• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam

BAB II KAJIAN TEORI

B. Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam

cenderung memudahkan, bisa menjebak orang menjadi sosok yang serba instan atau manja dan tidak menghargai proses.

Kedua, teknologi memang bisa mendekatkan yang jauh, tetapi bisa juga tidak peduli dengan sekelilingnya jika terlalu intens dalam menggunakan teknologi. Ketiga, teknologi bisa memicu perilaku konsumtif, menjadikan seseorang selalu mempromosikan produk terbaru dan membeli yang telah ditawarkan dari internet.”

Sebagaimana yang dituliskan oleh Muhammad Anwar. HM dalam Kompasiana.com (2015, Juni 24):

“Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Jika seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu, Daniel Goeleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya baik karena kesibukan maupun karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, kondisi ini dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan karakter ini memang sangat penting bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan dijadikan sebagai landasan dalam upaya pembentukan kualitas karakter bangsa Indonesia dan akan bermanfaat untuk menghasilkan pribadi yang tidak mengabaikan nilai sosial, seperti toleransi, tanggung jawab, demokratis, dan yang lainnya sehingga terciptalah pribadi yang berkarakter unggul.

B. Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam

Menurut Azzet (2011: 18) berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan dasar dalam pendidikan karakter. Karena keyakinan seseorang terhadap kebenaran nilai yang berasal dari agamanya bisa menjadikan

35

motivasi yang kuat dalam membangun karakter. Sudah tentu anak didik dibangun karakternya berdasarkan nilai-nilai universal dari agama yang dipeluknya masing-masing. Tentu saja dalam konteks penelitian ini adalah agama Islam.

Pendidikan Islam memandang secara esensial bahwa pendidikan karakter ialah pendidikan yang berusaha menanamkan karakter-karakter yang baik pada peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, karakter yang baik itu tersimpul pada karakter pribadi Nabi Muhammad SAW.

Menurut Hidayatullah (2010: 40) bahwa ada 4 (empat) karakter yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW, yaitu:

1. Shidiq

a. Memiliki sistem keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan;

b. Memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

2. Amanah

a. Rasa memiliki tanggungjawab yang tinggi;

b. Memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal;

c. Memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;

d. Memiliki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan.

3. Fathonah

a. Arif dan bijak;

b. Integritas tinggi;

c. Kesadaran untuk belajar;

d. Sikap proaktif;

e. Orientasi kepada Tuhan;

f. Terpercaya dan ternama/terkenal;

g. Menjadi yang terbaik;

h. Empati dan perasaan terharu;

i. Kematangan emosi;

j. Keseimbangan;

k. Jiwa penyampai misi;

l. Jiwa kompetensi;

m. Memiliki kemampuan adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman;

n. Memiliki kompetensi yang ungggul, bermutu dan berdaya saing tinggi;

o. Memiliki kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual.

4. Tabligh

a. Memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi;

b. Memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif;

37

c. Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik dengan tepat.

C. Biografi KH. Wahid Hasyim 1. Kelahiran

K.H. Wahid Hasyim lahir pada hari Jumat Legi 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 M di desa Tebuireng, Jombang (Atjeh, 2015: 157). Putera pertama dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari pendiri jam’iyyah NU dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas (Rifa’i, 2009: 17). Keturunan dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya, keduanya bertemu di garis pertemuan pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), dari pihak ayah melalui Joko Tingkir, sedangkan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I (Atjeh, 2015: 155). Nama yang pertama diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama kakeknya. Tetapi saat itu karena sering sakit, maka namanya diganti dengan Abdul Wahid (nama salah satu kakek moyangnya). Selama masa kecilnya ia dipanggil oleh ibunya dengan nama Mudin, sedangkan santri ayahnya memanggil ia dengan panggilan Gus Wahid (Zaini, 2011: 6).

Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya tiap-tiap kali mengandung, Nyai Nafiqah yakni ibu KH. Wahid Hasyim itu terganggu kesehatannya. Di saat keadaannya waktu mengandung KH.

