Serangkaian kenyataan yang terdapat pada beberapa pembahasan di atas menjelaskan pula adanya kontekstualisasi liturgi dalam Kekristenan di tengah budaya di mana umatnya hidup berkomunikasi dan menjalin hubungan di dalamnya. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat penyesuaian yang dilakukan oleh Kekristenan terhadap unsur-unsur budaya di dalam ibadah umat. Sebagaimana diungkapkan pada bagian dasar liturgi, tindakan itu dibarengi dengan penafsiran-penafsiran untuk memberikan pemaknaan yang dipandang selaras dengan gagasan di dalam liturgi itu sendiri. Ada unsur-unsur penting terkait dengan penafsiran dan pemaknaan di dalam kontekstualisasi. Unsur pertama, kontekstualisasi adalah bukan sekedar masalah praktis, melainkan praksis sebagai masalah utama, yaitu bagaimana orang Kristen memahami dirinya di dalam suasana keberadaan yang nyata dan berwujud. Unsur kedua, kontekstualisasi bukan sekedar pergantian wujud luar kebudayaan, tetapi isinya sehingga kemasannya mesti terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai dengan wujud yang ada di dalam kebudayaannya itu. Unsur ketiga, kontekstualisasi terkait dengan persoalan apakah iman dapat dihayati melalui dan di dalam budaya umat itu sendiri. Akhirnya, unsur yang keempat, kontekstualisasi juga meliputi kategori-kategori teologis etis yang bukan sekedar cara penerapan suatu nilai ataupun pola ke dalam suasana keberadaan setempat, melainkan apakah nilai ataupun pola tersebut memiliki titik pertemuan dengan pandangan hidup atau pandangan dunia setempat, sehingga dalam
54
menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak mengabaikan tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan perasaan inferior terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.100 Unsur- unsur kontekstualisasi tersebut memiliki persinggungan dengan definisi teologi kontekstual yang dinyatakan oleh Huang Po Ho, yaitu suatu teologi yang mengambil konteks, situasi dan kondisi daerah tempat tinggal, sejarah dan kebudayaan umat di tengah masyarakat sebagai sumber refleksi dan pengakuan iman, serta untuk membangunan teologi yang dapat membentuk identitas relevan dengan konteksnya.
Selanjutnya, untuk membuat kontekstualisasi sebuah teologi konteks- tual secara umum ada empat langkah, yaitu transplantasi, translasi,
partisipasi, dan rekonstruksi. Langkah transplantasi atau pencangkokan, yaitu upaya memasukkan semua teologi serta pengajaran teologi tradisional atau Teologi Barat, yang banyak dikuasai oleh para misionaris dalam Gereja ke suatu tempat, bahkan teologi yang dibentuk oleh negeri mereka. Kekhasan langkah itu adalah permusuhan dengan budaya pribumi yang dicap sebagai “berhala”, perlu dihancurkan dan diganti. Langkah translasi atau penterjemahan ialah tindakan Gereja di suatu tempat tertentu menge- temukan kebudayaan setempat sebagai alat penafsiran tepat guna. Penterjemahan Alkitab bagi bahasa-bahasa setempat, komunikasi pokok- pokok pengertian teologis, dan ungkapan-ungkapan liturgi beserta seluruh
100
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 8-28, 118-119.
