• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KH. WAHID HASYIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KH. WAHID HASYIM"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KH. WAHID HASYIM

Oleh:

ARIF SAEFUDIN NIM: 16.13.00.08

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA JAKARTA

2021

(2)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal skripsi dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif K.H.

Wahid Hasyim” yang disusun oleh Arif Saefudin Nomor Induk Mahasiswa:

16.13.00.08 telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang munaqosyah.

Jakarta, 31 Mei 2021 Pembimbing,

Fatkhu Yasik, M. Pd

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif KH. Wahid Hasyim” yang disusun oleh Arif Saefudin dengan Nomor Induk Mahasiswa:

16.13.00.08 telah diujikan dalam sidang munaqosyah pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta pada tanggal 18 November 2021 dan direvisi sesuai saran tim penguji. Maka skripsi tersebut telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Jakarta, 18 November 2021 Dekan,

Dede Setiawan, M. M. Pd

TIM PENGUJI 1.

2.

3.

4.

5.

(4)

iii

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi yang berjudul “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KH. WAHID HASYIM”. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan kelulusan Progam Studi Strata 1 (S1) Pendidikan Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan (S. Pd).

Dalam penyusuan skripsi ini, peneliti menyadari betul akan keterbatasan yang ada dalam diri peneliti. Peneliti sangat meyakini bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan bimbingan serta kritik membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan selanjutnya.

Tak hanya itu, di dalam penulisan skripsi ini peneliti mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. H. Juri Ardiantoro, M. Si., P.hD, selaku Rektorat Unusia Jakarta.

2. Dede Setiawan, M. M. Pd, selaku Dekan Fakultas Agama Islam Unusia Jakarta.

3. Saiful Bahri, M. Ag, selaku Kepala Program Studi Pendidikan Agama Islam Unusia Jakarta.

4. Fatkhu Yasik, M. Pd, selaku Pembimbing yang baik hati dan juga telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

(6)

v

5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Samsudin yang selalu mensupport peneliti dalam bentuk apapun dan Ibu Sriningsih yang tidak pernah bosan mengingatkan peneliti untuk berbuat hal-hal yang baik. Tanpa do’a restu mereka, peneliti tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga tercinta, Novi Yulianti, Marfuatin, Ragil Aldiansyah, Maulida Visantikan Anggraini yang telah memudahkan peneliti untuk mengerjakan skripsi ini.

7. Orang spesial yang dapat dijadikan sebagai kekasih, sahabat, teman, Putri Annisa yang selalu mengingatkan dan mensupport peneliti. Dengan begitu peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat dekat yang menemani selama di bangku perkuliahan, Ais, Alwi, Waris, Aziz, Azizah, Dwi.

9. Sahabat terbaik yang selalu mendo’akan, Fachri, Dado, Khusu, Gusti, Ari.

10. Sahabat seperjuangan, Syarif, Muallif, Umar, Resa, Rifqoh, Addiba.

11. Seluruh mahasiswa Unusia angkatan 2016 dari Fakultas Agama Islam, Teknik, dan Sosial Humaniora.

Demikian yang dapat peneliti sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca.

Jakarta, 18 November 2021

Arif Saefudin 16.13.00.08

(7)

vi ABSTRAK

Arif Saefudin. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif KH. Wahid Hasyim.

Skripsi. Jakarta: Program Studi Pendidikan Agama Islam. Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta. 2021

Latar belakang dari penelitian ini adalah peneliti tertarik mengetahui bagaimana pendidikan karakter menurut tokoh yang sukses melakukan pembaruan di dunia pendidikan pesantren, yakni KH. Wahid Hasyim. Kemudian manfaat dari penelitian ini untuk memberikan bahan referensi terkait pendidikan karakter.

Seperti yang diketahui, pendidikan karakter merupakan poin penting yang perlu diperhatikan guna menciptakan generasi bangsa yang baik.

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian library research, dimana penulis menggunakan pendapat ahli yang berkaitan dengan penelitian.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah metode dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan karakter KH. Wahid Hasyim. Teknik analisis data yang digunakan peneliti menggunakan teknik analisis isi (content analysis).

Hasil penelitian yang peneliti temukan terkait pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim adalah terdapat 8 nilai yang berusaha ditanamkan yaitu: religius, toleransi, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat/komunikatif, dan gemar membaca. Dalam proses penanaman karakter tersebut, KH. Wahid Hasyim menggunakan strategi keteladanan nilai yaitu dengan memberikan teladan kepada anak didiknya. Pemikiran pendidikan karakter KH. Wahid Hasyim relevan dengan tujuan pendidikan karakter saat ini.

Yakni dengan membangun kehidupan berbangsa yang multikultural, membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia.

Kata kunci: Pendidikan Karakter, KH. Wahid Hasyim

(8)

vii ABSTRACT

Arif Saefudin. Character Education in the Perspective of KH. Wahid Hasyim. Essay. Jakarta: Islamic Education Study Program. University of Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta. 2021.

The background of this research is that researchers are interested in knowing how character education according to a figure who has succeeded in reforming the world of Islamic boarding school education, namely KH. Wahid Hashim. Then the benefits of this research are to provide reference materials related to character education. As is known, character education is an important point that needs to be considered in order to create a good generation of the nation.

This research method uses library research research methods, where the authors use expert opinions related to research. The data collection method used by the researcher is the documentation method. Sources of data in this study are books related to character education KH. Wahid Hashim. The data analysis technique used by the researcher uses content analysis techniques.

The results of the research that the researchers found related to character education in the perspective of KH. Wahid Hasyim stated that there were 8 values that he tried to instill, namely: religious, tolerant, independent, democratic, national spirit, love for the homeland, friendly/communicative, and fond of reading. In the process of planting the character, KH. Wahid Hasyim uses an exemplary value strategy, namely by setting an example for his students.

Thoughts on character education KH. Wahid Hasyim is relevant to the current goals of character education. Namely by building a multicultural nation's life, building a nation's civilization that is intelligent, virtuous, and able to contribute to the development of human life.

