• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SOSIAL VIRGINITAS PADA MAHASISWA DI YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI SOSIAL VIRGINITAS PADA MAHASISWA DI YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Ni Wayan Widayanti Arioka NIM: 059114089

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iii

pengetahuanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan

bakal bisa kemput.”

(5)
(6)
(7)

vi 059114089

Penelitian ini mengkaji makna dan sikap yang dimiliki kaum muda mengenai virginitas, ketika muncul gejala problematika sosial mengenai virginitas, di mana kaum muda menganggap virginitas tidak lagi penting untuk dipertahankan, sedangkan generasi tua masih menuntut kaum muda untuk mempertahankan virginitasnya. Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan seksual merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah pasti akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia, pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu. Agama juga menuntut dipertahankannya virginitas sebelum menikah.

Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial karena paradigma ini menempatkan individu dalam ruang sosialnya. Pendekatan ini memungkinkan untuk melihat bagaimana makna virginitas berkaitan dengan konteks sosial dan kebudayaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan asosiasi kata dan wawancara semi terstruktur kepada 26 mahasiswa dari 6 universitas di Yogyakarta.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kaum muda memaknai virginitas sebagai sesuatu yang melekat pada perempuan baik secara fisik maupun substansial. Virginitas merupakan sesuatu yang suci dan penting dijaga oleh perempuan. Menjaga virginitas merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dan bukan menjadi kewajiban laki-laki karena virginitas perempuan lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat berhubungan seksual. Hal ini berbeda dengan virginitas pada pria yang sulit ditentukan karena tidak ada tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.

(8)

vii 059114089

This research examined the meaning of virginity and the attitude of the young toward it, when young people consider that virginity is no longer important to be maintained, while on the other hand, the older generation still requires young people to maintain their virginity. Virginity has a close relation with the sexual intercourse, for this activity can cause somebody’s being not virgin. Yore, sexual intercourse was considered sacred thing; could only be done when a man and a woman intended to obtain an offspring. The marriage will be done when the woman was pregnant with her couple. But in its development, precisely when the religion came into Indonesia, marriage becomes a sacred thing, thus the way to get an offspring through sexual intercourse should be done after a couple had married. Religion also requires to maintained virginity before marriage.

This study used the paradigm of social representation because this paradigm puts the people in their society. This approach allows us to see how the meaning of virginity related to the social and cultural context. Data collecting was conducted by utilizing word association tehnique and semi-structured interview to 26 students from 6 universities in Yogyakarta.

The results of this research indicate that young people make sense of virginity as something inherent in women, both physically and substantially. Virginity is something sacred and important to maintain by women. Keeping virginity is a duty for women and not the duty of men because women’s virginity is more easily evidenced by looking at physical characteristics of the hymen and hemorrhage during sexual intercourse. It is different from the men’s virginity, which is difficult to determine because there is no physical sign that similar of what is owned by women.

(9)
(10)

ix

dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Representasi Sosial Virginitas pada Mahasiswa di Yogyakarta” ini dengan baik. Kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu mendampingi dan menuntun langkah penulis sungguh dirasakan oleh penulis, sehingga penulis bisa selalu mendapatkan jalan keluar setiap kali menemui kesulitan.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan, bantuan, saran dan kritik berharga dari orang-orang di sekitar penulis, dan kepada mereka penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya:

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, dukungan dan perhatian selama proses penyelesaian skripsi ini, juga untuk diskusi dan semangatnya yang menginspirasi.

2. Ibu M. L. Anantasari, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing saya selama proses menuntut ilmu di Fakultas Psikologi. Terimakasih untuk segala perhatiannya selama 4 tahun ini.

3. Pak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi dan Ibu Sylvia C. M. Y. M., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

(11)

x

6. Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Gi’, terima kasih untuk kemudahannya saat mengurus administrasi perkuliahan. Mas Muji dan Mas Doni, terimakasih untuk bantuannya selama perkuliahan baik dalam mempersiapkan presentasi maupun praktikum. Saya pasti akan merindukan suasana di ruang baca dan laboratorium.

7. KELUARGA ARIOKA.. Mama dan Papa.. yang telah mendukung saya secara lahir bathin dan financial.. Terima kasih karena selalu percaya pada saya.. Adek, Oming, Caca.. luv ya all, brotha..

8. MJ a.k.a. GEROMBOLAN SI BERAT.. Anne, Agatha, Henny, Jessi.. Ini bukan akhir petualangan kita kawan.. Terimakasih untuk kegembiraan dan semangat di masa kuliah yang selalu kalian tularkan padaku.. Sungguh 4 tahun yang luar biasa.. Petualangan selanjutnya akan lebih menyenangkan dari yang sebelumnya.. let’s go...

9. KELUARGA CEMARA.. Shinta, mbak Bella, Tiwi, Lilo, Arya, Alma, Lucky, Mbak Nana, Gita, Wira, dan Iin. Kita telah melewati masa-masa akhir kuliah yang menggemparkan.. mari kita lanjutkan perjalanan kita menggemparkan dunia..hahahay.. Tak lupa juga Mbak Chigie dan Om Troy yang ikut memberi warna dalam proses pengerjaan skripsi di Cemara.

(12)

xi

paling awet.. Ayo buruan nyusul.. ditunggu di Bali..

13. Segenap penghuni dan mantan penghuni KOST CANNA eksklusif, untuk tawa dan canda yang ditawarkan selama tiga tahun terakhir ini.

14. SEXENERS.. yang telah memperlihatkan hitamnya Yogyakarta lewat alunan musik yang indah.. hitam tak selalu gelap, hitam adalah berbagai warna yang berpadu menjadi satu..

15. PONDOKERS.. terimakasih untuk beberapa perjalanan alam yang menyenangkan..

16. Facebook.. terimakasih karena telah membantu saya menjalin komunikasi yang sempat terputus dengan kawan-kawan lama saya.. semoga layananmu bisa lebih berarti di masa-masa selanjutnya.

17. Teman-teman BEMF 2005-2006, BPMF 2006-2007, KMHD Swastika Taruna.. senang bisa bekerjasama dengan kalian semua..

18. EXCEL berplat DK 4247 GZ karena telah setia menemani saya. Kita pernah jatuh bangun bersama, brotha..

19. Vanila-Latte dan Blackykomputerhebat-ku tercinta, untuk kerelaannya dipanjer seharian buat ngetik tugas, nonton tv, nonton film, denger lagu, dan tentunya untuk menyelesaikan skripsi.

(13)

xii

beruntung bisa berproses bersama kalian selama 4 tahun. Banyak hal yang saya dapatkan dari proses belajar kita. Bersama kalian, aku belajar hidup.