Wahid Hasyim, ia sangat merasa lemah dan merasa badannya tidak berdaya dan tidak bertenaga. Dikarenakan itu, sampai-sampai ia bernazar, “bila bayi dalam kandunganku ini nanti lahir dengan selamat

tiada kurang suatu apapun, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan kubawa ia menghadap kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu Kiai M. Kholil Bangkalan”. KH. Kholil ialah seorang ulama besar di dalam masa hidupnya, seseorang yang sangat shaleh dan zahid, sehingga oleh murid-muridnya sangat dicintai dan bahkan namanya disebut dengan Waliyullah KH. Kholil (Atjeh, 2015: 157).

Akhirnya Nyai Nafiqah melahirkan bayinya dengan selamat.

Menurut Atjeh (2015: 158-159) ketika waktu baru berumur 3 bulan bayi KH. Wahid Hasyim dibawa ke Madura untuk melepaskan nazar kepada KH. Kholil Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, waktu sudah malam dan keadaan cuaca sedang hujan rintik-rintik. Di kediaman itu terlihat sepi. Dengan beberapa kali dipanggil, akhirnya muncul dari dalam rumah itu seseorang yang perawakannya berjanggut putih panjang.

Seseorang itu kemudian berkata, “kamu sekalian tidak saya izinkan masuk ke rumah saya, dan tiada pula saya izinkan pergi dari situ, pendek kata, kamu harus tetap berada dalam tempatmu itu sekarang, sampai ada perintah lagi dari saya”.

Sesaat mendengar pernyataan itu, Nyai Nafiqah merasa kasihan melihat bayi kecilnya menggigil kedinginan karena terguyur air hujan. Lalu ia meneduh di tepi rumah. Di situ, Nyai Nafiqah tak henti-henti melafalkan “La ilaha illa Allah, Ya hayyu ya qayyum”. Mengetahui bahwasanya Nyai Nafiqah berteduh, KH. Kholil marah dan meminta agar bayinya dibawa kembali ke halaman yang sedang hujan lebat. Nyai

39

Nafiqah hanya bisa menuruti perintah itu dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan, bayi itu diletakkan kembali dalam pangkuan ibunya yang sedang diguyur hujan lebat (Roziqin dkk., 2009: 30).

Setelah itu, Nyai Nafiqah pulang kembali ke Jombang dengan pertanyaan yang tidak terjawab pada saat itu, mengapa KH. Kholil memperlakukannya seperti itu. Ternyata, peristiwa tersebut menjadi pertanda bahwa kelak nanti KH. Wahid Hasyim akan menjadi orang besar. Ada pula yang mengkaitkan dengan wafatnya KH. Wahid Hasyim melaui kecelakaan mobil saat perjalanan antara Bandung – Ciamis.

2. Riwayat Pendidikan

KH. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selama belajar di Pondok Pesantren dan Madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Dia mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal di luar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik (Rifa’i, 2009: 23).

Menurut Atjeh (2015: 162) K.H. Abdul Wahid Hasyim terkenal pendiam dan peramah, serta pandai mengambil hati orang. Saat usia 5 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya tiap lepas ibadah sholat maghrib dan dzuhur, ia pun bersekolah di waktu pagi di Madarasah Salafiyah di Tebuireng. Saat usia 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul Qarib, Mutammimah, Minhajul Qawim pada ayahnya juga.

Kemudia di saat usia 12 tahun, ia telah tamat dari madrasah, dan mulai mengajarkan kitab pada adiknya yakni Karim Hasyim pada malam hari.

Kemudian pada waktu berusia 13 tahun, ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo. Di pondok tersebut, ia mempelajari kitab-kitab seperti: Sulamut Taufiq, Bidayah, Taqrib, dan Tafsir Jalalain.

Pengajarnya itu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Khozin Panji. Akan tetapi sayang, ia belajar di Panji itu tidak lama, hanya 25 (dua puluh lima) hari.

Pada tahun berikutnya, ia pergi untuk belajar di Pondok Pesantren di Lirboyo, Kediri, akan tetapi belajar yang kedua kali ini pun hanya untuk beberapa hari (Atjeh, 2015: 162).

Meskipun KH. Wahid Hasyim telah pandai bahasa Arab dan juga kitab-kitab bahasa Arab, tetapi ia belum bisa membaca tulisan latin.

