• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Pendidikan Karakter K.H. Wahid Hasyim

BAB II KAJIAN TEORI

D. Pemikiran Pendidikan Karakter K.H. Wahid Hasyim

e. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Pidato pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta, 26 September 1951 (Atjeh, 2015:

878).

f. Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan, Kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadits Bukhari, Fa. Widjaya:

Jakarta (Atjeh, 2015: 886).

g. Tuntutan Berpikir, Kata pendahuluan agenda Kementerian Agama 1951 - 1952 (Atjeh, 2015: 894).

h. Nabi Muhammad SAW dan Persaudaraan Manusia, Pidato acara pembukaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jakarta, 2 Januari 1950 (Atjeh, 2015: 754).

i. Kebangkitan Dunia Islam, Mimbar Agama, Maret - April 1951 Tahun II No. 3-4 (Atjeh, 2015: 757).

j. Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Pidato Perayaan Hari Raya Idul Fitri. Pada saat itu, Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) (Atjeh, 2015: 765).

D. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Wahid Hasyim

Dalam karya tulis yang berjudul Abdullah ‘Ubaid Sebagai Pendidik, Rifa’i (2009: 17) menjelaskan bahwa:

“KH. Wahid Hasyim menunjukan bahwa dirinya adalah seorang pendidikan yang humanis. Pendekatan kemerdekaan dan kebebasan bagi yang dididik tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi subjek, guru dan murid juga sama-sama belajar. Bukan hanya itu, K.H. Wahid Hasyim mengungkapkan bagaimana pentingnya menanamkan sikap percaya diri, dan mandiri.”

49

Di dalam karya tulisan tersebut terdapat cerita sederhana namun bermakna sangat penting terhadap dunia pendidikan. Mulanya bagaimana KH. Wahid Hasyim kedatangan tamu yang bernama Abdullah ‘Ubaid dan kedua anaknya. Pelajaran penting terjadi di saat KH. Wahid Hasyim hendak menyediakan minuman kepada tamunya.

Peristiwa itu kira-kira terjadi pada pertengahan tahun 1936. Ketika itu sang bapak berkata pada anak itu, “inilah air teh yang engkau minta itu, minumlah!”. Lalu anak menjawab bahwa air itu masih panas. Kemudian sang bapak memberikan saran “tuangkanlah ke piring cangkir.” Sang anak mengatakan bahwasanya ia takut, air tersebut itu nanti tertumpah. Lalu si bapak menjawab, “tertumpah tidak masalah, toh yang mempunyai teh ini tidak akan marah. Bukankah begitu, saudara? (sambil menoleh ke arah K.H.

Wahid Hasyim beserta keluarga)”. Dan K.H. Wahid Hasyim pun menjawab,

“Tidak masalah.” (Atjeh, 2015: 860).

Aboebakar meneruskan setelah anak itu menuangkan air ke piringnya dan menunggu beberapa lama, kira-kira air teh itu sudah dingin, lalu si anak berkata, “Bapak, tolonglah, minumkan air teh ini kepada saya.”.

Kemudian sang bapak menjawab, “Minumlah sendiri, engkau telah cakap meminum. Jangan takut tertumpah!”. Lalu anak menjawab, “Kalau tumpah nanti pakaian akan jadi kotor, jika kotor nanti akan diganti yang bersih (dan memang si anak membawa pakaian ganti).”. Namun, kejadian nyatanya air teh yang diminumnya tidak tumpah.

Dari peristiwa tersebut K.H. Wahid Hasyim menjelaskan dalam Atjeh (2015: 861) bahwa:

“Adapun maksud Sdr. Abdullah Ubaid menyuruh puteranya meminum air teh dengan tenaganya si anak itu sendiri, ialah untuk membiasakan anak itu agar di dalam segala hal senantiasa self help, yakni dapat menyelesaikan kepentingannya dengan tenaganya sendiri. Sungguh sangat penting anak-anak sejak kecilnya dilatih dan dibiasakan bekerja dengan mempergunakan tenang dan kekuatannya sendiri. Sebab dengan membiasakan yang demikian itu, di dalam hati lalu tumbuh kepercayaan yang penuh bahwa diri sendiri adalah cakap untuk mengerjakan dan menyelesaikan apa saja yang dikehendaki.”

Dalam data lain, tulisan KH. Wahid Hasyim yang berjudul Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa. Ia mencermati pentingnya kemajuan bahasa, apalagi ditambah waktu itu usia Indonesia masih belia.

