• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai macam upacara di atas memiliki pokok bagian penting yang pada umumnya sama, yaitu: pemberian sesaji dengan rapal rumusan mantra kepada roh-roh leluhur ataupun Sang Hyang. Sesaji itu sendiri sebenarnya adalah wujud dari bantên (korban atau persembahan), berupa makhluk hidup yang disembelih ataupun makanan yang diolah, maupun benda-benda tertentu yang dipercaya diinginkan oleh sang sosok adikodrat. Korban itu dimaksud-kan sebagai sarana pemujaan dan ucapan syukur, namun juga bisa

79

sebagai sarana pengganti atau penebus kesalahan atau penyimpangan disengaja maupun tidak sengaja terhadap ketentuan hidup yang telah digariskan oleh Sang Hyang sehingga membatalkan petaka yang bakal ditimbulkan. Agar semua sarana itu diterima, perlu dihantarkan melalui pengucapan mantra. Karena penghantarnya adalah mantra, maka diangap tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mantra itu harus diucapkan oleh orang mumpuni dalam berhubungan dengan pribadi maha agung dan berkuasa itu. Contohnya pemberian sesaji ketika hendak panen padi (wiwít) berupa nasi tumpeng putih kecil dengan puncak cabai merah (lômbôk

abang) dan bawang merah (brambang) ditusuk jadi satu. Ada pula air putih dalam kêndhi dan íngkûng (ayam yang disembelih dimasak utuh), ditambah telur rebus dan pelas kangsén (larva lebah madu), atau aneka masakan lainnya. Persembahan itu dibagi menjadi lima bagian untuk diletakkan di keempat sudut sawah (sebagai lambang hormat pada empat saudara yang tak terlihat, yaitu sêdulûr kawah/ketuban, ari-ari/placenta, gêtíh/darah, pusêr/

usus pusar; turunan dari pokok pengertian kiblat papat limâ pancêr dengan berbagai lambang serta makna keseimbangan alam semesta), dan yang satu lagi di tengah depan sesepuh pemimpin slamêtan yang membawa kembang dan membakar dupa kemenyan sambil merapalkan mantra pujian dan syukur kepada sang maha agung yang sering dikenal dengan sebutan Déwi Sri, karena telah memberi keselamatan tanaman padi hingga dapat dituai. Akhir menghantarkan sesaji itu, sang sesepuh menuangkan air dari kêndhi ke atas tanaman padi dan memotong beberapa untai tanaman rumpun siap

80

panen itu menjadi dua ikatan sebagai pêngantén padi yang melambangkan Déwi Sri dan Radén Sri Sadânâ. Lambang itu kemudian diserahkan kepada pemilik sawah supaya diarak dan ditempatkan (disimpan) di lumbung, yang akhirnya digunakan sebagai bagian dari calon bibit di waktu selanjutnya. Cara bersesaji tersebut pada intinya sama dengan aneka upacara slamêtan yang lainnya. Hanya isi mantra yang diucap-kanlah yang berbeda karena maksud dan tujuan masing-masing.

Selesai melafalkan mantra penghantar sesaji disampaikanlah ujûb, yaitu maksud dan tujuan slamêtan yang diselenggarakan. Agar ujûb itu dapat mengena dengan baik dalam pemahaman khalayak yang hadir, maka yang menyampaikan biasanya juga sesepuh. Sebab maksud dan tujuan itu tergambar dalam lambang-lambang yang disebut ubârampe (kelengkapan persyaratan). Seperti dalam upacara wiwít tadi, sesepuh akan mengartikan lambang dari nasi tumpeng putih dengan puncak brambang dan lômbôk

abang. Nasi tumpeng putih adalah lambang gunung tempat maha tinggi serta bersemayamnya Sang Hyang yang disembah, sekaligus sebagai lambang alam dan kehidupan maupun asal usul segala ciptaan (sangkang

paraning dumadi), yaitu jagad gêdhe dan jagad cilík yang dilambangkan juga dengan gambar gunungan atau kayôn dalam peraga wayang pûrwâ

(wayang kulit) yang memberi kehidupan dan berkat kesejahteraan.133 Alamlah yang menjadi kesuburan serta tempat tumbuh tanaman kebutuhan pokok. Karena itu setiap orang harus ingat muliakan Sang Pencipta dan

133

Agus Purwoko, Gunungan: Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 26, 30-31.