Ia baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Namun dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah bisa menguasainya. Zaini (2011: 13) mengasumsikan KH. Wahid Hasyim belajar huruf latin pada sepupunya Moh. Ilyas setelah lulus dari HIS (Hollands-Inlandsche School) dan datang ke Tebuireng untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1925.

Oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim walaupun ia tidak menempuh sekolah di lembaga pendidikan umum, namun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris serta bahasa Belanda pada usia 15 tahun. Kedua bahasa asing itu ia pelajari dengan membaca majalah yang ia dapat dari dalam negeri maupun kiriman dari luar negeri (Rifa’i, 2009:

24).

41

Aboebakar mengatakan dalam Atjeh (2015: 162):

“Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin dan dengan bersungguh-sungguh ia belajar mati-matian ilmu pengetahuan secara belajar sendiri. Sejak itu ia berlangganan “Penyebar Semangat”, “Daulat Rakyat”, dan “Panji Pustaka”, sedang dari luar negeri ia berlangganan “Ummul Qura”, “Shautul Hijaz”,

“al-Latha’iful Muswarah”, “Kullusyaiin wad-Dunya”, dan “Al-Itsnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari “Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama Majalah Tiga Bahasa. Ia mengambil 2 macam bahasa, bahasa Belanda dan Arab.”

Sejak usia itu, ia berlangganan majalah-majalah dari luar. Pada saat usia 15 tahun itulah ia benar-benar menjadi seorang yang kutu buku.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Aboebakar:

“Mulai umur 15 tahun pulalah ia benar-benar mejadi penggemar bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Yang demikian itu mungkin disebabkan ia telah merasakan sendiri kenikmatan dan kelezatan membaca, atau mungkin juga mengamalkan nasihat, baca apa saja 5 jam sehari, maka segeralah engkau menjadi terpelajar.” (Atjeh, 2015: 162-163) Kemudian pada tahun 1931, ia mulai mengajar kitab Kafrawi dan Ad-Durarul Bahiyah pada pelajar-pelajar saat malam hari, dan terkadang ia juga diminta berpidato jika ada rapat umum. Singkat kata, pengaruhnya sudah mulai tampak. Proses ini ialah proses meningkatkan mental untuk menjadi calon pendidik dan pemimpin di masa depan (Rifa’i, 2009: 25).

Saat usianya 18 tahun, KH. Wahid Hasyim dikirimkan ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, namun juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiaannya ini ditemani oleh sepupuya KH. Moh. Ilyas. Di Makkah ia belajar selama kurun

waktu dua tahun (Roziqin dkk., 2009: 32). Menurut Rifa’i (2009: 26) selama ia di Makkah, KH. Wahid Hasyim banyak berteman dengan bermacam-macam asal kebangsaan. Sebab karena itu ia menjadi berpikir secara luas, terbuka, dan tidak fanatik dalam menghadapi suatu persoalan. KH. Wahid Hasyim juga meyakini jika ajaran Islam dapat mencapai kemajuan dan persatuan bangsa dan dapat membawa manusia ke arah perdamaian. Seperti apa yang diceritakan oleh Aboebakar dalam Atjeh (2015: 167-168):

“Orang-orang Indonesia yang datang mempelajari agama Islam di Makkah hendaklah paham bahasa Arab dan huruf Arab.

Kecakapan ini ada pada K.H. Wahid Hasyim dan oleh karena itu, dengan mudah ia dapat mengikuti pelajaran-pelajaran Islam di Makkah. Pergaulan dengan bermacam-macam bangsa Islam yang sama datang ke Makkah untuk kepentingan ibadah dan mencari ilmu pengetahuan agama, membuat K.H. Wahid Hasyim luas dalam berpikir dan tidak ta’assub dalam menghadapi persoalan. Pelajaran Islam dan pergaulan dengan pemeluk-pemeluknya yang beraneka warna membuat ia yakin, bahwa Islam dapat mencapai kemajuan dan persatuan, yang akan dapat menuntun manusia ke arah perdamaian dunia”.

