Kenyataan perkembangan faham Jawa di atas memiliki beberapa perwujudan. Pertama, sikap dan tata perilaku orang Jawa. Ada banyak sikap dan tata perilaku orang Jawa dan selalu sarat dengan makna keselarasan. Beberapa di antaranya yang sering dinampakkan adalah têpâ salirâ (segala
117
Mulder, Individual and Society in Java, 4.
118
Mulder, Individual and Society in Java, 1.
119
Sondong Mandali, Ngelmu Urip: Bawarasa Kawruh Kejawen (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010), 28.
68
sesuatu diterapkan pada diri pribadi), êmpan papan (segala sesuatu disesuai- kan dengan tempatnya), narimâ ìng pandûm (menerima segala sesuatu yang menjadi bagian hidup), pasrah sumarah (berserah dan mempercayakan hidup sepenuhnya), sabar (tidak gampang marah dan bertindak sembrono),
âjâ duméh (jangan mentang-mentang), samadyâ (jangan berlebihan berbuat segala sesuatu). Semua itu harus dilakukan dengan sikap rasa penuh hormat
(ngajéni) kepada sesama dan dirinya karena elìng (selalu sadar dalam segala hal) dan waspâdâ (hati-hati dan penuh pertimbangan cermat). Tindakan etis orang Jawa itu oleh Mulder disebut tingkah laku perorangan sebagai moral yang didasar-kan pada sikap nrimâ, sabar, wâspâdâ, elìng, andhap asôr, dan prasâjâ. Kemampuan di dalam mewujudkan tindakan itu dianggap perbuatan hidup yang benar. Sebaliknya, pelanggaran terhadap etika itu merupakan penyimpangan atau perbuatan hidup yang salah, mengganggu dan merusak tata keseimbangan alam dan kehidupan dunia.120 Tanpa sikap rasa hormat maka perbuatan seseorang akan menimbulkan berbagai macam kekacauan dan kerusakan.121
Kedua, pandangan diri orang Jawa tentang manusia dan keyakinannya akan Tuhan. Oleh orang Jawa, Tuhan disebut Sang Hyang, atau Gûsti (Tuan), Pangeran (Papan pangéngéran: tempat mengabdi dan berbakti). Tuhan itu sumber mula dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang tercipta
(sangkan paranìng dumadi), termasuk manusia. PribadiNya adalah Maha
120
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 22-23.
121
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), 16.
69
Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia, sehingga dengan pengetahuan manusia biasa tidak bisa atau sulit dipahami secara tepat, namun keber- adaanNya dapat dirasakan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ kinâyâ
ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ: Tuhan tidak bisa direka-reka dengan pikiran manusia juga tidak bisa diupamakan atau disamakan dengan apapun, namun kenyataan akan keberadaanNya bisa dirasakan). Kenyataan itu bisa ada di mana-mana (Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan, anéng sirâ ugâ ânâ
Gûsti: Tuhan itu ada di mana pun tempatnya melalui daya kekuatan yang bersifat animis maupun dinamis, di dalam dirimu (manusia) juga ada Tuhan). Pandangan yang diungkapkan oleh Yana pada dasarnya menegas- kan pula penjelasan Masroer tentang kepercayaan asli dan khas orang Jawa, yaitu agama bercorak animis dan dinamis yang dipandang menjadi penyebab mistisme Jawa berdasarkan gagasan pokok mikro kosmos dan makro kosmos. Dalam penjelasan itu, Gûsti yang merupakan kenyataan mutlak tanpa batas cenderung dihayati secara imanen dalam wujud kehadiran, bahkan bisa melebur dalam diri manusia, demikian juga dalam wujud roh-roh, makhluk-makhluk halus, maupun benda-benda kasat mata dengan kekuatan gaib.122 Dengan rasa itulah pemahaman Tuhan yang tidak mudah menjadi unik. Tuhan yang tak tersentuh dan seakan jauh, tetapi pada satu sisi terasa sangat dekat; bahkan menyatu dalam kehidupan diri manusia
