• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB II"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA

2.1. Pendahuluan

Kajian liturgi secara umum cenderung dipahami dalam bingkai per-ibadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan dari- pada kalangan kepercayaan ataupun agama-agama lainnya. Karena itu pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun, tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri sehingga dapat dipergunakan untuk mengenal unsur-unsur yang sama di lingkup keagamaan lain, seperti upacara kepercayaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat berbudaya Jawa sebagai keberadaannya yang khas (kontekstual).

(2)

18

kepercayaan Jawa sebagai liturgi, sekaligus liturgi yang kontekstual. Akhirnya, seluruh hasil kajian teori yang tersebut ditutup kesimpulan.

2.2. Liturgi 2.2.1. Arti Liturgi

Seperti disinggung secara singkat pada Bab I, Brownlee menjelaskan bahwa liturgi merupakan kata dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia

(λειτουργία). Istilah itu nampak dalam Kitab Perjanjian Baru bersama

dengan kata lain yang memiliki kemiripan arti, yaitu latreia (λατρεία). Arti harafiah kedua istilah tersebut adalah karya pengabdian atau karya bakti bagi kepentingan umat secara umum. Pada Kitab Perjanjian Lama kedua istilah itu dikenal dengan kata sharath ( ) dan abodah ( ה ידּבּﬠ ), yang di-Indonesia-kan menjadi ibadah, dan artinya kebaktian atau pelayanan.22

Jadi menurut arti katanya, istilah liturgi dan ibadah tampaknya hampir tidak ada bedanya. Seperti dikatakan H. A. van Dop, arti keduanya seakan sama saja.23 Selain itu, meminjam sebutan dari Emanuel Martasudjita dan James F. White, bahwa istilah-istilah tersebut sesungguhnya merupakan pekerjaan bermakna sekular yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Liturgi maupun ibadah adalah tindakan yang dilakukan oleh umat tanpa pamrih demi kepentingan kota atau negara, sebagai pelayanan dan bakti.24

22

Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 19.

23

H. A. van Dop, Hakikat dan Makna Liturgi, dalam: Liturgi dan Komunikasi (Jakarta, YAKOMA—PGI, 2005), 104.

24

(3)

19

Misalnya memberi sumbangan, iuran, pajak, dan lain sebagainya. Karena itu secara teologis hakikat liturgi di dalam Kekristenan yang didasarkan pada peringatan kebangkitan Yesus Kristus Tuhan tidak terpisahkan dengan peribadahan pada hari-hari kerja atau hari-hari biasa lainnya. Sebagaimana dikatakan J. L. Ch. Abineno bahwa pada dasarnya semula tidak ada batas jelas antara ibadah dan kehidupan sehari-hari Jemaat Mula-Mula. Sebab di antara keduanya memiliki hubungan yang cair dan fleksibel.25

Menurut kajian etimologis di dalam sejarah Gereja, arti liturgi maupun ibadah memiliki banyak istilah dan perkembangan arti. Selain empat istilah yang telah disebut, ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan oleh Gereja. Pertama, worship (Inggris) yang berasal dari kata weorthscipe, artinya perbuatan yang baik atau yang layak dilakukan. Kedua, service yang berasal dari kata servitium (Latin), artinya pelayanan pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Ketiga, office yang berasal dari kata officium (Latin), artinya kesediaan untuk melayani. Keempat, cult/cultus yang berasal dari kata colere (Latin), artinya tindakan memberi (persembahan) yang menimbulkan ketergantungan atau ikatan hubungan antara pemberi dan penerima. Kelima, kebaktian yang berasal dari kata bakthi (Sansekerta), artinya perbuatan yang menyatakan setia melayani dan hormat, menghamba, serta perbuatan baik dengan kerelaan. Keenam, missa (Latin), yang merupa-kan penyingkatan dari kata “ite missa est!” dengan arti “inilah pembubaran

25

J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan,

(4)

20

atau pengutusan”.26 Ketujuh, ritus (Latin), artinya peribadahan yang dilakukan sesuai dengan pola dan tata cara tertentu dalam petunjuk-petunjuk baku dan resmi bagi umat untuk pelaksanaan ekaristi, pelayanan-pelayanan pastoral maupun upacara-upacara peresmian. Dari istilah terakhir inilah kemudian muncul istilah kedelapan dan kesembilan, yaitu ceremony dan

order yang menunjuk pada tata ibadah. Sebutan ceremony cenderung untuk pelaksanaan upacara peresmian, sedangkan order digunakan untuk urutan yang tersusun pada peribadahan.27

Kajian asal-usul istilah di atas memberikan pemahaman penting. Liturgi memiliki tiga arti mendasar yang sejajar, yaitu pelayanan, persembahan, serta perutusan.28 Ketiganya merupakan motivasi penting serta saling berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan sebagai satu kesatuan peribadahan yang dilakukan dan sekaligus dirayakan oleh Gereja dari waktu ke waktu.29 Selanjutnya, meskipun secara harafiah memiliki pengertian umum yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, akan tetapi liturgi maupun peribadahan juga memiliki keterkaitan arti dengan kegiatan-kegiatan Gereja sebagai kebersamaan umat secara terbatas. Karena itu, pada satu segi tampaknya liturgi bisa dikatakan tidak sama persis dengan ibadah. Liturgi mengesankan sebagai suatu bentuk rumusan gagasan Gereja melalui tindakan di dalam pola dan tata cara yang tersusun secara teratur untuk mengungkapkan maksud ataupun tujuan tertentu di tengah

26

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1-5

27

White, Pengantar Ibadah Kristen, 18-19.

28

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6.

29

(5)

21

keberadaan hidupnya. Adapun ibadah cenderung merupakan istilah bagi kegiatan umat secara umum, sebagaimana layaknya dilakukan juga oleh khalayak orang. Dengan kata lain, liturgi menjadi semacam tindakan teknis bagi penghayatan dari ibadah itu sendiri. Pembedaan itu makin tegas dengan adanya perkembangan makna dalam pemakaian masing-masing istilah di antara keduanya pada ranah lapangan penerapan. Liturgi cenderung digunakan untuk tata cara resmi ataupun upacara agung, sebagaimana terdapat dalam praktik keagamaan Gereja Katholik Roma. Adapun ibadah cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk praktik keagamaan apapun, bahkan untuk kepercayaan-kepercayaan adat masyarakat suku.30

Ada tiga pendekatan untuk melihat pembedaan di atas. Pendekatan pertama adalah sudut arti kata. Dibandingkan dengan liturgi, ibadah dipandang lebih bermakna luas, cenderung praktis dan umum, tanpa harus ada pemaknaan khusus. Misalnya berderma, saling hormat, saling menolong, dan lain sebagainya. Sedangkan wujud liturgi cenderung memiliki penghayatan khusus terkait dengan iman. Pendekatan kedua berpangkal pada makna teologis, di mana liturgi memiliki pengertian yang lebih luas dari pada ibadah yang gerakannya cenderung hanya searah dari tindakan umat kepada Tuhan (anabatis). Kelebihan liturgi dibandingkan dengan ibadah secara teologis, yaitu memiliki dua arah sebagai dialog. Selain anabatis, di dalam liturgi sekaligus juga terdapat katabatis, yaitu tindakan dari Tuhan kepada umat. Pendekatan ketiga adalah dimensi

30

(6)

22

tindakan ibadah yang masih bisa bersifat pribadi dan tidak memiliki unsur resmi, sementara liturgi pasti merupakan tindakan bersama oleh umat dan resmi.31 Karena itu kaidah dasar pelaksanaan liturgi di dalam peribadahan tidak hanya terbatas pada kegiatan upacara keagamaan atau perayaan bagi Tuhan semata, tetapi juga merupakan sikap hidup sebagai pelayanan kepada Tuhan dengan bersedia tunduk dan hormat dalam tindakan, perilaku, kepribadian, maupun pemikiran dari segenap kehidupan umat.32

Pemahaman penting selanjutnya adalah bahwa istlah-istilah tata per-ibadahan Gereja beserta dengan makna dan penggunaannya di atas merupa-kan hasil penyesuaian budaya yang dilakumerupa-kan Kekristenan dalam ruang persebaran dan perkembangannya. Semua kata sebutan itu digunakan oleh Gereja dalam rangka mengakarkan, sekaligus untuk mengungkapkan gagasan-gagasan imannya menurut konteks di tempat dia hidup. Pelayanan, persembahan, dan perutusan yang ada pada tindakan kemasyarakatan pada umumnya ternyata dipakai juga oleh Gereja sebagai liturgi untuk beribadah kepada Kristus Tuhan. Selangkah maju terhadap pemahaman umum mau-pun khusus tersebut, memperlihatkan adanya penalaran bahwa adat-istiadat yang terangkai dengan berbagai wujud ritual kepercayaan bagi kebersamaan oleh suatu masyarakat memungkinkan untuk dipakai Gereja melalui langkah tertentu sebagai liturgi peribadahan. Kemungkinan itu dimiliki pula oleh GKJ di tengah budaya masyarakatnya.

31

E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 26-30.

