• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Karakter

3. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri peserta didik, sehingga peserta didik mampu memiliki budi pekerti secarautuh, terpadu, dan seimbang. Peserta didik yang memiliki nilai-nilai budipekerti akan menggunakan segala pengetahuan, keterampilan danemosionalnya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Asmani, 2011: 42-43). Tujuan pendidikan karakter dalam pendidikan formal yaitu menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting serta memperbaiki perilaku peserta didik yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (Kesuma dkk., 2011: 137).

Dari berbagai pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan karakter lebih mengarah kepada aspek kepribadian atau individu. Karakter merupakan gambaran dari kepribadian secara utuh dari masing-masing individu seperti: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter dalam pendidikan formal bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter agar peserta didik memiliki budi pekerti. Berangkat dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter pada pendidikan formal bertujuan untuk mendidik peserta didik agar diterima dalam lingkup lingkungan masyarakat dan mempersiapkan peserta didik agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik.

3. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang merumuskan dalam tujuan pendidikan Nasional (Zubaedi, 2011: 72-73).

Menurut Kurniawan (2013: 39-40) adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia berasal dari 4 (empat) sumber. Pertama, agama. Dimana masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Oleh karena itu kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.

Kedua, pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Ketiga, budaya. Nilai Budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang sedemikian penting

25

dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Keempat, Tujuan Pendidikan Nasional. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia.

Kemendiknas (2010) yang sekarang diubah namanya menjadi Kemendikbud telah merumuskan 18 (delapan belas) nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dihimpun dalam Suyadi (2013, 8-9) sebagai berikut:

1. Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan,

2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya,

3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan

hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut,

4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku,

5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya,

6. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya,

7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain,

27

8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain,

9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam,

10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan,

11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri,

12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi,

13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik,

14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu,

15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya,

16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar, 17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang

mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya,

18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama.

4. Konsep Pendidikan Karakter

Konsep dalam pendidikan karakter dapat diketahui melalui perilaku-perilaku sebagai berikut:

1. Keteladanan

Allah SWT dalam mendidik manusia menggunakan sosok figur atau suri tauladan untuk dijadikan sebagai contoh terbaik agar

29

para manusia dapat mudah menyerap dan menerapkannya. Sosok figur atau suri tauladan tersebut diperankan oleh para Nabi atau Rasul, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mumtahanah ayat 6:

“Sesungguhnya Allah Swt hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al-Mumtahanah/60: 6)

Dikuatkan juga dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21: menyebut Allah Swt” (Q.S. Al-Ahzab/33: 21)

Menurut Darmiyati dkk. (2013: 18) dalam pendidikan nilai spiritualitas kehadiran sosok teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Untuk menjalankan strategi ini terdapat 2 (dua) syarat

yang harus dipenuhi. 1) Pendidik maupun orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi murid-murid atau anak-anaknya. 2) Anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak baik terutama Nabi Muhammad SAW, bagi yang beragama Islam dan juga para nabi-nabi yang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembentukan karakter terdapat peranan penting pendidik atau orang tua untuk mengubah karakter peserta didik itu sendiri, dilakukan dengan kebiasaan ketika proses mengajar baik itu di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

2. Kedisiplinan

Disiplin pada hakikatnya adalah suatu ketaatan yang sungguh-sungguh yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas kewajiban serta berprilaku sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku di dalam suatu lingkungan tertentu. Realisasinya harus terlihat (menjelma) dalam perbuatan atau tingkah laku yang nyata, yaitu perbuatan tingkah laku yang sesuai dengan aturan-aturan atau tata kelakuan yang semestinya (Hidayatullah, 2010: 45).

Menurut Lickona (2013: 149) disiplin moral memiliki tujuan jangka panjang untuk membantu anak-anak dan remaja berprilaku secara bertanggung jawab dalam setiap situasi, bukan hanya ketika orang dewasa mengawasi, disiplin moral berusaha

31

membangun sikap hormat siswa pada peraturan, hak-hak orang lain dan kewenangan sah guru, tanggung jawab siswa atas prilaku mereka sendiri dan tanggung jawab mereka terhadap komunitas moral kelas.

Berangkat dari pendapat di atas, kedisiplinan dapat diterapkan pada peserta didik dengan catatan pendidik itu sendiri memperjuangkan dan berkomitmen atas kedisiplinan tersebut, karena bilamana sebuah kedisiplinan tidak diterapkan pada pendidik ataupun sekolah, maka sulit untuk membentuk karakter.