Keywords: Character Education, KH. Wahid Hasyim

(9)

viii صخلملا ثحب

فراع يس ف لا ارد جمانرب :اتركاج .لاقم .مشاه دحاو يجاح يهايك روظنم يف ةيصخشلا ميلعت .نيد ةس

.اتركاج ، ةيسينودنلإا ءاملعلا ةضهن ةعماج .ةيملاسلإا ةينيدلا ةيبرتلا 0202

هذه ةيفلخ نمكت صخشل اًقفو ةيصخشلا ةيبرت ةيفيك ةفرعمب نيثحابلا مامتها يف ةساردلا

حلاصإ يف تحجن ةي

ت يف ثحبلا اذه دئاوف لثمتت مث .مشاه دحاو يجاح يهايك وهو ، ةيلخادلا ةيملاسلإا ةيبرتلا ملاع داوملا ريفو

هم ةطقن ةيصخشلا ميلعت دعي ، فورعم وه امك .ةيصخشلا ميلعتب ةقلعتملا ةيعجرملا رم بجي ةم

نم اهتاعا

ةملأا نم ديج ليج ءاشنإ لجأ .

ثحبلا بيلاسأ هذه ثحبلا ةقيرط مدختست library research

ءاربخلا ءارآ نوفلؤملا مدختسي ثيح ،

هذه يف تانايبلا رداصم .قيثوتلا ةقيرط يه ثحابلا اهمدختسا يتلا تانايبلا عمج ةقيرط .ثحبلاب ةقلعتملا بتكلا يه ةساردلا يتلا تانايبلا ليلحت ةينقت مدختست .مشاه دحاو يجاح يهايك ةيصخش ميلعتب ةقلعتملا

ىوتحملا ليلحت تاينقت ثحابلا اهمدختسي (content analysis)

.

نأ مشاه دحاو حضوأو يجاح يهايك روظنم نم ةيصخشلا ميلعتب قلعتت نوثحابلا اهدجو يتلا ثحبلا جئاتن هو ، اهسرغ لواح ميق ينامث كانه ، ةينطولا حورلاو ، ةيطارقميدلاو ، لقتسملاو ، حماستلاو ، نيدلا :و

يهايك مدختسي يجاح يهايك فرحلا عرز ةيلمع يف .ةءارقلا علومو ، لصاوتلا / ةيدولاو ، نطولا بحو ميلعت لوح رطاوخ .هبلاطل جذومن ميدقت للاخ نم يأ ، ةيجذومن ةميق ةيجيتارتسا ميسه دحاو يجاح يهايك ةيصخشلا ةايح ءانب للاخ نم يأ .ةيصخشلا ميلعتل ةيلاحلا فادهلأاب ةلصلا قيثو مشاه دحاو يجاح

.ناسنلإا ةايح ريوطت يف ةمهاسملا ىلع ةرداقو ةلضافو ةيكذ ةمأ ةراضح ءانبو ، تافاقثلا ةددعتم ةينطو مشاه دحاو يجاح يهايك ، تايصخشلا ميلعت :ةيحاتفملا تاملكلا

(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Penelitian ... 9

C. Pertanyaan Penelitian ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KAJIAN TEORI ... 17

A. Pendidikan Karakter ... 17

1. Pengertian Pendidikan Karakter ... 17

2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter ... 23

3. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter ... 26

4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter ... 34

5. Konsep Pendidikan Karakter... 40

6. Urgensi Pendidikan Karakter ... 46

B. Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam... 48

(11)

x

C. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 54

1. Kelahiran ... 54

2. Riwayat Pendidikan ... 57

3. Kontribusi di Bidang Pendidikan ... 60

D. Pemikiran Pendidikan Karakter K.H. Wahid Hasyim ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Bangsa Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dalam jumlah yang memadai, sebagai dukungan utama untuk pembangunan.

Dalam mencapai kebutuhan tersebut, pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional, sesuai yang dijelaskan dalam Undang- Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Ismail, 2012: 4).

Dalam Pasal I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menyatakan bahwa "diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia." Sementara di dalam pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga sistem yang demokratis serta bertanggung jawab."

(13)

Prayitno dan Belferik (2011: 2) mengatakan kondisi bangsa Indonesia masih jauh dari cita-cita yang ditujukan seperti halnya karakter yang dimiliki.

Perilaku atau tindakan yang kurang berkarakter telah menjerat semua komponen bangsa mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif hingga masyarakat awam. Pada saat ini, sifat-sifat kepedulian terhadap bangsa atau masyarakat luas seringkali bergeser kearah sifat-sifat yang mementingkan individu dan kelompok. Akibatnya berlangsung kekeliruan orientasi yang merusak tatanan kehidupan bangsa.

Sehubungan dengan itu, konteks pengalaman yang dialami peneliti pada saat mengajar salah satu sekolah di Desa tempat pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga menemukan karakter-karakter siswa siswi yang masih jauh dari tujuan pendidikan karakter bangsa ini. Dimana peneliti melihat perlakuan salah satu siswa yang tidak bisa menghargai guru-guru pamong di sana.

Menurut Wibowo (2013: 8) buruknya perilaku anak bangsa dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kasus yang paling sederhana ialah ketika pengendara saat berlalu lintas, kita pasti sering melihat ketidaktaatan pada rambu-rambu atau aturan yang ada, bahkan sudah hilang pula rasa toleransi dan sopan santun antar sesama pengguna jalan. Misalnya bunyi klakson pada sepeda motor atau mobil yang seharusnya menjadi tanda peringatan, kini berubah fungsi menjadi alat pemaksa agar orang lain menyingkir ketika sang pembunyi hendak lewat.

Tidak hanya itu, sebagian petinggi negara juga tidak mau kalah.

Diantaranya banyak petinggi di negeri ini yang tidak mencerminkan karakter

(14)

3

yang baik. Mereka seakan-akan merasa tidak berdosa mengkorupsi uang rakyat dengan begitu berdampak pada kemiskinan di kalangan rakyatnya (Wibowo, 2013: 9).

Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Hal ini ia katakan berdasarkan penelitian yang dilakukan ICW sejak 1 Januari 2020 hingga 30 Juni 2020. "Kasusnya ada sekitar 169 kasus korupsi sepanjang semester satu 2020," kata Wana melalui wawancara (Kompas.com, 2020, September 29).

Melihat paparan di atas, terlihat banyak dari perilaku masyarakat yang telah kehilangan jati diri dan budi pekerti. Sehubungan dengan itu perlunya bangsa Indonesia untuk memikirkan kembali pentingnya pendidikan karakter kepada generasi muda. Tentunya berlandaskan pada: 1) Pendidikan sebagai wadah untuk reaktivasi karakter baik bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia secara historis adalah bangsa yang mempunyai karakter baik; 2) Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat memperbaiki pembangunan sekaligus memperkuat potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa; 3) Pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasikan karakter ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa (Muslich, 2011: 2).