(Gûsti iku adôh tanpâ wangénan, cêdhak tanpâ senggôlan: Tuhan itu jauh, tetapi tidak berjarak; namun dekat, meski tidak bisa tersentuh). Kenyataan
122
70
keberadaan Tuhan yang ada di mana-mana dan bisa dirasa secara demikian unik itu dimengerti pula sebagai Hyang Maha Tahu (Gûsti tan nate klilapan
marang jalmâ titah, Gûsti Mâhâ Pìrsâ. Panjenengane ora sare: Tuhan tidak pernah lepas perhatian kepada makhluk ciptaanNya, Tuhan itu Maha Tahu. Dia tidak tertidur atau lengah). Inti dari kepercayaan itu adalah bahwa Tuhan Maha Kuasa (Hyang Wenang/Kewâsâ), Sang Pencipta jagad raya beserta kehidupan, yang keberadaanNya dekat dengan manusia itu merupa- kan Pemilik, Sumber dan Kiblat, serta Pemelihara dan Pengatur seluruh ciptaan (Pangréhìng jagad serta Pangrêksanìng titah), termasuk manusia
(réh-réhan) yang harus menurut (nggugu) dan taat (mituhu) tanpa menentang (tan kenâ suwâlâ) terhadap semua ketetapanNya agar beroleh kehidupan yang selamat secara lahir maupun batin dalam kesatuan jiwanya dengan Tuhan sebagai pengetahuan tertinggi dan sempurna (kawrûh jati).
Ketiga, bentuk kemasyarakatan orang Jawa yang saling berjalinan di dalam tata susunan kehidupan bersama. Pola kemasyarakatan itu merupakan penerapan dari pokok pengertian keselarasan jagad gêdhe dengan jagad
cilìk, yang terjelma dalam kasta dan sebutannya, yaitu Gûsti (tuan, untuk raja) ataupun bāndârâ (untuk bangsawan) dan kawulâ (abdi), priyayi (bangsawan) dan abdi (hamba), wông luhur/gêdhe (golongan atas atau terkemuka) dan wông cilìk (golongan rendah jelata), dan lain sebagainya. Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan kedudukan dan peran dari tiap-tiap golongan yang memiliki keterkaitan penting sebagai penata (pangréh) yang lekat dengan lambang kêrìs (piranti senjata atau pusaka, sekaligus lambang
71
kekuatan, kekuasaan, ataupun pemerintah), dan pelaksana (réh-réhan) yang lekat dengan pacûl (piranti bekerja, sekaligus lambang rakyat, hamba, atau- pun pekerja) sebagai upaya pelestarian tatanan bagi kelangsungan hidup bersama. Pemahaman lambang pemimpin dan rakyat semakin jelas dengan keterangan Suwardi Endraswara, bahwa pada masa lalu kêrìs memang dijadikan lambang sekaligus keabsahan seorang raja dan pembesar kerajaan, serta para kesatria yang memberikan kesan kebesaran dan keagungan. Adapun alat pertanian menjadi lambang rakyat.123 Keterkaitan penting antara golongan satu dengan golongan yang lainnya itu dilakukan dengan suatu cara hubungan berdasarkan tataran-tataran dalam “unggah-unggûh” yang terdapat pada perilaku dan bahasa Jawa. Tataran-tataran hubungan itu merupakan tata aturan dan diterima dalam bentuk keyakinan-keyakinan sebagai pêpêsthi (ketetapan) atau kārsane Gûsti (kehendak Tuhan) yang harus dijalani dengan sikap narimâ ìng pandûm dan ngajéni secara penuh (erìng: segan). Sikap tersebut menjadi pendorong bagi orang Jawa untuk selalu menyesuaikan dirinya dengan jalan têpâ sālirâ dan êmpan papan, agar selalu ada kelestarian (slamêt). Pokok pengertian tersebut bisa dilihat dalam kepemimpinan para raja Jawa yang merupakan lambang keberadaan Tuhan dengan sebutan titisan dewa (Bāthârâ) ataupun Gûsti dengan rakyat yang diperintah agar negara dapat tetap berdiri dan sejahtera.