Kemajuan bahasa Indonesia bagi KH. Wahid Hasyim merupakan salah satu hal yang dapat memperkuat bangsa. Tidak hanya bangsa Indonesia, namun semua negara-negara di dunia juga memperlihatkan bagaimana bahasa menunjukan kekuatan sebuah bangsa (Rifa’i, 2009: 119).

Rifa’i menjelaskan bahwa “KH. Wahid Hasyim mengkhawatirkan gejala banyak anak muda dan beberapa pemimpin yang suka memakai bahasa asing daripada bahasanya sendiri yakni bahasa Indonesia dalam setiap pertemuan resmi maupun tidak resmi”. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh KH. Wahid Hasyim dalam Atjeh (2015: 867):

“Orang-orang yang berdiam di kota atau yang acap kali berkunjung ke kota, niscaya akan membenarkan perkataan penulis ini.

Bukankah kerap kali benar, ya, boleh dikata saban pagi sebagian dari kaum muda kini, yang oleh kita, kita bergelar “harapan bangsa”, “angkatan baharu”, “bunga tanah air”, dan sebagainya itu yang sebagian banyak senang mengucapkan “good morning” atau

51

“goeden morgen” dan entah good apa lagi, daripada melafalkan

“selamat pagi”. Teristimewa kalau bertemu dengan seorang kawannya, seolah berat, tak kuasa dan bagaikan kelu lidahnya apakala ditegur dengan “apa kabar?” sedang wajahnya membayang muram, tetapi bilamana ditegur “how are you?” atau “hoe maakje

‘t” riangnya bukan main dan seketika itu juga dijawab dengan lancar dan fasih, seakan tidak merasa berat dan kemalasannya hilang seketika! (ganjil bukan?!)”

Untuk itu Rifai juga menegaskan bahwa K.H. Wahid Hasyim tidaklah bermaksud menghambat dan menghalangi seseorang untuk belajar dan menyukai berbagai bahasa asing. Penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting tetapi jangan sampai melupakan bahasa Indonesia karena penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk penguatan karakter sebuah bangsa yang masih muda seperti Indonesia (Rifa’i, 2009: 120).

Masih terkait dengan permasalahan bahasa, KH. Wahid Hasyim sangat mendukung terhadap proses penerjemahan karya-karya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dibuktikannya pada saat memberikan kata pengantar dalam buku terjemahan hadits shahih bukhari tahun 1953 yang berjudul pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangungan.

“Sebenarnya ke-Islaman dan ke-Araban adalah dua hal yang berpisahan, masing-masing berdiri sendiri. Akan tetapi, karena salah memahamkan soal tersebut, lalu menimbulkan pendapat yang bercampur-adukkan antara ke-Islaman dan ke-Araban; suatu pendapat yang perlu diperbaiki. Apabila jika diingat bahwa ke-Araban di dalam hal ini, adalah ke-ke-Araban di dalam gambarannya yang lama; sedang ke-Araban yang modern pada waktu ini masih belum dimasukkan orang ke Indonesia. Pada akibatnya, kesalahan memahami perbedaan antara ke-Islaman dan ke-Araban itu, jika dipikirkan dengan tenang dan teliti, adalah suatu langkah tidak sewajarnya (tidak thabi’i), ...” (Atjeh, 2015: 889)

Dalam pemikiran pendidikannya, KH. Wahid Hasyim juga menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, hal ini dibuktikan pada pidatonya saat menyambut berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara di Medan 1952, yang berjudul Perguruan Tinggi Islam:

“Suatu hal yang menggembirakan di dalam pembukaan pergurung tinggi Islam ini perlu saya catat di sini bahwa walaupun perguruan tinggi ini memakai nama suatu agama yang tertentu, yaitu Islam, tapi di antara tenaga-tenaga yang memajukannya, baik di kalangan pengajar maupun di kalangan pelajarnya, terdapat orang-orang dan macam-macam golongan agama; kiranya ini suatu permulaan yang baik bagi kebebasan pikiran dan ikatan-ikatan perasaan yang timbul karena perbedaan kepercayaan dan agama. Maka patutlah dikemukakan harapan di sini, dapat dipelihara selanjutnya, bukan saja di dalam batas lingkungan perguruan tinggi Islam ini, melainkan kiranya dapat pula diluaskan ke luar dan diisikan pada pelajar-pelajar dan siswa-siswa untuk mereka itu khususnya dan untuk generasi yang akan datang umumnya. Di sini patut dikemukakan anjuran dan penghargaan yang keras pada para mahasiswa, kiranya sukalah Saudara-Saudara mencurahkan segala tenaga, untuk menjadi pendukung daripada cita-cita tersebut, dengan mengikuti segala kuliah, mempelajari buku-buku sumber pengetahuan (literatur) dengan segala susah payah, karena susah payah adalah pangkal segala hasil baik.” (Atjeh, 2015: 877)

