• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. POKOK-POKOK PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

A. Pokok-Pokok Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

3. Konteks Pendidikan Agama Katolik

Heryatno (2008: 59) mengatakan bahwa pengalaman hidup siswa meliputi segala kegiatan rohani mereka seperti hidup doa, perayaan iman dan devosi-devosi mereka. Di samping pengalaman siswa juga mencakup kesulitan, keprihatinan dan persoalan hidup yang menekan seperti kekhawatiran, ketakutan dan kebingungan tetapi juga kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, cita-cita serta pengharapan mereka. Dengan kata lain, pengalaman hidup mencakup seluruh kenyataan hidup siswa. Kehidupan konkret yang menjadi salah satu unsur pendikan iman menggarisbawahi pengertian dasar pendidikan iman sebagai komunikasi pengalaman atau penghayatan iman bukan lebih-lebih sebagai pengajaran agama.

Kehidupan konkret menjadi titik tolak dan sekaligus medan bagi siswa untuk menghayati imannya. Melalui refleksi terhadap pengalaman hidupnya, siswa mengenali kehadiran Allah yang menyatakan diri dan mengundang mereka untuk menanggapinya. Melalui refleksi, siswa dibantu menemukan makna dari pergulatan hidupnya dan dibantu juga untuk menempatkan iman di dalam pergulatan hidup sehari-hari. Pengalaman hidup dapat menjadi medan perjumpaan antara rahmat Allah dan tanggapan manusia. Dengan bertitik tolak dari pengalaman hidup siswa, kegiatan pendidikan iman menjadi relevan karena menanggapi kenyataan hidup dan kebutuhan siswa serta menyentuh kehidupan siswa. Setiap siswa tentu memiliki pengalamannya sendiri yang diyakini

maknanya dan dipahami sebagai suatu bagian penting dari rangkaian perjalanan hidupnya.

b. Keadaan Sekolah

Heryatno (2008: 16) juga menegaskan kembali pandangan Deklarasi Pendidikan Kristen Gravissimum Educationis bahwa salah satu pokok pusat perhatian mereka adalah menciptakan suasana sekolah yang sungguh-sungguh Katolik. Sekolah Katolik mengusahakan suatu suasana sekolah yang dijiwai oleh Roh Cinta Kasih dan Kebebebasan Injili, suasana sekolah yang diresapi oleh semangat dan sikap hidup Yesus sendiri. Suasana sekolah semacam ini akan membuat para siswa merasa martabatnya dihormati, permasalahan hidupnya dipahami, pertanyaan dan keluhannya diperhatikan. Mereka juga dibantu untuk menemukan identitas dan perannya di dalam kehidupan bersama. Maka dari itu, sekolah Katolik diharapkan menjadi kaya akan nilai manusiawi dan nilai-nilai rohani. Sekolah Katolik perlu mengusahakan agar suasana kekeluargaan antara guru dengan siswa, orang tua dengan para guru dan sekolah, lebih-lebih antar siswa sendiri sungguh tercipta. Yang dimaksud dengan kekeluargaan dalam sekolah adalah suasana pendidikan yang membantu para siswa merasa aman, krasan, diterima, menyenangkan karena semua pihak saling memperhatikan dan membantu.

Untuk mewujudkan harapan itu sekolah-sekolah Katolik telah berusaha untuk merubah gambaran dirinya dari sekolah sebagai lembaga menjadi sekolah sebagai komunitas. Usaha ini sesuai dengan hakikat dan wajah Gereja seperti

yang ditegaskan oleh Konsili Vatikan II di dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja sebagai umat Allah yang mengutamakan segi komunio (communio: persekutuan). Gambaran sekolah sebagai komunitas adalah model kehidupan bersama yang menekankan persaudaraan, kesatuan (solidaritas), kemitraan, keterbukaan dan kepercayaan dari semua pihak tanpa harus mengabaikan kekhususan masing-masing. Untuk itu, sekolah Katolik menekankan pentingnya dibangun kerja sama antara sekolah, orang tua, Gereja, masyarakat dan kelompok-kelompok yang mengusahakan pendidikan bagi kaum muda.