(14)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……… ii

HALAMAN MOTTO ……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v

ABSTRAK ……….. vi

ABSTRACT ……… vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………... viii

KATA PENGANTAR ……… ix

DAFTAR ISI ………...xiii

DAFTAR TABEL ……….. xvi

DAFTAR SKEMA ………. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Rumusan Permasalahan ………. 8

C. Tujuan Penelitian ………... 8

(15)

xiv

2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas ……... 11

3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya ………..18

B. Konteks Penelitian : Mahasiswa di Yogyakarta ……… 23

1. Kontribusi Kultural dalam Makna Virginitas pada Mahasiswa di Yogyakarta ………... 23

2. Mahasiswa ………... 25

3. Masa Dewasa Awal ………. 26

C. Representasi Sosial Tentang Makna Virginitas pada Kaum Muda di Yogyakarta ………... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 36

A. Jenis Penelitian ……….. 36

B. Batasan Istilah ………... 37

C. Responden Penelitian ……… 38

D. Metode Pengumpulan Data ………... 39

1. Metode Asosiasi Kata dengan Menggunakan Kuesioner Terbuka ……… 39

2. Metode Wawancara ………... 43

E. Analisis Data ………..45

(16)

xv

2. Tahap Pengambilan Data ………. 50

B. Hasil Penelitian ……….. 51

1. Analisis Data Metode Asosiasi Kata Menggunakan Kuesioner Terbuka ……….. 53

2. Analisis Data Hasil Wawancara ……….. 63

3. Analisis Data Berdasarkan Demografi Responden ………. 77

C. Pembahasan Penelitian ……….. 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 98

A. Kesimpulan ……… 98

B. Saran ……….. 100

DAFTAR PUSTAKA ……… 101

(17)

xvi

Tabel 2 Pandangan Agama mengenai Virginitas ………... 13

Tabel 3 Pedoman Wawancara ……… 44

Tabel 4 Data demografi Responden ………... 53

Tabel 5 Kata yang Populer Mengenai Virginitas pada Responden ………... 54

Tabel 6 Kata yang Populer Mengenai Virginitas pada Responden Beserta Maknanya ……… 54

Tabel 7 Kategori Hasil Asosiasi Kata Beserta Maknanya ………. 57

Tabel 8 Frekuensi Hasil Asosiasi Kata Berdasarkan Kategori ……….. 60

Tabel 9 Frekuensi Hasil Asosiasi Kata Berdasarkan Kategori pada Tiap Prioritas ……… 62

Tabel 10 Persentase Respon dan Responden Data Wawancara Berdasarkan Kategori ………64

Tabel 11 Sikap terhadap Virginitas pada Diri Sendiri ………. 67

Tabel 12 Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………..69

Tabel 13 Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ……….. 70

Tabel 14 Usia Responden Mendapatkan Informasi tentang Virginitas ……... 71

Tabel 15 Sumber Informasi tentang Virginitas ……… 72

Tabel 16 Orang-orang yang Dianggap Berperan Terkait dengan Virginitas ... 74

Tabel 17 Perbedaan Makna Virginitas pada Perempuan dan Laki-laki ……... 78

(18)

xvii

Tabel 21 Alasan Tidak Mempermasalahkan Virginitas Pasangan …………... 82 Tabel 22 Alasan Laki-laki Menganggap Virginitas Pasangan Penting

tapi Tidak Harus ……… 83 Tabel 23 Perbedaan Sikap antara Laki-laki dan Perempuan terhadap

Virginitas pada Orang Lain ………... 83 Tabel 24 Alasan Menganggap Virginitas Merupakan Hak Setiap Orang …… 84 Tabel 25 Perbedaan antara Responden Laki-laki dan Perempuan tentang

Sumber Informasi mengenai Virginitas ……… 85 Tabel 26 Sumber Informasi tentang Virginitas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 86 Tabel 27 Perbedaan Sumber Informasi Berdasarkan Sikap terhadap

(19)

xviii

(20)

xix

Lampiran 2 Data Demografi Responden ……… 109 Lampiran 3 Persebaran Data Metode Asosiasi Kata Virginitas ………. 110 Lampiran 4 Frekuensi Kata yang Muncul dari Hasil Asosiasi Kata

Virginitas ……….115 Lampiran 5 Koding Data Asosiasi Kata Virginitas Berdasarkan

Kategori ………...117 Lampiran 6 Frekuensi Respon dan Total Responden Hasil Asosiasi

Kata ………. 118 Lampiran 7 Makna Kata Hasil Asosiasi Kata Virginitas ………....120 Lampiran 8 Persebaran Data Makna Virginitas Berdasarkan Wawancara ….125 Lampiran 9 Persebaran Data Sikap terhadap Virginitas Diri Sendiri ………. 128 Lampiran 10 Alasan Sikap terhadap Diri Sendiri ……….129 Lampiran 11 Persebaran Data Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………….131 Lampiran 12 Alasan Sikap terhadap Virginitas Pasangan ………132 Lampiran 13 Persebaran dan Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ………....134 Lampiran 14 Alasan Sikap terhadap Virginitas Orang Lain ……….135 Lampiran 15 Persebaran Data Usia Responden Mendapatkan Informasi

Mengenai Virginitas ………137 Lampiran 16 Persebaran Data Sumber Informasi Mengenai Virginitas ……...138 Lampiran 17 Frekuensi Kemunculan Respon dan Total Responden yang

Menjawab Sumber Informasi tentang Virginitas ……….139 Lampiran 18 Persebaran Data Orang-orang yang Dianggap Berperan

(21)

1 A. LATAR BELAKANG

Kultur masyarakat secara umum memandang seks sebagai suatu hal yang

sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hubungan

seks ’dilegalkan’ bila pasangan laki-laki dan perempuan telah mengikatkan diri dalam

sebuah lembaga perkawinan dan disahkan secara hukum sebagai suami istri

(Al-Fayyadl, 2006; Haryatmoko, 2006). Ini juga berarti bahwa virginitas hanya boleh

’dilepas’ ketika sudah menikah.

Tuntutan untuk menjaga virginitas terlihat dari simbol-simbol yang ada dalam

upacara pernikahan adat di Jawa, yaitu pada prosesi menginjak telur yang

ditempatkan di sebuah cobek. Prosesi ini dikenal dengan nama midag endhog. Adapun yang menginjak telur adalah mempelai laki-laki (Purwadi, 2005). Telur

melambangkan keperawanan mempelai perempuan yang masih utuh saat menikah.

Midak endhog bermakna bahwa mempelai wanita merelakan pamor dan keperawanannya direngkuh oleh mempelai laki-laki (Listyorini, tanpa tahun). Simbol

dalam upacara pernikahan Jawa ini menyiratkan bahwa virginitas merupakan hal

yang penting untuk dijaga hingga menikah pada tradisi Jawa. Pandangan ini sedikit

banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang ada di Indonesia. Kelima agama resmi

(22)

menikah.

Dewasa ini, muncul gejala problematika sosial mengenai virginitas, dimana

generasi tua menganggap virginitas merupakan hal yang penting dan menuntut kaum

muda untuk tetap mempertahankan virginitasnya sebelum menikah, sedangkan

generasi muda sudah menganggap virginitas tidak lagi penting untuk dipertahankan.

Tuntutan menjaga virginitas tersebut terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan

generasi tua sebagai pencegahan terhadap pergaulan bebas kaum muda, seperti

penolakkan terhadap ATM kondom di Indonesia (Salman, 2009), pembatasan jam

malam terutama untuk perempuan, bahkan larangan berpacaran bagi kaum muda

(Sarwono, 2008). Ketika anak perempuan bertanya mengapa ia dilarang keluar

setelah jam malam yang telah ditentukan, orang tua beralasan "ora elok" jika perempuan berkeliaran di jalan tengah malam (“Ruas Malam Jogja”, 2009).

Di sisi lain, kaum muda menganggap virginitas tidak lagi penting untuk

dipertahankan. Ini diperkuat oleh beberapa hasil survei mengenai virginitas yang

dilakukan pada kaum muda. Hasil survei mengenai virginitas tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Hasil Survei tentang Virginitas

Tahun Sumber Hasil Survei Wilayah Survei Keterangan

2002 harian Kompas, (“Sulit Dikontrol”, 2002)

97,05% mahasiswi yang menjadi responden mengaku telah

kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (kuliah)

(23)

(“Bila Seks”, 2002)

dari 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya telah melakukan hubungan seks pranikah

Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002 2005-2006 Jawa Pos (“Remaja Cicipi Seks”, 2008)

47,54% remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks sebelum nikah

Jabodetabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar Disampaikan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat

2008 Jawa Pos (“Remaja Cicipi Seks”, 2008)

63% remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks sebelum nikah

33 provinsi di Indonesia

Hasil survei di atas memperlihatkan fakta bahwa dewasa ini sebagian dari mereka

yang berusia 19-24 tahun terkesan memandang virginitas sebagai sesuatu tidak

penting dan tidak sakral lagi, serta mulai meninggalkan norma yang selama ini

berlaku di masyarakat.