81

bersyukur atas kemurahanNya dengan menjaga serta mendayagunakan alam secara seimbang menurut ketentuan hidup bersama. Brambang serta lômbôk

abang adalah panah yang melambangkan manah (hati) sebagai pusat cipta, rasa, dan karsa atau tempat têtimbangan (pertimbangan nalar dan budi) dalam ungkapan permainan singkatan di akhir suku kata: bram+ mbang

(animbang). Kedua jenis bumbu itu sering diringkas hanya lômbôk abang saja sebagai gambaran kêris yang melambangkan makna keutuhan pribadi manusia yang harus tahu dan dapat menempatkan diri dalam tata kehidupan semesta.134 Lambang-lambang itu berisi peringatan dan ajaran supaya manusia dapat menjaga dan mendayagunakan kehidupan beserta hasilnya secara seimbang dengan menggunakan cipta, rasa, dan karsa (pertimbangan batin) dalam karya kebenaran bagi keseimbangan atau kesejahteraan ber- sama. Adapun íngkûng dan air putih yang dikucurkan pada rumpun padi merupakan lambang tangan menyembah atau sikap dan tindakan berdoa (manêkûng, sebagaimana kedua sayap íngkûng (singkatan kata Híngsûn

Hamanêkûng: aku memusatkan keinginan dengan bersembah) yang dirapat- kan jadi satu) sebagai dasar bekerja dan akhirnya layak merasa tenang (sirêp: hilang kegundahan dalam penantian hasil karya, dan menjadi asrêp: dingin dan tenang dengan lambang siraman air putih dari kêndhi) karena akhirnya beroleh hasil. Pesan yang disampaikan dari lambang-lambang itu adalah manusia tidak boleh lepas dan melupakan Tuhan, Sumber kehidupan di dalam semua karya tindakannya melalui doa harapan sehingga beroleh

134

Ragil Pamungkas, Mengenal Keris: Senjata Magis Masyarakat Jawa (Yogya- karta: Narasi, 2007), 44-45.

82

hasil dan ketenangan. Demikian pula dengan telur rebus dan pelas kangsén. Keduanya merupakan satu kesatuan makna. Lambang telur bermakna wiji

dadi (benih utuh berisi), sama dengan biji padi (las) siap panen yang antêpe (bobotnya) penuh berisi (kang ânâ isén-isénane) dalam lambang permainan kata berwujud makanan: pe + las dan kang + sén. Sebagai wiji dadi, maka bulir-bulir itu merupakan benih yang hidup, sekaligus memberikan kehidupan. Ajaran dari lambang-lambang itu adalah bahwa dengan berkat pemberian Tuhan Maha Murah dalam karya pekerjaan dan hasilnya, pada akhirnya demi kelestarian (keseimbangan yang berkesinambungan) hidup maka manusia harus dapat mewujudkan keutamaan dengan menunjukkan isi kemampuan hidupnya yang berguna bagi sesamaan dan alam, seperti butir telur yang bisa menetas (nêtês) dan bulir padi bernas (mêntês).

Tahap pelaksanaan upacara slamêtan selanjutnya adalah pemanjatan doa permohonan berkat keselamatan kepada Tuhan atau sang sosok

adikodrat. Umumnya sesepuh akan memanjatkan doa bersifat umum, seperti kerukunan keluarga maupun keluarga dengan masyarakat. Kesehatan keluarga agar giat bekerja sehingga beroleh penghasilan yang cukup, dan terhindar dari petaka. Demikian pula untuk kelestarian keluarga dengan anak dan keturunan yang banyak, mereka selalu menghormati orang tua, sesepuh, dan leluhur. Pada akhirnya seisi keluarga supaya selalu ingat pada

Gûsti Kang Akaryâ Uríp (Tuhan yang menjadikan hidup dan kehidupan). Seluruh doa itu arahnya pada keseimbangan sebagai keselamatan dalam

83

kehidupan manusia, yang disahut oleh keluarga empunya sawah maupun segenap hadirin dengan kata: kasêmbadanânâ (terkabullah), atau amin.

