• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi di Bidang Pendidikan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim

3. Kontribusi di Bidang Pendidikan

boleh terlalu cepat dalam menentukan organisasi yang akan menjadi tempat perjuangannya. Yang jelas, KH. Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaruan di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial politik. Namun, di sini peneliti lebih memfokuskan pada bidang pendidikan terutama gagasannya tentang pendidikan karakter.

3. Kontribusi di Bidang Pendidikan

Sepulang dari Makkah pada akhir tahun 1933, KH. Wahid Hasyim mulai berjuang dan mengamalkan ilmunya kepada khalayak umum. Langkah yang pertama kali ia lakukan ialah merombak cara kuno sistem pendidikan pesantren, yang proses belajar mengajarnya hanya mendengarkan saja dan menggantungkan makna pada kitab-kitab fiqih.

(Rifa’i, 2009: 29). Keinginan K.H. Wahid Hasyim untuk merubah sistem kuno pesantren tersebut diceritakan oleh Aboebakar dalam Atjeh (2015:

169):

“Hasrat KH. Wahid Hasyim akan mengadakan revolusi dalam dunia pendidikan pesantren sudah mulai nampak. Cara kuno yang hanya terjadi dengan mendengar dan menggantungkan makna pada kitab-kitab fiqih Islam sudah mulai ditinjau kembali oleh K.H. Wahid Hasyim....”

Pada tahun 1935 dimulailah dengan membuka sebuah madrasah yang modern secara besar-besaran, madrasah tersebut dinamakan Madrasah Nizamiyah, suatu lembaga pendidikan madrasah hasil ciptaan KH. Wahid Hasyim sendiri, yang di dalamnya tak hanya pengajaran agama Islam, tetapi madrasah tersebut juga mengajarkan

beberapa cabang ilmu pengetahuan umum, seperti halnya pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Belanda (Atjeh, 2015: 172-172).

Menurut Atjeh (2015: 172) seiring perjalanan waktu, manfaat keberadaan madrasah ini semakin lama semakin terasa oleh kalangan masyarakat. Karena merasa kagum melihat anak-anak Kiai di samping dapat berbahasa Arab, menguasai juga bahasa Inggris dan Belanda.

Madrasah ini semakin subur dan berkembang. Muridnya semakin bertambah. Hal ini membuat KH. Wahid Hasyim menambah dua kelas lagi, yang diisi dengan berpuluh orang murid. Madrasah Nizamiyah sekarang terdiri dari: kelas satu, kelas dua, dan kelas tiga.

Zaini (2011: 38) menerangkan bahwa dalam proses peningkatan kebiasaan membaca dan kualitas pengetahuan siswa, KH.

Wahid Hasyim mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia berjumlah kurang lebih 1000 judul terdiri dari buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer baik ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, Indonesia, dan Jawa. Tak hanya itu, ia juga berlangganan beberapa majalah dan surat kabar.

Kemudian pada tahun 1936, KH. Wahid Hasyim mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam). Dalam organisasi ini, ia menjadi pimpinannya. Dalam organisasi ini pula, disediakan rumah baca yang berisi 500 kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda, yang di dalamnya terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda, dan Inggris (Rifa’i, 2009: 32).

45

Ketika KH. Wahid Hasyim berusia 24 tahun, ia mulai aktif dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Mula-mula ia menjabat sebagai penulis Pengurus Ranting NU Cukir kemudian ia dipilih menjadi Ketua NU di Jombang dan pada tahun 1940 ia dipilih pula menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif. Dalam kedudukan tersebut, ia mendapatkan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan tujuan serta cita-cita yang telah menjadi idam-idamannya bertahun-tahun (Atjeh, 2015: 181).

Menurut Atjeh (2015: 183-188) memang pada waktu KH.