Kaum muda yang sudah tidak lagi menganggap virginitas penting untuk

dipertahankan sebelum menikah sedangkan generasi tua yang masih menuntut kaum

muda untuk mempertahankan virginitasnya sebelum menikah akhirnya memunculkan

maraknya seks pranikah yang terselubung, namun bisa terlihat dari banyaknya kasus

kehamilan pada remaja, tingkat aborsi yang tinggi di kalangan kaum muda, dan

beredar video-video porno yang diperankan oleh kaum muda. Di tahun 2008, angka

kejadian aborsi di Indonesia berkisar antara 2 sampai 2,6 juta kasus pertahun, dan

30% di antaranya dilakukan remaja berusia 15-24 tahun. Hal tersebut berarti sekitar

600 sampai 780 ribu remaja Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya (“780 Ribu

(24)

Setiawan (2007) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa lebih dari 500

video porno sudah dibuat dan diedarkan di Indonesia, dan sebanyak 90% pembuat

video porno itu berasal dari kalangan kaum muda, mulai dari SMP sampai

mahasiswa.

Permasalahan tersebut diatas salah satu kemungkinannya disebabkan oleh

pemahaman dan pendekatan yang kurang tepat dari orang tua terhadap permasalahan

kaum muda, khususnya terkait dengan seksualitas. Orang tua hanya memberikan

larangan-larangan pada anaknya dan kurang memberikan pembelajaran yang konkrit

mengenai persoalan yang terkait dengan seksualitas. Bagi masyarakat, seksualitas

hampir selalu dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan (Komandoko, 2009).

Akibatnya anak cenderung mencari tahu sendiri informasi yang terkait dengan

seksualitas, termasuk virginitas, misalnya melalui media maupun pergaulannya (lihat,

Sarwono, 2008). Banyaknya sumber informasi mengenai seksualitas memungkinkan

pemaknaan mengenai hal-hal yang terkait dengan seksualitas yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, penting dalam hal ini untuk mengungkap bagaimana persoalan

seksualitas terutama makna virginitas dalam perspektif kaum muda.

Penelitian ini mengungkap masalah virginitas dan tidak mengenai perilaku

seksual pranikah kaum muda. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Alasan yang

pertama, karena seksualitas merupakan hal yang sensitif dalam budaya timur

(Indonesia) sehingga apabila langsung menggunakan istilah perilaku seksual pranikah

(25)

masyarakat.

Alasan kedua, istilah virginitas sudah cukup lazim digunakan di Indonesia dan

memiliki pengertian yang tidak hanya menunjuk keperawanan, tapi juga keperjakaan.

Istilah virginitas sudah cukup populer di masyarakat Indonesia, yang terlihat dari data

sistem pencarian Google yakni ada sekitar 22.800 halaman dalam bahasa Indonesia

yang menggunakan istilah virginitas untuk membicarakan keperawanan maupun

keperjakaan. Istilah virginitas juga dipergunakan dalam artikel koran dan majalah

yang membahas mengenai seksualitas, misalnya pada harian Kompas (“Makin

Greng”, 2008), Majalah Femina (Sarwono, 2009), dan Majalah Cosmopolitan (Citra,

2009). Istilah virginitas juga populer di kalangan kaum muda. Seluruh responden

dalam penelitian ini, ketika ditanya tentang istilah virginitas di awal proses

pengambilan data, menyatakan bahwa istilah virginitas cukup familiar untuk mereka

dan sering mereka dengar dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah virginitas merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu virginity. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), virginity diartikan sebagai keadaan dimana seseorang masih ‘virgin’. Virgin adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Hal ini terlihat dari contoh yang diberikan dalam

(26)

laki-laki.

Alasan ketiga, penelitian ini dilakukan untuk memberi kontribusi solusi pada

permasalahan seksualitas pada kaum muda seperti yang telah dipaparkan di atas

dengan melihat bagaimana pemahaman kaum muda tentang seksualitas, ditinjau dari

pemaknaan dan sikap mereka terhadap virginitas, serta darimana mereka

mendapatkan pemahaman tersebut. Setelah mengetahui pemaknaan dan sikap kaum

muda terhadap virginitas, maka diharapkan penelitian ini bisa mengidentifikasi

mengapa ada kecenderungan banyaknya kaum muda yang melepaskan virginitas

sebelum menikah belakangan ini.

Yogyakarta dipilih sebagai tempat dilakukannya penelitian karena Yogyakarta

masih memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat sehingga diasumsikan nilai dan budaya

Jawa akan menentukan kehidupan kaum muda yang tinggal di kota Yogyakarta,

termasuk dalam memandang makna virginitas. Di sisi lain, belakangan ini bisnis

pondokan atau kost-kostan di Yogyakarta semakin menjamur. Sayangnya, hingga

Agustus 2009 ternyata 90% dari pondokan yang ada di Yogyakarta tidak memiliki

ijin. (“90% Pondokan di Yogya”, 2009). Hal ini terbukti dari hasil operasi yang

dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta di empat kecamatan yaitu

Mantrijeron, Umbulharjo, Tegalrejo, dan Gondokusuman (“90% Pondokan di

Yogya”, 2009). Padahal, untuk mengatur bisnis pondokan telah diterbitkan Perda

kota Yogyakarta no. 4 tahun 2003 yang isinya antara lain, penyelenggara pondokan

(27)

pemondok untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat.

Selain itu, terdapat pula larangan untuk menyelenggarakan pondokan yang dihuni

pemondok yang berbeda jenis kelamin. Kemudian, di Yogyakarta juga mulai marak

berkembang tempat hiburan, seperti klub malam, café dan warung kopi yang buka di

malam hari hingga menjelang pagi. Tempat hiburan tersebut menawarkan hingar

bingar kehidupan Yogyakarta di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006).

Fasilitas ini memungkinkan kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan, untuk

berbincang-bincang dan melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari, bahkan

hingga pagi.

Makna virginitas adalah segala sesuatu yang dipahami mengenai virginitas

yang didapatkan melalui interaksi sosial. Makna yang ditafsirkan individu dapat

berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi (Blumer,

dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga berlaku untuk makna virginitas. Perspektif

representasi sosial akan membantu untuk mengungkap makna virginitas sebagai suatu

konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial

merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang

membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Dalam konteks ini, sistem

nilai, ide, dan praktek-praktek di masyarakat yang terkait dengan virginitas akan

membangun sebuah pemaknaan sosial mengenai virginitas pada kaum muda. Jadi,

secara khusus penelitian ini hendak mengkaji representasi sosial tentang makna

(28)

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kaum muda memaknai virginitas?

2. Sikap apa yang dipegang oleh kaum muda tentang virginitas?

3. Darimana mereka mendapat pengetahuan tentang virginitas?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi faktual mengenai

gambaran makna virginitas yang dipahami oleh kaum muda dan dari mana mereka

mendapatkan pemahaman mengenai virginitas, serta sikap apa yang dimiliki kaum

muda mengenai virginitas.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis:

a. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan Masa Dewasa Awal

dengan memberikan kajian atas makna dan sikap terhadap virginitas yang

dimiliki oleh kaum muda.

b. Bagi peneliti yang tertarik pada bidang psikologi perkembangan dan sosial,

penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk perbandingan penelitian

(29)

Bagi orangtua dan masyarakat luas.

