Tata susunan upacara pemujaan masyarakat Jawa pada Tuhan dengan berbagai perwujudan di atas, memperlihatkan adanya beberapa unsur penting. Yang pertama adalah gagasan yang menjadi sumber keyakinan sebagai landasan perumusan bagi pelaksanaan upacara kepercayaan. Kedua adalah aneka lambang yang dipergunakan di tengah upacara kepercayaan untuk menyampaikan gagasan tentang pokok-pokok keyakinan beserta nilai- nilai kehidupan bersama dan kegunaannya. Sedangkan yang ketiga adalah keterlibatan orang-orang di dalam upacara kepercayaan yang dilaksanakan. Itulah keseluruhan tindakan hidup orang Jawa dengan kebudayaannya dalam
136
Sondong, Ngelmu Urip, 173.
137
Ronan Hallowell, “Discernment, Ethics, and Compassion in the Cross-Cultural Practice of the Native American Sun Dance,”Re Vision: A Journal of Consciousness and
86
mengungkapkan serta menikmati keselamatan terhubung dengan Tuhan yang memberikan ketetapan hidup serta pertolongan di tengah berbagai peristiwa atau pengalaman yang dijumpai. Unsur-unsur yang terdapat di berbagai upacara slamêtan tersebut dalam sudut pandang sosiologi agama dapat disebut juga sebagai ritual. Seperti dinyatakan White, bahwa ritual merupakan liturgi peribadahan karena dirumuskan secara khusus dengan pola-pola (susunan, penampilan, perilaku), tata cara, serta petunjuk-petunjuk bermakna tertentu.
Dengan pengertian seperti itu, di dalam pelaksanaannya ada tiga pemahaman slamêtan sebagai liturgi. Yang pertama, sebagai liturgi,
slamêtan merupakan ungkapan kehidupan iman umat dalam aksi atau kegiatan yang sifatnya seremonial namun juga praksis antara nilai-nilai rohani dengan jasmani, atau nilai-nilai surgawi dengan duniawi dalam kehidupan sehari-hari. Yang kedua, sebagai liturgi maka slamêtan merupakan pancaran dari penyataan Tuhan di dalam wujud dan aneka karya berkat penyelamatanNya, yang merupakan dasar bagi manusia untuk menanggapi dalam tindakan yang tertata dan terarah. Sebagai pemahaman liturgi yang ketiga, slamêtan menjadi wahana sekaligus pewujudan peng- hayatan akan tujuan keselamatan di dalam kehidupan manusia.
Liturgi berpijak dari langkah hermeneutik sebagai penafsiran peristiwa penting di dalam pengalaman yang pernah terjadi pada kehidupan umat yang akhirnya mampu membangun sandaran baru dalam sosok yang dipandang dan diyakini bersama dapat menjadi jaminan kepastian atau
87
kemapanan hidup. Sama halnya dengan slamêtan yang dijadikan karena adanya pemaknaan suatu peristiwa penting dalam pengalaman yang dijumpai berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi pula pada masa lalu di tengah kehidupan masyarakat. Ketika ada keyakinan pada sosok yang menjadi jaminan keselamatan maka seseorang akan menjadikannya sandaran bagi kehidupan dirinya.
Selain langkah hermeneutik, langkah tradisi juga menjadi dasar liturgi dengan pangkal dalil sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan sebagaimana dibangun dan dirumuskan oleh pendiri maupun penerusnya melalui tafsir yang diterima sebagai keyakinan bersama, beserta dengan bentuk-bentuk kegiatan untuk menyampaikan maksud dan tujuan liturgi itu sendiri. Dari pemahaman tersebut, tampaknya slamêtan tidak memiliki penampilan isi yang sama persis dengan liturgi. Ketiga pangkal tolak langkah tradisi bagi liturgi memang ada, dan sebagian besar intinya punya pengertian yang serupa. Akan tetapi khusus mengenai dalil tempat dan waktu pelaksanaan- nya, slamêtan tidak begitu mengenal batasan terlalu khusus, seperti liturgi yang umum dikenal pada Kekristenan. Sebab di dalam slamêtan tempat pelaksanaannya cenderung langsung berhubungan dengan keberadaan alam yang telah tersedia, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah, sumur, makam, batu dan pohon besar, jalan dan persimpangan-persimpangannya, rumah empunya hajad slamêtan, dan lain sebagainya. Di tempat-tempat seperti itu orang Jawa menganggap dan meyakini sudah cukup dan bisa berhubungan dengan Tuhan ataupun perwujudanNya.
