sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Teori yang dikembangkan oleh
Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi
antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan
keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal
baru dan pemahamannya berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk
mengarahkan perilaku dan komunikasi dalam dinamika sosial (Jodelet, 2006).
B. BATASAN ISTILAH
1. Makna virginitas adalah segala sesuatu yang dipahami mengenai virginitas
yang didapatkan melalui interaksi sosial. Virginitas diartikan sebagai kesucian
yang melekat pada laki-laki atau perempuan ketika mereka belum pernah
melakukan hubungan seksual.
2. Sikap sosial terhadap virginitas adalah segala sikap yang ada pada
sekelompok orang yang ditunjukan kepada virginitas. Sikap sosial meliputi