Penelitian ini dapat memberikan gambaran kontekstual mengenai pemahaman

kaum muda tentang virginitas, sehingga orang tua dan masyarakat luas dapat

memahami pedoman apa yang sebenarnya kaum muda pegang saat ini, terkait

(30)

10

Pada landasan teori, peneliti menguraikan tentang virginitas, yang merupakan

pokok bahasan dalam penelitian ini, mulai dari pengertiannya hingga bagaimana

pandangan agama dan budaya Indonesia, terutama budaya Jawa, terhadap virginitas

yang akhirnya membentuk konstruksi gender terkait dengan virginitas. Kemudian,

teori perkembangan masa dewasa awal juga dipaparkan sebagai konteks yang diteliti

dalam penelitian ini. Peneliti juga menjelaskan tentang paradigma representasi sosial

sebagai perspektif yang membantu mengungkap makna dan sikap virginitas pada

mahasiswa.

A. VIRGINITAS

A. 1. Definisi

Di Indonesia, ada dua istilah untuk membicarakan virginitas yaitu

keperawanan bagi perempuan dan keperjakaan bagi laki-laki. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2001), perawan diartikan sebagai anak perempuan yang belum

pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, sedangkan keperawanan adalah perihal

perawan, kegadisan, atau kesucian seorang gadis. Berdasarkan definisi ini maka dapat

disimpulkan bahwa keperawanan adalah kesucian yang dikarenakan belum pernah

mengalami hubungan seksual bagi perempuan. Virginitas pada laki-laki lebih umum

(31)

istilah perjaka hanya dijelaskan sebagai lelaki yang belum berumah tangga.

Masyarakat beranggapan bahwa seorang lelaki sudah tidak perjaka lagi bila pernah

melakukan hubungan seks dalam arti penetrasi penis ke dalam vagina, sekalipun

laki-laki tersebut belum menikah (Oetomo, 2001).

Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), mengartikan virginity sebagai keadaan dimana seseorang masih ‘virgin’. Virgin adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Kemudian, Wijaya (2004) dalam bukunya yang

berjudul Seksplorasi 53 Masalah Seksual mengatakan bahwa: “Sesungguhnya

virginity itu lebih merupakan masalah purity yaitu sejauh mana seseorang menjaga kemurnian dirinya dan memandang aktivitas seksual sebagai aktivitas yang sakral

yang hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa virginitas adalah

kesucian yang dimiliki, baik laki-laki maupun perempuan, ketika mereka belum

pernah melakukan aktivitas seksual, yaitu berhubungan seksual.

A. 2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas

Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena

hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan

seksual sudah menjadi hal yang sakral pada budaya Indonesia bahkan sebelum agama

(32)

simbol kesuburan bagi bumi dan jimat ampuh bagi keberhasilan sebuah panen dan

kesejahteraan rakyat (Anoegrajekti, 2006). Seks lebih merupakan hal yang spiritual

dan adiluhung, tidak hanya berorientasi pada hubungan biologis semata. Maksudnya,

seks dalam hal ini bertujuan untuk mengetahui asal usul kemanusiaan dan tujuan

kesempurnaan hidup (Endraswara, 2002). Hubungan seksual dalam pandangan Jawa

merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga

keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia (Roqib, 2007).

Pada saat masyarakat Indonesia masih menganut sistem kepercayaan dan

agama belum masuk ke Indonesia, hubungan seksual antara mereka yang tidak terikat

dalam pernikahan dianggap sebagai hal yang wajar asal hubungan seksual dilakukan

untuk meneruskan keturunan demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Di

Terunyan (Bali), misalnya, merupakan suatu kewajaran bila sepasang kekasih

melakukan hubungan seksual dan baru menikah ketika si perempuan terbukti hamil

(Danandjaja, 1985). Sebelum mengenal ajaran agama, masyarakat menganggap

pernikahan bukanlah merupakan hal yang kudus, namun hanya dilakukan untuk

memperoleh keturunan (Tohari, 2007). Seorang perempuan baru akan dinikahi oleh

pasangannya apabila ia sudah terbukti dapat memberikan keturunan. Akan tetapi,

merupakan hal yang haram apabila seorang perempuan hamil tanpa ada seorang pria

yang mau mengakui janinnya dan memiliki bayi di luar pernikahan (Tohari, 2007).

Menurut Michel Foucault (dalam Sudiarja, 2006), seks adalah bagian dari

(33)

berhasrat. Namun, Agama yang di Indonesia berkembang menjadi lembaga resmi,

dalam menjalankan fungsi sosialnya mencoba mengendalikan hasrat seks umatnya

dengan norma-norma maupun upacara-upacara (Sudiarja, 2006). Hubungan seksual

merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan

laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan

hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah pasti

akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari

pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia,

pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui

hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu.

Hal ini terlihat dari praktek-praktek keagamaan yang berlaku di masyarakat sebagai

berikut:

Tabel 2

Pandangan Agama mengenai Virginitas

Hindu

(Angganingrum,2009)

•Merupakan sebuah dosa apabila seseorang memberikan virginitasnya sebelum ia memasuki tahap Grahasta (tahap berkeluarga) dalam tahapan Catur Asrama (4 tahap kehidupan).

•Pernikahan merupakan prosesi yang ditujukan pada leluhur dan Tuhan untuk seorang perjaka dan perawan, dan merupakan awal memasuki tahapan Grahasta

Buddha Berpedoman pada sila ketiga pada pancasila Buddha, yaitu “Kami bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila/hubungan yang salah”, penganut agama Buddha, kecuali para petapa diperbolehkan melakukan hubungan seksual jika sudah berumah tangga. Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah adalah hubungan seksual yang salah (Vajhiradhammo, 2008)

(34)

Islam Menikah adalah ibadah (Anoegrajekti, 2006)

•Seks adalah masalah suci serta sakral, karena hanya bisa diraih dan dinikmati melalui proses ijab-qabul atau akad pernikahan (Anoegrajekti, 2006). Penikahan merupakan satu-satunya cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksual dan emosi (Halstead, 2006)

•Hubungan seksual sebelum waktunya mengundang rasa malu dan hukuman sosial (Rathus, 2008)

Katolik (Rathus, 2008)

•Menjaga virginitas adalah salah satu bentuk memujaan pada Tuhan (adanya konsep selibat)

•Hubungan seksual hanya boleh dilakukan untuk meneruskan keturunan

•Tuntutan virginitas pada pengantin perempuan

Protestan Pernikahan adalah suatu proses dua orang dewasa, pria dan wanita, dan hanya satu-satunya tempat yang sah untuk bersetubuh (Halstead, 2006)

• Hubungan seksual sebelum menikah dianggap sebagai hal yang amoral dan penuh dosa (Rathus, 2008)

Kelima agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan

Buddha, menyatakan bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, bukan hanya untuk

membentuk sebuah keluarga tapi juga merupakan situasi yang menjadi pertanda

utama diperbolehkannya hubungan seksual pada orang dewasa. Agama menanamkan

norma yang melarang seks pranikah. Seks dianggap sebagai suatu hal yang sakral,

yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hidup berkeluarga

dan lembaga perkawinan adalah hal yang penting, sehingga hubungan seksual hanya

boleh dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan bila disahkan oleh hukum, yaitu

(35)

Ini berarti bahwa agama menganggap virginitas merupakan hal yang penting untuk

dipertahankan sebelum menikah.