Wahid Hasyim memegang pimpinan bagian Ma’arif PBNU, ia mempergunakan segala kesempatan untuk mengatur urusan pendidikan dan pengajaran dalam NU. Atas dasar inisiatif K.H. Wahid Hasyim, konsulat PBNU Jawa Timur melangsungkan pertemuan di Malang, dimana dibentuk sebuah komisi khusus untuk kepentingan perguruan. Di pertemuan tersebut, terjadilah keputusan yang dihasilkan salah satunya ialah adanya pengkategorian madrasah NU yang diantaranya adalah:

a. Madrasah Umum. Terbagi menjadi beberapa kategori berikut ini:

1) Madrasah Awwaliyah (2 tahun masa belajar);

2) Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun masa belajar);

3) Madrasah Tsanawiyah (3 tahun masa belajar);

4) Madrasah Mu’allimin Wustha;

5) Madrasah Mu’allimin Ulya.

b. Madrasah Ikhtisasiyah (sekolah dengan keahlian khusus):

1) Madrasah Qudat (sekolah hukum);

2) Madrasah Tijarat (sekolah ekonomi);

3) Madrasah Nijarah (sekolah kehutanan);

4) Madrasah Zira’ah (sekolah pertanian).

Zaini (2011: 43) menambahkan bahwa “di bawah kepemimpinan KH. Wahid Hasyim, Ma’arif juga menerbitkan sebuah jurnal Suluh Nahdlatul Ulama yang diterbitkan sebulan sekali. Jurnal tersebut digunakan untuk memberikan informasi tentang pembaruan pendidikan kepada para anggota NU”.

KH. Wahid Hasyim juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama selama tiga periode, yaitu dalam kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 Desember 1950), kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951), dan kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952) (Rifa’i, 2009:

39). Menurut Dhofier (2011: 152) langkah-langkah KH. Wahid Hasyim sangat konkret saat ia menjabat sebagai Menteri Agama. Dalam waktu 6 bulan setelah menjabat sebagai Menteri Agama, ia berhasil mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di hampir setiap keresidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) di Yogyakarta, Bukit Tinggi, Bandung, Malang, serta mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.

Zamakhsyari menambahkan bahwa:

“Semua warisan yang ditanam oleh K.H. Wahid Hasyim ibarat pohon tumbuh dengan subur dan beranak pinak luar biasa banyaknya, tentu mengalami berbagai perubahan nama yang dapat dilihat dengan mudah pada waktu sekarang.

Pohon-47

pohon itu telah membuahkan intelektual-intelektual Muslim yang kini memainkan pentas dalam drama pembangunan peradaban Indonesia modern dengan gagahnya. Kehebatan pemikiran dan kemampuan K.H. Wahid Hasyim mewujudkannya dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam modern mempunyai latar belakang yang panjang (Dhofier, 2011: 152-154).

Demikian kontribusi KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan, adapun karya tulis beliau sangat banyak sekali namun karya-karyanya tidak pernah ia terbitkan dalam satu buku. Karya tulis KH.

Wahid Hasyim tidak hanya tertuang dalam satu tema namun dari bermacam-macam tema mulai dari tema keagamaan, politik, pergerakan, perjuangan, pendidikan, sampai pada mistis. Dari berbagai macam tema tersebut, peneliti lebih berkonsentrasi pada tema pendidikan dan keagamaan karena sesuai dengan pembahasan penelitian ini. Adapun karya-karya tulis KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan dan keagamaan sebagai berikut:

a. Abdullah ‘Ubaid Sebagai Pendidik dalam Suluh NU, Agustus 1941, Tahun ke-1 No. 5 (Atjeh, 2015: 860).

b. Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa, Suara Ansor, Rajab 1360, Th. IV No. 3 (Atjeh, 2015: 866).

c. Pendidikan Ketuhanan, Mimbar Agama, 17 November - 17 Desember 1950, Tahun I No. 5-6 (Atjeh, 2015: 871).

d. Perguruan Tinggi Islam, Pidato menyambut berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara di Medan, 21 Juni 1952 (Atjeh, 2015: 875).

e. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Pidato pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta, 26 September 1951 (Atjeh, 2015:

878).

f. Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan, Kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadits Bukhari, Fa. Widjaya:

Jakarta (Atjeh, 2015: 886).

g. Tuntutan Berpikir, Kata pendahuluan agenda Kementerian Agama 1951 - 1952 (Atjeh, 2015: 894).

h. Nabi Muhammad SAW dan Persaudaraan Manusia, Pidato acara pembukaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jakarta, 2 Januari 1950 (Atjeh, 2015: 754).

i. Kebangkitan Dunia Islam, Mimbar Agama, Maret - April 1951 Tahun II No. 3-4 (Atjeh, 2015: 757).

j. Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Pidato Perayaan Hari Raya Idul Fitri. Pada saat itu, Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) (Atjeh, 2015: 765).

Dokumen terkait