Pada tulisannya yang berjudul Tuntutan Berpikir, KH. Wahid Hasyim menjelaskan bahwasanya agama Islam mengajarkan berpikir secara demokratis. Hal itu tertuang dalam Atjeh (2015: 895):

“Sedemikian kerasnya Islam mengajari berpikir secara demokratis dengan menggunakan logika dan mantik, sehingga di dalam Al-Qur’an sendiri banyak dimuat kritik-kritik orang kepada Nabi Muhammad SAW. Umpamanya seperti (wa yaquluna innahu lamajnuun: mereka itu mengatakan Nabi Muhammad SAW itu adalah gila); ini sebaliknya dan disensor dan dihapuskan, malah dimuat di dalam Al-Qur’an, untuk menunjukkan pada kaum Muslim bahwa di antara manusia ada yang bersikap lancang, setelahnya kehabisan dalil dan alasan di waktunya bermusyawarah dan berunding, lalu mengeluarkan maki-makian dan kata-kata kotor. Dan selain itu, dengan dimuatnya ucapan lawan-lawan Nabi

53

Muhammad SAW, yang kotor itu di dalam Al-Qur’an, dimaksud untuk memberikan pelajaran bahwa maki-makian demikian tidak akan merugikan kecuali pada orang yang mengeluarkan sendiri, dan bahwa pada akhirnya toh akal dan pikiranlah yang akan mendapat kemenangan; dan perasaan serta sentimen adalah merugikan bagi orang yang mengandungnya sendiri, lebih banyak daripada bagi orang yang dibencinya.”

74 BAB III

ANALISIS PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KH. WAHID HASYIM

A. Analisis Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Wahid Hasyim

Setelah mempelajari riwayat serta pemikiran KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan dan juga mengidentifikasi pemikiran pendidikan karakter yang dibawa oleh KH. Wahid Hasyim, pada bab ini peneliti selanjutnya menganalisis pemikiran pendidikan karakter KH. Wahid Hasyim berdasarkan teori-teori pendidikan karakter. Hasil analisis peneliti terdapat 8 (delapan) nilai karakter dalam pemikiran KH. Wahid Hasyim.

1. Religius

Karakter religius merupakan karakter yang erat kaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karakter religius merupakan hal yang semestinya dibangun dan ditanamkan dalam kepribadian peserta didik.

Membangun pikiran, perkataan, perbuatan peserta didik yang bersumber dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya (Kemendiknas, 2010: 9).

Sebagai seorang kiai, KH. Wahid Hasyim tentu saja memiliki karakter religius. Segala ucapan dan tindakannya semua berdasarkan ajaran dan pedoman agama dalam hal ini yakni agama Islam. Nilai karakter religius banyak tercermin dalam tulisannya yang bertema keagamaan. Seperti dalam pidatonya pada saat pembukaan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara pada 2 Januari 1950 yang berjudul Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia.

75

Bagi KH. Wahid Hasyim, agama dihadirkan ke muka bumi untuk kebaikan seluruh penghuninya karena di dalam agama diajarkan bagaimana menolong sesama. Lebih lanjut dia berpendapat, bahwa konteks kelahiran Nabi Muhammad SAW sebenarnya bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ajaran Islam mengajarkan sikap tolong menolong dan menjauhkan sikap benci dan juga menganjurkan untuk saling memaafkan satu sama lain.

Jadi menurut KH. Wahid Hasyim, kehadiran Nabi Muhammad SAW adalah untuk menempatkan bagaimana inti ajaran sebuah agama, terutama agama Islam pada konteks persaudaraan Islam. Dari sinilah kemudian dia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW bisa melindungi dan menghargai pemeluk agama dan suku lain dalam Piagam Madinah (Rifa’i, 2009: 94).