32

(7)

23 2.2.2. Definisi Liturgi

Kajian etimologi di atas menjadi dasar pemahaman makna liturgi menurut sudut-sudut batasan operasional atau definisi yang ditekankan. Ada empat sudut penekanan dalam mendefinisikan liturgi, yaitu dari sudut aksi, sudut dasar aksi, sudut isi gagasan, dan sudut ruang penghayatan.

Berdasarkan sudut aksi, liturgi didefinisikan sebagai kegiatan ibadah, baik berbentuk seremonial maupun praksis. Maksud ibadah praksis adalah seperti yang diungkapkan oleh Rasid, yaitu ibadah yang tidak terbatas pada perayaan di gedung Gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud pula di dalam sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi yang meliputi pelayanan, tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis hidup, pola maupun cara berpikir, menanggapi, dan sebagainya.33 Karena itu, pada diri liturgi mesti terdapat keikutsertaan umat secara bersungguh-sungguh untuk ikut ambil bagian, sebagai ungkapan hidup imannya.34

Dari sudut dasar aksi, liturgi didefinisikan sebagai kehidupan Kristen yang diungkapkan sebagai ibadah untuk menyatakan penyataan diri Allah di dalam Yesus Kristus, sekaligus merupakan tanggapan manusia terhadap-nya.35 Intinya adalah bahwa di dalam ibadah Allah bertindak untuk memberikan hidupNya bagi manusia serta membawa manusia untuk ikut mengambil bagian di dalam kehidupan. Karena itu, semua yang dilakukan oleh umat selaku pribadi ataupun Gereja dipengaruhi oleh ibadah.

33

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1.

34

Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja (Malang: Dioma, 2004), 1-2.

35

(8)

24

Adapun menurut sudut isi gagasannya liturgi didefinisikan sebagai pertemuan umat di hadapan Allah, bahkan dengan Allah sendiri. Karena itu liturgi peribadahan bukanlah tata cara atau bentuknya melainkan isinya, yaitu umat bersama dengan segala sesuatu yang dilakukan di dalam per-kumpulannya bermakna untuk melayani Tuhan dan melayani sesama manusia di hadapanNya dan di dalam namaNya.36

Ketiga definisi di atas memperlihatkan ada nisbah yang bisa dipadukan. Pertama, bila liturgi pada definisi pertama dipandang sebagai kegiatan pengungkapan iman Gereja oleh keikutsertaan umat yang men-dorong perwujudan nyata dalam segenap bidang kehidupan maka definisi liturgi yang kedua dapat dipandang sebagai penyebab tindakan Gereja itu sendiri, yaitu penyataan Allah yang memberikan hidupNya bagi manusia. Karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam definisi liturgi yang kedua, maka kegiatan pengungkapan iman Gereja merupakan tanggapan terhadap penyataan Allah itu. Kedua, perpaduan definisi liturgi yang pertama dan kedua tersebut menunjukkan adanya prakarsa di antara pihak Allah dan manusia menjadi suatu perjumpaan yang disebut pada definisi liturgi yang ketiga sebagai makna bagi umat untuk melayani Allah maupun sesama menurut iman.

Berikutnya berdasarkan sudut ruang penghayatan, liturgi didefinisikan sebagai tempat bagi umat menyanyikan akan pengharapan dan masa depan. Liturgi adalah wahana yang di dalamnya umat terhanyut oleh visi

36

(9)

25

kedatangan Kerajaan Allah dengan pelayanan kepada Allah dan sesama.37 Sudut definisi liturgi yang terakhir ini memperlihatkan kedudukan pelayanan yang dilakukan umat bukan sekedar kegiatan Gereja beserta penyebab, ataupun isi gagasannya. Keberadaan liturgi dari sudut ruang penghayatan tersebut cenderung memahami pelayanan sebagai arena sekaligus wujud penghayatan akan tujuan dari iman yang diungkapkan oleh Gereja.

Penekanan-penekanan dari keempat definisi liturgi di atas nampaknya sekaligus menjadi cara pendekatan masing-masing. Namun keragaman pe-nekanan maupun cara pendekatan beberapa definisi liturgi tersebut bila dipadukan memungkinkan memberikan pengertian yang utuh, yaitu per-jumpaan umat bersama dengan Allah sebagai tanggapan sekaligus peng-hayatan atas penyataan Allah yang telah memberikan hidupNya untuk keselamatan manusia berupa pelayanan seremonial maupun praksis.

2.2.3. Dasar Liturgi

Secara langsung ataupun tidak langsung, etimologi dan definisi liturgi di atas menunjukkan adanya dasar-dasar penting yang berpusat pada soal tafsir, sejarah, budaya maupun adat-istiadat, dan penyesuaian terkait iman di dalam kemunculan serta perkembangan Kekristenan. Artinya, tata per-ibadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi makna atas peristiwa atau pengalaman nyata, dan perwujudannya dilakukan

37

(10)

26

penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada kehidupan bersama suatu masyarakat.

Dari sebuah kajian teologi terhadap liturgi terungkap bahwa kemunculan liturgi Kristen atau Gereja berawal dari langkah hermeneutik baru melalui Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan atas peribadahan masyarakatNya, yang tumbuh berakar dari kebudayaan Yahudi. Oleh Yesus itu, sekelompok orang Yahudi yang bercaya kepadaNya menafsirkan ulang ketidakpastian perkembangan keadaan kemasyarakatan beserta keagamaan masa itu yang sulit menemukan sarana peribadahan sebagai alat peneguhan umat karena akhirnya hancur di masa penjajahan bangsa Roma.38 Sarana peribadahan yang kemudian hilang dari budaya dan adat-istiadat ibadah keagamaan Yahudi itu berupa kenisah, altar, dan korban. Selain menjadi perangkat peneguhan bagi keutuhan umat, sarana-sarana tersebut juga merupakan pemujaan, penyembahan, serta penyucian umat kepada Allah yang melambangkan penyelamatan. Pada sosok Yesus semua budaya keagamaan yang musnah dalam sejarah politik bangsa Yahudi itu dicerminkan kembali.39 Artinya, seperti penjelasan Brox40 dan Everett Ferguson41 bahwa sarana-sarana peribadahan Yahudi sebagaimana ada pada tradisi Kitab Perjanjian Lama telah disatukan dan dibangun kembali dalam figur Yesus. Yesus diyakini umat sebagai pribadi Messias melalui

38

R. S.Sugirtharajah, Poscolonial Criticism and Biblical Interpretation (New York: Oxford University Press, 2002), 91.

39

Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, 29-33.

40

Brox, A History of the Early Church, 2-4.

41

(11)

27

penafsiran baru atas tradisi keagamaan dalam kitab-kitab Ibrani maupun sejarah perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakatnya, dan kemudian dijadikan tradisi baru atau tradisi pengganti.42

Sepanjang keberadaan liturgi, dasar-dasar penting yang disebutkan di atas juga ada. Langkah pembaruan yang terjadi pada peristiwa Yesus itu terlihat pula pada tradisi-tradisi penerusnya, yaitu tradisi apostolik43 dan

tradisi reformasi Gereja.44

Pada tradisi apostolik unsur-unsur mendasar ditemukan dalam tiga titik tolak, yaitu sejarah liturgi Gereja, sejarah tempat dan waktu pelaksanaan liturgi Gereja, serta sejarah perayaan liturgi oleh Gereja Perdana. Di dalam sejarah liturgi Gereja, kesadaran iman akan Yesus yang hidup dan bangkit dari kematian mengubah cara hidup Gereja, khususnya penafsiran peribadahan. Pengabsahan ibadah yang semula bersifat lahiriah berupa kenisah, altar, dan korban di Bait Allah berganti yang rohaniah melalui Yesus Kristus untuk memuji, menyembah, dan menguduskan umat kepada Allah dengan dalil “dalam roh dan kebenaran” oleh kesediaan

dipimpin Roh Kudus. Sementara di dalam sejarah tempat dan waktu pelaksanaan, peribadahan Gereja yang sempat dilakukan oleh Jemaat Mula-Mula mengikuti tradisi pada hari Sabat di Bait Allah berangsur diubah di rumah-rumah secara bergantian pada hari Akhad atau yang dikemudian

42

Richard E. Palmer, Hermuneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 39-42.

43

Brox, A History of the Early Church, 4-5.