Berangkat dari hal tersebut, membangun karakter adalah langkah besar yang harus ditempuh dalam dunia pendidikan agar masyarakatnya tidak tenggelam dalam suatu anomie (hilangnya nilai-nilai) dan alienasi

(15)

(keterasingan dari dirinya sendiri dan masyarakat) yang dapat menyebabkan kekacauan atau terombang ambing laksana buih dilautan (Munir, 2010: 2-3).

Thomas Lickona (2015: 6) mengatakan dalam bukunya bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang memang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Ia juga menyebutkan pendidikan karakter adalah usaha sengaja atau secara sadar demi mewujudkan kebajikan, yaitu perilaku manusia yang baik secara objektif, dalam artian tidak hanya baik untuk individu, tetapi juga baik untuk masyarakat secara menyeluruh.

Dengan terlaksananya hal tersebut tentu diharapkan dunia pendidikan akan menjadi motor penggerak dalam membangun karakter peserta didik dan anggota masyarakat pada umumnya, sehingga memiliki kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang tinggi, berakhlak, berprinsip dan bermartabat dengan tetap mempertimbangkan norma-norma agama dan budaya masyarakat. Upaya ini menjadi pondasi yang kuat dalam mensukseskan bangsa Indonesia di masa mendatang. (Munir, 2010: 11-12)

Tentu semua itu sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) bahwasanya:

“PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab.”

(16)

5

Bangsa ini memerlukan pendidikan karakter, yakni karakter yang berlandaskan nilai-nilai agama, dalam hal ini ialah agama Islam. Dalam konteks ini terdapat seorang tokoh yang diyakini memiliki peranan besar terhadap dunia pendidikan, seorang intelektual muda pesantren dan tokoh NU (Nadhatul Ulama), yang terkenal sebagai tokoh yang giat menanamkan nilai- nilai agama dalam dunia pendidikan yaitu KH. Wahid Hasyim, putra pertama dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyyah NU dengan Nyai Nafiqah. Anak lelaki pertama dari sepuluh bersaudara ini lahir pada hari Jum’at legi, 5 Rabiul Awal 1333 H, atau bertepatan dengan 1 Juni 1914 M (Rifa’i, 2009: 17).

Sebagai yang terlahir dari anak seorang tokoh terkemuka, ternyata KH.

Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam dunia pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia-Belanda. Ia lebih banyak belajar secara mandiri. Saat beranjak usia 5 tahun, ia mulai belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya di Madrasah Salafiyah Tebuireng. Selain belajar di pondok pesantren dan madrasah, ia juga mempelajari secara mandiri kitab-kitab serta buku berbahasa Arab. Tak hanya dalam gemar dalam membaca, ia juga mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga ia hapal di luar kepala, dan bahkan menguasai maknanya dengan baik (Rifa’i, 2009: 22-23).

Pada masa mudanya, KH. Wahid Hasyim banyak melakukan pengembaran ilmu di pesantren, diantaranya ialah: Pesantren Tebuireng, Pesantren Siwalan Panji, dan Pesantren Lirboyo. Seperti halnya tokoh-tokoh

(17)

besar pada masanya, tujuan dari pengembaran ilmu tersebut dilakukan untuk mencari keberkahan dari sang guru (Rifa’i, 2009: 23).

Menurut Atjeh (2015: 165-169) pada saat usia KH. Wahid Hasyim 18 tahun, ia dikirimkan ke Makkah dan ditemani oleh saudara sepupunya, yakni Muhammad Ilyas. Kepergiannya ke Makkah berjalan selama 2 tahun selain untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk memperdalam berbagai ilmu agama. Sepulang dari Makkah, KH. Wahid Hasyim mulai bergerak dan berjuang. Ia mulai memasuki masyarakat dan mulai memimpin dan mendidik.

Keinginan KH. Wahid Hasyim untuk mengadakan revolusi dalam dunia pendidikan pesantren mulai terlihat. Tujuannya itu tidak lain hanya untuk memajukan pembelajaran pendidikan Islam di pondok pesantren. Dengan bekal yang dimiliki, KH. Wahid Hasyim mencoba dan memberi sumbangan dalam hal pembaruan pendidikan, yaitu dengan percobaan metode baru yang diantaranya terdiri dari penggabungan ilmu agama Islam dan pengetahuan umum (Atjeh, 2015: 169-171).

Kemudian pada tahun 1935, KH. Wahid Hasyim mulai membuka secara besar-besaran madrasah modern, yang dinamakan Madrasah Nidzamiyah. Madrasah tersebut sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam yang mampu mengkolaborasikan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum (Zaini, 2011: 41-42).

Tidak hanya itu, pada tahun 1936 KH. Wahid Hasyim mendirikan organisasi IKPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam). Dalam organisasi tersebut, disediakan taman-taman bacaan yang menyediakan kurang lebih 500 buah

(18)

7

kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda, buku-bukunya terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda dan Inggris (Atjeh, 2015:

171-172).

Dari beberapa penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa banyak ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pemikiran KH. Wahid Hasyim tentang pendidikan karakter. Menurut hemat penulis, KH. Wahid Hasyim adalah sosok yang bisa dijadikan contoh perspektifnya dalam pengetahuan tentang pendidikan karakter. Maka dari itu, peneliti di sini tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim, karena menurut paparan di atas pendidikan karakter sangatlah begitu penting guna mencetak generasi selanjutnya yang berkarakter. Hal ini, sebagaimana yang ada dalam pikiran penulis, adalah sangat penting diketahui khususnya oleh para pelajar atau mahasiswa dalam bidang pendidikan Islam.Untuk itu, maka penulis mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul “Pendidikan Karakter dalam Perspektif KH.

Wahid Hasyim” yang diharapkan dapat memberikan sebuah sumbangan khazanah keilmuan, terutama dalam upaya merealisasikan pendidikan karakter.

B. Rumusan Penelitian

Adapun rumusan penelitian ini terdiri dari sebagai berikut:

1. Masih banyak fenomena terjadi dimana masyarakat masih memiliki karakter yang kurang baik dan menyebabkan kasus-kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini.

(19)

2. Kurangnya kesadaran akan peran pentingnya pendidikan karakter untuk menciptakan generasi bangsa yang baik.

3. Masih banyak pendidik yang gagal paham akan maksud pendidikan karakter di Indonesia.

C. Pertanyaan Penelitian

Berangkat dari paparan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pemikiran pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim?