3. Pembiasaan

Menurut Mulyasa (2011: 166) berpendapat bahwa:

“Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.

Pembiasaan menempatkan kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang melekat spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap pekerjaan dan aktivitas lainya”.

Hidayatullah (2010: 50) juga menambahkan sebagai berikut:

“Anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik. Maka diharapkan ia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Sebaliknya jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan, maka ia akan tumbuhmenjadi pelaku kekerasan dan kejahatan yang baru”.

Berdasarkan pendapat di atas, lingkungan dan pola pergaulan bagi seorang peserta didik menjadi faktor utama dalam pembentukan hal-hal yang sifatnya mengarah pada perilaku yang positif. Kemudian tugas pendidik dan orang tua harus mengawasi peserta didik dan anak-anak mereka dalam bergaul, bersikap, serta mengarahkannya..

4. Proses pembentukan karakter

Menurut Adhim (2006: 272) berpendapat bahwa “karakter yang kuat biasanya dibentuk oleh penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui penghayatan dan pengalaman, membangkitkan rasa ingin dan bukan menyibukan diri dengan pengetahuan”.

Menurut Matta (2003: 67) pembentukan karakter dapat dilakukan dengan beberapa kaidah sebagai berikut:

a. Kaidah kebertahapan, artinya proses perubahan, perbaikan, dan pengembangan harus dilakukan secara bertahap.

b. Kaidah kesinambungan, artinya perlu adanya latihan yang dilakukan secara terus-menerus.

c. Kaidah momentum, artinya mempergunakan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan.

33

d. Kaidah motivasi intrinsik, artinya karakter anak terbentuk secara kuat dan sempurna jika didorong oleh keinginan sendiri, bukan karena paksaan dari orang lain.

e. Kaidah pembimbing, artinya perlu bantuan orang lain untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada dilakukan seorang diri. Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru atau pembimbing.

6. Urgensi Pendidikan Karakter

Kata Urgen dimaknai sebagai kebutuhan yang mendesak.

Mendesak artinya bahwa segera untuk diatasi, segera dilaksanakan, dan tidak aka nada potensi yang membahayakan. Dikatakan mendesak karena ada tanda-tanda yang mengharuskan suatu tindakan (Barnawi dan Arifin, 2012: 12).

Barnawi dan Arifin (2012: 14) mengemukakan pendapat bahwa:

“Di era global ini ancaman hilangnya karakter semakin nyata.

Nilai-nilai karakter yang luhur tergusur oleh arus globalisasi, terutama kesalahan dalam memahami makna kebebasan sebagai sebuah demokrasi dan rendahnya filosofi teknologi.

Kemajuan teknologi adalah pisau bermata dua, di satu sisi memberi kemudahan bagi manusia dan di sisi lain memberi dampak negatif.”

Sedangkan Setiawan dalam Barnawi dan Arifin (2012: 14) ia berpendapat bahwa:

“Teknologi dapat menjadi media penghancur bagi umat0020manusia ada tiga hal yakni: Pertama, teknologi

cenderung memudahkan, bisa menjebak orang menjadi sosok yang serba instan atau manja dan tidak menghargai proses.

Kedua, teknologi memang bisa mendekatkan yang jauh, tetapi bisa juga tidak peduli dengan sekelilingnya jika terlalu intens dalam menggunakan teknologi. Ketiga, teknologi bisa memicu perilaku konsumtif, menjadikan seseorang selalu mempromosikan produk terbaru dan membeli yang telah ditawarkan dari internet.”

Sebagaimana yang dituliskan oleh Muhammad Anwar. HM dalam Kompasiana.com (2015, Juni 24):

“Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Jika seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu, Daniel Goeleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya baik karena kesibukan maupun karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, kondisi ini dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan karakter ini memang sangat penting bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan dijadikan sebagai landasan dalam upaya pembentukan kualitas karakter bangsa Indonesia dan akan bermanfaat untuk menghasilkan pribadi yang tidak mengabaikan nilai sosial, seperti toleransi, tanggung jawab, demokratis, dan yang lainnya sehingga terciptalah pribadi yang berkarakter unggul.

B. Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam

Menurut Azzet (2011: 18) berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan dasar dalam pendidikan karakter. Karena keyakinan seseorang terhadap kebenaran nilai yang berasal dari agamanya bisa menjadikan

35

motivasi yang kuat dalam membangun karakter. Sudah tentu anak didik dibangun karakternya berdasarkan nilai-nilai universal dari agama yang dipeluknya masing-masing. Tentu saja dalam konteks penelitian ini adalah agama Islam.

Pendidikan Islam memandang secara esensial bahwa pendidikan karakter ialah pendidikan yang berusaha menanamkan karakter-karakter yang baik pada peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, karakter yang baik itu tersimpul pada karakter pribadi Nabi Muhammad SAW.

Menurut Hidayatullah (2010: 40) bahwa ada 4 (empat) karakter yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW, yaitu:

1. Shidiq

a. Memiliki sistem keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan;

b. Memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

2. Amanah

a. Rasa memiliki tanggungjawab yang tinggi;

b. Memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal;

c. Memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;

d. Memiliki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan.

3. Fathonah

a. Arif dan bijak;

b. Integritas tinggi;

c. Kesadaran untuk belajar;

d. Sikap proaktif;

e. Orientasi kepada Tuhan;

f. Terpercaya dan ternama/terkenal;

g. Menjadi yang terbaik;

h. Empati dan perasaan terharu;

i. Kematangan emosi;

j. Keseimbangan;

k. Jiwa penyampai misi;

l. Jiwa kompetensi;

m. Memiliki kemampuan adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman;

n. Memiliki kompetensi yang ungggul, bermutu dan berdaya saing tinggi;

o. Memiliki kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual.

4. Tabligh

a. Memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi;

b. Memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif;

37

c. Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik dengan tepat.

C. Biografi KH. Wahid Hasyim 1. Kelahiran

K.H. Wahid Hasyim lahir pada hari Jumat Legi 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 M di desa Tebuireng, Jombang (Atjeh, 2015: 157). Putera pertama dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari pendiri jam’iyyah NU dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas (Rifa’i, 2009: 17). Keturunan dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya, keduanya bertemu di garis pertemuan pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), dari pihak ayah melalui Joko Tingkir, sedangkan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I (Atjeh, 2015: 155). Nama yang pertama diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama kakeknya. Tetapi saat itu karena sering sakit, maka namanya diganti dengan Abdul Wahid (nama salah satu kakek moyangnya). Selama masa kecilnya ia dipanggil oleh ibunya dengan nama Mudin, sedangkan santri ayahnya memanggil ia dengan panggilan Gus Wahid (Zaini, 2011: 6).

Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya tiap-tiap kali mengandung, Nyai Nafiqah yakni ibu KH. Wahid Hasyim itu terganggu kesehatannya. Di saat keadaannya waktu mengandung KH.

Wahid Hasyim, ia sangat merasa lemah dan merasa badannya tidak berdaya dan tidak bertenaga. Dikarenakan itu, sampai-sampai ia bernazar, “bila bayi dalam kandunganku ini nanti lahir dengan selamat

tiada kurang suatu apapun, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan kubawa ia menghadap kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu Kiai M. Kholil Bangkalan”. KH. Kholil ialah seorang ulama besar di dalam masa hidupnya, seseorang yang sangat shaleh dan zahid, sehingga oleh murid-muridnya sangat dicintai dan bahkan namanya disebut dengan Waliyullah KH. Kholil (Atjeh, 2015: 157).

Akhirnya Nyai Nafiqah melahirkan bayinya dengan selamat.

Menurut Atjeh (2015: 158-159) ketika waktu baru berumur 3 bulan bayi KH. Wahid Hasyim dibawa ke Madura untuk melepaskan nazar kepada KH. Kholil Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, waktu sudah malam dan keadaan cuaca sedang hujan rintik-rintik. Di kediaman itu terlihat sepi. Dengan beberapa kali dipanggil, akhirnya muncul dari dalam rumah itu seseorang yang perawakannya berjanggut putih panjang.

Seseorang itu kemudian berkata, “kamu sekalian tidak saya izinkan masuk ke rumah saya, dan tiada pula saya izinkan pergi dari situ, pendek kata, kamu harus tetap berada dalam tempatmu itu sekarang, sampai ada perintah lagi dari saya”.