55
unsur kebudayaan setempat diperlukan sebagai sarana. Sikap Gereja terhadap kebudayaan setempat bergeser dari menentang kepada pemanfaatan sebagai alat penterjemahan, pengungkapan, pemakluman. Meskipun sikap Kekristenan berubah dan kebudayaan setempat dinilai dengan cara lebih positif, masih saja menerimanya sebagai peran atau piranti untuk menghubungkan keberadaan pokok-pokok pengertian maupun isinya, yaitu: kedudukan teologis, pemikiran-pemikiran, serta isi yang tetap tradisional. Langkah partisipasi atau peran serta yaitu tahap membangun teologi yang menekankan cara lebih berdaya, dengan melihatnya bukan saja sebagai perangkat pemikiran ataupun refleksi iman, tetapi merupakan tekat kuat untuk ikut serta di dalam karya rencana penyelamatan Allah. Pada langkah ini upaya teologi tidak selamanya menerima kesederhanaan kebudayaan setempat sungguh-sungguh sebagai alat untuk mengungkapkan, tetapi harus mengambil sejarah dan kebudayaan setempat sebagai sasaran dan tujuan teologi agar mendorong Gereja-Gereja maupun orang-orang Kristen ikut serta dalam missi dan bersaksi, merubah dan membuat perubahan sejarah maupun kebudayaan masyarakat sehingga Gereja dapat hidup bersama dan menciptakan kemungkinan bagi umat mengalami karya penyelamatan Allah. Langkah rekonstruksi atau membangun ulang yaitu berteologi yang tidak hanya mengambil sejarah dan kebudayaan setempat sebagai sasaran ataupun tujuan teologi, tetapi juga menjadikan diri teologi itu sendiri sebagai sasaran serta tujuan pembaruan dan membuat perubahan. Pada tahap itu Gereja sedang mendapatkan kembali jatidirinya sebagai
56
Gereja umat setempat, bergumul dengan cara berteologi yang didasarkan pada sumber-sumber yang dikenal dari konteks kehidupan, sejarah, dan kebudayaan mereka.101
Langkah-langkah kontekstualisasi tersebut di dalam proses per- kembangan membangun teologi kontekstual, perwujudannya dapat dilihat dalam dua bentuk cara pendekatan, yaitu pendekatan indigenisasi dan pendekatan kontekstualisasi. Pendekatan indigenisasi atau pembribumian yang disamakan dengan tahap pendekatan translasi adalah pendekatan yang membawa masuk unsur-unsur kebudayaan setempat untuk menterjemahkan dan memoles teologi yang mereka terima dari Gereja-Gereja Barat, sehingga tidak mengubah isi dan inti teologi yang diterima pula dari para missionaris Barat. Semua teologi itu dihiasi dengan unsur-unsur budaya setempat untuk pengungkapan dan mengkomunikasikannya secara lebih baik dengan masyarakat setempat. Pokok-pokok pengertian maupun pemikiran- pemikiran yang sama dikenali, supaya mencapai tujuan gagasan-gagasan teologi asal yang luas dengan cara ramah dan menarik hati melalui unsur- unsur kebudayaan lazim di masyarakat. Adapun pendekatan kontekstualisasi yang dipandang sebagai cara pewujudan “inkarnasi” Yesus Kristus adalah pendekatan yang mengharuskan teologi berperan serta dalam konteks, dan melekat erat dengan lingkungan masyarakat di tempat Gereja hadir. Pendekatan ini perlu terus dipertajam sesuai dengan perubahan konteks dan lingkungannya. Karena teologi yang mengakar pada lingkungan sejarah dan
101
57
masyarakat, harus dikerjakan dengan tekat semangat ikut serta tak henti di dalam missi Kekristenan di tengah konteks berwujud.102
Pandangan mengenai cara yang ada di dalam perkembangan liturgi tersebut juga digagas secara mendalam oleh Anscar J. Chupungco. Menurut- nya, kontekstualisasi atau penyesuaian yang disertai dengan penafsiran terhadap unsur-unsur kebudayaan merupakan ciri khas abadi liturgi Kristen sejak awal keberadaannya hingga sekarang. Dimulai dari tindakan Yesus yang meninjau dan memberi arah pemikiran baru terhadap ajaran maupun adat Yahudi serta mengilhaminya dengan misteri ke-Messias-anNya melalui lambang perjamuan Paskah, maka dari waktu ke waktu penyesuaian liturgi beserta pemaknaan terhadap berbagai bentuk kebudayaan dilakukan juga oleh para penerus atau Gereja hingga sekarang selaras dengan lingkungan kehidupannya.103
Penafsiran yang dimaksud adalah pendekatan terhadap sejarah liturgi yang senantiasa mengalami perubahan pelahan-lahan agar umat di dalam kehidupan peribadahannya dapat menemukan sejumlah hubungan maupun kesinambungan perkembangan bentuk-bentuk liturgi. Selain manfaat itu, pendekatan penyesuaian berguna juga untuk melihat bentuk-bentuk liturgi asli supaya mendapatkan kemurnian tafsiran terhadap pelaksanaan- pelaksanaan liturgi yang masih ada hingga sekarang.104 Karena itu konteks- tualisasi pada liturgi dipandang sebagai perlakuan sekaligus pendekatan
102
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 54-57.
103
Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 13-56.
104
58
terhadap kesamaan-kesamaan akan nilai-nilai budaya beserta dengan bentuk-bentuk kebiasaan di dalam pelaksanaan liturgi untuk menanamkan gagasan dasar yang dimilikinya.