Besarnya pengaruh agama dalam masyarakat Indonesia, menyebabkan

nilai yang ada pada agama juga melembaga dalam kultur masyarakat, termasuk

nilai-nilai kesakralan perkawinan dan virginitas. Virginitas menjadi hal yang sakral dalam

budaya Indonesia setelah mendapat pengaruh agama. Di Indonesia, terdapat dua jenis

pemaknaan mengenai virginitas yang beredar di masyarakat. Hal ini tercermin dari

berbagai novel yang memiliki konteks budaya Indonesia. Novel sebagai salah satu

bentuk karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami

oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya

dengan lingkungan sehingga dalam novel sastra terdapat makna tertentu tentang

kehidupan.

Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) yang mengambil setting jaman Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam, Ni Semangka yang merupakan abdi

puri Kerajaan Mataram, menjawab pertanyaan Genduk Duku, seorang dayang cilik,

mengenai keperawanan, sebagai berikut:

“‘Perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, kata ibuku, Nduk, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta, Nduk Duku, seandainya pun dia sudah ditiduri Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya percaya ibuku benar, ‘Seseorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, dia pun perawan dalam arti yang sejati.’” (h. 22).

(36)

Pernyataan ini mengesankan bahwa adanya pemaknaan terhadap keperawanan secara

substansial, yaitu keperawanan merupakan kesucian bagi perempuan. Selama

perempuan tersebut tidak memiliki niat untuk mengkhianati pasangannya atau

suaminya, serta tetap mengabdi sebagai seorang istri dan ibu yang setia, maka

perempuan tersebut akan tetap dianggap perawan, sekalipun ia pernah diperkosa atau

telah memiliki banyak anak.

Di masyarakat, keperawanan juga dimaknai sebagai hal fisik dan hanya terkait

dengan selaput dara, dimana seseorang dikatakan sudah tidak perawan lagi ketika

selaput daranya robek. Hal ini tercermin dari pernyataan Hanggalana, pemuda yang

bekerja di kandang kuda kerajaan, kepada Genduk Duku. Pada novel sastra trilogi

Rara Mendut (2008) Hanggalana menyatakan bahwa terlalu sering naik kuda akan

menyebabkan seorang perempuan tidak perawan lagi. Aktivitas berat seperti berkuda

dianggap dapat menghilangkan keperawanan karena aktivitas ini dapat menyebabkan

robeknya selaput dara. Pernyataan Hanggalana membuat cemas Genduk yang

kesehariannya diisi dengan latihan berkuda agar ia mampu mengendarai kuda yang

merupakan alat transportasi utama pada masa itu (Mangunwijaya, 2008). Kecemasan

Genduk dikarenakan ia takut selaput daranya robek dan kehilangan keperawannya

apabila terlalu sering berkuda.

Virginitas yang dimaknai sebagai robeknya selaput dara juga digambarkan

(37)

pengantin baru harus berwarna putih polos. Hal ini dilakukan agar noda perawan

dapat terlihat setelah malam pertama. Noda perawan yang dimaksud adalah darah

yang keluar dari vagina akibat robeknya selaput dara ketika seorang perempuan

melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya (Wirodono, 2009).

Di Masyarakat juga bermunculan mitos-mitos tentang virginitas yang

menyatakan bahwa perempuan yang masih perawan atau tidak dapat dilihat dengan

mudah melalui kondisi fisiknya. Salah satunya tertulis dalam novel sastra yang

menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia di tahun 1960an, Ronggeng Dukuh

Paruk (Tohari, 2007). Novel ini menceritakan sebuah desa bernama Dukuh Paruk

yang belum terkena pengaruh agama padahal pada masa tersebut agama sudah mulai

berkembang di desa-desa tetangga Dukuh Paruk tersebut. Pada novel tersebut

terdapat sebuah pernyataan ketika ronggeng dari Dukuh Paruk berkunjung ke desa

Dawuan yang merupakan desa tetangga Dukuh Paruk, sebagai berikut :

“Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa perempuan, betapa muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi” (h. 124)

Dewasa ini mitos-mitos tentang virginitas semakin banyak beredar di

masyarakat. Sarwono (2006), dalam buku Psikologi Prasangka Orang Indonesia:

Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang

Indonesia, juga menggungkapkan beberapa mitos yang berkembang di masyarakat

tentang virginitas, yaitu kalau malam pertama harus berdarah, anak gadis tidak boleh

(38)

melambangkan keperawanan. Banyaknya mitos di masyarakat saat ini tentang

virginitas yang dihubungkan dengan tampilan fisik memperlihatkan bahwa virginitas

hanya dimaknai sebagai hal fisik oleh masyarakat.

Berbeda halnya dengan virginitas pada perempuan atau keperawanan yang

banyak dipermasalahkan pada novel-novel sastra dan dalam masyarakat, keperjakaan

justru tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Virginitas yang hanya dimaknai

sebagai kondisi fisik seseorang menyebabkan virginitas semakin melekat pada

perempuan dan keperjakaan semakin tidak dipermasalahkan. Keperawanan seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri perempuan

yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat melakukan hubungan

seksual untuk pertama kalinya. Hal ini tidak berlaku pada laki-laki karena pada

keperjakaan tidak ada tanda fisik yang seperti apa yang dimiliki perempuan (“Bangga

Jadi Perjaka”, 2009).

A. 3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya

A. 3. a. Definisi Gender

Secara biologis, individu dibedakan dari karakteristik fisik, yaitu laki-laki dan

perempuan yang disebut seks. Secara sosial budaya, individu dibedakan dari

sifat-sifat yang melekat pada laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) berdasarkan

(39)

berbeda dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) merupakan pembagian dua

jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat

pada jenis kelamin tertentu, sedangkan gender sendiri merupakan konstruksi sosial

psikologis pada jenis kelamin (Handayani & Novianto, 2004).

Oakley (dalam Kasiyan, 2008) membedakan istilah antara gender dan seks.

Secara prinsip dijelaskan bahwa gender merujuk pada kategori sosial dan seks adalah

kategori biologis. Hal ini juga ditegaskan oleh Mosses (dalam Kasiyan, 2008), bahwa

secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin

biologis merupakan pemberian (given), yakni kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Akan tetapi untuk menjadi ‘feminim’ atau ‘maskulin’ bukan hanya

pemberian namun juga kultural berdasarkan kondisi biologis seseorang. Gender

merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (Oakley, dalam

Nugroho, 2008). Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan

Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural

(Nugroho, 2008)

Sekalipun tampak jelas perbedaan antara jenis kelamin dan gender, sampai

saat ini masih terlihat bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan

gender. Perbedaan gender (gender differences) tersebut, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (Kasiyan,

(40)

A. 3. b. Ketidakadilan Gender pada Virginitas

Pada budaya Indonesia, virginitas diidentikan dengan perempuan meskipun

kondisi tersebut juga dimiliki oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman

bahwa virginitas dapat dibuktikan secara fisik. Virginitas yang dinilai sebatas kondisi

fisik saja, yaitu menyangkut keutuhan selaput dara yang hanya dimiliki perempuan.

Tidak adanya penanda fisik pada keperjakaan laki-laki seperti halnya selaput dara

yang dianggap penanda fisik keperawanan perempuan diperlihatkan dalam novel

sastra Saman (Utami, 2008), sebagai berikut:

“Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis” (h. 152)

Pernyataan dalam novel ini memperlihatkan pandangan masyarakat bahwa

keutuhan selaput dara mengindikasikan virginitas. Keperawanan pada perempuan

seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu

keutuhan selaput dara dan pendarahan pada saat terjadi persenggamaan. Selain

memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan anggapan bahwa virginitas dimaknai

sebagai hal fisik yang lebih terlihat pada perempuan, budaya ini juga memperlihatkan

adanya tuntutan bagi perempuan untuk menjaga virginitasnya hingga menikah.