2. Bagaimana strategi KH. Wahid Hasyim dalam menanamkan pendidikan karakter?

3. Bagaimana relevansi pendidikan karakter perspektif KH. Wahid Hasyim dengan pendidikan karakter di Indonesia?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk sebagai berikut:

1. Mengetahui pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim.

2. Mengetahui strategi KH. Wahid Hasyim dalam menanamkan pendidikan karakter.

3. Menganalisis relevansi pendidikan karakter perspektif KH. Wahid Hasyim dengan pendidikan karakter di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

(20)

9

Jenis penelitian ini merupakan studi kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang mengacu pada bahan-bahan atau data- data tertulis yang berhubungan dengan topik pembahasan yang sedang diangkat, penelitian yang juga menggunakan gagasan berbentuk tulisan sebagai sumber penekanan kepada interpretasi dan analisis makna konsep pemikiran yang berupa ungkapan-ungkapan baik secara empiris maupun ide-ide rasional (Sutrisno, 1990: 9).

Seperti yang dijelaskan Sugiyono (2010: 35-36) jenis penelitian kualitatif digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Salah satunya ialah untuk meneliti sejarah perkembangan kehidupan seorang tokoh atau masyarakat akan dapat diteliti melalui metode kualitatif.

Berkaitan dengan judul skripsi ini Pendidikan Karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim, maka tokoh yang diteliti adalah KH.

Wahid Hasyim.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini ialah pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh berupa kata-kata, perilaku dan gambar tidak dituangkan dalam bentuk angka atau bilangan melainkan tetap dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisis dan memberi pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk deskripsi (Margono, 2007: 39).

3. Sumber Data Penelitian

Menurut Soekanto (1986: 52) di dalam penelitian, sumber data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data yang diperoleh langsung dari

(21)

masyarakat (data primer), dan data dari bahan pustaka (data sekunder).

Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder.

Menurut Sugiyono (2015: 309) data sekunder merupakan sumber yang proses pemberian data kepada pengumpul data secara tidak langsung, misal lewat lewat dokumen atau orang lain. Dalam konteks penelitian ini, data sekunder yang dimaksud ialah hasil karya tulis baik berupa buku, jurnal, atau artikel dan sejenisnya yang membahas tentang pemikiran KH. Wahid Hasyim, terkhusus yang bersentuhan langsung dengan karya, catatan sejarah, atau rekam jejak KH. Wahid Hasyim.

Diantaranya ialah buku karya Aboebakar Atjeh; Sejarah Hidup K.H Abdul Wahid Hasyim, Achmad Zaini; K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam, Mohammad Rifa’i; Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953, Saifuddin Zuhri; Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, Shofiyullah Mz; K.H Abdul Wahid Hasyim Sejarah Pemikiran dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, serta sumber referensi- referensi lain yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti.

4. Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data merupakan langkah paling utama dalam penelitian, dikarenakan tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengambilan data dengan dokumentasi. Teknik dokumentasi yang dimaksud di sini adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencari data tentang variabel penelitian dari berbagai macam dokumentasi, baik yang

(22)

11

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, jurnal, dan lain sebagainya (Suharsimi, 1980: 62).

Dalam proses pengambilan data, penulis merujuk sumber baik dari data primer yang ditulis langsung oleh KH. Wahid Hasyim maupun dari data sekunder yang di dalamnya terkait kajian orang lain yang memuat pemikiran pendidikan karakter dalam perpektif KH. Wahid Hasyim. Di samping dokumentasi, teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:

1. Reading; yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur yang berkenaan dengan tema penelitian.

2. Writing; yaitu mencatat data yang berkenaan dengan penelitian.

3. Editing; yaitu pemeriksaan data secara cermat dari kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun.

4. Untuk semua data yang dibutuhkan agar terkumpul, maka dilakukan analisis data yang bersifat kualitatif yang bermaksud mengorganisasikan data. Setelah data terkumpul, maka proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (Lexy, 2002:193).

5. Teknik Analisis Data

Dalam proses analisa data, proses tersebut dilakukan sejak pengumpulan data hingga pengumpulan data selesai. Langkah-langkah

(23)

yang dilakukan, antara lain: mereduksi data (data reduction), penyajian data (data display), penarikan kesimpulan, dan verifikasi.

Menurut Sugiyono (2015: 337) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya.

Setelah direduksi, penulis akan melakukan penyajian data.

Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam bentuk table, grafik, pictogram, dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka dapat terorganisasi, tersusun dalam pola, sehingga semakin mudah dipahami (Sugiyono: 2015: 341). Selanjutnya data yang telah disajikan dapat ditarik kesimpulan, dan seperti yang dikatakan Sugiyono (2015:

345) jika kesimpulan tersebut didukung dengan bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dalam melakukan penarikan kesimpulan menggunakan teknik content analysis. Menurut Lexy (2001: 163) teknik content analysis merupakan cara yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan kandungan isi pesan yang dilakukan dengan objektif dan sistematis agar mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai sehingga dapat menjadi kesimpulan yang menjawab rumusan masalah.

F. Manfaat Penelitian

(24)

13

Dalam penelitian ini manfaat yang diharapkan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bentuk kontribusi terhadap keilmuan dalam pendidikan Islam terutama berkaitan dengan pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi ilmu pengetahuan dan dapat dikembangkan dalam dunia Pendidikan Agama Islam.

Khususnya di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta dan masyarakat Indonesia umumnya.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi salah satu sumbangsih pemikiran dari penulis yang merupakan wujud aktualisasi diri sebagai insan akademik yang bergelut dalam dunia pendidikan Islam.

b. Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi penelitian berikutnya terkait gagasan-gagasan KH. Wahid Hasyim.

G. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan penelitian ini, yang digunakan oleh penulis terdiri dari bab 1 sampai dengan bab 4 yang membahas masalah secara terperinci dan sistematis. Setiap bab terdiri dari sub bab untuk meringkas dan mengklasifikasikan pembahasan sehingga antara bab satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan dan menghasilkan pembahasan yang sistematis.

(25)

BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini menjelaskan tentanglatarbelakang penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian,metodologi penelitian, manfaat penelitian,dansistematika penulisan. Bab pendahuluan ini bertujuan sebagai pengantar awal serta penjelasan pokok masalah mengenai tema yang akan diteliti.

BAB II, Kajian Teori. Bab ini merupakan pembahasan topik atau pokok bahasan yang terdiri dari beberapa sub bab yang berupa kajian teori dari topik penelitian. Kajian teori tersebut berisi uraian yang menjelaskan tentang konsep pendidikan karakter, konsep pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam. Dalam bab ini peneliti juga akan menjelaskan secara umum mengenai objek penelitian dengan mendeskripsikan tentang pemikiran pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim, yang berisi biografi dan kiprah KH. Wahid Hasyim di bidang pendidikan, dan pemikiran pendidikan KH. Wahid Hasyim.