Dalam pemikiran religiusnya, KH. Wahid Hasyim benar-benar mengajarkan bagaimana umat Islam harus memperkuat rasa persaudaraan satu sama lain. Tentu pemikiran dan tingkah laku KH. Wahid Hasyim sejalan dengan nilai pendidikan karakter aspek religius. Sebagaimana yang dijelaskan Azzet apabila seseorang mempunyai karakter yang baik terkait dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, seluruh hidupnya akan menjadi baik.

Anak didik harus dikembangkan karakternya agar benar-benar berkeyakinan, bersikap, berkata-kata, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Untuk melakukan hal ini, sudah tentu dibutuhkan pendidik yang bisa menjadi teladan. Bukan pendidik yang mengajarkan

kepada anak didik agar taat dan patuh serta menjalankan ajaran dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sementara ia sendiri tidak taat dan patuh. Sungguh dalam hal ini anak didik membutuhkan contoh, figur, dan keteladanan (Azzet, 2013: 88).

2. Toleransi

Nilai toleransi diajarkan oleh KH. Wahid Hasyim dengan dibuktikan di dalam pidatonya pada saat perayaan berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara di Medan 1952, yang berjudul Perguruan Tinggi Islam:

“.... suatu hal yang menggembirakan di dalam pembuatan Perguruan Tinggi Islam ini perlu saya catat di sini, bahwa walaupun Perguruan Tinggi ini memakai nama suatu agama tertentu, yaitu Islam, diantara tenaga-tenaga yang memajukannya, baik di kalangan pengajar maupun di kalangan pengajarnya, terdapat orang-orang dari macam-macam golongan agama. Kiranya ini suatu awal yang baik bagi kebebasan pikiran dari ikatan-ikatan perasaan yang timbul karena perbedaan kepercayaan dan agama. Maka patutlah dikemukakan harapan di sini, bahwa perasaan harga-menghargai dan kerjasama yang baik itu, dapat dipelihara selanjutnya.” (Atjeh, 2015: 808-809)

Dalam sambutan tersebut, KH. Wahid Hasyim mengajarkan bagaimana umat Islam harus hidup saling bertoleransi terhadap agama lain. Saling menghargai hubungan emosional antara satu dengan yang lain, tetap menekankan kerjasama walaupun berbeda kepercayaan atau agama.

Ia menyadari bahwa sikap toleransi terhadap orang yang di lain agamanya adalah sikap yang mulia serta dapat mempererat rasa persatuan antar manusia yang berbeda agama.

77

Dalam tulisan lain, KH. Wahid Hasyim juga tidak mempermasalahkan kerja sama dengan orang yang di lain agamanya, asalkan hal tersebut tidak menyangkut masalah-masalah yang sifatnya keyakinan. Ia memberikan contoh pada Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun kedua orang tersebut merupakan Raja Islam yang taat, namun dalam hal penggunaan tenaga ahli, mereka merasa tak terhalangi untuk menggunakan tenaga ahli yang beragama Nasrani:

“... Orang yang mempelajari Khalifah dari Harun Rasyid (lahir pada tahun 763 dan meninggal tahun 809 Masehi) pasti mengetahui, bahwa dokter kepala padanya adalah seseorang beragama masehi, dan bahwa dokter kepala gedung perpustakaan Khalifah Ma’mun (lahir pada tahun 786 dan meninggal pada tahun 833), juga seseorang Nasrani. Banyak sekali kedudukan-keududkan yang penting diserahkan pada orang-orang di luar kalangan muslimin.” (Atjeh, 2015: 677-679) Meskipun KH. Wahid Hasyim adalah seorang beragama Islam, ia berupaya menghormati dan menghindarkan diri untuk melakukan caci maki terhadap orang-orang yang berbeda pemahaman keagamaannya, bahkan ketika semua Yahudi melakukan penghinaan terhadap Nabi Isa AS, Ia melakukan pembelaan dengen memberikan pengakuan bahwa nabi Isa AS, adalah Rasul Allah yang mulia:

“... Bukankah Nabi Muhammad SAW itu yang menegakkan pengakuan pada Nabi Isa AS sebagai Rasul Allah? Oleh orang yang hidup di zaman Beliau yaitu orang Yahudi, Nabi Isa AS bin Maryam, itu digambarkan sebagai seseorang yang jahat, berkelakuan buruk, dan dari keturunan yang tidak baik. Tapi Nabi Muhammad SAW, beliau diakui sebagai Rasul Allah yang mulia. Walaupun pada waktu itu kepentingan umat Islam dan penganut-penganut Nabi Isa AS bin Maryam bertentangan, tetapi Nabi Muhammad SAW tidak kehilangan pertimbangan yang adil dan mengakui kebenaran sebagai hakikat yang harus diperhatikan.” (Atjeh, 2015: 677-679)

Nilai toleransi yang diajarkan oleh KH Wahid Hasyim sejalan dengan nilai pendidikan karakter aspek toleransi yang merupakan perwujudan dari sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Kemendiknas, 2010: 9).