Isu virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan yang

bertanggung jawab menjaga virginitasnya adalah perempuan. Tuntutan untuk masih

perjaka bagi laki-laki hampir tidak ada (Oetomo, 2001). Selain itu, eksplorasi seksual

yang menyebabkan laki-laki kehilangan keperjakaan lebih dapat ditoleransi dan

(41)

2008). Virginitas memiliki peran sosial yang penting khususnya bagi perempuan.

Berbeda dengan yang dirasakan oleh perempuan terkait dengan keperawanan, secara

sosial budaya masyarakat tidak terlalu memperhatikan keperjakaan, sehingga

laki-laki tidak merasakan adanya beban sosial (Oetomo, 2001).

Keperawanan merupakan persembahan wajib perempuan kepada suaminya di

malam pertama pengantin (Wirodono, 2009; Utami, 2008). Oleh karena itu,

perempuan hanya boleh menyerahkan virginitasnya setelah menikah, dan apabila

seorang perempuan tidak perawan lagi, suaminya dan keluarga suaminya akan

menjadikannya sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan (Machali, 2005). Hal

tersebut tidak berlaku pada pria. Keperjakaan pada pria sulit ditentukan karena tidak

ada tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.

Selain dikarenakan adanya pemahaman bahwa virginitas terkait dengan

kondisi fisik seseorang, perempuan juga akan menanggung beban yang lebih berat

apabila ia sampai melepaskan virginitasnya dan melakukan hubungan seksual

sebelum menikah. Pada laki-laki, mereka hanya perlu menyumbangkan spermanya

saja untuk menghasilkan keturunan (Durrant & Ellis, 2002). Apabila sepasang kaum

muda melakukan hubungan seksual pranikah dan hubungan tersebut menghasilkan

keturunan, pihak laki-laki bisa saja tidak mengakui benih tersebut sebagai anaknya

dan lari dari tanggung jawabnya. Sedangkan pada perempuan ketika hubungan

seksual tersebut menghasilkan keturunan, ia harus menghadapi sembilan bulan

(42)

menyusui dan mengasuh anak juga merupakan beban bagi perempuan apabila

hubungan seksual menghasilkan seorang anak (Durrant & Ellis, 2002). Masa-masa

mengandung, melahirkan, hingga menyusui dan mengasuh anak akan lebih berat bagi

perempuan ketika anak tersebut merupakan hasil hubungan seksual pranikah, karena

pihak perempuan akan lebih menanggung malu daripada pihak laki-laki. Hal ini akan

semakin buruk apabila pihak laki-laki tidak mau mengakui anak hasil hubungan

seksual pranikah tersebut sebagai anaknya. Beban yang akan dihadapi perempuan

ketika ia melakukan hubungan seksual pranikah (yang memiliki kemungkinan besar

dapat menghasilkan keturunan) menyebabkan masyarakat lebih mempermasalahkan

keperawanan daripada keperjakaan.

Keperawanan ternyata sudah dihargai tinggi bahkan oleh budaya yang belum

terkena pengaruh agama, sekalipun belum ada kewajiban untuk menjaga

keperawanan sebelum menikah. Keperawanan perempuan yang memiliki profesi

tertentu, misalnya menjadi ronggeng, akan dihargai sangat tinggi. Hal ini

digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novel sastranya yang berjudul Ronggeng

Dukuh Paruk (2007). Pada novelnya Ahmad Tohari mengangkat prosesi bukak klambu yang merupakan syarat terakhir untuk menjadi penari ronggeng di Dukuh Paruk, desa yang belum mengenal agama. Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon

ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh

(43)

wajib diserahkan oleh laki-laki yang menginginkan virginitas calon ronggeng sangat

banyak pada masa itu (Tohari, 2007).

Perempuan diharapkan lebih dapat mempertahankan keperawanannya yang

sangat berharga, sedangkan pada laki-laki tuntutan akan keperjakaan hampir tidak

ada (Oetomo, 2001). Ini mencerminkan adanya ketidakadilan gender pada viginitas di

masyarakat. Masyarakat menuntut perempuan untuk mempertahankan virginitasnya

namun mengganggap pelepasan virginitas sebelum menikah pada laki-laki sebagai

sesuatu yang wajar (Crooks, 2008).

B. KONTEKS PENELITIAN : MAHASISWA DI YOGYAKARTA

B. 1. Kontribusi Kultural dalam Makna Virginitas pada Mahasiswa di

Yogyakarta

Menurut Koentjaraningrat (dalam Roqib, 2007), kebudayaan Jawa berakar di

Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Hal ini menyebabkan Daerah

Istimewa Yogyakarta menyandang nama besar sebagai pusat kebudayaan Jawa

dengan khasanah tradisi yang melimpah. Yogyakarta dipandang memiliki ikatan

tradisi yang kuat dan seakan-akan hal tersebut menjadi norma untuk menilai

kehidupan yang ada di Yogyakarta. Adapun nilai budaya Jawa yang saat ini dipegang

oleh masyarakat jawa adalah perpaduan antara budaya Jawa dan pengaruh nilai-nilai

Agama. Salah satunya yang terkait dengan virginitas adalah penundaan pelepasan

(44)

budaya Jawa namun merupakan budaya yang dibawa oleh Agama sehingga juga

dimiliki oleh seluruh budaya di Indonesia. Agama menanamkan norma yang

melarang seks pranikah, karena hubungan seksual dan pernikahan merupakan hal

yang sakral. Ini berarti bahwa agama juga menganggap virginitas adalah hal yang

penting untuk dipertahankan sebelum menikah.

Yogyakarta yang dipandang memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat

memunculkan anggapan bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang menolak

perubahan-perubahan yang ada (Subanar, 2008). Terkait dengan hal tersebut, ketika

terjadi pelanggaran atas nilai-nilai kesakralan virginitas dan pernikahan, seperti

maraknya pelepasan virginitas di kalangan kaum muda yang belum menikah,

terjadilah gejolak yang lebih besar dari kota-kota lain yang tidak menyandang atribut

seberat Yogyakarta. Misalnya, ketika hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga

Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) di

tahun 2002 menyatakan 97,05% mahasiswi yang menjadi responden penelitian

mengaku telah kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (“Sulit

Dikontrol”, 2002), berbagai respon bermunculan menyikapi hasil penelitian tersebut.

Kontroversi seputar penelitian tersebut mewarnai hampir seluruh pemberitaan di

beberapa koran lokal di D.I. Yogyakarta. Ada yang menggugat hasil penelitian

tersebut, baik dari segi validitas, objektivitas, tujuan dan manfaat penelitian serta

menuntut dicabutnya hasil penelitian tersebut karena dianggap telah meresahkan

(45)

Penelitian ini dianggap mencemarkan nama baik Yogyakarta. Di sisi lain, ada juga

pihak-pihak yang memandang hasil penelitian tersebut penting sebagai peringatan

dan mawas diri bagi semua pihak, dan atas dasar itu perlu diambil langkah-langkah

preventif (Munti, 2005).

Pembicaraan mengenai seksualitas merupakan hal yang tabu pada budaya

Jawa. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan

masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan di pergaulan banyak

lelucon mengenai seks (Roqib, 2007). Orang tua dan guru di sekolah menempatkan

masalah seks sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan (Komandoko,

2009). Padahal keluarga merupakan tempat terbentuknya norma-norma sosial dan

pengkhayatan (internalisasi) nilai-nilai (Surbakti, 2008). Anggapan tabu terhadap

hal-hal mengenai seksualitas yang dimiliki orang tua menyebabkan orang tua cenderung

enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak, sehingga nilai-nilai yang

terkait dengan seksualitas pun kurang terbentuk pada anak. Ketertutupan lingkungan

keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum muda

akhirnya mencari informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah

seksualitas, misalnya media dan lingkungan pergaulan (Sarwono, 2008).