44

(12)

28

waktu disebut pula hari Minggu,45 yaitu hari peringatan akan Yesus yang hidup dan bangkit dari kematian. Adapun di dalam sejarah perayaan liturgi oleh Gereja Perdana, pada tradisi hari peribadahan yang baru itu selalu dilakukan pengajaran para rasul, berdoa bersama, serta makan bersama

(perjamuan agape) maupun memecah-mecahkan roti sebagai perjamuan Tuhan (ekaristi) untuk mengenang (anamnese) akan pengalaman penyelamatan Allah pada umat, seperti mandat Yesus sendiri dalam Perjamuan Malam Paskah menurut tradisi keagamaan Yahudi.46

Pada tradisi reformasi Gereja dasar-dasar penting liturgi di atas ter-ungkap, khususnya dalam tafsiran teologis atas perkembangan Gereja di tengah kehidupan politik yang meliputi delapan hal. Pertama adalah dalil

sola scriptura, sehingga sebagai firman Allah maka Alkitab memiliki otoritas tertinggi di dalam peribadahan Kristen sekaligus merupakan dokumen liturgis. Kedua adalah Allah Maha Kuasa dan berdaulat penuh atas kehidupan umat, sehingga di dalam peribadahan umat tidak bisa berliturgi semena-mena menurut pikiran, keinginan, dan kesenangannya sendiri. Umat harus bersedia tunduk dan berserah kepada seluruh kehendak yang difirman-kan Allah (epiklese). Ketiga adalah norma praktik apostolik, sehingga liturgi pribadahan Kristen mesti mengacu sekaligus memiliki kesesuaian dengan praktik-praktik dari Jemaat Mula-Mula sewaktu para rasul mengajar. Keempat adalah pemulihan makna penggunaan waktu secara tepat, sehingga semua hari dalam seminggu berhubungan dengan sejarah penyelamatan

45

Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 51.

46

(13)

29

Allah bagi umat. Karena itu peringatan yang dilakukan tiap hari Minggu dalam liturgi peribadahan merupakan tindakan umat untuk mengenang penyelamatan Allah (anamnese). Kelima adalah firman dan perjamuan kudus sebagai kebaktian normatif, sehingga ibadah sebagai anamnese tidak bisa mengurangi, menggantikan, bahkan menghilangkan kedua unsur itu. Keenam adalah bahwa kebaktian sebagai peristiwa persekutuan, sehingga Gereja tidak bisa menjadi lembaga statis. Gereja harus in transitius, yaitu lembaga yang bergerak atau hidup dari umat yang mengadakan perziarahan. Ketujuh adalah pemulihan partisipasi umat, sehingga tata peribadahan tidak berpusat pada satu pelayan melainkan seluruh umat yang saling melayani sebagai peristiwa persekutuan dalam satu tubuh Kristus dengan keteraturan dan penuh rasa hormat. Kedelapan adalah norma pastoral. Artinya sejauh manakah pengertian dari dasar tata peribadahan yang pertama sampai ketujuh di atas dapat diterapkan atau dikontekstualisasikan dalam keber-adaan umat sehingga tujuannya tercapai oleh umat. Karena itu pelaksanaan liturgi di dalam peribadahan perlu per-timbangan pastoral berdasarkan persoalan yang ada di tengah kebersamaan umat itu.47

2.2.4. Sejarah dan Perkembangan Liturgi

Kedua tradisi di atas menguatkan keterkaitan tafsir, sejarah, budaya beserta tradisi suatu masyarakat, sebagai dasar keberadaan liturgi Kristen yang secara lebih jelas sangat kelihatan pada historisitas dan

47

(14)

30

kembangannya. Pertama kali muncul umat Kristen, liturgi peribadahan dalam bentuk rumusan khusus dan baku pada dasarnya belum ada. Liturgi dalam peribadahan Kristen Perdana sesungguhnya mengalir mengikuti kebiasaan yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat sebelumnya, yaitu tradisi peribadahan Yahudi yang memiliki konteks keberagamaan atau keimanannya sendiri.48 Dari berbagai konteks keagamaan masyarakat Yahudi itu sendiri, tampaknya ada tradisi umum dan tradisi khusus yang menjadi sumber penting dalam kemunculan peribadahan Kristen, yaitu Paskah dan Baptisan. Paskah merupakan tradisi keagamaan yang umum bagi masyarakat Yahudi, sedangkan Baptisan merupakan tradisi keagamaan khusus yang hanya dimiliki dan dilakukan oleh golongan tertentu dalam masyarakat Yahudi itu.

Dalam suatu kajian, baptisan merupakan ritual yang berasal dari kaum Esseni untuk orang yang dibaiat sebagai anggota. Sejauh mana hubungan-nya dengan tradisi yang terdapat pada Kitab Perjanjian Lama, yang pasti baptisan yang mereka lakukan itu sebagai lambang dari kesucian atau kemurnian hidup yang menjadi cita-cita dan gerakan mereka di tengah keprihatinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya kala itu. Karenanya, meski belum bisa di-anggap bagian dari kaum Esseni, dimungkinkan Yesus (demikian pula Yohanes Pembaptis) memiliki hubungan dengan kaum Esseni. Sebab dari kehidupan dan karyaNya memperlihatkan kemiripan dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh kaum itu.

48

(15)

31

Selain baptisan, mereka sangat kuat dalam ritual-ritual kesucian, anti kekerasan, serta selalu melakukan propaganda tentang Kerajaan Allah dan pertobatan.49

Pandangan mengenai asal-usul tradisi baptisan tersebut bertentangan dengan kajian lain yang menganggap berasal dari tradisi Rabbinik. Menurut pandangan Rabbinik, baptisan yang dijalani setelah sunat adalah untuk men-jadikan seseorang sebagai bagian dari Umat Perjanjian, seperti pengalaman yang terjadi pada diri Yesus. Tradisi itu kemudian menjadi lebih khas di dalam perkembangan Kekristenan sebagai pandangan sektarian yang jauh terbuka dan mendalam dengan tidak membatasi pada kalangan Yahudi saja seperti kaum Esseni, ataupun menjadikan seseorang menjadi Yahudi seperti kaum Rabbinik, tetapi bagi semua orang tanpa melihat syarat asal-usulnya maupun sunat atau tidak sunat.50 Dan itulah sebabnya, baptisan juga menjadi bagian yang penting dalam kehidupan Yesus, dan akhirnya diikuti oleh para murid atau para pengikutNya.

Meskipun berbeda, kedua pandangan asal-usul baptisan tersebut dapat memberikan gambaran bahwa pada mulanya baptisan sendiri sesungguhnya merupakan hasil tafsir kelompok-kelompok masyarakat Yahudi yang mampu mereka terima dan menjadi sebuah tradisi untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu sebagai tanda pengenal sekaligus lambang gagasan cita-cita iman kemasyarakatan mendasar di tengah keprihatinan atas perubahan

49

John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 91-124.

50

(16)

32

kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang mereka miliki. Sehubungan dengan baptisan di dalam Kekristenan, pada intinya juga memiliki dasar-dasar bangunan penting yang sama. Namun sifat gerakan yang dilambang-kan dengan baptisan Kristen bertolak beladilambang-kang dengan kaum Esseni maupun Rabbinik. Bila pandangan baptisan mereka terbatas bagi tujuan kelompok atau bangsa mereka sendiri, maka baptisan pada Kekristenan lebih terbuka bagi semua golongan, masyarakat, maupun bangsa.

Dalam perkembangannya, tradisi Paskah maupun tradisi Baptisan itu selanjutnya menjadi sumber penting bagi ibadah maupun liturgi umat Kristen, yang secara mengesankan ditumbuhkan oleh peristiwa yang dijalani Yesus, mulai dari Perjamuan Malam menjelang hari Paskah, kematianNya di hari Paskah, maupun kebangkitanNya di hari pertama setelah hari Sabbath, yaitu hari Akhad. Peristiwa pada hari Akhad itu selalu dijadikan

anamnese bagi umat Kristen dengan perjamuan agape maupun ekaristi serta baptisan.

Selain kedua tradisi penting di atas, ada kebiasaan-kebiasaan dari peribadahan Yahudi yang juga diikuti dalam liturgi Kristen.51 Kebiasaan itu adalah melantunkan Kitab Mazmur, membaca Kitab Suci (Taurat dan Nabi-Nabi) seperti di Sinagoge dengan diikuti khotbah pengajaran dari para rasul, dan pada waktu kemudian ditambah dengan membaca Epistel dan Injil, yang kemudian diakhiri dengan doa bersama.52 Tata urutan peribadahan untuk mengenang Yesus secara sederhana itu dikenal juga dengan sebutan

51

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 13-14.

52

(17)

33

liturgi synaxis, yaitu liturgi persekutuan untuk membaca Kitab Suci, menyanyikan Mazmur, serta berdoa bersama di Sinagoge.53 Namun, yang membedakan antara liturgi umat Kristen dengan umat Yahudi itu adalah adanya perjamuan agape, ekaristi, dan baptisan.

Berpijak dari tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan di atas itulah liturgi peribadahan umat Kristen terbentuk dan berkembang. Meskipun pada perkembangan masa dan tempat persebaran umat Kristen di luar daerah bangsa Yahudi begitu pesat dan memiliki keanekaragaman yang khas karena perjumpaan dengan budaya masyarakat yang baru beserta dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka, namun inti liturgi yang memiliki ciri-ciri warisan dari tata tradisi keagamaan orang Yahudi tetap dipertahankan dan dijadikan isi pokok peribadahan Kristen. Ini dapat dilihat dalam periode umum perkembangan Gereja dari masa awal hingga sekarang.

Periode pertama yaitu masa Gereja Perdana. Gereja yang dipimpin oleh para rasul Yesus Kristus ini melakukan baptisan dan perjamuan dengan spontan di rumah-rumah mereka secara bergiliran yang disertai dengan pem-bacaan Kitab Suci dan khotbah pengajaran, menyanyikan puji-pujian, dan berdoa bersama-sama, seperti liturgi persekutuan di Sinagoge dan dilakukan pula oleh Yesus sendiri.54 Liturgi Gereja Perdana tersebut awal-nya berjalan tanpa terikat pada tatanan, tulisan, maupun aturan liturgi tertentu. Di masing-masing daerah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.