c. Keluarga

Afra Siauwarjaya & Huber, Th. (1987: 80) mengatakan bahwa pendidikan merupakan cermin dan syarat pembangunan masyarakat. Selain sekolah, perkembangan iman anak juga dilakukan di dalam keluarga. Dalam hal ini orang tua juga memegang peranan penting dalam memperkembangkan iman anaknya. Tidak mungkin mereka menghayati warta Kristus terlepas dari usaha menumbuhkan, mendidik dan memperkembangkan iman anak-anak mereka. Iman dapat tumbuh dan berkembang berkat adanya dorongan Roh Kudus dan usaha untuk mengolah dari dalam diri orang tersebut. Sekolah, keluarga, teman sebaya, pemerintah, masyarakat dan Gereja berperan membantu dalam usaha mendidik dan memperkembangkan iman anak-anak mereka.

Orang tua diharapkan menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak merasa “krasan”, menemukan, mengalami kehangatan, persahabatan, perhatian dan cinta dalam keluarga. Demikianlah diharapkan keluarga nantinya

dapat menampilkan generasi muda yang potensial dan berkepribadian tangguh dalam masyarakat. Orang tua Kristen percaya bahwa mereka diundang Allah untuk saling menyempurnakan menurut teladan Kristus dalam hidup berkeluarga. Maka orang tua wajib membantu anak-anak mereka menghayati hidup konkret mereka sebagai jawaban atas undangan Allah. Hal tersebut diwujudkan dengan mengajak anak-anak menyadari kebaikan Tuhan yang mereka alami bersama dan bersyukur kepada Allah. Dengan usaha konkret terus menerus, orang tua melatih anaknya bersikap peka terhadap kehadiran Allah dalam berbagai situasi yang mereka alami bersama.

Terutama dengan contoh dan teladan orang tua membimbing anak untuk peka dan prihatin terhadap keadilan dan penderitaan sesama. Tentunya sikap tersebut akan diingat oleh anak. Semua yang diingat oleh anak akan menjadi warisan yang sangat mempengaruhi perilaku anak selanjutnya. Maka, dengan teladan baik dari orang tua anak sedini mungkin dilatih menjadi pribadi yang tidak hanya merasa kasihan terhadap sesama yang miskin dan menderita, tetapi yang mampu berbuat sesuatu bagi mereka. Pada umumnya teladan yang baik lebih mempengaruhi anak daripada banyak nasihat dan perkataan. Santo Don Bosco mengatakan “Jangan bicara banyak pada anak mengenai Tuhan, akan tetapi bicaralah banyak pada Tuhan mengenai anak” (Afra Siauwarjaya & Huber, Th., 1987: 81). Dalam seluruh usaha menumbuhkan dan memperkembangkan iman anak, selain berkat adanya dorongan Roh Kudus dan usaha untuk mengolah dari dalam diri anak itu sendiri, contoh dan teladan orang tua menjadi salah satu pokok terpenting.

d. Teman Sebaya

Agoes Dariyo (2004: 13) menjelaskan bahwa teman sebaya lebih ditekankan kepada kesamaan tingkah laku atau interaksi individu pada anak-anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif besar diantara kelompoknya. Hubungan yang baik antara teman sebaya akan sangat membantu aspek sosial remaja secara normal.

Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif dan dapat pula berupa pengaruh negatif. Pengaruh positif yang dimaksud adalah ketika remaja bersama teman-teman sebayanya melakukan aktivitas yang bermanfaat seperti membentuk kelompok belajar, mengikuti kegiatan rohani dan patuh pada norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan pengaruh negatif yang dimaksudkan dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan pada lingkungan sekolah berupa pelanggaran terhadap aturan sekolah.

Dari teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja cenderung mengikuti pendapat dari kelompoknya dan menganggap bahwa kelompoknya itu selalu benar. Teman sebaya menuntut nilai kebersamaan, kekerabatan, kemanusiaan serta persaudaraan. Namun, jika perilaku dalam kelompok didominasi oleh pencurian, tawuran serta tindak kriminal maka akan berpengaruh negatif pada perkembangan remaja.

Dokumen terkait