BAB III, Hasil Penelitian. Bab ini merupakan hasil analisis penulis terhadap pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim, Relevansi pemikiran pendidikan karakter dalam perspektif KH. Wahid Hasyim dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.

BAB IV, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yaitu penutup.

Dalam bab ini akan penulis sampaikan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian, saran-saran, serta penutup. Setelah bab penutup, penulis menyajikan daftar pustaka sebagai kejelasan referensi penelitian, serta semua lampiran-lampiran yang berhubungan dengan perjalanan penelitian ini.

(26)

17 BAB II KAJIAN TEORI A. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Definisi pendidikan karakter sangatlah luas dan banyak, namun agar mengantisipasi terjadinya pembaharuan makna, maka peneliti memberikan batasan-batasan pengertian karakter. Menurut Daryanto dkk.

(2013: 63-64) mengutarakan bahwa:

“Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitarnya.”

Stedje dalam Yaumi (2012: xxii) Character is the culmination of habits, resulting from the ethical choices, behavior, and attitudes an individual makes, and is the “moral excellence” an individual exhibits when no one is watching. Dijelaskan dalam definisi di atas bahwa karakter adalah kulminasi dari kebiasaan yang dihasilkan dari pilihan etik, perilaku, dan sikap yang dimiliki individu yang merupakan moral yang prima walaupun ketika tidak seorangpun melihat.

Karakter dalam bahasa agama Islam disebut dengan akhlak seperti dikatakan oleh Akramulla Syed dalam Yaumi (2012: 50) bahwa

“akhlak merupakan istilah dalam bahasa arab yang merujuk pada praktik-

(27)

praktik kebaikan, moralitas, dan perilaku Islami (Islamic behaviour), sifat atau watak (disposition), perilaku baik (good conduct), kodrat atau sifat dasar (nature), perangai (temper), etika atau tata susila (ethics), moral dan karakter”. Semua kata-kata tersebut merujuk pada karakter yang dapat dijadikan suri tauladan yang baik bagi orang lain. Disinilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam Q.S. Al-Qalam ayat 4:

ٖميِظَع ٍق ُلُخ َٰلََعَل َكَّنوَإِ

٤

“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S.

Al-Qalam/68: 4)

Ayat di atas menjelaskan tentang budi pekerti luhur, tingkah laku, dan watak terpuji dari Nabi Muhammad saw, bukan sekedar berbudi pekerti luhur. Memang Allah SWT menegur beliau jika bersikap yang hanya baik dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai sebagai berakhlak mulia. Jika Allah SWT yang mensyifati sesuatu dengan kata agung maka tidak dapat terbayang betapa keagungannya.

Mengingat dalam diri Rasulullah Muhammad SAW terdapat suri teladan yang baik dan berbudi pekerti yang luhur, maka kata wainnaka (sesungguhnya kamu) dalam ayat ini yang menjadikan dia sebagai teladan serta bertindak sesuai dengan akhlaknya Rasulullah SAW (Shihab, 2002: 380-381).

Seperti apa yang diungkapkan oleh Majid dan Andayani (2012:

8) karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi.

Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang

(28)

19

selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seseorang pribadi diukur.

Menurut Simon Philips dalam Muslich (2011: 70) beliau mengutarakan “karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan”. Sementara menurut Koesoema A menyatakan bahwa

“karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri dan karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan sejak lahir”.

Beberapa definisi tentang karakter di atas menunjukkan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebijakan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. karakter juga merupakan penerapan nilai-nilai kebajikan dalam diri seseorang. Jadi seseorang dikatakan berkarakter kalau menerapkan nilai-nilai kebajikan. Sebaliknya orang yang tidak menerapkan nilai-nilai kebajikan tetapi menerapkan nilai-nilai keburukan itu dikatakan tidak berkarakter.

Pendidikan karakter merupakan penanaman dan pengembangan nilai-nilai karakter yang baik berdasarkan kebijakan-

(29)

kebijakan individu maupun masyarakat. Nilai kebajikan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya sudah disepakati baik secara tertulis maupun tidak tertulis (Saptono, 2011: 23). Menurut Akhmad (2013: 15-16) pendidikan karakter merupakan upaya mendidik peserta didik agar memiliki pemahaman yang baik sehingga mampu berkelakuan baik sesuai dengan norma yang berlaku. Pendidikan karakter menghasilkan individu yang dapat membuat keputusan dan mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil.

Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi yang tertulis dalam Kesuma dkk. (2011: 5) bahwa “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya”. Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakhry Gaffar, pendidikan karakter adalah

“sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu”. Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) Proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku.

Berdasarkan pemikiran beberapa ahli di atas mengenai definisi pendidikan karakter, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter berusaha untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga,

(30)

21

sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan education networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan.

2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter

Menurut Ismail (2012: 4) fungsi dan tujuan dari pendidikan karakter dapat diketahui melalui keberhasilan program pendidikan karakter melalui pencapaian indikator oleh peserta didik, yang antara lain meliputi:

a. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;

b. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;

c. Menunjukkan sikap percaya diri;

d. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;

e. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;

f. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar;

(31)

g. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.

h. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimiliknya;

i. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;

j. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;

k. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;

l. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat;

m. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun.

Menurut Kesuma dkk. (2011: 9) pendidikan karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;

b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilaiyang dikembangkan oleh sekolah;

c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakatdalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

(32)

23

Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri peserta didik, sehingga peserta didik mampu memiliki budi pekerti secarautuh, terpadu, dan seimbang. Peserta didik yang memiliki nilai-nilai budipekerti akan menggunakan segala pengetahuan, keterampilan danemosionalnya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Asmani, 2011: 42-43). Tujuan pendidikan karakter dalam pendidikan formal yaitu menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting serta memperbaiki perilaku peserta didik yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (Kesuma dkk., 2011: 137).

Dari berbagai pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan karakter lebih mengarah kepada aspek kepribadian atau individu. Karakter merupakan gambaran dari kepribadian secara utuh dari masing-masing individu seperti: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter dalam pendidikan formal bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter agar peserta didik memiliki budi pekerti. Berangkat dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter pada pendidikan formal bertujuan untuk mendidik peserta didik agar diterima dalam lingkup lingkungan masyarakat dan mempersiapkan peserta didik agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik.

3. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

(33)

Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang merumuskan dalam tujuan pendidikan Nasional (Zubaedi, 2011: 72-73).

Menurut Kurniawan (2013: 39-40) adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia berasal dari 4 (empat) sumber. Pertama, agama. Dimana masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Oleh karena itu kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.

Kedua, pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Ketiga, budaya. Nilai Budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang sedemikian penting

(34)

25

dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Keempat, Tujuan Pendidikan Nasional. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia.

Kemendiknas (2010) yang sekarang diubah namanya menjadi Kemendikbud telah merumuskan 18 (delapan belas) nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dihimpun dalam Suyadi (2013, 8-9) sebagai berikut:

1. Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan,

2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya,

3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan

(35)

hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut,

4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku,

5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik- baiknya,

6. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil- hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya,

7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain,

(36)

27

8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain,

9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam,

10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan,

11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri,

12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi,

13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik,

(37)

14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu,

15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya,

16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar, 17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang

mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya,

18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama.

4. Konsep Pendidikan Karakter

Konsep dalam pendidikan karakter dapat diketahui melalui perilaku-perilaku sebagai berikut:

1. Keteladanan

Allah SWT dalam mendidik manusia menggunakan sosok figur atau suri tauladan untuk dijadikan sebagai contoh terbaik agar

(38)

29

para manusia dapat mudah menyerap dan menerapkannya. Sosok figur atau suri tauladan tersebut diperankan oleh para Nabi atau Rasul, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mumtahanah ayat 6:

اَمَّنِإ ُمُكٰىَهۡنَي ُ َّللّٱ

ِنَع َنيِ َّ

ِفِ ۡم ُكوُلَتَٰق لَّٱ ِنيِدلٱ

نِدم مُكوُجَرۡخ َ أَو

ۡمُهَّلَوَتَي نَمَو ۡۚۡمُهۡو َّلَوَت نَأ ۡمُكِجاَرۡخِإ َٰٓ َعَل ْاوُرَهٰ َظَو ۡمُكِرَٰيِد ُمُه َكِئٰٓ َلْوُأَف َنوُمِلٰ َّظلٱ

٩

“Sesungguhnya Allah Swt hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al- Mumtahanah/60: 6)

Dikuatkan juga dalam firman Allah SWT dalam surat Al- Ahzab ayat 21:

ۡدَقَّل ِلوُسَر ِفِ ۡمُك َل َن َكَ

ِ َّللّٱ ْاوُجۡرَي َن َكَ نَمِدل ٞةَن َسَح ٌةَوۡس ُ

أ َ َّللّٱ

َرِخلۡأٓٱَمۡوَ لۡٱ ۡ َو َرَكَذَو

َ َّللّٱ اٗيرِثَك ٢١

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Swt” (Q.S. Al-Ahzab/33: 21)

Menurut Darmiyati dkk. (2013: 18) dalam pendidikan nilai spiritualitas kehadiran sosok teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Untuk menjalankan strategi ini terdapat 2 (dua) syarat

(39)

yang harus dipenuhi. 1) Pendidik maupun orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi murid-murid atau anak-anaknya. 2) Anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak baik terutama Nabi Muhammad SAW, bagi yang beragama Islam dan juga para nabi-nabi yang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembentukan karakter terdapat peranan penting pendidik atau orang tua untuk mengubah karakter peserta didik itu sendiri, dilakukan dengan kebiasaan ketika proses mengajar baik itu di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

2. Kedisiplinan

Disiplin pada hakikatnya adalah suatu ketaatan yang sungguh-sungguh yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas kewajiban serta berprilaku sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku di dalam suatu lingkungan tertentu. Realisasinya harus terlihat (menjelma) dalam perbuatan atau tingkah laku yang nyata, yaitu perbuatan tingkah laku yang sesuai dengan aturan-aturan atau tata kelakuan yang semestinya (Hidayatullah, 2010: 45).

Menurut Lickona (2013: 149) disiplin moral memiliki tujuan jangka panjang untuk membantu anak-anak dan remaja berprilaku secara bertanggung jawab dalam setiap situasi, bukan hanya ketika orang dewasa mengawasi, disiplin moral berusaha

(40)

31

membangun sikap hormat siswa pada peraturan, hak-hak orang lain dan kewenangan sah guru, tanggung jawab siswa atas prilaku mereka sendiri dan tanggung jawab mereka terhadap komunitas moral kelas.

Berangkat dari pendapat di atas, kedisiplinan dapat diterapkan pada peserta didik dengan catatan pendidik itu sendiri memperjuangkan dan berkomitmen atas kedisiplinan tersebut, karena bilamana sebuah kedisiplinan tidak diterapkan pada pendidik ataupun sekolah, maka sulit untuk membentuk karakter.

3. Pembiasaan

Menurut Mulyasa (2011: 166) berpendapat bahwa:

“Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.

Pembiasaan menempatkan kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang melekat spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap pekerjaan dan aktivitas lainya”.

Hidayatullah (2010: 50) juga menambahkan sebagai berikut:

“Anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik. Maka diharapkan ia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Sebaliknya jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan, maka ia akan tumbuhmenjadi pelaku kekerasan dan kejahatan yang baru”.

(41)

Berdasarkan pendapat di atas, lingkungan dan pola pergaulan bagi seorang peserta didik menjadi faktor utama dalam pembentukan hal-hal yang sifatnya mengarah pada perilaku yang positif. Kemudian tugas pendidik dan orang tua harus mengawasi peserta didik dan anak-anak mereka dalam bergaul, bersikap, serta mengarahkannya..

4. Proses pembentukan karakter

Menurut Adhim (2006: 272) berpendapat bahwa “karakter yang kuat biasanya dibentuk oleh penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui penghayatan dan pengalaman, membangkitkan rasa ingin dan bukan menyibukan diri dengan pengetahuan”.

Menurut Matta (2003: 67) pembentukan karakter dapat dilakukan dengan beberapa kaidah sebagai berikut:

a. Kaidah kebertahapan, artinya proses perubahan, perbaikan, dan pengembangan harus dilakukan secara bertahap.

b. Kaidah kesinambungan, artinya perlu adanya latihan yang dilakukan secara terus-menerus.

c. Kaidah momentum, artinya mempergunakan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan.

(42)

33

d. Kaidah motivasi intrinsik, artinya karakter anak terbentuk secara kuat dan sempurna jika didorong oleh keinginan sendiri, bukan karena paksaan dari orang lain.

e. Kaidah pembimbing, artinya perlu bantuan orang lain untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada dilakukan seorang diri. Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru atau pembimbing.