53

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 15.

54

(18)

34

Ada yang biasa seperti umat Kristen di Yerusalem, namun ada yang kreatif dalam keikutsertaan umat secara aktif di dalam peribadahan seperti umat Kristen di Korintus.55

Periode kedua adalah masa Gereja Patriarkhi. Masa ini dikenal juga sebagai masa para Bapa Gereja, yaitu para pemimpin umat Kristen yang menjadi penerus Rasul-Rasul Yesus Kristus. Pada masa ini terdapat dua tahap perkembangan yang mewarnai liturgi dalam peribadahan umat Kristen. Tahap pertama adalah kehidupan yang sulit. Gereja tidak hanya menghadapi penolakan yang semakin besar dari masyarakat asalnya tetapi juga mendapat tekanan politis yang sangat keras dari penguasa Romawi, maupun pemurtadan dari berbagai kalangan keagamaan yang hidup pada waktu itu.56 Karena itu, di dalam konteks masa awal tersebut tata peribadahan umat Kristen bersifat pastoral. Untuk menghadapi tekanan masyarakat dan agama yang ada di sekitarnya, maupun penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa Romawi, maka Gereja memiliki Didache,

Apologia, ataupun Apostolike Paradosis (Apostolic Tradition) sebagai tulisan yang digunakan di dalam peribadatan.

Tulisan-tulisan yang digunakan di dalam peribadatan tersebut sudah menampakkan adanya tata urutan yang tersusun.57 Kebenaran dari keadaan liturgi pada masa Bapa-Bapa Gereja awal itu dapat dilihat dalam terjemahan tata peribadahan mereka yang dihimpun oleh Bard Thompson. Pada

55

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 17.

56

Th. van Den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 34-56.

57

(19)

35

tulisan itu ditemukan bahwa sebelum diadakan ekaristi, terlebih dulu dilaku-kan pembacaan Kitab Suci dan khotbah atau pengajaran-pengajaran yang berasal dari para rasul. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa oleh umat yang disusul dengan pengucapan syukur atas roti dan anggur maupun air bagi ekaristi untuk dibagikan kepada umat. Demikian pula dengan pelaksanaan baptisan yang dilakukan di tengah peribadahan umat.58

Kesulitan pada masa Bapa-Bapa Gereja awal di atas mengalami per-kembangan sebagai tahap kedua, yaitu kehidupan yang terbuka di bawah pengaruh politik kekuasaan pemerintah Romawi. Dengan pamrih dapat memanfaatkan kesetiaan orang-orang Kristen pada imannya untuk memper-kuat kesatuan negara, maka pada jaman Kaisar Konstantinus dikeluarkan

edik di Milan untuk menghentikan penindasan terhadap orang-orang Kristen yang sulit ditekan dan malah cenderung berkembang. Sejak itu Kekristenan diijinkan tumbuh bebas di kekaisasan Romawi.59 Bahkan pada masa berikutnya, untuk mengukuhkan tujuan politik tersebut Kaisar Gratianus dan Kaisar Teodosius menjadikan Kekristenan sebagai agama negara.60 Tahap perubahan kedua dalam periode perkembangan Gereja ini, berdampak besar pada kehidupan Gereja, khususnya pada peribadahan umat yang keadaan dan suasananya sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Ketika Kekristenan masih ditolak dan ditindas, pelaksanaan liturgi peribadahan umat Kristen penuh dengan suasana kekeluargaan dan sederhana di

58

Bard Thompson, Liturgies of the Western Church (Philadelphia: Fortress Press, 1982), 4-9.

59

van Den End, Harta dalam Bejana, 57.

60

(20)

36

rumah, bahkan di katakombe-katakombe, atau tempat-tempat tersembunyi lainnya. Namun, semenjak diperbolehkan dan akhirnya dijadikan agama resmi negara, Kekristenan diistimewakan dengan gelar kebangsawanan ataupun pengangkatan sebagai pejabat negara istimewa bagi para imam Gereja, bahkan memberikan kedudukan sebagai masyarakat kelas utama bagi umat Kristen.61 Dampak lain pemberian tempat dan kedudukan Kekristenan di tengah masya-rakat yang demikian itu mengubah citra peribadahan yang disebabkan oleh sarana dan prasarana lengkap dari negara. Pelaksanaan peribadahan menjadi penuh dengan suasana resmi, hirarkis, serta kemegahan dan mewah ala imperial basilika. Bahkan, di masa itu mulai muncul liturgi-liturgi untuk aneka tujuan atau keperluan. Misalnya liturgi peneguhan dan pelantikan para petinggi atau para pejabat negara, terlebih para pejabat gerejawi yang dengan sendirinya menjadi pejabat negara, pernikahan, dan lain sebagainya.62

Pola-pola liturgi yang berkembang di dalam peribadahan Kristen pada masa Gereja Patriarkhi tersebut memiliki penekanan ritual sebagai pen-dekatan terhadap berbagai perubahan di dalam tata kehidupan baru dan keagamaan masyarakat Roma waktu itu. Namun demikian, liturgi per-ibadahan utama yang dilakukan pada tiap hari Minggu dengan inti pengajaran dan sakramen perjamuan masih tetap memiliki pola ke-cenderungan dasar yang sama. Ada doa syukur umat yang dilanjutkan dengan pembacaan Kitab-Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian

61

Martasudjita, Liturgi, 56-57.

62

(21)

37

Baru dengan selingan lantunan nyanyian pujian ataupun mazmur sebelum pengajaran dan doa pengucapan syukur untuk sakramen perjamuan. Hanya saja, yang membedakan dengan masa sebelumnya adalah peran serta umat dalam liturgi yang berangsur kurang dibandingkan dengan peran serta kaum imam yang semakin besar dan menentukan di dalam segala hal.63

Keadaan perkembangan liturgi di atas terus berlanjut pada periode perkembangan yang ketiga, yaitu masa Gereja Abad-Abad Pertengahan. Pada periode ini terjadi perubahan besar, yaitu kekuasaan politik Romawi Barat yang kian surut dan berangsur cepat beralih ke tangan Gereja. Perubahan itu ditandai dengan kemunculan Papal (Paus) sebagai pemimpin Gereja tertinggi di wilayah Romawi Barat yang memiliki kewenangan yang sangat besar di dalam kehidupan umat Kristen maupun masyarakat.64 Pengaruh dari Paus tersebut nampak dalam kehidupan peribadahan umat dengan banyaknya pemberlakuan Ritus Roma atau Liturgi Roma (yang sekarang dikenal dengan Liturgi Gereja Katholik) pada Gereja di lingkup kekuasaannya.65 Namun pemberlakuan liturgi tersebut tidak sepenuhnya memiliki alasan politis. Semenjak Kekristenan mengalami kebebasan maka akibat yang kurang menguntungkan adalah banyaknya percobaan-percobaan liturgi yang dilakukan oleh para uskup maupun abbas sehingga memuncul-kan ketidakpuasan dan kebingungan umat terhadap pelaksanaan liturgi.66

63

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 88-91.

64

Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 60-70.

65

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 77.

66

(22)

38

Apapun penyebab kuatnya pengaruh Liturgi Roma yang kian menyebar di tengah bangsa-bangsa daerah Romawi Barat pada masa perkembangan Gereja Abad Pertengahan tersebut, yang pasti di dalam pelaksanaannya nampak ada suasana resmi dan begitu rumit, bahkan khas dengan bahasa pengantar, yaitu Latin. Selain itu, peran imam menjadi menonjol dan meng-geser kedudukan umat,67 sehingga terkesan menjadi penentu peribadahan. Karena itu Ritus Roma disebut juga dengan Liturgi Klerus. Dengan penggunaan pola yang serba resmi menurut peran para imam tersebut, umat semakin terasing dari liturgi karena bahasa pengantarnya maupun pokok-pokok yang ada di dalam tata susunan liturgi hampir semua dikuasai dan diperankan oleh para imam dengan rumusan baku, terutama dengan doa.68

Bahkan, di dalam liturgi itu sendiri juga memiliki pemahaman iman tentang keselamatan yang banyak berkembang secara berjenjang,69 apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Keselamatan yang diimani umat terkesan lebih terjamin melalui roh-roh para tokoh perantara yang dipandang suci dan mampu menolong (santo dan santa) untuk memperoleh pengampunan dan pengudusan dari Tuhan. Pergeseran ataupun per-kembangan tersebut dimungkinkan juga berimbas pada pemahaman dan tata perlakuan atas lambang-lambang di dalam peribadahan. Roti dan anggur setelah penyucian dengan doa syukur dan berkat serta pengucapan kata-kata

67

Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.

68

Martasudjita, Liturgi, 72.