Pada akhirnya, jalannya upacara slamêtan ditutup dengan membagi makanan slamêtan (bancaan) untuk dinikmati bersama para hadirin maupun orang-orang di sekitar tempat tinggal sang empunya kerja, atau dibawa pulang ke rumah masing-masing dengan gembira bersama. Bancaan yang sering disebut juga dengan pajatan atau kenduri itu berisikan masakan nasi putih, lauk (telur rebus, ikan asin (gêréh) péthék, daging ayam), sayuran

kuluban (dedaunan hijau yang direbus, seperti bayam atau kangkung, kacang panjang beserta kecambah kacang hijau) dibumbu gudangan (sambal kelapa yang dicampur rata dengan kuluban), dan aneka jajan pasar. Apabila dimakan bersama di tempat sang empunya kerja, maka bancaan tadi dihidangkan bersama dengan banyu tâwâ (air murni atau air putih tanpa rasa).

Namun, upacara kepercayaan tersebut dipercaya akan dapat dialami daya pengaruhnya bila penyelenggara juga menyertainya dengan tindakan

(laku) sesuai ketentuan yang disampaikan, baik dalam bentuk pitutûr (petunjuk) lugas maupun gugôn tuhôn (ajaran dalam bentuk mitos sebagai lambang-lambang agar digugu dan dituhôni). Dalam contoh lain, ketika orang yang telah melakukan upacara slamêtan pada masa nyidham tidak boleh menyematkan bunga maupun sisir di kepala, ataupun mengenakan subang dan cincin. Semua itu dianggap dapat mengganggu atau meng- hambat pertumbuhan dan kelahiran bayi pada nantinya. Selain itu juga

84

dilarang makan makanan dari daging sungsang (hewan yang lahirnya keluar kakinya lebih dulu) dan daging yang menimbulkan rasa panas, daging ikan pemakan daging dan buas, maupun tidak boleh makan buah-buahan yang berakibat pada rasa yang sama di tubuh. Ketika makan calon ibu yang sedang mengandung muda itu tidak boleh berada di depan atau di tengah pintu, dilarang duduk di lumpang maupun alu (antan), serta cara makan dengan piring tidak boleh disânggâ (ditopang) tangan supaya calon bayi tidak dimangsa oleh si Kâlâ (Bāthârâ Kâlâ). Sebaliknya, calon ibu itu harus rajin minum ramuan cabe lêmpuyang tiap delapan hari sekali pada hari Rabu atau Sabtu, cuci tangan dan kaki dengan air yang dicampur garam sewaktu hendak tidur sambil melantunkan rapal pengusir sang Kala:135

Singgah, singgah, Kâlâ singgah! Kang abuntût, kang awulu, kang ajâthâ, kang asiûng, pâdhâ sirâ suminggahâ! Âjâ wurûk sudi gawe! Aku wûs wêrûh ajal kamulanirâ. (Menyingkirlah, menyingkirlah, Marabayaha menyingkirlah! Yang berekor, yang berbulu, yang berambut, dan yang bertaring, kalian semua menyingkirlah! Jangan mengganggu! Aku telah mengetahui rahasia kematianmu).

Makna pitutûr dan gugôn-tuhôn itu adalah kebiasaan yang hati-hati dan waspada, tertib dan mapan, kebersihan dan sehat, baik dan sopan bagi para ibu yang sedang mengandung, khususnya di usia kandungan muda. Itu semua adalah keteraturan dan sikap untuk menjaga atau mengendalikan diri.

135

Siman Widyatmanta, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat Istiadat: Sebagai

85

Apabila dilanggar maka dapat membahayakan bagi keselamatan sang ibu yang sedang mengandung maupun untuk sang calon bayinya sendiri.

Salah satu pokok penting lain dari tata susunan upacara kepercayaan Jawa di atas adalah bahwa banyaknya aneka bumbu dan makanan yang disertai pitutûr maupun gugôn-tuhôn itu merupakan lambang-lambang penyamar (pasêmôn), sebagai sarana komunikasi efektif bagi orang-orang Jawa untuk menyampaikan maksud penting dan dianggap memiliki nilai keramat (sakral). Inilah salah satu tradisi komunikasi orang-orang Jawa yang disebut tradisi pasêmôn.136 Makna pembelajaran itu diistilahkan oleh Ronan Hallowell sebagai kearifan kerohanian (spiritual wisdom).137