Sesaat mendengar pernyataan itu, Nyai Nafiqah merasa kasihan melihat bayi kecilnya menggigil kedinginan karena terguyur air hujan. Lalu ia meneduh di tepi rumah. Di situ, Nyai Nafiqah tak henti-henti melafalkan “La ilaha illa Allah, Ya hayyu ya qayyum”. Mengetahui bahwasanya Nyai Nafiqah berteduh, KH. Kholil marah dan meminta agar bayinya dibawa kembali ke halaman yang sedang hujan lebat. Nyai

39

Nafiqah hanya bisa menuruti perintah itu dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan, bayi itu diletakkan kembali dalam pangkuan ibunya yang sedang diguyur hujan lebat (Roziqin dkk., 2009: 30).

Setelah itu, Nyai Nafiqah pulang kembali ke Jombang dengan pertanyaan yang tidak terjawab pada saat itu, mengapa KH. Kholil memperlakukannya seperti itu. Ternyata, peristiwa tersebut menjadi pertanda bahwa kelak nanti KH. Wahid Hasyim akan menjadi orang besar. Ada pula yang mengkaitkan dengan wafatnya KH. Wahid Hasyim melaui kecelakaan mobil saat perjalanan antara Bandung – Ciamis.

2. Riwayat Pendidikan

KH. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selama belajar di Pondok Pesantren dan Madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Dia mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal di luar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik (Rifa’i, 2009: 23).

Menurut Atjeh (2015: 162) K.H. Abdul Wahid Hasyim terkenal pendiam dan peramah, serta pandai mengambil hati orang. Saat usia 5 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya tiap lepas ibadah sholat maghrib dan dzuhur, ia pun bersekolah di waktu pagi di Madarasah Salafiyah di Tebuireng. Saat usia 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul Qarib, Mutammimah, Minhajul Qawim pada ayahnya juga.

Kemudia di saat usia 12 tahun, ia telah tamat dari madrasah, dan mulai mengajarkan kitab pada adiknya yakni Karim Hasyim pada malam hari.

Kemudian pada waktu berusia 13 tahun, ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo. Di pondok tersebut, ia mempelajari kitab-kitab seperti: Sulamut Taufiq, Bidayah, Taqrib, dan Tafsir Jalalain.

Pengajarnya itu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Khozin Panji. Akan tetapi sayang, ia belajar di Panji itu tidak lama, hanya 25 (dua puluh lima) hari.

Pada tahun berikutnya, ia pergi untuk belajar di Pondok Pesantren di Lirboyo, Kediri, akan tetapi belajar yang kedua kali ini pun hanya untuk beberapa hari (Atjeh, 2015: 162).

Meskipun KH. Wahid Hasyim telah pandai bahasa Arab dan juga kitab-kitab bahasa Arab, tetapi ia belum bisa membaca tulisan latin.

Ia baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Namun dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah bisa menguasainya. Zaini (2011: 13) mengasumsikan KH. Wahid Hasyim belajar huruf latin pada sepupunya Moh. Ilyas setelah lulus dari HIS (Hollands-Inlandsche School) dan datang ke Tebuireng untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1925.

Oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim walaupun ia tidak menempuh sekolah di lembaga pendidikan umum, namun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris serta bahasa Belanda pada usia 15 tahun. Kedua bahasa asing itu ia pelajari dengan membaca majalah yang ia dapat dari dalam negeri maupun kiriman dari luar negeri (Rifa’i, 2009:

24).

41

Aboebakar mengatakan dalam Atjeh (2015: 162):

“Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin dan dengan bersungguh-sungguh ia belajar mati-matian ilmu pengetahuan secara belajar sendiri. Sejak itu ia berlangganan “Penyebar Semangat”, “Daulat Rakyat”, dan “Panji Pustaka”, sedang dari luar negeri ia berlangganan “Ummul Qura”, “Shautul Hijaz”,

“al-Latha’iful Muswarah”, “Kullusyaiin wad-Dunya”, dan “Al-Itsnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari “Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama Majalah Tiga Bahasa. Ia mengambil 2 macam bahasa, bahasa Belanda dan Arab.”

Sejak usia itu, ia berlangganan majalah-majalah dari luar. Pada saat usia 15 tahun itulah ia benar-benar menjadi seorang yang kutu buku.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Aboebakar:

“Mulai umur 15 tahun pulalah ia benar-benar mejadi penggemar bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Yang demikian itu mungkin disebabkan ia telah merasakan sendiri

“Mulai umur 15 tahun pulalah ia benar-benar mejadi penggemar bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Yang demikian itu mungkin disebabkan ia telah merasakan sendiri

Dokumen terkait