Menurut Zaini (2011: 14) sepulang dari Makkah, KH. Wahid Hasyim mulai merintis karir sebagai seorang ulama, pertama-tama ia menjadi staf pengajar di Tebuireng. Ia ditunjuk sebagai asisten ayahnya yang bertugas menjaga kesinambungan proses belajar mengajar, menjawab surat-surat yang berkaitan dengan fiqih yang ditujukan kepada ayahnya serta ia juga mendatangi pengajian atau menjadi penceramah.

Pada sumber lain, Roziqin dkk. (2009: 32) menceritakan sepulangnya dari Makkah, kawan-kawan KH. Wahid Hasyim mengajaknya untuk aktif di perhimpunan. Namun, ajakan itu ia tolak. Menurutnya, ia tidak

43

boleh terlalu cepat dalam menentukan organisasi yang akan menjadi tempat perjuangannya. Yang jelas, KH. Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaruan di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial politik. Namun, di sini peneliti lebih memfokuskan pada bidang pendidikan terutama gagasannya tentang pendidikan karakter.

3. Kontribusi di Bidang Pendidikan

Sepulang dari Makkah pada akhir tahun 1933, KH. Wahid Hasyim mulai berjuang dan mengamalkan ilmunya kepada khalayak umum. Langkah yang pertama kali ia lakukan ialah merombak cara kuno sistem pendidikan pesantren, yang proses belajar mengajarnya hanya mendengarkan saja dan menggantungkan makna pada kitab-kitab fiqih.

(Rifa’i, 2009: 29). Keinginan K.H. Wahid Hasyim untuk merubah sistem kuno pesantren tersebut diceritakan oleh Aboebakar dalam Atjeh (2015:

169):

“Hasrat KH. Wahid Hasyim akan mengadakan revolusi dalam dunia pendidikan pesantren sudah mulai nampak. Cara kuno yang hanya terjadi dengan mendengar dan menggantungkan makna pada kitab-kitab fiqih Islam sudah mulai ditinjau kembali oleh K.H. Wahid Hasyim....”

Pada tahun 1935 dimulailah dengan membuka sebuah madrasah yang modern secara besar-besaran, madrasah tersebut dinamakan Madrasah Nizamiyah, suatu lembaga pendidikan madrasah hasil ciptaan KH. Wahid Hasyim sendiri, yang di dalamnya tak hanya pengajaran agama Islam, tetapi madrasah tersebut juga mengajarkan

beberapa cabang ilmu pengetahuan umum, seperti halnya pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Belanda (Atjeh, 2015: 172-172).

Menurut Atjeh (2015: 172) seiring perjalanan waktu, manfaat keberadaan madrasah ini semakin lama semakin terasa oleh kalangan masyarakat. Karena merasa kagum melihat anak-anak Kiai di samping dapat berbahasa Arab, menguasai juga bahasa Inggris dan Belanda.

Madrasah ini semakin subur dan berkembang. Muridnya semakin bertambah. Hal ini membuat KH. Wahid Hasyim menambah dua kelas lagi, yang diisi dengan berpuluh orang murid. Madrasah Nizamiyah sekarang terdiri dari: kelas satu, kelas dua, dan kelas tiga.

Zaini (2011: 38) menerangkan bahwa dalam proses peningkatan kebiasaan membaca dan kualitas pengetahuan siswa, KH.

Wahid Hasyim mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia berjumlah kurang lebih 1000 judul terdiri dari buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer baik ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, Indonesia, dan Jawa. Tak hanya itu, ia juga berlangganan beberapa majalah dan surat kabar.

Kemudian pada tahun 1936, KH. Wahid Hasyim mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam). Dalam organisasi ini, ia menjadi pimpinannya. Dalam organisasi ini pula, disediakan rumah baca yang berisi 500 kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda, yang di dalamnya terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda, dan Inggris (Rifa’i, 2009: 32).

45

Ketika KH. Wahid Hasyim berusia 24 tahun, ia mulai aktif dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Mula-mula ia menjabat sebagai penulis Pengurus Ranting NU Cukir kemudian ia dipilih menjadi Ketua NU di Jombang dan pada tahun 1940 ia dipilih pula menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif. Dalam kedudukan tersebut, ia mendapatkan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan tujuan serta cita-cita yang telah menjadi idam-idamannya bertahun-tahun (Atjeh, 2015: 181).

Menurut Atjeh (2015: 183-188) memang pada waktu KH.