Sebagai suatu metode, pandangan mengenai kontekstualisasi liturgi tersebut terjabar ke dalam empat pokok model, yaitu model kompromi,
modeladaptasi, model asimilasi, model substitusi. Maksud kompromi atau pemufakatan adalah upaya kesefahaman karena adanya perbedaan pandangan terhadap suatu keyakinan yang sulit menyatu demi terwujudnya keutuhan nilai gagasan utama iman di tengah peribadahan umat. Adapun adaptasi atau penyelarasan merupakan upaya menanamkan secara berangsur-angsur ibadah Kristen ke dalam sejarah keselamatan yang teranyam pada kehidupan manusia di dunia atau budayanya, sehingga peristiwa yang disaksikan Kitab Suci kembali disadari melalui liturgi, di mana misteri Kristus hadir di dalamnya. Selanjutnya, yang dimaksud dengan asimilasi atau pemaduan adalah upaya pendekatan terhadap budaya dengan menghormati apa yang luhur dan bermanfaat dalam masyarakat untuk dijadikan sarana yang dapat dipergunakan secara baik di dalam liturgi melalui pemberian makna baru secara Kristiani. Sedangkan maksud substitusi atau penggantian adalah upaya pendekatan dengan melakukan penggantian unsur-unsur budaya yang bertentangan sama sekali dengan
59
pandangan iman Kristen sedemikian rupa sehingga unsur-unsur itu lenyap sama sekali melalui gagasan-gagasan yang dipandang sama.105
Kontekstualisasi liturgi terhadap budaya beserta dengan pembedaan dalam beberapa model di atas tidak bisa dipisahkan dari tiga asas pokok. Asas pertama adalah hakikat Gereja sebagai kelanjutan dari penjelmaan Sabda Allah.106 Kecuali dosa, Sang Sabda telah merasuki keadaan manusia dan mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi, maupun agama bangsaNya. Penjelmaan Sang Sabda di dalam daging adalah keberadaanNya sebagai seorang Yahudi. Sang Sabda menjadi manusia bukan sekedar manusia tanpa identitas, tetapi manusia tertentu dengan ciri-ciri khas bangsa di tempatNya hadir. Dia mewarisi kecenderungan kodrati, ciri-ciri khas, bakal spiritualitas dan cara mengungkapkan diri yang khas Yahudi. Sejarah penjelmaan menuntut Dia menyamakan diri dengan bangsaNya dalam hati dan budi, dalam daging dan darah. Asas ini membuka pengertian bahwa dengan tidak membatasi lingkup penjelmaan Sang Sabda sebagai manusia, pandangan semacam itu menjamin universalitas Kristus dan InjilNya. Dengan kenyataan bahwa Sang Sabda menjelma menjadi seorang Yahudi, memberikan jaminan dalam kebangkitanNya yang dapat menjelma dalam setiap bangsa dan kebudayaan melalui iman Gereja dan perayaan misteriNya. Dengan demikian perluasan penjelmaan Gereja di berbagai suku bangsa dan kebudayaan akan merupakan perluasan dari universalitas Kristus. Karena itu, penyesuaian bukan masalah mana suka, melainkan
105
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 15-51.
106
60
keharusan teologis yang timbul dari tuntutan misteri inkarnasi. Gereja tidak dapat tetap menjadi “orang asing” di tengah suatu bangsa dengan siapa dia hidup, tetapi harus menjadi anak bangsa itu. Dengan memandang bahwa pewahyuan Kristen tetap memiliki keunggulan atas segala ciptaan manusia, maka perwujudannya harus ditemukan pada unsur pribumi yang dapat memperjelas amanat liturgi. Namun, jika menemui keadaan pelik, Gereja harus memiliki alasan teologis yang kuat untuk bisa mengakomodasi tuntutan iman di dalam liturgi sehingga liturgi tidak menjadi asing bagi setiap kebudayaan secara khas melalui susunan, bahasa, ataupun lambang- lambang, tanpa harus kehilangan isi dasarnya.
Asas yang kedua, adalah liturgi sebagai penghormatan atas keagungan Illahi, yang pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat wujud pertemuan pribadi dengan Allah sebagai hal yang utama.107 Sebabnya adalah di dalam liturgi sesungguhnya terdapat makna pendidikan (kateketis), di mana Allah berbicara kepada umatNya, dan di situ pulalah Kristus senantiasa mewarta- kan InjilNya dalam misteri Paskah yang menjadikan liturgi sebagai pewartaan iman resmi dari Gereja. Singkatnya, pusat peribadahan Kristen adalah Sabda Allah, yang di dalamnya Kristus menjadi inti liturgi yang tidak bisa digantikan oleh pikiran atau ideologi manusia. Namun demikian kedalaman penyesuaian liturgi tetap dapat diukur dengan penggunaan bahasa yang mencerminkan pikiran umat, sehingga penggunaan lambang- lambang dan corak pribumi dapat membantu menciptakan suasana pribumi
107
61
dan menjelaskan maksud-maksud tanda liturgis. Selama Gereja mengguna- kan bahasa asing yang pola pikir dan ekspresinya asing pula bagi umat, semua usaha untuk mengadakan penyesuaian tetapi terasa dibuat-buat.