123
Suwardi Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005), 315.
72
Keempat, tata bangunan rumah dan kāratôn yang menjadi pusat sekaligus gambaran keselarasan yang antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk. Seperti tepat di tengah kāratôn Jawa Mataram selalu ada gêdhông (bangunan) sitinggìl (siti inggil: permukaan tanah atau tempat dan ruang yang paling tinggi) sebagai tempat raja melakukan sāmádi (mengheningkan cipta) untuk berhubungan dan beroleh petunjuk (wangsìt) maupun daya kemampuan (sakti) dari Sang Hyang dalam menjalankan pemerintahan. Depan gêdhông sitinggìl ada tempat sewâkâ (menghadap) pada raja sekaligus tempat pertemuan raja dengan para pejabat bawahannya yang disebut bale agûng untuk merembuk pemerintahan dan menyatakan petunjuk dari Tuhan agar dijalankan oleh rakyat ataupun pengikutnya di seluruh penjuru negeri dengan lambang wilayah kekuasaan dalam bangunan-bangunan rumah yang dirancang menggunakan pokok pengertian
kiblat papat, limâ pancêr (keempat penjuru, yang kelima pusatnya) alias empat arah mata penjuru dunia di sekeliling istana yang adalah pusatnya. Pokok pengertian itu oleh Durkheim dan Mauss diistilah mâncâpat, yaitu pola pengelompokan sekaligus penggabungan dengan beberapa daerah kekuasaan untuk mengatur kepentingan bersama.124 Pola demikian itu sebagai gambaran letak kedudukan pada keempat penjuru mata angin dengan satu tempat di tengah yang merupakan pusatnya.125 Semua ditata sedemikian rupa sebagai keseimbangan bagi keseluruhan hidup. Lebih unik lagi falsafah kibtat papat limâ pancêr sebagai keseimbangan kehidupan
124
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 431-432.
125
73
semesta tersebut juga terjelma dalam warna dan corak beserta perpaduannya pada kain atau pakaian, yang melambangkan unsur-unsur dan sifat-sifat alam di dalam kehidupan.126
Kelima, karya seni khususnya dari lingkup kāratôn yang tidak bisa dilepaskan pula dari makna keserasian kehidupan di tengah masyarakat Jawa. Ada beberapa karya seni yang secara kuat mengungkapkan pandangan kehidupan masyarakat Jawa, yaitu wayang, bêksâ (tari), gêndhìng (musik), dan senjata pusaka. Wayang artinya bayangan, yaitu seni pertunjukan cerminan (bayangan) kehidupan dalam bentuk kisah sandiwara yang memberikan wêjangan etika agar manusia hidup serasi dengan sesama dan alam lingkungannya melalui peraga tiruan ataupun oleh orang secara langsung sebagai para lakôn (pelaku). Dalam filsafat Jawa, wayang itu merupakan piwucal (pengajaran) tentang kehidupan manusia yang dibagi dalam tiga bagian penting (pathêt), yaitu pathêt nêm, pathêt sângâ, pathêt
manyurâ yang melambangkan tahapan hidup dari masa anak-anak, muda dan dewasa, hingga tua.127 Berikutnya adalah bêksâ (tari), yaitu seni per- tunjukkan gerak tubuh yang terarah penuh makna dalam irama secara harmoni untuk mengungkapkan suatu kiasan alam dan kehidupan. Tari sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan memiliki tiga kegunaan utama, yaitu untuk: (1) sarana ritual, (2) ungkapan pribadi bagi kesenangan atau hiburan, dan (3) pengungkapan rasa yang bermakna keindahan. Di
126
Apika Nurani Sulistyati, “Kiblat Papat Lima Pancer: Sebagai Media Refleksi dalam Wujud Karya Tekstil,” (Skripsi, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 2009), 4-6, 17, 25.