6. Urgensi Pendidikan Karakter

Kata Urgen dimaknai sebagai kebutuhan yang mendesak.

Mendesak artinya bahwa segera untuk diatasi, segera dilaksanakan, dan tidak aka nada potensi yang membahayakan. Dikatakan mendesak karena ada tanda-tanda yang mengharuskan suatu tindakan (Barnawi dan Arifin, 2012: 12).

Barnawi dan Arifin (2012: 14) mengemukakan pendapat bahwa:

“Di era global ini ancaman hilangnya karakter semakin nyata.

Nilai-nilai karakter yang luhur tergusur oleh arus globalisasi, terutama kesalahan dalam memahami makna kebebasan sebagai sebuah demokrasi dan rendahnya filosofi teknologi.

Kemajuan teknologi adalah pisau bermata dua, di satu sisi memberi kemudahan bagi manusia dan di sisi lain memberi dampak negatif.”

Sedangkan Setiawan dalam Barnawi dan Arifin (2012: 14) ia berpendapat bahwa:

“Teknologi dapat menjadi media penghancur bagi umat0020manusia ada tiga hal yakni: Pertama, teknologi

(43)

cenderung memudahkan, bisa menjebak orang menjadi sosok yang serba instan atau manja dan tidak menghargai proses.

Kedua, teknologi memang bisa mendekatkan yang jauh, tetapi bisa juga tidak peduli dengan sekelilingnya jika terlalu intens dalam menggunakan teknologi. Ketiga, teknologi bisa memicu perilaku konsumtif, menjadikan seseorang selalu mempromosikan produk terbaru dan membeli yang telah ditawarkan dari internet.”

Sebagaimana yang dituliskan oleh Muhammad Anwar. HM dalam Kompasiana.com (2015, Juni 24):

“Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Jika seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu, Daniel Goeleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak- anaknya baik karena kesibukan maupun karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, kondisi ini dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan karakter ini memang sangat penting bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan dijadikan sebagai landasan dalam upaya pembentukan kualitas karakter bangsa Indonesia dan akan bermanfaat untuk menghasilkan pribadi yang tidak mengabaikan nilai sosial, seperti toleransi, tanggung jawab, demokratis, dan yang lainnya sehingga terciptalah pribadi yang berkarakter unggul.

B. Pendidikan Karakter Perspektif Pendidikan Islam

Menurut Azzet (2011: 18) berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan dasar dalam pendidikan karakter. Karena keyakinan seseorang terhadap kebenaran nilai yang berasal dari agamanya bisa menjadikan

(44)

35

motivasi yang kuat dalam membangun karakter. Sudah tentu anak didik dibangun karakternya berdasarkan nilai-nilai universal dari agama yang dipeluknya masing-masing. Tentu saja dalam konteks penelitian ini adalah agama Islam.

Pendidikan Islam memandang secara esensial bahwa pendidikan karakter ialah pendidikan yang berusaha menanamkan karakter-karakter yang baik pada peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, karakter yang baik itu tersimpul pada karakter pribadi Nabi Muhammad SAW.

Menurut Hidayatullah (2010: 40) bahwa ada 4 (empat) karakter yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW, yaitu:

1. Shidiq

a. Memiliki sistem keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan;

b. Memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

2. Amanah

a. Rasa memiliki tanggungjawab yang tinggi;

b. Memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal;

c. Memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;

(45)

d. Memiliki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan.

3. Fathonah

a. Arif dan bijak;

b. Integritas tinggi;

c. Kesadaran untuk belajar;

d. Sikap proaktif;

e. Orientasi kepada Tuhan;

f. Terpercaya dan ternama/terkenal;

g. Menjadi yang terbaik;

h. Empati dan perasaan terharu;

i. Kematangan emosi;

j. Keseimbangan;

k. Jiwa penyampai misi;

l. Jiwa kompetensi;

m. Memiliki kemampuan adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman;

n. Memiliki kompetensi yang ungggul, bermutu dan berdaya saing tinggi;

o. Memiliki kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual.

4. Tabligh

a. Memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi;

b. Memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif;

(46)

37

c. Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik dengan tepat.

C. Biografi KH. Wahid Hasyim 1. Kelahiran

K.H. Wahid Hasyim lahir pada hari Jumat Legi 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 M di desa Tebuireng, Jombang (Atjeh, 2015: 157). Putera pertama dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari pendiri jam’iyyah NU dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas (Rifa’i, 2009: 17). Keturunan dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya, keduanya bertemu di garis pertemuan pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), dari pihak ayah melalui Joko Tingkir, sedangkan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I (Atjeh, 2015: 155). Nama yang pertama diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama kakeknya. Tetapi saat itu karena sering sakit, maka namanya diganti dengan Abdul Wahid (nama salah satu kakek moyangnya). Selama masa kecilnya ia dipanggil oleh ibunya dengan nama Mudin, sedangkan santri ayahnya memanggil ia dengan panggilan Gus Wahid (Zaini, 2011: 6).

Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya tiap- tiap kali mengandung, Nyai Nafiqah yakni ibu KH. Wahid Hasyim itu terganggu kesehatannya. Di saat keadaannya waktu mengandung KH.

Wahid Hasyim, ia sangat merasa lemah dan merasa badannya tidak berdaya dan tidak bertenaga. Dikarenakan itu, sampai-sampai ia bernazar, “bila bayi dalam kandunganku ini nanti lahir dengan selamat

(47)

tiada kurang suatu apapun, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan kubawa ia menghadap kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu Kiai M. Kholil Bangkalan”. KH. Kholil ialah seorang ulama besar di dalam masa hidupnya, seseorang yang sangat shaleh dan zahid, sehingga oleh murid-muridnya sangat dicintai dan bahkan namanya disebut dengan Waliyullah KH. Kholil (Atjeh, 2015: 157).

Akhirnya Nyai Nafiqah melahirkan bayinya dengan selamat.

Menurut Atjeh (2015: 158-159) ketika waktu baru berumur 3 bulan bayi KH. Wahid Hasyim dibawa ke Madura untuk melepaskan nazar kepada KH. Kholil Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, waktu sudah malam dan keadaan cuaca sedang hujan rintik-rintik. Di kediaman itu terlihat sepi. Dengan beberapa kali dipanggil, akhirnya muncul dari dalam rumah itu seseorang yang perawakannya berjanggut putih panjang.

