• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas

Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan seksual sudah menjadi hal yang sakral pada budaya Indonesia bahkan sebelum agama masuk ke Indonesia. Hubungan seksual merupakan sebuah ritual yang menjadi

simbol kesuburan bagi bumi dan jimat ampuh bagi keberhasilan sebuah panen dan kesejahteraan rakyat (Anoegrajekti, 2006). Seks lebih merupakan hal yang spiritual dan adiluhung, tidak hanya berorientasi pada hubungan biologis semata. Maksudnya, seks dalam hal ini bertujuan untuk mengetahui asal usul kemanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup (Endraswara, 2002). Hubungan seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia (Roqib, 2007).

Pada saat masyarakat Indonesia masih menganut sistem kepercayaan dan agama belum masuk ke Indonesia, hubungan seksual antara mereka yang tidak terikat dalam pernikahan dianggap sebagai hal yang wajar asal hubungan seksual dilakukan untuk meneruskan keturunan demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Di Terunyan (Bali), misalnya, merupakan suatu kewajaran bila sepasang kekasih melakukan hubungan seksual dan baru menikah ketika si perempuan terbukti hamil (Danandjaja, 1985). Sebelum mengenal ajaran agama, masyarakat menganggap pernikahan bukanlah merupakan hal yang kudus, namun hanya dilakukan untuk memperoleh keturunan (Tohari, 2007). Seorang perempuan baru akan dinikahi oleh pasangannya apabila ia sudah terbukti dapat memberikan keturunan. Akan tetapi, merupakan hal yang haram apabila seorang perempuan hamil tanpa ada seorang pria yang mau mengakui janinnya dan memiliki bayi di luar pernikahan (Tohari, 2007).

Menurut Michel Foucault (dalam Sudiarja, 2006), seks adalah bagian dari kehidupan yang wajar karena merupakan ciri manusia sebagai makhluk yang

berhasrat. Namun, Agama yang di Indonesia berkembang menjadi lembaga resmi, dalam menjalankan fungsi sosialnya mencoba mengendalikan hasrat seks umatnya dengan norma-norma maupun upacara-upacara (Sudiarja, 2006). Hubungan seksual merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah pasti akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia, pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu. Hal ini terlihat dari praktek-praktek keagamaan yang berlaku di masyarakat sebagai berikut:

Tabel 2

Pandangan Agama mengenai Virginitas Hindu

(Angganingrum,2009)

•Merupakan sebuah dosa apabila seseorang memberikan virginitasnya sebelum ia memasuki tahap Grahasta (tahap berkeluarga) dalam tahapan Catur Asrama (4 tahap kehidupan).

•Pernikahan merupakan prosesi yang ditujukan pada leluhur dan Tuhan untuk seorang perjaka dan perawan, dan merupakan awal memasuki tahapan Grahasta

Buddha •Berpedoman pada sila ketiga pada pancasila Buddha, yaitu “Kami bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila/hubungan yang salah”, penganut agama Buddha, kecuali para petapa diperbolehkan melakukan hubungan seksual jika sudah berumah tangga. Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah adalah hubungan seksual yang salah (Vajhiradhammo, 2008)

Islam •Menikah adalah ibadah (Anoegrajekti, 2006)

•Seks adalah masalah suci serta sakral, karena hanya bisa diraih dan dinikmati melalui proses ijab-qabul atau akad pernikahan (Anoegrajekti, 2006). Penikahan merupakan satu-satunya cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksual dan emosi (Halstead, 2006)

•Hubungan seksual sebelum waktunya mengundang rasa malu dan hukuman sosial (Rathus, 2008)

Katolik (Rathus, 2008)

•Menjaga virginitas adalah salah satu bentuk memujaan pada Tuhan (adanya konsep selibat)

•Hubungan seksual hanya boleh dilakukan untuk meneruskan keturunan

•Tuntutan virginitas pada pengantin perempuan

Protestan • Pernikahan adalah suatu proses dua orang dewasa, pria dan wanita, dan hanya satu-satunya tempat yang sah untuk bersetubuh (Halstead, 2006)

• Hubungan seksual sebelum menikah dianggap sebagai hal yang amoral dan penuh dosa (Rathus, 2008)

Kelima agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, menyatakan bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, bukan hanya untuk membentuk sebuah keluarga tapi juga merupakan situasi yang menjadi pertanda utama diperbolehkannya hubungan seksual pada orang dewasa. Agama menanamkan norma yang melarang seks pranikah. Seks dianggap sebagai suatu hal yang sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hidup berkeluarga dan lembaga perkawinan adalah hal yang penting, sehingga hubungan seksual hanya boleh dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan bila disahkan oleh hukum, yaitu jika telah mengikatkan diri dalam sebuah lembaga perkawinan (Al-Fayyadl, 2006).

Ini berarti bahwa agama menganggap virginitas merupakan hal yang penting untuk dipertahankan sebelum menikah.