B. 2. Mahasiswa

Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang menjalankan studi di Perguruan

(46)

Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Sarwono, 1979), mendefinisikan mahasiswa

sebagai golongan pemuda (umur 18-30 tahun), yang secara resmi terdaftar pada salah

satu perguruan tinggi dan aktif pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika dilihat

dari segi usia, yaitu antara 18-30 tahun, Mahasiswa adalah golongan yang baru saja

meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal.

B. 3. Masa Dewasa Awal

B. 3. a. Batasan Usia Masa Dewasa Awal

Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berada pada masa dewasa

awal, yaitu yang berusia 21-26 tahun. Masa dewasa awal dimulai sejak usia 20 tahun

dan berlangsung hingga usia 30 tahun (dalam Santrock, 2007). Sedangkan menurut

Haditomo (dalam Monks et al, 2002) masa dewasa awal dimulai dari usia 21 tahun

dan berakhir pada usia 35 tahun.

Di Indonesia, usia 21 tahun dianggap sebagai batas kedewasaan. Pada usia ini

seseorang dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung pada orang

tuanya (Monks et al, 2002). Hal ini terlihat dari Undang-undang yang diterapkan di

Indonesia. Mereka yang telah berusia 21 tahun dalam UU No. 1/1974 tentang

Perkawinan diperbolehkan menikah tanpa izin dari orang tua. Pada usia tersebut

seseorang dianggap sudah mampu memegang tanggung jawab terhadap perbuatannya

(47)

B. 3. b. Ciri Masa Dewasa Awal

Salah satu ciri orang yang berada di masa dewasa awal adalah

kemandiriannya dalam membuat keputusan, yang meliputi pembuatan keputusan

secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta tentang gaya hidup

(Santrock, 2002). Berdasarkan Undang-undang yang diterapkan di Indonesia, mereka

yang telah berusia 21 tahun dianggap telah mampu membuat keputusan untuk dirinya

sendiri, termasuk keputusan tentang nilai-nilai yang ia pegang dan hubungan

percintaannya.

Ciri lain yang dinyatakan dalam Mappiare (1997) adalah bahwa usia dewasa

awal adalah usia banyak masalah. Pada masa dewasa ini banyak persoalan baru yang

muncul, namun beberapa ada juga yang merupakan kelanjutan atau pengembangan

dari persoalan yang dialami dalam masa remaja akhir. Persoalan-persoalan baru yang

mungkin muncul, antara lain: persoalan mengenai pekerjaan dan jabatan, pemilihan

teman hidup, dan keuangan. Persoalan yang berhubungan dengan pemilihan teman

hidup merupakan satu diantara persoalan sangat penting dalam masa dewasa awal ini.

Pada proses pemilihan teman hidup sebelum memasuki jenjang perkawinan, telah

terdapat persoalan yang berhubungan dengan penyesuaian, baik terhadap calon

istri/suami maupun terhadap orang-orang lain yang terkait dengan calon suami/istri,

beserta norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Dengan banyaknya

persoalan yang dialami orang yang memasuki masa dewasa awal, maka muncul

(48)

dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran. Sebelum

usia 27 tahun kekhawatiran yang muncul berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam

kontak-kontak yang berkisar hubungan antara dua jenis kelamin, misalnya kencan

dan romans.

Ciri khas anak muda adalah bahwa dia dapat mewujudkan dirinya sendiri dan

berusaha membebaskan dirinya dari lindungan orang tua. Ini tidak hanya berarti ia

dalam usahanya untuk mencoba membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang

tuanya, baik dari segi afektif maupun dalam segi ekonomi. Secara mental, anak muda

juga tidak suka lagi menurut pada orang tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi

tua seperti orang tua, guru, pemimpin-pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi

begitu saja diterima. Meskipun kecenderungan akan perkembangan sikap ini terdapat

pada semua remaja atau anak muda pada masa ini, tetapi manisfestasinya banyak

dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Di Indonesia, sikap ingin membebaskan dirinya

dari generasi tua ini mungkin masih disertai oleh sikap hormat dan menjaga jarak

antara kaum muda dan orang tua sesuai dengan norma-norma yang dipercaya. Tetapi

bagaimanapun juga keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan dirinya sendiri

ini merupakan kecenderungan yang ada pada setiap kaum muda (Monks et al, 2002)

B. 3. c. Tugas Masa Dewasa Awal

Tugas perkembangan yang khusus bagi orang Indonesia belum ada, maka

(49)

berbeda. Rumusan tugas perkembangan yang dapat digunakan adalah tugas

perkembangan menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), yang menyatakan bahwa

pada masa dewasa awal individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan

relasi yang akrab dan intim dengan seseorang. Erikson menggambarkan keintiman

sebagai penemuan diri sendiri pada orang lain, namun tidak kehilangan diri sendiri.

Saat mereka yang berada pada masa dewasa awal menemukan relasi yang intim

dengan orang lain, keintiman akan dicapai. Namun jika tidak, isolasi yang terjadi.

Keintiman diperlihatkan oleh mereka yang berada pada masa dewasa awal

melalui hubungan berpacaran dengan cinta yang romantis. Cinta yang romantis

sangat penting khususnya bagi mahasiswa perguruan tinggi. Pada suatu penelitian,

mahasiswa laki-laki dan perempuan yang belum menikah diminta untuk

mengidentifikasikan hubungan dekat mereka. Hasilnya, lebih dari separuh subyek

menyebutkan kekasih romantis daripada menyebut orang tua, saudara kandung, atau

teman (dalam Santrock, 2002). Cinta yang romantis, yang juga disebut sebagai cinta

penuh gairah, memiliki komponen-komponen seksualitas dan nafsu birahi. Cinta

yang romantis mencakup emosi-emosi yang beragam dan kompleks, seperti

ketakutan, kemarahan, dorongan seksual, rasa cemburu, dan kegembiraan (Hendrick

& Hendrick, dalam Santrock, 2007). Ellen Berscheid (dalam Santrock, 2007),

seorang peneliti cinta, menyatakan bahwa dorongan seksual adalah unsur yang

(50)

Dengan demikian, responden pada penelitian ini adalah kaum muda yang

merupakan mahasiswa berusia 21-26 tahun, dan tinggal di Yogyakarta. Yogyakarta

memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat, namun di sisi lain Yogyakarta telah

mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan, termasuk munculnya tempat

hiburan, mulai dari yang sifatnya hiburan keluarga hingga yang menawarkan hingar

bingar kehidupan di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006)

C. REPRESENTASI SOSIAL VIRGINITAS PADA KAUM MUDA DI

YOGYAKARTA

Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai

pemikiran pada masyarakat awam. Teori representasi sosial menekankan pentingnya

melihat keberagaman pengalaman individu dan bagaimana pengalaman

diorganisasikan dan dipahami dalam masyarakat awam. Representasi sosial

merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang

membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Jika dikaitkan dengan

representasi sosial, pemaknaan terhadap virginitas dapat dilihat melalui sistem nilai,

ide, dan praktek-praktek yang berlaku di masyarakat tentang virginitas. Nilai yang

dimiliki masyarakat Indonesia adalah kesakralan pernikahan dan larangan melakukan

hubungan seksual sebelum menikah. Ini berarti bahwa virginitas adalah hal yang

(51)

Makna adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa (Blumer,

dalam Mulyana, 2002). Makna merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam

proses interaksi antar manusia. Ini memperlihatkan bahwa makna tidak hanya berada

pada level individu saja, tetapi terdapat makna yang berada pada level masyarakat

yang dinamakan makna sosial atau representasi sosial (Blumer, dalam Sunarto,

2000). Makna yang ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan

dengan perubahan konteks situasi (Blumer, dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga

berlaku untuk makna virginitas. Dalam hal ini perspektif representasi sosial juga akan

membantu mengungkap makna virginitas sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat. Perspektif representasi sosial mengenal manusia

sebagai makhluk berpikir yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada

umumnya berpikir mengenai hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan

kolektif masyarakat. Dengan demikian representasi sosial merefleksikan pemahaman

pikiran awam (commonsense).

