• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim

2. Riwayat Pendidikan

Nafiqah hanya bisa menuruti perintah itu dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan, bayi itu diletakkan kembali dalam pangkuan ibunya yang sedang diguyur hujan lebat (Roziqin dkk., 2009: 30).

Setelah itu, Nyai Nafiqah pulang kembali ke Jombang dengan pertanyaan yang tidak terjawab pada saat itu, mengapa KH. Kholil memperlakukannya seperti itu. Ternyata, peristiwa tersebut menjadi pertanda bahwa kelak nanti KH. Wahid Hasyim akan menjadi orang besar. Ada pula yang mengkaitkan dengan wafatnya KH. Wahid Hasyim melaui kecelakaan mobil saat perjalanan antara Bandung – Ciamis.

2. Riwayat Pendidikan

KH. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selama belajar di Pondok Pesantren dan Madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Dia mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal di luar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik (Rifa’i, 2009: 23).

Menurut Atjeh (2015: 162) K.H. Abdul Wahid Hasyim terkenal pendiam dan peramah, serta pandai mengambil hati orang. Saat usia 5 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya tiap lepas ibadah sholat maghrib dan dzuhur, ia pun bersekolah di waktu pagi di Madarasah Salafiyah di Tebuireng. Saat usia 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul Qarib, Mutammimah, Minhajul Qawim pada ayahnya juga.

Kemudia di saat usia 12 tahun, ia telah tamat dari madrasah, dan mulai mengajarkan kitab pada adiknya yakni Karim Hasyim pada malam hari.

Kemudian pada waktu berusia 13 tahun, ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo. Di pondok tersebut, ia mempelajari kitab-kitab seperti: Sulamut Taufiq, Bidayah, Taqrib, dan Tafsir Jalalain.

Pengajarnya itu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Khozin Panji. Akan tetapi sayang, ia belajar di Panji itu tidak lama, hanya 25 (dua puluh lima) hari.

Pada tahun berikutnya, ia pergi untuk belajar di Pondok Pesantren di Lirboyo, Kediri, akan tetapi belajar yang kedua kali ini pun hanya untuk beberapa hari (Atjeh, 2015: 162).

Meskipun KH. Wahid Hasyim telah pandai bahasa Arab dan juga kitab-kitab bahasa Arab, tetapi ia belum bisa membaca tulisan latin.

Ia baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Namun dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah bisa menguasainya. Zaini (2011: 13) mengasumsikan KH. Wahid Hasyim belajar huruf latin pada sepupunya Moh. Ilyas setelah lulus dari HIS (Hollands-Inlandsche School) dan datang ke Tebuireng untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1925.

Oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim walaupun ia tidak menempuh sekolah di lembaga pendidikan umum, namun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris serta bahasa Belanda pada usia 15 tahun. Kedua bahasa asing itu ia pelajari dengan membaca majalah yang ia dapat dari dalam negeri maupun kiriman dari luar negeri (Rifa’i, 2009:

24).

41

Aboebakar mengatakan dalam Atjeh (2015: 162):

“Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin dan dengan bersungguh-sungguh ia belajar mati-matian ilmu pengetahuan secara belajar sendiri. Sejak itu ia berlangganan “Penyebar Semangat”, “Daulat Rakyat”, dan “Panji Pustaka”, sedang dari luar negeri ia berlangganan “Ummul Qura”, “Shautul Hijaz”,

“al-Latha’iful Muswarah”, “Kullusyaiin wad-Dunya”, dan “Al-Itsnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari “Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama Majalah Tiga Bahasa. Ia mengambil 2 macam bahasa, bahasa Belanda dan Arab.”

Sejak usia itu, ia berlangganan majalah-majalah dari luar. Pada saat usia 15 tahun itulah ia benar-benar menjadi seorang yang kutu buku.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Aboebakar:

“Mulai umur 15 tahun pulalah ia benar-benar mejadi penggemar bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Yang demikian itu mungkin disebabkan ia telah merasakan sendiri kenikmatan dan kelezatan membaca, atau mungkin juga mengamalkan nasihat, baca apa saja 5 jam sehari, maka segeralah engkau menjadi terpelajar.” (Atjeh, 2015: 162-163) Kemudian pada tahun 1931, ia mulai mengajar kitab Kafrawi dan Ad-Durarul Bahiyah pada pelajar-pelajar saat malam hari, dan terkadang ia juga diminta berpidato jika ada rapat umum. Singkat kata, pengaruhnya sudah mulai tampak. Proses ini ialah proses meningkatkan mental untuk menjadi calon pendidik dan pemimpin di masa depan (Rifa’i, 2009: 25).

Saat usianya 18 tahun, KH. Wahid Hasyim dikirimkan ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, namun juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiaannya ini ditemani oleh sepupuya KH. Moh. Ilyas. Di Makkah ia belajar selama kurun

waktu dua tahun (Roziqin dkk., 2009: 32). Menurut Rifa’i (2009: 26) selama ia di Makkah, KH. Wahid Hasyim banyak berteman dengan bermacam-macam asal kebangsaan. Sebab karena itu ia menjadi berpikir secara luas, terbuka, dan tidak fanatik dalam menghadapi suatu persoalan. KH. Wahid Hasyim juga meyakini jika ajaran Islam dapat mencapai kemajuan dan persatuan bangsa dan dapat membawa manusia ke arah perdamaian. Seperti apa yang diceritakan oleh Aboebakar dalam Atjeh (2015: 167-168):

“Orang-orang Indonesia yang datang mempelajari agama Islam di Makkah hendaklah paham bahasa Arab dan huruf Arab.

Kecakapan ini ada pada K.H. Wahid Hasyim dan oleh karena itu, dengan mudah ia dapat mengikuti pelajaran-pelajaran Islam di Makkah. Pergaulan dengan bermacam-macam bangsa Islam yang sama datang ke Makkah untuk kepentingan ibadah dan mencari ilmu pengetahuan agama, membuat K.H. Wahid Hasyim luas dalam berpikir dan tidak ta’assub dalam menghadapi persoalan. Pelajaran Islam dan pergaulan dengan pemeluk-pemeluknya yang beraneka warna membuat ia yakin, bahwa Islam dapat mencapai kemajuan dan persatuan, yang akan dapat menuntun manusia ke arah perdamaian dunia”.

Menurut Zaini (2011: 14) sepulang dari Makkah, KH. Wahid Hasyim mulai merintis karir sebagai seorang ulama, pertama-tama ia menjadi staf pengajar di Tebuireng. Ia ditunjuk sebagai asisten ayahnya yang bertugas menjaga kesinambungan proses belajar mengajar, menjawab surat-surat yang berkaitan dengan fiqih yang ditujukan kepada ayahnya serta ia juga mendatangi pengajian atau menjadi penceramah.

Pada sumber lain, Roziqin dkk. (2009: 32) menceritakan sepulangnya dari Makkah, kawan-kawan KH. Wahid Hasyim mengajaknya untuk aktif di perhimpunan. Namun, ajakan itu ia tolak. Menurutnya, ia tidak

43

boleh terlalu cepat dalam menentukan organisasi yang akan menjadi tempat perjuangannya. Yang jelas, KH. Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaruan di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial politik. Namun, di sini peneliti lebih memfokuskan pada bidang pendidikan terutama gagasannya tentang pendidikan karakter.

Dokumen terkait