69

(23)

39

yang pernah diucapkan oleh Tuhan Yesus sewaktu Perjamuan Malam Paskah oleh imam diyakini telah menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus sendiri (hosti). Karena itu, cara penerimaannya tidak boleh sembarangan dan harus dengan penuh rasa hormat. Hosti harus diletakkan oleh imam secara langsung pada lidah tiap umat yang berhak menerimanya. Demikian pula dengan altar, Kitab Suci, bejana roti dan anggur, salib, rosary, hingga para santo dan santa dengan relik-relik mereka yang dipandang memiliki daya pengaruh oleh ritual yang dilakukan oleh para imam Gereja.70 Semua itu memberi kesan kecenderungan untuk memberikan makna keselamatan umat ditentukan atau diukur oleh tindakan Gereja melalui ritus;71 sehingga di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Penting-nya ritus di dalam peribadahan itu sekaligus menunjukkan pula adaPenting-nya kuasa kaum imam Gereja yang sangat menentukan bagi keselamatan umat.72 Puncak kecenderungan-kecenderungan peribadahan semacam itu menjebak Gereja dalam sekularisme yang terungkap dengan peristiwa penerbitan surat penghapusan siksa (indulgensi).73

Sekularisme di tengah Gereja itulah yang mencetuskan periode sejarah berikutnya, yaitu periode masa Reformasi Gereja.74 Pada periode per-kembangan Gereja yang keempat ini umat mengadakan perlawanan terhadap sekularisme yang menyebabkan kesewenang-wenangan para imam

70

van Den End, Harta dalam Bejana, 141-142.

71

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 135.

72

H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 111.

73

Berkhof, Enkklaar, Sejarah Gereja, 114-118, 126-127.

74

(24)

40

di berbagai sisi kehidupan, dan mengembalikannya menurut pandangan yang terdapat pada kehidupan Gereja Perdana. Kedudukan Gereja dan negara ditempatkan sejajar (iucta positie) sebagai mitra untuk mewujudkan keselamatan atau membangun kesejahteraan segenap masyarakat. Ajaran

extra ecclesiam nulla salus dengan berbagai tata peribadahan yang ber-hubungan dengannya diperiksa dan dikembalikan pada asas-asas yang terdapat pada pandangan Gereja Perdana.75 Salah satu upayareformasi yang mendasar untuk memulih-kan kedudukan Gereja maupun umat pada abad pertengahan menurut tata kebiasaan Gereja Perdana adalah mengembalikan hak dan tanggung jawab yang melibatkan peran serta umat secara penuh di dalam sakramen maupun pelayanan firman (pengajaran) dengan meng-gunakan bahasa setempat yang biasa dimeng-gunakan umat.76

Salah satu hasil reformasi Gereja di dalam kehidupan peribadahan umat di atas adalah Liturgi Protestan. Dibandingkan dengan Liturgi Roma, Liturgi Protestan pada masa-masa awal perkembangannya memperlihatkan adanya keragaman yang cepat. Salah satunya adalah Liturgi Calvin, yang hingga perkembangannya di masa kini dipakai juga oleh Gereja Kristen Jawa. Ada perbedaan yang menjadi kekhasan pandangan reformasi Gereja di dalam Liturgi Calvin. Pertama, susunan di dalam Liturgi Calvin dipandang lebih sederhana dibandingkan dengan Liturgi Roma yang dipenuhi dengan berbagai macam ritual. Sewaktu ibadah di mulai, disampai-kan salam dan berkat yang didalamnya terdisampai-kandung makna seruan (votum)

75

van Den End, Harta dalam Bejana, 166-176, 188-191.

76

(25)

41

maupun pengakuan pertolongan Tuhan di dalam pelaksanaan ibadah

(adiutorium) yang disambut dengan pujian umat dan dilanjutkan dengan pengakuan dosa (konfesi). Setelah itu disampaikan berita anugerah

(absolusi) dan petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah bagi kehidupan iman umat yang baru (komandemen) yang disambutan dengan kesanggupan oleh umat (aklamasi). Selanjutnya umat menghaturkan persembahan syukur yang terkumpul (kolekta) dan disambung dengan pemberitaan firman melalui pembacaan Alkitab secara berangkai serta berkesinambungan

(leksio kontinua) maupun penyampaian pengajaran (homili). Pemberitaan firman itu diteruskan dengan doa permohonan umat (intersesi) maupun doa sakramen perjamuan, dan pelayanan sakramen (perjamuan ataupun baptis) menurut rumusan serta aturan yang berlaku. Namun bagi yang tidak melaksanakan sakramen tiap Minggu, maka peribadahan dapat langsung ditutup dengan pengucapan rumusan pengakuan iman (kredo) dan penyampaian berkat (benediksi) sewaktu hendak pembubaran dalam perutusan (dismissi). Kesederhanaan tersebut diyakini memiliki dasar pada Kitab Suci maupun kebiasaan Gereja Kuno.77 Kedua, Liturgi Calvin tidak mengistimewakan ritual sebagaimana terdapat di dalam Liturgi Roma, melainkan pemberitaan firman yang diuraikan dalam ajaran berdasarkan rangkaian pembacaan kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dan Injil secara berkesinambungan bersama dengan perutusan yang diteguhkan dalam berkat. Ketiga, roti dan anggur Perjamuan Kudus yang

77

(26)

42

diletakkan di atas meja perjamuan dipandang bukan penjelmaan kurban Yesus Kristus di atas altar untuk penebusan yang bisa diulang-ulang sebagaimana pengertian yang ada pada Liturgi Roma, melainkan sebagai tanda dan pengingat bagi setiap orang percaya yang ikut ambil bagian di dalam sakramen perjamuan akan karya korban penebusan dosa beserta janji kehidupan kekal dari Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, yang keempat bahwa kelayakan yang memberikan pengudusan umat dihadirat Allah bukan karena anggur dan roti yang disucikan melalui ritual seperti yang ada pada Liturgi Roma, melainkan karena kasih karunia yang bekerja melalui pengujian batin diri setiap pribadi umat yang hendak mengambil bagian di dalam sakramen perjamuan sebagai disiplin kehidupan iman. Adapun yang terakhir, kelima adalah doa-doa umat untuk kesejahteraan atau keselamatan tidak untuk para suci ataupun melalui mereka kepada Tuhan seperti yang terdapat di dalam Liturgi Roma, tetapi merupakan permohonan langsung kepada Tuhan agar memberikan berkat dan pertolongan kepada negara dan para memimpinnya supaya dapat menjalankan tanggung jawab menurut tugas-tugas mereka, serta kepada gereja dan umat agar bisa menjalankan kehidupan yang baik menurut ajaran iman yang benar oleh ketaatan.78

Segala sesuatu yang ada di dalam periode perkembangan Gereja pada masa Reformasi Gereja di atas, apabila dicermati melalui perbandingan yang terdapat pada periode sebelumnya, ada pola maju pada jamannya yang

78

(27)

43

digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan pemahaman keselamatan di dalam kehidupan umat, yaitu pola pendidikan atau pengajaran. Cara yang dimiliki umat pada masa ini dipandang memiliki hubungan dengan budaya yang sedang menonjol saat itu, yaitu Renaisance yang berpegang pada pemikiran akan kesadaran diri manusia sebagai tindakan kritis dan ilmiah, serta Barok yang menekankan kebebasan manusia untuk mengungkapkan kemampuan diri sebagai hak asasinya.79

Periode terakhir di dalam perkembangan Gereja hingga saat ini adalah masa Pasca Reformasi Gereja. Sebutan ini memang belum baku. Apabila menggunakan istilah Rasid, maka istilah untuk menyebut masa tersebut adalah jaman modern. Sebutan itu berpijak pada perkembangan Gereja pada abad ke-20 dengan keterbukaan yang luas terhadap berbagai sisi yang menjadi kehidupan umat di dunia ini.80 Namun terkait dengan perhatian yang kian terbuka pada jaman tersebut, Martasudjita memberikan sebutan lain, yaitu jaman pembaruan hingga abad ke-20. Dasarnya adalah gerakan yang telah dimulai semenjak reformasi Gereja melalui Konsili Trente dan berpuncak pada Konsili Vatikan II, di mana Gereja semakin membuka diri terhadap umat dalam keikutsertaan mereka di tengah peribadahan selaras dengan sisi-sisi dan pergumulan nyata dari umat saat ini.81 Apapun sebutan-nya, masa-masa tersebut adalah masa yang memiliki hubungan erat dan memang merupakan kelanjutan dari masa reformasi Gereja. Karena itu di

79

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 92-93.

80

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 192-193.

81

(28)

44

dalam periode ini bisa disebut juga sebagai masa Pasca Reformasi Gereja, atau Jaman Gereja Masa Kini.