Asas ketiga adalah tuntutan kultural untuk membuat liturgi siap dipakai dan memiliki hubungan yang penting bagi setiap kebudayaan yang di dalam-nya mengandung keseluruhan nilai manusiawi, keseluruhan tradisi beserta upacara kemasyarakatan maupun keagamaan, keseluruhan pola pengungkapan yang semuanya berakar di dalam sifat-sifat khas suatu bangsa melalui cara berpikir, berbahasa, berkesenian, maupun kreasi batin secara spontan terhadap kenyataan kehidupan yang tengah terjadi, serta perilaku yang mengungkapkan kepekaan intelektual, emosional, dan tindakan atau aksi. Namun, penyesuaian liturgi tidak berarti kembali ke cara-cara hidup primitif atau yang telah ditinggalkan, maupun dalam arti melakukan pendekatan futuristik atau mengambil bentuk-bentuk budaya yang sedang dalam proses asimilasi. Kontekstualisasi selalu terkait dengan nilai dan tradisi yang telah baku, yang telah membentuk kehidupan agama, keluarga, kemasyarakatan serta nasional bangsa dalam waktu cukup lama hingga mapan. Karena itu yang harus dicari di dalam peribadahan adalah unsur kebudayaan yang sudah mantap, yang sungguh-sungguh diakui oleh bangsa itu sebagai miliknya sendiri, dan dapat diresapi melalui bahasa ataupun upacara mereka.
62 2.3. Budaya Jawa
Telah dinyatakan di dalam batasan istilah pada Bab I, bahwa yang dimaksud dengan budaya Jawa adalah seperangkat pikiran dan tindakan atau perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa, beserta dengan segala wujud maupun hasilnya. Faham Jawa disebut juga Kêjawén, yaitu pandangan kehidupan yang didasarkan pada pokok pengertian keselarasan
(harmoni) antara kenyataan jagad gêdhe(makro kosmos) dengan jagad cilìk
(mikro kosmos) sebagai asas keberadaan dan keselamatan hidup orang Jawa.108 Jagad gêdhe adalah seluruh kenyataan yang ada di alam semesta, dan jagad cilìk adalah kenyataan diri pribadi seseorang sebagai manusia yang keberadaan hidupnya merupakan bagian tidak terpisahkan dan berkaitan erat dengan kenyataan yang ada di alam semesta itu. Kedua jagad itu pada dasarnya satu kesatuan sebagai keteraturan. Penyimpangan salah satu dari jagad itu akan berpengaruh pada keberadaan jagad yang lainnya, dan entah besar atau kecil pasti akan menimbulkan kekacauan atau kaos yang mengakibatkan mala-petaka, derita, dan akhirnya sirna. Karena itu
jagad gêdhe dan jagad cilìk harus selalu selaras, dijaga hubungannya secara harmonis agar terpelihara dan senantiasa tercipta kehidupan, dengan istilah
māmayu hayunìng bawânâ (ikut memelihara keindahan dunia semesta). Apapun wujud dan keadaan di tengah dunia ini telah ditetapkan (pinêsthi) dan semuanya sudah ditata oleh Tuhan (Hyang). Masing-masing memiliki kedudukan serta daya guna yang saling berhubungan dan tidak bisa
108
63
ditiadakan. Seperti diungkapkan oleh Niels Mulder bahwa dalam kepercayaan orang Jawa, kehidupan di dunia sesungguhnya merupakan bagian dari kesatuan keberadaan segala sesuatu dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi bukan sebagai kebetulan, tetapi sudah dirancang dan ditentukan oleh Hyang Maha Esa, Sang Pencipta kehidupan (Hyang
Suksma) dan Asal-Usul (sumber awal kejadian dan tempat kembalinya) semua ciptaan dalam hubungan tertata dan saling melengkapi secara bertingkat (dari sifat lahiriah hingga batiniah) dan penuh rahasia.109