3. Mandiri

Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Orang yang mempunyai karakter mandiri tidak mudah menyerah ketika menghadapi pekerjaan yang sulit, apalagi segera minta bantuan kepada orang lain (Azzet, 2013: 92).

Penanaman sikap mandiri terdapat dalam tulisan KH. Wahid Hasyim yang berjudul Abdullah Ubaid sebagai Pendidik. Tulisan ini dimulai dengan menceritakan bagaimana KH. Wahid Hasyim kedatangan seorang tamu bernama Abdullah Ubaid bersama dua anaknya. Dalam pertemuan ini kemudian terjadilah cerita pendidikan sederhana tetapi bermakna tinggi ketika sang tuan rumah menyediakan minuman teh dan sang tamu terutama si anaknya hendak meminumnya.

Ketika itu si anak kecil meminta diberi minum teh, bapaknya kemudian berkata kepada anaknya, “Itu air tehnya sudah tersedia, minumlah.” Si anak lalu berkata bahwa airnya masih panas. Sang Bapak menjawab tuangkanlah ke piring cangkir. Lalu anak menjawab ia takut nanti air tehnya tumpah. Maka si bapak menjawab, “tumpah pun tidak

79

apa-apa, toh tuan rumah tidak akan marah, bukankah begitu saudara (sambil menoleh kepada KH. Wahid Hasyim beserta keluarga)?” KH.

Wahid Hasyim pun menjawab, “Tidak apa-apa”.

Setelah itu, si anak kemudian menuangkan air tehnya ke piring dan menunggu beberapa saat, setelah agak dingin, anak itu berkata,

“Bapak, tolonglah minumkan air tehnya ini kepada saya.” Sang bapak menjawab, “Minumlah sendiri, engkau sudah pintar meminum sendiri, jangan takut akan tumpah.” Si anak menjawab, “kalau tumpah nanti pakaian akan jadi kotor, jika kotor nanti akan diganti yang bersih (dan memang si anak membawa pakaian ganti).” Akan tetapi, nyatanya air teh yang diminumnya tidak tumpah (Atjeh, 2015: 791).

Mengenai tulisan ini, KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya (Zuhri, 2007: 69) berpendapat bahwa kisah sederhana tersebut amat penting artinya bagi seorang pendidik maupun bagi seorang ayah atau ibu.

Kepada anak harus ditanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri, dimulai dari pekerjaan-pekerjaan yang kecil dan mudah. Pendidik maupun orang tualah yang harus membangkitkan semangat berani berbuat sambil diberikan petunjuk agar dapat dikerjakan dengan baik.

Dalam tulisan tersebut KH. Wahid Hasyim menanamkan sikap mandiri. Bagi KH. Wahid Hasyim sikap mandiri dapat memunculkan sikap tidak manja, tidak mudah menyerah, dan berani mencoba. Yang paling penting dalam sikap mandiri adalah tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Kemendiknas, 2010: 9).

4. Demokratis

Karakter demokratis adalah karakter untuk memahami dan bersikap bahwa hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain adalah sama.

Cara berpikir, bersikap, bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Kemendiknas, 2010: 10).

KH. Wahid Hasyim mengajarkan bagaimana umat islam agar berpikir secara demokratis. Karena bagi KH. Wahid Hasyim, Islam sendiri mengajarkan kepada umatnya untuk berpikir secara demokratis yang tidak terlepas dari logika dan mantik. Ia juga berpendapat bahwa dalam berpikir secara demokratis merupakan cara berpikir yang bebas dari perasaan sentimen, dalam Al-Qur’an sendiri terdapat hinaan pedas yang dilakukan kaum kafir terhadap Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Muhammad SAW adalah orang yang gila. Pada saat itu kaum kafir merasa sentimen pada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sampai pada akhirnya mereka kehabisan argumen untuk menangkis ajaran haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kata-kata hinaan tersebut tidak dihilangkan atau disensor dalam Al-Qur’an, akan tetapi tetap termuat.