Pemahaman akan perubahan di dalam perkembangan pada masa ini tidak bisa hanya dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh kalangan Gereja Protestan saja, tetapi juga pada kehidupan Gereja Katholik (Gereja Romawi Barat). Sebab di antara keduanya sama-sama melakukan pembaruan. Di antara Gereja Protestan maupun Gereja Katholik pada masa ini sama-sama berusaha untuk semakin dapat memberikan hak dan tanggung jawab umat sebagai pengakuan dan pemberian tempat atas peran serta mereka di dalam tata peribadahan dengan mengacu pada tradisi Gereja Perdana. Bahkan kesadaran oikumenis beserta dengan pergumulan masyarakat dan budaya di mana umat tinggal dan hidup di dalamnya juga semakin mendapat tempat yang penting sebagaimana dikenal adanya gerakan-gerakan oleh lembaga-lembaga internasional bersama dengan Dewan Gereja Dunia ataupun kebijakan Vatikan dengan istilah adaptasi,

kontekstualisasi, inkarnasi, inkulturisasi, enkulturisasi, akulturisasi,

indigenesasi (pempribumian), dan lain sebagainya, untuk mendaratkan teologi bagi liturgi peribadahan umat Kristen itu sendiri.

(29)

pengajaran-45

nya. Pola masing-masing Gereja tersebut sangat nyata dipengaruhi oleh budaya dan sejarah perkembangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

2.2.5. Liturgi dan Budaya

Merunut uraian sejarah singkat asal-usul dan bagaimana liturgi Kristen berkembang dari penjelasan di atas, ada salah satu segi penting yang begitu berperan di dalam nya, yaitu budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tata peribadahan yang merupakan bentuk dari ritual keagamaan itu tidak lepas dari pengaruh budayanya.82 Seperti dinyatakan oleh Soerjono Soekamto, bahwa ritual adalah suatu sisi keagamaan yang menjadi salah satu unsur pokok pembentuk kebudayaan sekelompok orang atau masyarakat sebagai jalinan erat dan utuh di dalam keberadaan mereka.83 Karena itu pada diri liturgi bisa pula melekat unsur-unsur lain dari sebuah kebudayaan, seperti pandangan hidup, bahasa, seni, peralatan, pencaharian masyarakat, maupun penataan hidup bersama yang dimilikinya.

Selain dari kajian asal usul Paskah dan Baptisan di atas, hubungan liturgi Kristen dengan budaya dapat dilihat pada tafsir yang menjadi sudut teologis. Dari sudut teologis Kristen, kematian Yesus Kristus di kayu salib diyakini sebagai korban penebusan dosa yang sejajar dengan gagasan tentang domba korban penebusan dan pengudusan umat seperti yang

82

Paul Tillic, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 47.

83

(30)

46

terdapat di dalam akar keagamaan orang-orang Yahudi,84 seperti dicatat pula dalam beberapa tulisan-tulisan ayat Kitab Suci Perjanjian Baru.85 Keter-kaitan itu semakin jelas dengan pengabsahan gagasan dasar pandangan Kristen melalui penggunaan pustaka-pustaka yang berasal dan yang digunakan pula oleh Agama Yahudi.

Adapun roti dan anggur sebagai sarana dalam sakramen yang menjadi lambang gagasan dasar dan pusat peribadahan umat Kristen sendiri juga menunjukkan wujud kebudayaan Yahudi. Makanan roti dan minuman anggur adalah pangan olahan orang-orang Yahudi yang banyak dihidangkan untuk makan pokok keluarga maupun pesta. Keduanya sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi kehidupan orang Yahudi sejak jaman kuno, termasuk sebagai barang persembahan di dalam upacara keagamaan.86 Beberapa ayat di dalam teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama juga menyebutkan bahwa roti adalah barang persembahan bakaran yang sama seperti hewan-hewan korban bakaran. Sedangkan anggur merupakan barang persembahan curahan sama seperti darah hewan korban bakaran yang sebelumnya disembelih terlebih dulu dan darahnya dituangkan di atas korban yang sedang dibakar itu.87

84

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 69-71.

85

Yohanes 1:29, 36, I Korintus 5:7b, Ibrani 9:13-14, I Petrus 1:18-19 LAI.

86

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.

87

(31)

47

Demikian pula dengan berbagai kelengkapan dan lambang-lambang yang berkembang di dalam peribadahan hingga sekarang. Pada Kekristenan awal belum banyak ditemukan lambang yang digunakan di dalam per-ibadahan ataupun liturginya. Beberapa lambang yang ada pada waktu itu masih berupa anggur, roti, dan air. Namun dengan berubahnya suasana keadaan waktu dan persebaran umat Kristen muncullah lambang-lambang lain, yang salah satu kegunaannya lebih mengarah pada makna tanda pengenal bagi satuan mereka di tengah lingkungan maupun kedudukan Kekristenan di dalam masyarakat atau negara, serta penunjuk rangkaian masa tahunan di dalam almanak tahunan peribadahan.

Sewaktu terjadi tekanan dan tersingkir dari pusat masyarakat Yahudi maupun kemudian juga di pusat masyarakat Romawi, maka di tengah Kekristenan lahirlah lambang pengenal untuk melakukan hubungan di dalam kesatuan umat berbentuk gambar salib jangkar dan ikan.88 Dilihat dari sudut kebudayaan, keberadaan lambang-lambang itu dimungkinkan berasal dari budaya masyarakat para mengikut Yesus mula-mula, yaitu masyarakat pisisir Galilea yang daerahnya dikuasai bangsa Roma, dengan kehidupan sebagai nelayan.89 Akan tetapi, pada waktu itu semua lambang di atas belum memiliki hubungan secara langsung di dalam peribadahan Kristen. Baru setelah jaman yang memberikan keterbukaan makin luas dari penguasa Roma, maka lambang-lambang tadi mulai masuk di dalam per-ibadahan dan secara berangsur dijadikan sebagai sarana liturgi. Tidak hanya

88

van Den End, Harta dalam Bejana, 29.

89

(32)

48

roti, anggur, dan air saja yang digunakan sebagai lambang di dalam peribadahan, tetapi mulai terdapat berbagai lambang lain, seperti meja altar, salib dan relik, pakaian para imam, dupa, gambar-gambar lambang dan warna-warna masa tahunan almanak Gerejawi, bentuk bangunan dan tata ruang beserta perabotnya, musik maupun nyanyian ibadah, bahkan tata gerak tubuh dan tata peran umat di dalam peribadahan. Kemunculan lambang-lambang itu tidak lepas dari budaya yang ada di lingkup kehidupan umat, khususnya kebudayaan Romawi dan kebudayaan Yunani.

Yang tidak kalah penting dalam perkembangan liturgi yang ber-singgungan dengan budaya secara lebih lanjut adalah gagasan keselamatan yang tidak lagi cukup dalam pribadi Yesus Kristus seperti kepercayaan baku Kekristenan awal, namun pada akhirnya juga ada pribadi lain yang dipandang oleh kaum tertentu ikut menentukan, yaitu santo ataupun santa. Semua perkembangan yang ada di dalam liturgi peribadahan Kristen tersebut disebabkan adanya pengaruh dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat di mana umat Kristen hidup bertumbuh, yaitu faham Yahudi Yunani (Hellenistic Judaism) yang khas dengan sisi pengetahuan filsafat dalam diri kaum Yahudi Diaspora di negeri-negeri daerah Mediteranian, dan dunia kepercayaan Pagan Yunani Roma (Pagan Roman Hellenistic World) yang terwujud dalam teologi, pandangan keselamatan dan pemahaman diri Gereja, maupun tata hubungan yang tersusun di dalam kelembagaan umat.90

90

(33)

49

Kelekatan liturgi sebagai salah satu wujud tindakan keagamaan dengan budaya tersebut ditegaskan pula oleh Retnowati. Meskipun agama merupakan bagian dari kebudayaan, secara sosiologis di antara keduanya saling berhubungan erat sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan perannya di dalam kehidupan manusia.91 Pada sisi lain, hubungan liturgi sebagai salah satu sisi agama dengan kebudayaan itu secara khusus juga nampak dalam kajian Emile Durkheim yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan kegunaannya. Dari kajian Durkheim ada beberapa kegunaan yang menjadi hubungan ritual keagamaan dengan kehidupan umat atau masyarakat. Pertama, ritus yang diungkapkan dengan larangan-larangan (tindakan negatif) maupun pengorbanan dan persembahan (tindakan positif) pada dasarnya menyatakan pandangan-pandangan yang menjadi kesadaran kehidupan bersama (ideologi) dari sekelompok masyarakat sebagai kenyataan dan pusat keyakinan yang disebut dengan istilah “illahi” atau yang “sakral”.92 Sehubungan dengan peribadahan Kristen, maka liturgi dapat dipandang memiliki kegunaan yang sama. Segala sesuatu yang ditunjukkan maupun yang dipergunakan di dalam liturgi dengan segala bentuk lambang-lambang ataupun tanda-tanda yang dipertunjukkan akan selalu mengandung arti atau mengungkapkan makna ideologi yang ditinggikan dan diimani oleh umat atau Gereja.

91

Retnowati, Agama dan Kebudayaan (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), 4-5.

92

(34)

50

Kedua, ritus yang dilakukan oleh umat akan bekerja di dalam pikiran setiap pribadi sekelompok masyarakat dan memberikan ingatan-ingatan terhadap pandangan-pandangan dasar sebagai muatan moral kehidupan melalui peristiwa-peristiwa yang diwujudkan dalam festival dan perayaan maupun kebiasaan-kebiasaan bersama yang dihadirkan kembali sebagai upacara-upacara keagamaan.93 Hal sama ada juga di dalam peribadahan Kristen. Pandangan-pandangan dasar kehidupan iman yang terkandung di dalam segala sesuatu yang ditunjukkan maupun digunakan pada liturgi peribadahan umat akan menjadi wahana transformasi nilai-nilai penting bagi kehidupan moral mereka.