Besarnya pengaruh agama dalam masyarakat Indonesia, menyebabkan nilai yang ada pada agama juga melembaga dalam kultur masyarakat, termasuk nilai-nilai kesakralan perkawinan dan virginitas. Virginitas menjadi hal yang sakral dalam budaya Indonesia setelah mendapat pengaruh agama. Di Indonesia, terdapat dua jenis pemaknaan mengenai virginitas yang beredar di masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai novel yang memiliki konteks budaya Indonesia. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam novel sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan.

Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) yang mengambil setting jaman Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam, Ni Semangka yang merupakan abdi puri Kerajaan Mataram, menjawab pertanyaan Genduk Duku, seorang dayang cilik, mengenai keperawanan, sebagai berikut:

“‘Perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, kata ibuku, Nduk, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta, Nduk Duku, seandainya pun dia sudah ditiduri Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya percaya ibuku benar, ‘Seseorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, dia pun perawan dalam arti yang sejati.’” (h. 22).

Pernyataan ini mengesankan bahwa adanya pemaknaan terhadap keperawanan secara substansial, yaitu keperawanan merupakan kesucian bagi perempuan. Selama perempuan tersebut tidak memiliki niat untuk mengkhianati pasangannya atau suaminya, serta tetap mengabdi sebagai seorang istri dan ibu yang setia, maka perempuan tersebut akan tetap dianggap perawan, sekalipun ia pernah diperkosa atau telah memiliki banyak anak.

Di masyarakat, keperawanan juga dimaknai sebagai hal fisik dan hanya terkait dengan selaput dara, dimana seseorang dikatakan sudah tidak perawan lagi ketika selaput daranya robek. Hal ini tercermin dari pernyataan Hanggalana, pemuda yang bekerja di kandang kuda kerajaan, kepada Genduk Duku. Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) Hanggalana menyatakan bahwa terlalu sering naik kuda akan menyebabkan seorang perempuan tidak perawan lagi. Aktivitas berat seperti berkuda dianggap dapat menghilangkan keperawanan karena aktivitas ini dapat menyebabkan robeknya selaput dara. Pernyataan Hanggalana membuat cemas Genduk yang kesehariannya diisi dengan latihan berkuda agar ia mampu mengendarai kuda yang merupakan alat transportasi utama pada masa itu (Mangunwijaya, 2008). Kecemasan Genduk dikarenakan ia takut selaput daranya robek dan kehilangan keperawannya apabila terlalu sering berkuda.

Virginitas yang dimaknai sebagai robeknya selaput dara juga digambarkan pada novel sastra Centhini. Novel sastra Centhini yang juga mengambil setting jaman Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam menceritakan bahwa alas tidur

pengantin baru harus berwarna putih polos. Hal ini dilakukan agar noda perawan dapat terlihat setelah malam pertama. Noda perawan yang dimaksud adalah darah yang keluar dari vagina akibat robeknya selaput dara ketika seorang perempuan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya (Wirodono, 2009).

Di Masyarakat juga bermunculan mitos-mitos tentang virginitas yang menyatakan bahwa perempuan yang masih perawan atau tidak dapat dilihat dengan mudah melalui kondisi fisiknya. Salah satunya tertulis dalam novel sastra yang menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia di tahun 1960an, Ronggeng Dukuh Paruk (Tohari, 2007). Novel ini menceritakan sebuah desa bernama Dukuh Paruk yang belum terkena pengaruh agama padahal pada masa tersebut agama sudah mulai berkembang di desa-desa tetangga Dukuh Paruk tersebut. Pada novel tersebut terdapat sebuah pernyataan ketika ronggeng dari Dukuh Paruk berkunjung ke desa Dawuan yang merupakan desa tetangga Dukuh Paruk, sebagai berikut :

“Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa perempuan, betapa muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi” (h. 124)

Dewasa ini mitos-mitos tentang virginitas semakin banyak beredar di masyarakat. Sarwono (2006), dalam buku Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia, juga menggungkapkan beberapa mitos yang berkembang di masyarakat tentang virginitas, yaitu kalau malam pertama harus berdarah, anak gadis tidak boleh olahraga keras (nanti selaput daranya robek), dan bentuk payudara dan pantat wanita

melambangkan keperawanan. Banyaknya mitos di masyarakat saat ini tentang virginitas yang dihubungkan dengan tampilan fisik memperlihatkan bahwa virginitas hanya dimaknai sebagai hal fisik oleh masyarakat.

Berbeda halnya dengan virginitas pada perempuan atau keperawanan yang banyak dipermasalahkan pada novel-novel sastra dan dalam masyarakat, keperjakaan justru tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Virginitas yang hanya dimaknai sebagai kondisi fisik seseorang menyebabkan virginitas semakin melekat pada perempuan dan keperjakaan semakin tidak dipermasalahkan. Keperawanan seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri perempuan yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Hal ini tidak berlaku pada laki-laki karena pada keperjakaan tidak ada tanda fisik yang seperti apa yang dimiliki perempuan (“Bangga Jadi Perjaka”, 2009).

A. 3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya

Dokumen terkait