Melalui tulisan ini KH. Wahid Hasyim mengajarkan kepada kita agar janganlah kita sentimen terhadap orang lain, karena sesungguhnya sikap sentimen membawa kerugian pada diri sendiri. Jadi dalam berpikir secara demokratis menurut KH. Wahid Hasyim itu berarti menghormati hak dan kewajiban orang lain. Seperti yang terdapat dalam tulisannya yang berjudul Tuntutan Berfikir:

81

“... Sedemikian kerasnya Islam mengajari berpikir secara demokratis dengan menggunakan logika dan mantik, sehingga dalam Al-Qur’an sendiri banyak dimuat kritik-kritik orang pada Nabi Muhammad SAW. Umpamanya seperti wayaquuluuna innahu lamajnuun. Mereka itu mengatakan bahwa pada Nabi Muhammad SAW itu adalah gila. Dimaksudkan untuk memberikan pelajaran bahwa maki-makian demikian tidak akan merugikan, kecuali untuk orang yang mengeluarkan sendiri dan bahwa pada akhirnya toh, akal dan pikiranlah yang akan mendapat kemenangan. Dan perasaan serta sentimen adalah merugikan bagi orang yang mengandungnya sendiri, lebih banyak daripada bagi yang dibencinya.” (Atjeh, 2015: 827) KH. Wahid Hasyim begitu menegaskan bahwa Islam memang benar-benar demokratis, tidak takut pada pendapat orang lain yang berbeda haluan. Tidak ada buku yang lebih demokratis dari pada Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa ayat “wa yaquuluuna innahu lamajnuun” itu dipertontonkan Al-Qur’an pada umat Islam dengan pengharapan supaya mereka dapat melihat, bahwa otak manusia itu ada juga yang demikian tololnya mereka kehabisan hujjah (argumen) di dalam bertukar pikiran lalu memakai kata-kata kotor dan maki-makian (Sanusi, 1985: 42).

Dalam karakter demokratis ini, dikembangkan sikap saling memahami, menghormati, atau toleransi antara orang yang satu dan yang lain, terutama terkait dengan hak dan kewajiban. Tanpa karakter demokratis ini, akan muncul pola kehidupan yang saling memaksa, tidak menghormati hak dan kewajiban orang lain, dan menomorsatukan kepentingan diri sendiri (Azzet, 2013: 93-94).

5. Semangat Kebangsaan

Selain terkenal sebagai ulama, KH. Wahid Hasyim adalah seorang negarawan yang ulung. Posisinya sebagai ulama tidak serta merta

mengedepankan urusan agama saja, namun yang unik dari KH. Wahid Hasyim mampu mengkombinasikan urusan agama dengan urusan negara.

KH. Wahid Hasyim termasuk sosok kiai yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Menurut Chodir dalam bukunya (Chodir, 2010: 56) dalam mewujudkan semanagat nasionalisme, KH. Wahid Hasyim menentang paham primordialistik. Dalam tulisannya, KH. Wahid Hasyim menjelaskan:

“... Sikap dan semangat bergolong-golong itu di dalam lingkungan Tanah Air kita, apabila diteruskan akan berakibat rusaknya kemurnian persaudaraan kita sebangsa. Kita perlu mempunyai persatuan bangsa yang kokoh teguh. Lebih-lebih sebelumnya kemerdekaan datang. Maka fanatisme, ta’asub atau kekolotan dari segala fisik jangan dikeluarkan, supaya persatuan bangsa tidak terganggu dan tidak akan menjadi bangsa yang mentah. Kita tidak berkeberatan orang mengemukakan pahamnya, bahkan orang harus mempertahankan pendiriannya.

“... Sikap dan semangat bergolong-golong itu di dalam lingkungan Tanah Air kita, apabila diteruskan akan berakibat rusaknya kemurnian persaudaraan kita sebangsa. Kita perlu mempunyai persatuan bangsa yang kokoh teguh. Lebih-lebih sebelumnya kemerdekaan datang. Maka fanatisme, ta’asub atau kekolotan dari segala fisik jangan dikeluarkan, supaya persatuan bangsa tidak terganggu dan tidak akan menjadi bangsa yang mentah. Kita tidak berkeberatan orang mengemukakan pahamnya, bahkan orang harus mempertahankan pendiriannya.

Dokumen terkait