88
Demikian pula dengan waktu pelaksanaannya. Dibandingkan dengan liturgi Kristen, slamêtan juga mengenal almanak tahunan, dan sudah khas. Akan tetapi kesempatan berkumpul untuk melakukan rangkaian kegiatan khusus secara teratur dalam waktu dekat atau mingguan untuk mengadakan upacara atau peribadahan dalam jumlah banyak dan bersama-sama pada umumnya tidak popular. Masyarakat Jawa memiliki hitungan minggu ter- sendiri, yang disebut pasar atau dibahasakan halus menjadi pêkên (dan akhirnya muncul istilah pekan). Satu pasar terdiri dari lima hari, yaitu hari Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Meskipun ada sekelompok orang Jawa menentukan salah satu hari itu untuk waktu berkumpul secara rutin guna membicarakan kepercayaan, namun pertemuan itu bukan ritual karena hanya bertukar pikiran akan faham yang menjadi pengetahuan mereka masing-masing sebagai gêgulang dalam seni lantunan kidung-kidung syair secara bergantian. Perbedaan itu dikarenakan slamêtan pada umumnya dilakukan tergantung pada keadaan dan kebutuhan, seperti orang yang selalu sakit-sakitan perlu ruwatan, serangan hama hebat di sawah kemudian diadakan mêtri desâ, minta hujan karena musimnya sudah terlambat lama, musim menggarap sawah sudah tiba maka diadakan labûh, ketika seorang wanita melahirkan maka diselenggarakan brôkôhan, dan lain sebagainya.
Dasar liturgi selanjutnya adalah langkah teologis yang meliputi delapan dalil, yaitu: (1) Tulisan Suci yang dipandang memiliki otoritas nilai kebenaran sebagai Sabda Tuhan di dalam menyatakan kehendakNya atas manusia di tengah alam dan kehidupannya, (2) Kedaulatan Tuhan sepenuh-
89
nya atas kehidupan manusia dan ciptaan lainnya, (3) Kebiasaan para pengikut di awal kelompok kepercayaan sebagai norma praktis, (4) Peng- hayatan seluruh hari yang dijiwai oleh pengenangan akan karya penyelamatan Tuhan bagi manusia, (5) Pengajaran perintah Tuhan dan lambang-lambang tertentu yang disucikan secara khusus sebagai sakramen untuk acuan dan inti peribadahan, (6) Persekutuan sebagai salah satu wujud aneka peran dan karya berbeda tetapi satu kesatuan hidup bersama sebagai tubuh, yang menuntut (7) Peran serta seluruh anggota untuk saling melayani dalam keteraturan dan rasa hormat, (8) Norma Pastoral sehingga pelaksana- annya dapat mencapai tujuan sesuai dengan pergumulan keberadaan hidup yang khas dari umat.