Representasi sosial terdiri atas tiga dimensi, yaitu informasi, sikap, dan ranah

representasi, yang mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, keyakinan, dan opini,

mengenai suatu obyek (Jodelet, 2006). Inti dari representasi sosial adalah keyakinan

yang menyatakan bahwa kondisi psikologis seseorang merupakan produk sosial yang

akan menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam lingkungan

(52)

melalui replika dari data persepsi” tetapi dilihat sebagai bagian dari realitas sosial.

Oleh karena itu, representasi sosial dilihat sebagai bagian dari realitas sosial.

Secara umum, penelitian representasi sosial melalui dua proses yaitu,

anchoring dan objectivication. Proses Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) dari suatu obyek tertentu dalam pikiran individu, dalam hal ini mengenai virginitas. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek yang

tidak familiar, dalam penelitian ini adalah virginitas, diterjemahkan dalam kategori

dan penggambaran yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.

Proses membuat yang tidak familiar menjadi familiar disebut dengan proses

objectification.

Moscovici (dalam Walmsley, 2004) berpendapat bahwa tujuan representasi

sosial adalah untuk membuat yang tidak familiar menjadi familiar. Pada penelitian

ini, proses objectivication mengacu pada penerjemahan ide tentang virginitas yang cenderung abstrak ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit. Hasil proses

objectification nantinya akan terkait dengan empat fungsi representasi sosial (dalam Walmsley, 2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi

orientasi, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu

realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan

kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah

(53)

orientasi mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan

sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Representasi juga menyediakan

pembenaran atas perbedaan sosial antar kelompok, khususnya saat stereotypes dan permusuhan terbukti. Penelitian ini sendiri menggunakan representasi sosial dengan

lebih menitik beratkan pada fungsi pengetahuan dan fungsi orientasi. Representasi

sosial yang berfungsi sebagai pengetahuan akan mengungkap realitas yang dipahami

kaum muda tentang virginitas, sedangkan fungsi orientasi akan mengarah pada sikap

dan praktek yang dimiliki kaum muda terkait dengan virginitas.

Sikap dalam representasi sosial adalah sikap sosial, yakni suatu hasil

konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek pikiran. Sikap sosial terbentuk dari

adanya interaksi sosial yang dialami individu. Interaksi sosial mengandung lebih dari

pada kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial.

Sikap sosial individu mengenai virginitas akan mengacu pada kumpulan pengetahuan

yang diperolehnya dalam lingkungan sosialnya, baik itu berupa informasi mengenai

virginitas yang ia miliki sendiri dan ia bagikan pada anggota kelompok yang lain,

atau informasi mengenai virginitas dari anggota kelompoknya yang dapat

mempengaruhi sikap individu tersebut terhadap virginitas (lihat Wagner et al, 1999). Masa dewasa awal dalam budaya Indonesia dimulai sejak usia 21 tahun dan

berakhir pada usia 30 tahun. Sebelum usia 27 tahun kaum muda mengalami

kekhawatiran yang muncul berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam

(54)

romans. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa mereka yang berada pada masa

dewasa awal sudah mampu mengambil keputusan tentang nilai-nilai yang ia pegang

dan dalam memilih pasangan. Nilai-nilai moral yang terkait dengan hubungan jenis

kelamin pada budaya Jawa khususnya adalah penundaan pelepasan virginitas, yang

berarti juga penundaan hubungan seksual sebelum menikah. Hal ini juga berarti

bahwa kaum muda harus mengontrol dorongan seksualnya, padahal masa dewasa

awal yang juga merupakan masa menjalin hubungan intim dengan lawan jenis dan

oleh karenanya pada masa ini seseorang juga memiliki dorongan seksual yang tinggi.

Kaum muda tidak begitu saja menerima nilai-nilai tentang virginitas yang

diturunkan oleh wakil-wakil generasi tua seperti orang tua, guru, dan

pemimpin-pemimpin agama. Orang tua dan guru di sekolah yang menempatkan masalah seks

sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan menyebabkan orang tua

cenderung enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak, sehingga

anak kurang mendapatkan nilai-nilai yang terkait dengan seksualitas. Ketertutupan

lingkungan keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum

muda cenderung mencari informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah

seksualitas, misalnya media massa dan lingkungan pergaulan. Representasi sosial

kaum muda mengenai virginitas terbentuk dari pengintegrasian nilai-nilai virginitas

yang mereka dapatkan dari generasi tua dengan informasi-informasi yang mereka

(55)
(56)

36 A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan

menggunakan paradigma representasi sosial. Penelitian kualitatif bertujuan untuk

memberikan uraian deskriptif yang kaya atau “padat” tentang fenomena yang

diselidiki serta melibatkan pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal

naturalistik dan analisis yang dilakukan bersifat tertulis (Smith, 2009). Penelitian ini

mencoba menggali data dan menganalisis data secara kualitatif. Namun untuk

mempermudah membaca data dan menemukan representasi sosial yang muncul maka

data kualitatif tersebut kemudian dianalisis secara kuantitatif.

Suryabrata (2008) mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk

membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang

ada dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2008). Pada penelitian

deskriptif jenis data yang dikumpulkan adalah data yang sifatnya deskriptif seperti

transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan sebagainya

(Poerwandari, 2005). Peneliti dalam melakukan penelitian menyusun suatu gambaran

yang menyeluruh dan kompleks, menganalisis kata-kata, melaporkan secara detail

pendapat atau pandangan responden dan melaksanakan penelitian tersebut dalam

(57)

mengungkapkan apa yang ada dalam masyarakat terkait dengan permasalahan sosial

yang ada. Paradigma representasi sosial merupakan kerangka berpikir konsep-konsep

dan ide-ide psikologis dalam dunia sosial, dalam rangka mempelajari fenomena

psikososial dalam masyarakat modern (Wagner et al., 1999). Paradigma ini

meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap sosial

individu terhadap virginitas dapat diketahui, sesuai dengan nilai dan norma yang

berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Teori yang dikembangkan oleh

Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi

antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan

keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal

baru dan pemahamannya berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk

mengarahkan perilaku dan komunikasi dalam dinamika sosial (Jodelet, 2006).

B. BATASAN ISTILAH

1. Makna virginitas adalah segala sesuatu yang dipahami mengenai virginitas

yang didapatkan melalui interaksi sosial. Virginitas diartikan sebagai kesucian

yang melekat pada laki-laki atau perempuan ketika mereka belum pernah

melakukan hubungan seksual.

2. Sikap sosial terhadap virginitas adalah segala sikap yang ada pada

sekelompok orang yang ditunjukan kepada virginitas. Sikap sosial meliputi

Gambar

Tabel 1 Hasil Survei tentang Virginitas
Tabel 4 Data Demografi Responden
Tabel 5
Tabel 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat