• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontrak Derivatif Valuta Asing Tidak Diatur Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Hukum kontrak mengatur pembentukan dan pelaksanaan kontrak. Kontrak merupakan kesepakatan tertulis yang memuat janji-janji berupa ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dibuat oleh dan di antara para pihak. Supaya suatu kontrak dapat eksis harus terdapat suatu tawaran dan penerimaan. Sebagai tambahan, janji-janji yang saling dipertukarkan harus bernilai atau memiliki pertimbangan keuntungan, atau menjadi suatu keuntungan bagi tiap pihak sebagai hasil dari kesepakatan (deal). Apabila salah satu pihak tak mengikuti janji atau kesanggupannya, maka kontrak itu sudah ”cedera” (breached). Seringkali, alasan kontrak derivatif dilanggar karena kondisi ekonomi yang berkenaan dengan kontrak sudah berubah dan kontrak itu sudah tak lagi menguntungkan. Kontrak diatur oleh statutory law (kebiasaan) dan private law (hukum perdata). Dalam tradisi civil law, suatu perikatan dapat terbit dari perbuatan hukum yang merupakan manifestasi dari kehendak satu pihak saya (unilateral juridical act), atau perbuatan hukum yang merupakan manifestasi dari pertukaran kehendak yang dinyatakan dan disepakati oleh para pihak (exchange of wills) dan menjadikannya sebagai bilateral juridical act.232

ini dengan menyusun sebuah Naskah Akademik Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Kontrak. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Hukum Kontrak dilaksanakan oleh sebuah Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: PHN.17.HN 01.03 Tahun 2012 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tahun 2012.

232

Lihat Bayu Seto Hardjowahono et al., Op.Cit., hal 19, Secara tradisional, tradisi civil law memahami pembedaan ke dalam bilateral atau unilateral contracts. Berdasarkan pemikiran ini, sebuah kontrak dianggap Unilateral apabila satu atau beberapa pihak mengikatkan diri pada satu atau beberapa pihak lain, tanpa ada kewajiban yang terbit pada pihak lain itu. Sedangkan kontrak Bilateraladalah kontrak di mana masing-masing pihak mengikatkan diri untuk mentransfer atau melakukan sesuatu yang dianggap setara dengan apa yang ditransfer atau dilakukan baginya (oleh pihak yang lain). Jadi pembedaan unilateral dan bilateral diletakkan pada ada tidaknya kewajiban yang bersifat resiprokal pada saat pelaksanaan kontrak. Bandingkan dengan Konsep yang disimpulkan oleh Tim dalam halaman yang sama dikutip dari Chapter 4, Topic 1, Par. 71 Restatement (Second) of Contracts, Amerika Serikat. American Law Institute, Restatement (Second) of Contracts, 1981: Menjelaskan dalam tradisi Common Law, konsep Unilateral dan Bilateral bertitik tolak dari kontrak sebagai manifestasi dari adanya satu kehendak (unilateral) atau dua kehendak (bilateral) ketika pembentukan kontrak. Apabila pembentukan kontrak diawali dengan adanya penawaran dari pihak offeror yang berjanji untuk melakukan (atau tidak melakukan) suatu tindakan tertentu bila pihak yang lain (offeree) bersedia untuk melakukan (atau tidak melakukan) tindakan tertentu lain, sedangkan pihak yang lain itu (offeree) samasekali tidak terikat untuk membuat janji apapun (option contracts), maka kontrak adalah unilateral. Suatu kontrak baru dipahami sebagai bilateral apabila, baik pihak offeror maupun pihak offeree saling mengikatkan diri untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu untuk kepentingan pihak

Kebiasaaan lazimnya menghendaki bahwa kontrak harus dibuat tertulis, kalau tidak menjadi tidak sah. Hukum perdata mengizinkan (membolehkan) kontrak lisan, bagaimanapun, selalu dengan tegas mengikuti istilah-istilah atau syarat-syarat persetujuan di antara para pihak dan merupakan hal yang lebih sulit untuk dilaksanakan.233

“Contract law governs the creation and enforcement of contracts. Contracts are promises made between parties. In order for a contract to be enforceable, there must be an offer by one party and acceptance by the other party. In addition, the promises that are exchanged must be worth valuable consideration, or be of benefit to each party as a result of the exchange. When one party does not follow through with their promise, then the contract is “breached” oftentimes, the reason a contract is breached is because the economic conditions surrounding the contract have changed and the contract is no longer a benefit. Contracts are regulated by both statutory law and private law. Statutory law usually requires that contract be put in writing, otherwise the contract is invalid. Private law allows oral contracts; however, it strictly follows the terms of the agreement between the parties and is more difficult to enforce.”

234

Kontrak derivatif dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian khusus (sui generis) dan tidak bisa dimasukkan kepada salah satu jenis perjanjian khusus atau bernama sebagaimana diatur dalam KUHPerdata maupun perjanjian yang telah ada dalam praktik perbankan dewasa ini.235

yang lain secara resiprokal. Tidaklah terlalu mengherankan bahwa dalam tradisi common law ini untuk terbentuknya sebuah kontrak bilateral (simple contracts) dituntut adanya syarat consideration. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat, consideration diartikan sebagai “kewajiban adanya pertukaran” (requirement of exchange) yang berupa pelaksanaan janji atau janji-balik yang dibuat salah satu pihak sebagai pertimbangan yang “setara” (bargained for) terhadap janji yang dibuat pihak yang lain. Suatu tindakan atau janjibalik dianggap “setara” apabila ia diminta oleh pihak pemberi janji (promisor) sebagai imbalan atas janji yang diberikannya, dan diberikan oleh pihak penerima janji (promisee) sebagai imbalan atas janji promisor itu

Sehingga kontrak derivatif dimasukkan dalam kontrak tidak bernama dan lebih mengedepankan asas kebebasan berkontrak. Ternyata asas kebebasan berkontrak yang dijadikan dasar kontrak derivatif mengacu kepada standar yang dibuat ISDA (International Swaps and Derivative Association). Bank sudah merasa benar dan membuat kontrak secara tertulis dan menganggap nasabah telah menyetujui isi perjanjian dibuktikan dengan tandatangan dan cap ibu jari yang

233

Syahril Sofyan, Op.Cit., hal 35. 234

Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 17 Nopember 2014

235

dibubuhkan pada akte perjanjian. Sementara dari sisi nasabah menganggap penandatanganan kontrak adalah syarat formal bagi nasabah yang akan berhubungan dengan bank sehingga wajib dipenuhi meskipun tidak mengetahui isi perjanjian tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa transaksi derivatif valuta asing harus dipahami lebih mendalam sebagai transaksi yang memiliki kepribadian yang khas, memiliki karakter transaksi yang bersifat spesifik dalam berbagai jenis mata uang, menjangkau lintas wilayah dan lintas negara. Selain itu perlu dipikirkan bahwa keabsahan dari perjanjian-perjanjian derivatif yang digantungkan pada sesuatu yang ada di masa depan (future contracts).

Sebagai transaksi lintas batas negara (cross border). Kontrak derivatif valuta asing adalah jenis-jenis transaksi yang berisiko tinggi, canggih dan bersifat global dan melibatkan berbagai yurisdiksi hukum yang berbeda. Dengan pertimbangan tersebut diperlukan campur tangan negara dalam membuat aturan yang dapat menjawab kecanggihan sistem keuangan di dunia. Industri perbankan Indonesia sudah tentu terpengaruh oleh proses “globalisasi” dan “multinasionalisasi” tersebut, misalnya bank-bank dapat melakukan transaksi valuta asing di pasar uang internasional dan ada beberapa bank nasional sudah membuka cabang di luar negeri.236 Selain itu dengan adanya liberalisasi perbankan di berbagai negara termasuk Indonesia dan kemajuan teknologi komputer dan informasi telah membuat industri perbankan beroperasi melewati lintas batas negara atau disebut juga dengan internasionalisasi perbankan.237

Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem keuangan yang semakin moderen. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan

236

Yunus husein, Rahasia Bank (Privasi versus kepentingan umum), (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pasca Sarjana. 2003), hal 96.

237

Ibid., hal 95. Lihat juga J.J. Norton, et.al., (ed), International Banking Regulation and Supervision; Change and Transformation in the 1990, (London: Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, 1994), hal. 263. Internasionalisasi perbankan mengandung dua elemen, yaitu bank ikut dalam proses “globalisasi” dan proses “multinasionalisasi”. Proses “globalisasi” menunjuk pada “single global financial market” karena pasar uang domestik menjadi terintegrasi dan saling tergantung satu sama lain. Sementara proses “multinasionalisasi” diartikan sebagai proses ekspansi perbankan melewati batas negara.

pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar-lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Sektor keuangan memainkan peranan krusial dalam sistem perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, dan inovasi teknologi.238

Transaksi derivatif adalah hasil dari inovasi keuangan dan globalisasi sistem keuangan yang perlu diawasi karena melibatkan kecanggihan transaksi dan menggunakan teknologi. Oleh karena itu dapat dimaklumi transaksi derivatif ini menimbulkan kekhawatiran dari pihak otoritas pengawas dan regulator industri keuangan. Pengembangan produk derivatif dianggap memberikan paradigma baru sebagai suatu revolusi yang pentingnya sebanding dengan revolusi industri.239

Pentingnya mengawasi dan mengatur transaksi derivatif sejalan dengan banyaknya kasus transaksi derivatif yang mengakibatkan kerugian. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang tepat dan belum sempurna mengingat transaksi derivatif dalam banyak hal justru dapat membantu menurunkan risiko usaha seperti lindung nilai.

240

Bentuk-bentuk kontrak future dan option yang digunakan untuk lindungi nilai berbagai risiko harga (price risks).241

238

Lihat R. Levine, “Financial Development and Economic Growth (Views and Agenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol. 35, 1997), hal. 688-726.376 Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012.

Pokok persoalan pada kontrak derivatif selama ini adalah bank menawarkan transaksi derivatif kepada nasabah bukan

239

Alfred Steinherr, Loc.Cit. 240

Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 6. 241

untuk tujuan lindung nilai melainkan untuk tujuan trading/spekulatif dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan diluar usaha tradisional seperti pemberian kredit.242

Berdasarkan pemaparan di atas diperlukan keterlibatan pemerintah untuk memberikan aturan yang lebih tegas terhadap transaksi yang diwajibkan dan yang dilarang. Keterlibatan pemerintah dapat dilakukan dengan usulan dan pembentukan aturan undang-undang beserta aturan terkait lainnya yang berguna untuk memberikan aturan dan parameter yang jelas kepada bank dan nasabah sehingga kebebasan berkontrak sebagai perjanjian tidak bernama dalam transaksi derivatif bukan menjadi aturan tanpa batas. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan kontraktual perlu dikembangkan norma-norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum kontrak atau hukum perjanjian (law of contracts) yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian (certainty), keadilan (fairness), dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool).

243

Dengan kata lain sifat-sifat dasar hukum kontrak derivatif itu juga harus pula mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan bersama (common interests) dan kesejahteraan bersama (common good). Di titik inilah orang mulai mempersoalkan peran dan fungsi negara dalam penegakan hukum kontrak.244 Aturan hukum memaksa diartikan secara luas dan mencakup peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa maupun prinsip-prinsip umum tentang ketertiban umum (public order).245

242Dalam banyak kasus yang berkaitan dengan transaksi derivatif valuta asing bukan pada tujuan utama yaitu hedging (lindung nilai). Kegiatan trading perbankan pada saat ini telah menjadi suatu kenyataan yang antara lain diakibatkan oleh tuntutan persaingan usaha antara bank maupun antar-bank dengan lembaga-lembaga keuangan lain. Sebagaimana akan terlihat dari pembahasan disertai ini selanjutnya, penetapan modal bank berdasarkan risiko (risk base capital charge) tidak cukup memadai untuk melindungi bank terhadap kemungkinan exposure risiko. Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang bukan tradisional menjadi semakin meningkat diantaranya masuk dalam pasar valuta asing.

Kenyataan

243Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hal 2. 244Ibid.

245Ibid., hal 13, Mengutip UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC), official

inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan-harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi-transaksi yang dibuatnya (the protection of the legitimate expectations of the parties), khususnya dalam mengantisipasi terjadinya risiko-risiko yang dapat menghambat upaya tersebut.246 Dengan demikian kontrak derivatif memerlukan reformasi selain mengacu kepada standar ISDA. Perlu dipikirkan konsep kontrak derivatif tidak hanya dapat hanya berlangsung di dalam domain kepentingan individual para pihak saja.

3. International Swaps and Derivative Association (ISDA)

Mengamati berbagai perkembangan pengaturan transaksi derivatif di berbagai negara, tampaknya tidak terdapat suatu pola pengaturan yang umum. Walaupun transaksi derivatif merupakan suatu transaksi yang bersifat global, dalam pengaturannya masih tunduk kepada pengaturan hukum domestik dengan penambahan berbagai standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional seperti The International Swaps and Derivative Association (ISDA)247.

International Swaps and Derivatives Association (ISDA) dimaksudkan dalam rangka memudahkan para pelaku transaksi derivatif telah mengeluarkan dokumentasi yang digunakan sebagai “guideline” di mana para pihak bebas untuk memilih tunduk kepada ISDA atau tidak.248

hukum memaksa yang harus dipatuhi para pihak adalah aturan hukum memaksa yang berlaku di negara yang sistem hukumnya seharusnya berlaku karena ditunjuk oleh aturan aturan HPI.

246Ibid.

dibidang keuangan dan pasar derivatif. ISDA memiliki anggota lebih dari 800 anggota institusi dari 64 negara. Anggota-anggota mencakup pasar over the counter (OTC) derivatif yang luas termasuk korporasi, manajer investasi, badan pemerintah dan supranasional, perusahaan asuransi,perusahaan energi dan komoditas, bank Internasional maupun regional. Selain dari anggota pasar komponen penting dari infrastuktur pasar derivatif juga menjadi anggota seperti bursa, lembaga penyelesaian transaksi dan penyimpanan dan juga firma hukum, firma akuntansi dan penyedia jasa lainnya.

248

The International Swaps and Derivatives Association (ISDA) baru-baru ini mengeluarkan Model Undang-Undang Netting 2006, yang merupakan model law yang akan memastikan berlakunya close-out netting bilateral maupun multi-branch, dan juga berlakunya pledge dan

title transfer dalam pengaturan agunan (collateral arrangements). Model law ini merupakan model bermanfaat dan sumber yang penting untuk yurisdiksi yang ingin merancang dan menerapkan reformasi legislatif.249

Persoalan lain dari pengaturan transaksi derivatif adalah sifat lintas batas (cross border)

dari transaksi derivatif yang tersebar dalam aturan yang dibuat oleh organisasi internasional seperti :250

Pertama, Bank for International Settlement (BIS); Kedua, Group of Thirty (G30);

Ketiga, International Swaps and Derivatives Association (ISDA);

Keempat, International Organization of Securities Commissions (IOS-CO).

Ketentuan mengenai transaksi derivatif yang dikeluarkan oleh berbagai negara dewasa ini pada umumnya mengacu kepada ketentuan internasional tersebut di atas dan cenderung dalam bentuk pedoman (guidelines). Secara nasional, sektor keuangan diatur dengan berbagai produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kemampuan organisasi/asosiasi yang menerapkan self- regulation tersebut mulai dipertanyakan. Sebahagian karena semakin banyaknya bukti bahwa beberapa pelanggar hukum paling berat merupakan bagian dari asosiasi tersebut yang menunjukkan sedikit keinginan untuk tunduk kepada aturannya sendiri. Apa yang sebelumnya

249

Ibid, hal 185. 250

dipandang sebagai masalah privat dari self-regulation kini menjadi masalah yang melibatkan kepentingan publik, dan sebagai konsekuensinya keterlibatan negara dianggap perlu.251

Dalam praktek transaksi derivatif yang menggunakan standar kontrak yang dibuat ISDA mengalami permasalahan di Indonesia. Dalam kasus Sengketa antara PT.Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd, dimana duduk perkaranya sebagai berikut

252

251

GeorgeP.Gilian, Regulating the Financial Services Sector, (The Hague-London-Boston: Kluwer Law International, 1999), hal 3.

: PT.Bangun Karya Pratama Lestari adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan badan hukum Negara Republik Indonesia selaku penggugat dan Nine AM Ltd adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Negara bagian Texas, Amerika Serikat adalah tergugat. Kedua belah pihak mengadakan perjanjian pinjam meminjam (loan agreement), tanggal 23 april 2010 dimana penggugat selaku debitur mendapat pinjaman sebesar USD 4,422,000.- untuk membeli 6 (enam) truk Caterpillar. Bahwa dalam pasal 18 perjanjian tersebut (loan agreement) menentukan “Perjanjian ini diatur oleh dan ditafsirkan menurut hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya, debitur memilih domisili hukum tetap di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sekalipun perjanjian tunduk kepada hukum di Indonesia tetapi dibuat dalam bahasa Inggris. Menurut penggugat perjanjian tersebut dalam bentuk standar kontrak dimana debitur selaku penggugat tinggal menandatangani saja. Dalam gugatannya debitur melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa perjanjian dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris, maka berdasarkan pasal 31 ayat (1) UU No. 24 tahun 2009 perjanjian tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan mengikat (null & avoid; nietig). Dalam hal ini suatu perjanjian derivatif haruslah

252

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar. tanggal 20 juni 2013, Dalam kasus Sengketa antara PT.Bangun Karya Pratama Lestari melawan Nine AM Ltd.

dicermati oleh kedua belah pihak dikarenakan tingkat kerumitan yang ditawarkan perjanjian ini amatlah tinggi.253

Debitur selaku penggugat memberikan alasan berpedoman pada syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUHPerdata salah satunya adalah suatu sebab yang halal serta pasal 1335 KUHPerdata “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Serta pasal 1337 KUHPerdata yang isinya “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Tergugat Nine AM Ltd menolak gugatan penggugat dengan menyatakan bahwa pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan berisi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, Lembaga swasta Indonesia atau perseorangan Warga Negara Indonesia”.Tergugat menyebutkan bahwa dalam pasal 40 UU No.24/2009 dinyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 sampai dengan pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.” Dalam Putusannya Pengadilan Jakarta Barat memenangkan penggugat dengan pertimbangan bahasa Indonesia

w a j i b digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia atau perorangan Warga Negara Indonesia. Pengadilan negeri Jakarta Barat menyebutkan Peraturan Presiden sebagai Peraturan Pelaksanaan UU No.24 tahun 2009 yang dimaksud tergugat tidak melumpuhkan kata “wajib”

yang disebutkan dalam pasal 31 ayat (1) UU No. 24 tahun 2009 karena Peraturan Presiden mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Undang-Undang. Tidak dibuatnya perjanjian tersebut dalam Bahasa Indonesia merupakan perjanjian terlarang(Vide pasal 1335 KUHPerdata

.

253

jo. Pasal 1337 KUHPerdata). Dengan tidak terpenuhi syarat esensialia dari syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Pengadilan memutuskan perjanjian (loan agreement) tertanggal 23 april 2010 yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat adalah batal demi hukum.

Dalam jawaban yang diberikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 28 desember 2009 kepada 11 (sebelas) Associates Pengacara perihal klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan UU No.24 tahun 2009 disebutkan penandatanganan perjanjian privat komersial (private commercial agreement) dalam bahasa Inggris tanpa disertai versi bahasa Indonesia tidak melanggar pernyaratan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. Alasannya, dimaksud dengan “lembaga swasta” disini adalah bukan lembaga publik (terkait dengan pemerintah). Dengan demikian, perjanjian yang dibuat dalam versi bahasa Inggris tersebut tetap sah atau tidak batal demi hukum atau tidak dapat dibatalkan, karena pelaksanaan pasal 31 Undang-Undang tersebut menunggu sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 40 Undang-Undang No.24 tahun 2009.

Terkait asas kebebasan berkontrak maka para pihak pada dasarnya secara formal bebas menyatakan apakah bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris atau keduanya. Jika Peraturan Presiden tentang penggunaan bahasa Indonesia (sebagai

implementing regulation) ditetapkan dan diundangkan maka para pihak secara formal terikat ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut yakni selain menggunakan bahasa Inggris juga diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kata, frasa, atau kalimat dalam perjanjian maka para pihak bebas memilih bahasa mana yang dipilih untuk mengartikan kata, frasa, atau kalimat yang menimbulkan penafsiran dimaksud.254

254

Ibid.

Hal tersebut telah banyak mengakibatkan adanya “kesenjangan” antara kebutuhan spesifik perusahaan dengan kebutuhan pengaturan secara umum.255 Secara umum pasar derivatif merupakan pasar antar negara dimana transaksi-transaksi sering terjadi antara para pihak yang terletak di yurisdiksi yang berbeda. Dokumen ISDA yang pada dasarnya terdiri dari perjanjian induk ISDA dan data pendukung lainnya merupakan dokumen standar pasar global untuk transaksi derivatif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam perdagangan internasional dan transaksi keuangan. Para pihak yang masuk dalam transaksi dengan pihak lain berdasarkan perjanjian ISDA diwajibkan mendokumentasikan bahasa Indonesia dapat menghentikan anggota-anggota Indonesia dalam pasar over the counter (OTC ) derivatif global.256

Menterjemahkan dokumen hukum, khususnya dokumen transaksi keuangan seperti ISDA kedalam bahasa Indonesia bukan merupakan hal yang mudah. ISDA dan anggota-anggotanya menyadari bahwa menghasilkan suatu terjemahan dokumen ISDA dengan kwalitas yang baik akan memakan waktu dan tenaga. Waktu adalah sangat penting untuk masuk kedalam setiap transaksi derivatif karena harga yang berlaku adalah nilai pasar yang berlaku pada saat itu. Sehingga apabila diwajibkan untuk menyepakati terjemahan bahasa Indonesia pada saat yang sama dengan bahasa Inggris, hal ini akan membuat para pihak secara praktis tidak mungkin melakukan transaksi. Demikian juga sebaliknya pihak asing yang akan bertransaksi yang harus mengurus infrastuktur dalam bahasa Indonesia dapat memutuskan untuk tidak bertransaksi dengan pihak Indonesia sama sekali. Saat ini banyak transaksi valuta lewat pesan SWIFT yang