127
74
lingkungan kehidupan adat masyarakat Jawa tari lebih bersifat ritual, sehingga dipercaya memiliki sisi keramat dan pelaksanaannya selalu berhubungan dengan upacara kepercayaan.128 Misalnya Tari Wayang Maha Baratha dan Tari Ramayana untuk pemujaan Dewa Wishnu yang menjelma dalam diri raja berkuasa, Tari Bêdâyâ dan Tari Srimpi untuk menghadirkan sosok kekuatan adikodrat (yaitu: Kanjêng Ratu Kidûl) pelindung kerajaan beserta raja dan segenap ketentraman rakyatnya, Tari Gambyông untuk menyambut tamu kehormatan raja, Tari Tayûb untuk upacara pernikahan maupun upacara pertanian, dan lain sebagainya. Seni gerak itu umumnya juga tidak terpisahkan dari seperangakat alat musik (gamêlan: peralatan musik yang dimainkan secara harmoni) beserta dengan nyanyian (kidûng) pengiringnya. Suryo Pugiarto menjelaskan bahwa gamêlan dan têmbang (kidûng) merupakan musik (gêndhìng) Jawa yang selalu serempak berpadu sebagai keselarasan dalam laras (irama) pelôg (nada mayor Jawa) maupun
laras slendro (nada minor Jawa).129 Menurut pandangan mistik ter-dapat kekuatan “supra-natual” di dalam tarian tertentu maupun gamêlan dan
kidûng yang dilantunkan, sehingga tidak boleh diperlakukan dan dimainkan secara sembarangan. Irama gamêlan maupun kidûng itu merupakan mantra sastra (suara yang memiliki daya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap manusia dan kehidupan sekitarnya apabila dilantunkan).130 Selain itu ada
128
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadah Mada University Press, 2002), 123-126, 140-148.
129
Suryo Pugiarto, Sugeng Dambaan Masyarakat Jawa Berwawasan Integral: Sebuah Langkah Awal dalam Memperteguh Jati Diri (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 37.
130
75
senjata pusaka, yaitu piranti untuk membela diri ataupun melumpuh musuh. Di antara senjata yang banyak dimiliki oleh orang Jawa, kêrìs merupakan salah satu senjata andalan (piyandêl), yang dipandang menjadi lambang kewibawaan, kekuatan atau kesaktian, kekuasaan, dan pemerintahan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan orang yang cocok menyandangnya atau menjadi pasangannya, seperti ungkapan bersatunya kêrìs itu sendiri dengan
wrângkâ(wadah kêrìs), yaitu curigâ manjíng wrângkâ yang melambangkan keserasian hidup antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk. Kêrìs dan wrângkâ merupakan satu kesatuan yang kegunaannya saling berhubungan satu sama lain. Keduanya memiliki makna lambang hubungan erat dan menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia, yang disejajarkan dengan pokok pengertian manunggalìng kawulâ lan Gûsti.131 Kawula atau manusia di- gambarkan dengan wrângkâ, adapun Gusti atau raja digambarkan dengan
kêrìs yang dipercaya memiliki daya sakti dan mesti bertempat di dalam
wrângkâ.132 Karena itu, masing-masing harus saling menghormati dan tahu diri untuk melakukan bagian pekerjaan serta tugasnya.
Keenam adalah upacara kepercayaan yang telah menjadi adat di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Upacara itu dilakukan untuk memuja roh-roh yang menjadi wujud kekuatan akan keberadaan Tuhan dan diyakini memiliki pengaruh pada kesejahteraan hidup manusia. Istilah Jawa untuk pemujaan itu disebut slamêtan, yang pada pokoknya meliputi beberapa bentuk.
131
Fachry, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, 30-31.
132
76
a. Pertama slamêtan tolak bâlâ yang diadakan untuk menangkal bencana alam maupun wabah (pagêblûg), seperti: gempa, gunung meletus, banjir, hama, penyakit, termasuk gangguan roh jahat, dan lain sebagainya.
b. Kedua slamêtan ruwatan yang dilakukan untuk membuang kesialan, nasib buruk, maupun kutukan, seperti: ngêthôk kuncûng dan ngêthôk
bajang (memotong rambut panjang kuncir atau rambut panjang gimbal agar seorang anak tidak sering sakit-sakitan), metri desâ (bersìh desâ: memelihara kebersihan desa agar warga tidak kena pagêblûg, ataupun gangguan-gangguan lain), dan lain sebagainya.