Ketiga, ritus yang dilaksanakan secara terus-menerus dapat menumbuhkan dan memperkuat ikatan antar anggota solidaritas sekelompok masyarakat oleh karena nilai-nilai dasar kehidupan yang menjadi moralitas bersama; demikian pula sebaliknya. Setiap orang yang terus-menrus ada di dalam upacara-upacara keagamaan akan merasa disatukan sekaligus disadarkan akan kesatuan yang menjadi kenyataan yang ada di dalam kehidupan mereka itu.94 Demikian pula dengan pelaksanaan liturgi. Setiap orang yang senantiasa terlibat di dalamnya akan merasakan ikatan di tengah kebersamaan umat; atau lebih pasnya adalah bahwa liturgi akan menimbul-kan suatu ikatan perasaan dan kesadaran yang sama di antara para anggota umat sendiri.

93

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.

94

(35)

51

Keempat, di sisi lain ritus juga menjadi wahana peneguhan dan pem-baruan keberadaan sekelompok masyarakat itu sendiri akan kesatuan sekaligus hakikat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan, melalui keikutsertaan secara terus-menerus.95 Kenyataan itu juga nampak di dalam peribadahan Kristen. Ketika umat selalu mengikuti pelaksanaan liturgi, maka keberadaan mereka akan terjaga dan senantiasa akan bertahan. Akhirnya, yang kelima bahwa ritus yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat bukan saja berkaitan dengan pemeliharaan akan sejarah keyakinan di masa lalu ataupun juga dengan tujuan-tujuan beserta dampak tindakan lahiriah yang hendak dicapai, tetapi sesungguhnya berkaitan dengan masalah pelestarian jatidiri moral sekelompok masyarakat itu juga.96 Pikiran ini tidak berbeda dengan liturgi peribadahan Kristen yang sesungguhnya juga menjadi alat untuk mendapatkan dan sekaligus membangun identitas berdasarkan keyakinan yang menghasilkan nilai-nilai moral bagi kehidupan bersama dari umat.

Beberapa pokok pandangan kegunaan liturgi dari Durkheim tersebut pada intinya ada keselarasan dengan faham Calvin. Dalam pandangan Calvin, liturgi peribadahan Kristen memiliki keterkaitan dengan makna inti dari sebuah keyakinan maupun nilai-nilainya, yang diungkapkan melalui seperangkat tata perilaku tertentu beserta dengan tindakan

95

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.

96

(36)

52

wantahannya.97 Pandangan tentang inti iman itu adalah pengalaman umat akan tindakan penyelamatan Allah yang dinyatakan di dalam kematian dan kebangkitan Yesus yang disebut Krsitus.98 Sedangkan seperangkat tata peri-laku dan tindakan pengejawantahannya tersebut adalah kepercayaan Kristen mendasar yang menjadi sumber nilai-nilai pedoman bagi kehidupan umat (etika), yang diungkapkan dengan merumuskannya dalam seperangkat ajaran (dogma), tata aturan (hukum), tata perhimpunan (organisasi), maupun tata peribadahan (ritus).99

Singkatnya, liturgi adalah salah satu sisi ungkapan keagamaan yang dinyatakan melalui kebudayaan umat sebagai kesatuan keberadaan hidup mereka. Karena itu pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat suasana dan keadaan tertentu dan khas atau kontekstual dari kehidupan umat di tengah masyarakat. Sebab gagasan-gagasan, lambang-lambang dalam wujud benda, gambar, warna, maupun tata perilaku, aneka piranti sesaji maupun perabot, bahkan musik dan bentuk bangunan atau tempat yang dipergunakan dan terangkai untuk menyatakan pandangan dasar yang ditinggikan umat dalam sebuah liturgi merupakan hasil kebudayaan yang berkembang dalam suasana dan keadaan kehidupan masyarakatnya.

97

Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 165-166.

98

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 582-583.

99

Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman

(37)

53

2.2.6. Kontekstualisasi Litugi dalam Budaya

(38)

54

menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak mengabaikan tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan perasaan inferior terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.100 Unsur-unsur kontekstualisasi tersebut memiliki persinggungan dengan definisi teologi kontekstual yang dinyatakan oleh Huang Po Ho, yaitu suatu teologi yang mengambil konteks, situasi dan kondisi daerah tempat tinggal, sejarah dan kebudayaan umat di tengah masyarakat sebagai sumber refleksi dan pengakuan iman, serta untuk membangunan teologi yang dapat membentuk identitas relevan dengan konteksnya.

Selanjutnya, untuk membuat kontekstualisasi sebuah teologi konteks-tual secara umum ada empat langkah, yaitu transplantasi, translasi,

partisipasi, dan rekonstruksi. Langkah transplantasi atau pencangkokan, yaitu upaya memasukkan semua teologi serta pengajaran teologi tradisional atau Teologi Barat, yang banyak dikuasai oleh para misionaris dalam Gereja ke suatu tempat, bahkan teologi yang dibentuk oleh negeri mereka. Kekhasan langkah itu adalah permusuhan dengan budaya pribumi yang dicap sebagai “berhala”, perlu dihancurkan dan diganti. Langkah translasi atau penterjemahan ialah tindakan Gereja di suatu tempat tertentu menge-temukan kebudayaan setempat sebagai alat penafsiran tepat guna. Penterjemahan Alkitab bagi bahasa-bahasa setempat, komunikasi pokok-pokok pengertian teologis, dan ungkapan-ungkapan liturgi beserta seluruh

100

(39)

55

(40)

56

Gereja umat setempat, bergumul dengan cara berteologi yang didasarkan pada sumber-sumber yang dikenal dari konteks kehidupan, sejarah, dan kebudayaan mereka.101

Langkah-langkah kontekstualisasi tersebut di dalam proses per-kembangan membangun teologi kontekstual, perwujudannya dapat dilihat dalam dua bentuk cara pendekatan, yaitu pendekatan indigenisasi dan pendekatan kontekstualisasi. Pendekatan indigenisasi atau pembribumian yang disamakan dengan tahap pendekatan translasi adalah pendekatan yang membawa masuk unsur-unsur kebudayaan setempat untuk menterjemahkan dan memoles teologi yang mereka terima dari Gereja-Gereja Barat, sehingga tidak mengubah isi dan inti teologi yang diterima pula dari para missionaris Barat. Semua teologi itu dihiasi dengan unsur-unsur budaya setempat untuk pengungkapan dan mengkomunikasikannya secara lebih baik dengan masyarakat setempat. Pokok-pokok pengertian maupun pemikiran-pemikiran yang sama dikenali, supaya mencapai tujuan gagasan-gagasan teologi asal yang luas dengan cara ramah dan menarik hati melalui unsur-unsur kebudayaan lazim di masyarakat. Adapun pendekatan kontekstualisasi yang dipandang sebagai cara pewujudan “inkarnasi” Yesus Kristus adalah pendekatan yang mengharuskan teologi berperan serta dalam konteks, dan melekat erat dengan lingkungan masyarakat di tempat Gereja hadir. Pendekatan ini perlu terus dipertajam sesuai dengan perubahan konteks dan lingkungannya. Karena teologi yang mengakar pada lingkungan sejarah dan

101

(41)

57

masyarakat, harus dikerjakan dengan tekat semangat ikut serta tak henti di dalam missi Kekristenan di tengah konteks berwujud.102

Pandangan mengenai cara yang ada di dalam perkembangan liturgi tersebut juga digagas secara mendalam oleh Anscar J. Chupungco. Menurut-nya, kontekstualisasi atau penyesuaian yang disertai dengan penafsiran terhadap unsur-unsur kebudayaan merupakan ciri khas abadi liturgi Kristen sejak awal keberadaannya hingga sekarang. Dimulai dari tindakan Yesus yang meninjau dan memberi arah pemikiran baru terhadap ajaran maupun adat Yahudi serta mengilhaminya dengan misteri ke-Messias-anNya melalui lambang perjamuan Paskah, maka dari waktu ke waktu penyesuaian liturgi beserta pemaknaan terhadap berbagai bentuk kebudayaan dilakukan juga oleh para penerus atau Gereja hingga sekarang selaras dengan lingkungan kehidupannya.103

Penafsiran yang dimaksud adalah pendekatan terhadap sejarah liturgi yang senantiasa mengalami perubahan pelahan-lahan agar umat di dalam kehidupan peribadahannya dapat menemukan sejumlah hubungan maupun kesinambungan perkembangan bentuk-bentuk liturgi. Selain manfaat itu, pendekatan penyesuaian berguna juga untuk melihat bentuk-bentuk liturgi asli supaya mendapatkan kemurnian tafsiran terhadap pelaksanaan-pelaksanaan liturgi yang masih ada hingga sekarang.104 Karena itu konteks-tualisasi pada liturgi dipandang sebagai perlakuan sekaligus pendekatan

102

Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 54-57.

103

Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 13-56.