Wahid Hasyim memegang pimpinan bagian Ma’arif PBNU, ia mempergunakan segala kesempatan untuk mengatur urusan pendidikan dan pengajaran dalam NU. Atas dasar inisiatif K.H. Wahid Hasyim, konsulat PBNU Jawa Timur melangsungkan pertemuan di Malang, dimana dibentuk sebuah komisi khusus untuk kepentingan perguruan. Di pertemuan tersebut, terjadilah keputusan yang dihasilkan salah satunya ialah adanya pengkategorian madrasah NU yang diantaranya adalah:

a. Madrasah Umum. Terbagi menjadi beberapa kategori berikut ini:

1) Madrasah Awwaliyah (2 tahun masa belajar);

2) Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun masa belajar);

3) Madrasah Tsanawiyah (3 tahun masa belajar);

4) Madrasah Mu’allimin Wustha;

5) Madrasah Mu’allimin Ulya.

b. Madrasah Ikhtisasiyah (sekolah dengan keahlian khusus):

1) Madrasah Qudat (sekolah hukum);

2) Madrasah Tijarat (sekolah ekonomi);

3) Madrasah Nijarah (sekolah kehutanan);

4) Madrasah Zira’ah (sekolah pertanian).

Zaini (2011: 43) menambahkan bahwa “di bawah kepemimpinan KH. Wahid Hasyim, Ma’arif juga menerbitkan sebuah jurnal Suluh Nahdlatul Ulama yang diterbitkan sebulan sekali. Jurnal tersebut digunakan untuk memberikan informasi tentang pembaruan pendidikan kepada para anggota NU”.

KH. Wahid Hasyim juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama selama tiga periode, yaitu dalam kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 Desember 1950), kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951), dan kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952) (Rifa’i, 2009:

39). Menurut Dhofier (2011: 152) langkah-langkah KH. Wahid Hasyim sangat konkret saat ia menjabat sebagai Menteri Agama. Dalam waktu 6 bulan setelah menjabat sebagai Menteri Agama, ia berhasil mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di hampir setiap keresidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) di Yogyakarta, Bukit Tinggi, Bandung, Malang, serta mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.

Zamakhsyari menambahkan bahwa:

“Semua warisan yang ditanam oleh K.H. Wahid Hasyim ibarat pohon tumbuh dengan subur dan beranak pinak luar biasa banyaknya, tentu mengalami berbagai perubahan nama yang dapat dilihat dengan mudah pada waktu sekarang.

Pohon-47

pohon itu telah membuahkan intelektual-intelektual Muslim yang kini memainkan pentas dalam drama pembangunan peradaban Indonesia modern dengan gagahnya. Kehebatan pemikiran dan kemampuan K.H. Wahid Hasyim mewujudkannya dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam modern mempunyai latar belakang yang panjang (Dhofier, 2011: 152-154).

Demikian kontribusi KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan, adapun karya tulis beliau sangat banyak sekali namun karya-karyanya tidak pernah ia terbitkan dalam satu buku. Karya tulis KH.

Wahid Hasyim tidak hanya tertuang dalam satu tema namun dari bermacam-macam tema mulai dari tema keagamaan, politik, pergerakan, perjuangan, pendidikan, sampai pada mistis. Dari berbagai macam tema tersebut, peneliti lebih berkonsentrasi pada tema pendidikan dan keagamaan karena sesuai dengan pembahasan penelitian ini. Adapun karya-karya tulis KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan dan keagamaan sebagai berikut:

a. Abdullah ‘Ubaid Sebagai Pendidik dalam Suluh NU, Agustus 1941, Tahun ke-1 No. 5 (Atjeh, 2015: 860).

b. Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa, Suara Ansor, Rajab 1360, Th. IV No. 3 (Atjeh, 2015: 866).

c. Pendidikan Ketuhanan, Mimbar Agama, 17 November - 17 Desember 1950, Tahun I No. 5-6 (Atjeh, 2015: 871).

d. Perguruan Tinggi Islam, Pidato menyambut berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara di Medan, 21 Juni 1952 (Atjeh, 2015: 875).

e. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Pidato pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta, 26 September 1951 (Atjeh, 2015:

878).

f. Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan, Kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadits Bukhari, Fa. Widjaya:

Jakarta (Atjeh, 2015: 886).

g. Tuntutan Berpikir, Kata pendahuluan agenda Kementerian Agama 1951 - 1952 (Atjeh, 2015: 894).

h. Nabi Muhammad SAW dan Persaudaraan Manusia, Pidato acara pembukaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jakarta, 2 Januari 1950 (Atjeh, 2015: 754).

i. Kebangkitan Dunia Islam, Mimbar Agama, Maret - April 1951 Tahun II No. 3-4 (Atjeh, 2015: 757).

j. Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Pidato Perayaan Hari Raya Idul Fitri. Pada saat itu, Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) (Atjeh, 2015: 765).

D. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Wahid Hasyim

Dalam karya tulis yang berjudul Abdullah ‘Ubaid Sebagai Pendidik, Rifa’i (2009: 17) menjelaskan bahwa:

“KH. Wahid Hasyim menunjukan bahwa dirinya adalah seorang pendidikan yang humanis. Pendekatan kemerdekaan dan kebebasan bagi yang dididik tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi subjek, guru dan murid juga sama-sama belajar. Bukan hanya itu, K.H. Wahid Hasyim mengungkapkan bagaimana pentingnya menanamkan sikap percaya diri, dan mandiri.”

49

Di dalam karya tulisan tersebut terdapat cerita sederhana namun bermakna sangat penting terhadap dunia pendidikan. Mulanya bagaimana KH. Wahid Hasyim kedatangan tamu yang bernama Abdullah ‘Ubaid dan kedua anaknya. Pelajaran penting terjadi di saat KH. Wahid Hasyim hendak menyediakan minuman kepada tamunya.

Peristiwa itu kira-kira terjadi pada pertengahan tahun 1936. Ketika itu sang bapak berkata pada anak itu, “inilah air teh yang engkau minta itu, minumlah!”. Lalu anak menjawab bahwa air itu masih panas. Kemudian sang bapak memberikan saran “tuangkanlah ke piring cangkir.” Sang anak mengatakan bahwasanya ia takut, air tersebut itu nanti tertumpah. Lalu si bapak menjawab, “tertumpah tidak masalah, toh yang mempunyai teh ini tidak akan marah. Bukankah begitu, saudara? (sambil menoleh ke arah K.H.

Wahid Hasyim beserta keluarga)”. Dan K.H. Wahid Hasyim pun menjawab,

“Tidak masalah.” (Atjeh, 2015: 860).

Aboebakar meneruskan setelah anak itu menuangkan air ke piringnya dan menunggu beberapa lama, kira-kira air teh itu sudah dingin, lalu si anak berkata, “Bapak, tolonglah, minumkan air teh ini kepada saya.”.

Kemudian sang bapak menjawab, “Minumlah sendiri, engkau telah cakap meminum. Jangan takut tertumpah!”. Lalu anak menjawab, “Kalau tumpah nanti pakaian akan jadi kotor, jika kotor nanti akan diganti yang bersih (dan memang si anak membawa pakaian ganti).”. Namun, kejadian nyatanya air teh yang diminumnya tidak tumpah.

Dari peristiwa tersebut K.H. Wahid Hasyim menjelaskan dalam Atjeh (2015: 861) bahwa:

“Adapun maksud Sdr. Abdullah Ubaid menyuruh puteranya meminum air teh dengan tenaganya si anak itu sendiri, ialah untuk membiasakan anak itu agar di dalam segala hal senantiasa self help, yakni dapat menyelesaikan kepentingannya dengan tenaganya sendiri. Sungguh sangat penting anak-anak sejak kecilnya dilatih dan dibiasakan bekerja dengan mempergunakan tenang dan kekuatannya sendiri. Sebab dengan membiasakan yang demikian itu, di dalam hati lalu tumbuh kepercayaan yang penuh bahwa diri sendiri adalah cakap untuk mengerjakan dan menyelesaikan apa saja yang dikehendaki.”

Dalam data lain, tulisan KH. Wahid Hasyim yang berjudul Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa. Ia mencermati pentingnya

Dalam data lain, tulisan KH. Wahid Hasyim yang berjudul Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa. Ia mencermati pentingnya

Dokumen terkait