Walaupun ada perbedaan pijakan dan rupa penampilannya, tentu saja
slamêtan juga memiliki unsur-unsur teologis beserta kegunaan yang intinya sama. Sama-sama bertolak dari nilai-nilai Illahi yang dinyatakan dalam sejarah kehidupan manusia, orang-orang Jawa meyakini pula adanya kedudukan kekuasaan sabda kehendak Hyang Kewâsâ secara mutlak atas kehidupan mereka. Hanya saja, ketentuan dalam wujud kanon seperti Alkitab tampaknya memang tidak ada pikiran membuat seperti itu. Ada banyak tulisan-tulisan khas pandangan Jawa yang keberadaannya sangat jelas dan terjaga hingga sekarang di tengah kalangan tertentu, khususnya
kāratôn. Akan tetapi semuanya tidak memiliki alasan untuk menjadi acuan kebenaran sahih yang paling diutamakan. Semua memiliki kebenarannya masing-masing. Karena itu tulisan-tulisan tersebut diakui dan diterima
90
seluruhnya oleh masyarakat Jawa sebagai himpunan karwûh adi luhûng (pengetahuan kebenaran yang amat luhur dan tinggi). Kedudukannya bisa dianggap sejajar ataupun disesuaikan dengan nilai-nilai penerapan yang dijumpai oleh masyarakat setiap hari sebagai penghayatan. Bila dibanding- kan dengan keadaan alam dan kekuasaan kepemimpinan masyarakat yang cenderung nyaman, maka watak batin dinamis dan harmoni yang didukung oleh daya kekuatan tata jalinan hubungan percakapan membuat orang-orang Jawa tidak mengalami kesulitan untuk menemukan kebenaran yang menjadi kehendak Hyang Kewâsâ; termasuk untuk belajar karwûh adi luhûng yang dapat mereka lakukan dengan nggêguru (berguru). Itulah sebabnya masih banyak orang Jawa yang suka pada gêgulang, pitutûr, bahkan percaya pula pada gugôn tuhôn yang turun-temurun dari para leluhur yang diwejangkan oleh para sesepuh dan kaum cendekia, dengan penerimaan seperti percaya pada raja atau pendeta yang mewakili Tuhan dalam falsafah: sabdâ
pāndhitâ-ratu, tan kênâ wola-wali (perkataan raja adalah sabda Tuhan karena dia wakilNya, sehingga tidak patut diulangi, seakan ada kesalahan).
Kemutlakkan tersebut sekaligus juga menjadi dasar salah satu sisi etika yang menekankan ketaatan penuh terhadap kekuasaan Sang Pencipta, tunduk pada segenap ketetapanNya dalam tanggung jawab yang diberikan kepada masing-masing orang dengan saling menjaga untuk keselarasan hidup. Hanya saja, barang-barang ataupun kegiatan tertentu yang disucikan secara khusus dan dibakukan sebagai lambang-lambang sarana peneguhan dan pemeliharaan keselamatan sebagai sakramen yang menjadi pusat
91
berliturgi juga tidak mungkin disamakan dalam slamêtan. Sebagaimana roti, anggur, serta air yang dipakai sebagai lambang-lambang sakramen yang menjadi inti liturgi pada umumnya telah diakui menjadi milik Kekristenan khas yang sesungguhnya berasal dari budaya tertentu, maka slamêtan juga memiliki wujud khas menurut budaya Jawa dengan tujuan seperti itu. Dalam ritual Jawa yang selalu dikenal adalah tumpêng lengkap dengan ìngkûng dan
banyu tâwâ untuk diterima dan dimakan atau diminum bersama, maupun
banyu kêmbang yang kegunaannya sering dipercikkan atau disiramkan untuk mandi. Semua itu sarat dengan makna penebusan, pensucian, pembersihan, peresmian, pengenangan, serta kebersamaan, menurut pemahaman yang akrab diterima dan dilaksanakan masyarakat Jawa sendiri. Jadi pada intinya, menurut pengertian etimologi, definisi, beserta dasar-dasar slamêtan, upacara kepercayaan Jawa itu sesungguhnya merupa- kan liturgi, bahkan liturgi yang kontekstual karena kekhasannya. Sebalik- nya, sebuah liturgi pada hakikatnya merupakan ungkapan keyakinan yang kontekstual pula, karena pada proses kemunculan maupun perkembangan- nya tersusun oleh berbagai latar belakang kehidupan yang menjadi peng- alaman dan pemahaman di dalam keyakinan atau bangunan teologi manusia beserta unsur-unsur budaya yang membentuknya. Dengan kata lain,
slamêtan itu sendiri sebenarnya juga merupakan teologi kontekstual masyarakat Jawa.
92