104

(42)

58

terhadap kesamaan-kesamaan akan nilai-nilai budaya beserta dengan bentuk-bentuk kebiasaan di dalam pelaksanaan liturgi untuk menanamkan gagasan dasar yang dimilikinya.

Sebagai suatu metode, pandangan mengenai kontekstualisasi liturgi tersebut terjabar ke dalam empat pokok model, yaitu model kompromi,

(43)

59

pandangan iman Kristen sedemikian rupa sehingga unsur-unsur itu lenyap sama sekali melalui gagasan-gagasan yang dipandang sama.105

Kontekstualisasi liturgi terhadap budaya beserta dengan pembedaan dalam beberapa model di atas tidak bisa dipisahkan dari tiga asas pokok. Asas pertama adalah hakikat Gereja sebagai kelanjutan dari penjelmaan Sabda Allah.106 Kecuali dosa, Sang Sabda telah merasuki keadaan manusia dan mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi, maupun agama bangsaNya. Penjelmaan Sang Sabda di dalam daging adalah keberadaanNya sebagai seorang Yahudi. Sang Sabda menjadi manusia bukan sekedar manusia tanpa identitas, tetapi manusia tertentu dengan ciri-ciri khas bangsa di tempatNya hadir. Dia mewarisi kecenderungan kodrati, ciri-ciri khas, bakal spiritualitas dan cara mengungkapkan diri yang khas Yahudi. Sejarah penjelmaan menuntut Dia menyamakan diri dengan bangsaNya dalam hati dan budi, dalam daging dan darah. Asas ini membuka pengertian bahwa dengan tidak membatasi lingkup penjelmaan Sang Sabda sebagai manusia, pandangan semacam itu menjamin universalitas Kristus dan InjilNya. Dengan kenyataan bahwa Sang Sabda menjelma menjadi seorang Yahudi, memberikan jaminan dalam kebangkitanNya yang dapat menjelma dalam setiap bangsa dan kebudayaan melalui iman Gereja dan perayaan misteriNya. Dengan demikian perluasan penjelmaan Gereja di berbagai suku bangsa dan kebudayaan akan merupakan perluasan dari universalitas Kristus. Karena itu, penyesuaian bukan masalah mana suka, melainkan

105

Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 15-51.

106

(44)

60

keharusan teologis yang timbul dari tuntutan misteri inkarnasi. Gereja tidak dapat tetap menjadi “orang asing” di tengah suatu bangsa dengan siapa dia hidup, tetapi harus menjadi anak bangsa itu. Dengan memandang bahwa pewahyuan Kristen tetap memiliki keunggulan atas segala ciptaan manusia, maka perwujudannya harus ditemukan pada unsur pribumi yang dapat memperjelas amanat liturgi. Namun, jika menemui keadaan pelik, Gereja harus memiliki alasan teologis yang kuat untuk bisa mengakomodasi tuntutan iman di dalam liturgi sehingga liturgi tidak menjadi asing bagi setiap kebudayaan secara khas melalui susunan, bahasa, ataupun lambang-lambang, tanpa harus kehilangan isi dasarnya.

Asas yang kedua, adalah liturgi sebagai penghormatan atas keagungan Illahi, yang pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat wujud pertemuan pribadi dengan Allah sebagai hal yang utama.107 Sebabnya adalah di dalam liturgi sesungguhnya terdapat makna pendidikan (kateketis), di mana Allah berbicara kepada umatNya, dan di situ pulalah Kristus senantiasa mewarta-kan InjilNya dalam misteri Paskah yang menjadimewarta-kan liturgi sebagai pewartaan iman resmi dari Gereja. Singkatnya, pusat peribadahan Kristen adalah Sabda Allah, yang di dalamnya Kristus menjadi inti liturgi yang tidak bisa digantikan oleh pikiran atau ideologi manusia. Namun demikian kedalaman penyesuaian liturgi tetap dapat diukur dengan penggunaan bahasa yang mencerminkan pikiran umat, sehingga penggunaan lambang-lambang dan corak pribumi dapat membantu menciptakan suasana pribumi

107

(45)

61

dan menjelaskan maksud-maksud tanda liturgis. Selama Gereja mengguna-kan bahasa asing yang pola pikir dan ekspresinya asing pula bagi umat, semua usaha untuk mengadakan penyesuaian tetapi terasa dibuat-buat.

(46)

62 2.3. Budaya Jawa

Telah dinyatakan di dalam batasan istilah pada Bab I, bahwa yang dimaksud dengan budaya Jawa adalah seperangkat pikiran dan tindakan atau perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa, beserta dengan segala wujud maupun hasilnya. Faham Jawa disebut juga Kêjawén, yaitu pandangan kehidupan yang didasarkan pada pokok pengertian keselarasan

(harmoni) antara kenyataan jagad gêdhe(makro kosmos) dengan jagad cilìk

(mikro kosmos) sebagai asas keberadaan dan keselamatan hidup orang Jawa.108 Jagad gêdhe adalah seluruh kenyataan yang ada di alam semesta, dan jagad cilìk adalah kenyataan diri pribadi seseorang sebagai manusia yang keberadaan hidupnya merupakan bagian tidak terpisahkan dan berkaitan erat dengan kenyataan yang ada di alam semesta itu. Kedua jagad itu pada dasarnya satu kesatuan sebagai keteraturan. Penyimpangan salah satu dari jagad itu akan berpengaruh pada keberadaan jagad yang lainnya, dan entah besar atau kecil pasti akan menimbulkan kekacauan atau kaos yang mengakibatkan mala-petaka, derita, dan akhirnya sirna. Karena itu

jagad gêdhe dan jagad cilìk harus selalu selaras, dijaga hubungannya secara harmonis agar terpelihara dan senantiasa tercipta kehidupan, dengan istilah

māmayu hayunìng bawânâ (ikut memelihara keindahan dunia semesta). Apapun wujud dan keadaan di tengah dunia ini telah ditetapkan (pinêsthi) dan semuanya sudah ditata oleh Tuhan (Hyang). Masing-masing memiliki kedudukan serta daya guna yang saling berhubungan dan tidak bisa

108

(47)

63

ditiadakan. Seperti diungkapkan oleh Niels Mulder bahwa dalam kepercayaan orang Jawa, kehidupan di dunia sesungguhnya merupakan bagian dari kesatuan keberadaan segala sesuatu dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi bukan sebagai kebetulan, tetapi sudah dirancang dan ditentukan oleh Hyang Maha Esa, Sang Pencipta kehidupan (Hyang

Suksma) dan Asal-Usul (sumber awal kejadian dan tempat kembalinya) semua ciptaan dalam hubungan tertata dan saling melengkapi secara bertingkat (dari sifat lahiriah hingga batiniah) dan penuh rahasia.109

2.3.1. Faham Kebudayaan Jawa di Tengah Perubahan

Sejak jaman kuno hingga sekarang kebudayaan Jawa sendiri memiliki wujud dan hasil yang senantiasa berkembang. Hal itu disebabkan oleh ber-bagai pengaruh dari dalam dan dari luar masyarakatnya yang bersifat langsung kelihatan (fisik) maupun tidak langsung kelihatan (non fisik). Dalam kajian Koentjaraningrat ada dua sisi yang berpengaruh dalam rangkaian peristiwa perkembangan kebudayaan faham Jawa. Pengaruh pertama adalah kedudukan alam maupun keadaannya, seperti tempat tinggal penduduk Jawa yang terletak di jajaran kepulauan laut wilayah katulistiwa dengan masyarakat pesisir berpencaharian nelayan ataupun dagang, dan masyarakat pedalaman yang berpencaharian petani dengan tanah subur di lingkungan pegunungan maupun gunung-gunung berapi. Keadaan alam ini memiliki pengaruh pada keper-cayaan orang-orang Jawa terhadap

109

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedian Barang dan Jasa Nomor: 16/PPBJ/02.12/DPKP/VI/2014, Tanggal 23 Juni 2014, Dengan ini Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedian Barang dan Jasa Nomor: 12/PPBJ/02.12/DPKP/VI/2014, Tanggal 23 Juni 2014, Dengan ini Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian

Guru meminta peserta didik yang sudah mendapatkan pasangan secara bergiliran membacakan kartu yang mereka dapat..

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedian Barang dan Jasa Nomor: 21/PPBJ/01.12/DPKP/VI/2014, Tanggal 23 Juni 2014, Dengan ini Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian

5. Melalui bimbingan guru, siswa dapat cara menggunakan secara sederhana teknologi produksi masa lalu dan masa kini dengan benar... Melalui diskusi kelompok, siswa

Penjelasan di atas menjelaskan tentang balasan dan ganjaran yang diterima oleh dua kelompok manusia, yaitu kelompok manusia yang disebut sebagai seburuk-buruk

Dalam Petunjuk tehnis pengadaan tanah di dalam Perkaban Nomor 5 Tahun 2012 pada BAB VI Pengadaan Tanah Skala Kecil, tertuang sebagai berikut: Pasal 53 ayat

Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 16 Februari s.d 16 April 2018. Dengan rincian yaitu tanggal 16 Februari saya meminta izin untuk melakukan penelitian di sekolah MIS