c. Ketiga slamêtan di masa tahap kehidupan seseorang, seperti: nyidham (tanda keberadaan jabang bayi di dalam kandungan), mandhêkìng (usia kandungan tiga bulan dan lima bulan), tingkêban (usia kandungan tujuh bulan), brôkôhan (kelahiran), muyén (mêlékan: tidak tidur untuk menjaga bayi yang baru lahir dari gangguan Si Kâlâ, selama sāpasar),
puputan (hilangnya tali puser sang bayi pada usia sāpasar: lima hari, dan dilakukan kêrìk: cukur kêrôk rambut bayi), jênêngan atau
selapanan (memberi nama bayi pada usia sālapan: tigapuluh lima hari), têdhak siti (saat bayi diturunkan ke tanah pada usia tujuh bulan untuk belajar berjalan), têtakan (remaja laki-laki akil balik yang ditandai dengan sunat) atau têtêsan (remaja perempuan akil balik yang ditandai dengan sunat atau pangûr: meratakan gigi dengan tatah dan batu ungkal), kumbôkarnan (persiapan menikah bagi calon mempelai
77
pria) atau midôdari (persiapan menikah bagi calon mempelai wanita),
rabi (menikah), gêblagan (kematian) yang terdiri dari nêlûngdinâ (sûr
tanah: peringatan hari ketiga pada orang yang meninggal), mitûngdinâ (peringatan hari ketujuh orang yang meninggal), matangpulûhdinâ (peringatan hari keempatpuluh orang yang meninggal), nyatûsdinâ (peringantan hari keseratus orang yang meninggal), mêndhak pisan (peringatan satu tahun orang yang meninggal), mêndhak pindho (ndhagêl: peringatan dua tahun orang yang meninggal), nguwisi (menyudahi: peringatan orang yang meninggal kurang lebih seribu hari (nyéwu dinâ), karena arwahnya dianggap telah menjadi sempurna dan kembali kepada Tuhan).
d. Keempat slamêtan untuk kehidupan pencaharian yang dilakukan agar sumber perekonomian tetap terjaga dan tidak kekurangan, seperti:
Labûh (menggarap sawah mulai dari mengolah tanah, menabur benih padi sampai menanam dan merawatnya), wiwìt (memanen padi yang dihasil-kan dari kesuburan tanah olahan), tumpak lumbûng (menaikan untaian-untaian padi yang dipanen dan sudah dikeringkan ke dalam lumbung untuk disimpan sebagai persediaan bahan pangan). Selain itu ada pula slamêtan sêdêkah bumi (memberi sesaji pada Hyang, Sang Penguasa bumi atau tanah agar selalu memberikan kesuburan tanah dan pertanian), slamêtan sêdêkah laût (memberi sesaji pada Hyang, Sang Penguasa laut agar memberi kelimpahan hasil laut).
78
e. Kelima slamêtan harian yang dilakukan untuk menghormati dan menghindari gangguan pada anggota keluarga oleh roh-roh sêsêpûh, sekaligus mendapatkan perlindungan ataupun pertolongan dari mereka. Wujud upacaranya adalah memberi sesaji makanan yang dikhususkan (mintâ dhaharan) yang diambil dari sedikit olahan makanan untuk keluarga pada hari itu, dan diletakkan di dalam kamar atau ruangan (sênthông) yang sering dipakai oleh sesepuh sewaktu masih hidup sambil memanjatkan doa atau permohonan.
f. Keenam slamêtan khajatan kāratôn yang dilakukan untuk meng- kukuhkan kekuasaan kerajaan, seperti: tingalan ndalêm (peringatan kelahiran yang mulia raja), jumênêngan ndalêm (peneguhan dan peringatan naik tahta yang mulia raja), jamasan (pembasuhan) pusaka kerajaan, surânan (Tahun Baru Jawa dalam nuansa Islam), grêbêg
gunungan (sedekah kāratôn bagi rakyat), dan lain sebagainya.