Seseorang itu kemudian berkata, “kamu sekalian tidak saya izinkan masuk ke rumah saya, dan tiada pula saya izinkan pergi dari situ, pendek kata, kamu harus tetap berada dalam tempatmu itu sekarang, sampai ada perintah lagi dari saya”.

Sesaat mendengar pernyataan itu, Nyai Nafiqah merasa kasihan melihat bayi kecilnya menggigil kedinginan karena terguyur air hujan. Lalu ia meneduh di tepi rumah. Di situ, Nyai Nafiqah tak henti- henti melafalkan “La ilaha illa Allah, Ya hayyu ya qayyum”. Mengetahui bahwasanya Nyai Nafiqah berteduh, KH. Kholil marah dan meminta agar bayinya dibawa kembali ke halaman yang sedang hujan lebat. Nyai

(48)

39

Nafiqah hanya bisa menuruti perintah itu dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan, bayi itu diletakkan kembali dalam pangkuan ibunya yang sedang diguyur hujan lebat (Roziqin dkk., 2009: 30).

Setelah itu, Nyai Nafiqah pulang kembali ke Jombang dengan pertanyaan yang tidak terjawab pada saat itu, mengapa KH. Kholil memperlakukannya seperti itu. Ternyata, peristiwa tersebut menjadi pertanda bahwa kelak nanti KH. Wahid Hasyim akan menjadi orang besar. Ada pula yang mengkaitkan dengan wafatnya KH. Wahid Hasyim melaui kecelakaan mobil saat perjalanan antara Bandung – Ciamis.

2. Riwayat Pendidikan

KH. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selama belajar di Pondok Pesantren dan Madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Dia mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal di luar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik (Rifa’i, 2009: 23).

Menurut Atjeh (2015: 162) K.H. Abdul Wahid Hasyim terkenal pendiam dan peramah, serta pandai mengambil hati orang. Saat usia 5 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya tiap lepas ibadah sholat maghrib dan dzuhur, ia pun bersekolah di waktu pagi di Madarasah Salafiyah di Tebuireng. Saat usia 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul Qarib, Mutammimah, Minhajul Qawim pada ayahnya juga.

(49)

Kemudia di saat usia 12 tahun, ia telah tamat dari madrasah, dan mulai mengajarkan kitab pada adiknya yakni Karim Hasyim pada malam hari.

Kemudian pada waktu berusia 13 tahun, ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo. Di pondok tersebut, ia mempelajari kitab-kitab seperti: Sulamut Taufiq, Bidayah, Taqrib, dan Tafsir Jalalain.

Pengajarnya itu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Khozin Panji. Akan tetapi sayang, ia belajar di Panji itu tidak lama, hanya 25 (dua puluh lima) hari.

Pada tahun berikutnya, ia pergi untuk belajar di Pondok Pesantren di Lirboyo, Kediri, akan tetapi belajar yang kedua kali ini pun hanya untuk beberapa hari (Atjeh, 2015: 162).

Meskipun KH. Wahid Hasyim telah pandai bahasa Arab dan juga kitab-kitab bahasa Arab, tetapi ia belum bisa membaca tulisan latin.

Ia baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Namun dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah bisa menguasainya. Zaini (2011: 13) mengasumsikan KH. Wahid Hasyim belajar huruf latin pada sepupunya Moh. Ilyas setelah lulus dari HIS (Hollands-Inlandsche School) dan datang ke Tebuireng untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1925.

Oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim walaupun ia tidak menempuh sekolah di lembaga pendidikan umum, namun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris serta bahasa Belanda pada usia 15 tahun. Kedua bahasa asing itu ia pelajari dengan membaca majalah yang ia dapat dari dalam negeri maupun kiriman dari luar negeri (Rifa’i, 2009:

24).

(50)

41

Aboebakar mengatakan dalam Atjeh (2015: 162):

“Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin dan dengan bersungguh-sungguh ia belajar mati-matian ilmu pengetahuan secara belajar sendiri. Sejak itu ia berlangganan “Penyebar Semangat”, “Daulat Rakyat”, dan “Panji Pustaka”, sedang dari luar negeri ia berlangganan “Ummul Qura”, “Shautul Hijaz”,

“al-Latha’iful Muswarah”, “Kullusyaiin wad-Dunya”, dan “Al- Itsnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari “Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama Majalah Tiga Bahasa. Ia mengambil 2 macam bahasa, bahasa Belanda dan Arab.”

Sejak usia itu, ia berlangganan majalah-majalah dari luar. Pada saat usia 15 tahun itulah ia benar-benar menjadi seorang yang kutu buku.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Aboebakar:

“Mulai umur 15 tahun pulalah ia benar-benar mejadi penggemar bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Yang demikian itu mungkin disebabkan ia telah merasakan sendiri kenikmatan dan kelezatan membaca, atau mungkin juga mengamalkan nasihat, baca apa saja 5 jam sehari, maka segeralah engkau menjadi terpelajar.” (Atjeh, 2015: 162-163) Kemudian pada tahun 1931, ia mulai mengajar kitab Kafrawi dan Ad-Durarul Bahiyah pada pelajar-pelajar saat malam hari, dan terkadang ia juga diminta berpidato jika ada rapat umum. Singkat kata, pengaruhnya sudah mulai tampak. Proses ini ialah proses meningkatkan mental untuk menjadi calon pendidik dan pemimpin di masa depan (Rifa’i, 2009: 25).

Saat usianya 18 tahun, KH. Wahid Hasyim dikirimkan ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, namun juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiaannya ini ditemani oleh sepupuya KH. Moh. Ilyas. Di Makkah ia belajar selama kurun

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang masalah penelitian ini adalah berangkat dari fenomena dekadensi moral maupun karakter bangsa yang kian lama semakin krisis. Diakui atau tidak

Untuk mencari figur seorang guru yang baik, murid harus melibatkan Allah SWT agar selalu diberikan kemudahan dan kelancaran dalam mencari ilmu daan memiliki ilmu

Kesimpulan dari skripsi ini adalah konsep pendidikan karakter yang terdapat dalam kitam Ta’limul Muta’allim Thoriqot Ta’allum antara lain mensyukuri nikmat, rendah hati, tekun,

Halsyim Alsy’alri belaljalr di Mekkalh, belialu berjumpal dengaln beberalpal tokoh yalng selalnjutnyal dijaldikaln sebalgali guru dallalm berbalgali disiplin ilmu algalmal islalm..

Almbillalh jalralk kiral-kiral sepalnjalng busur palnalh alntalral guru dengaln pelaljalr, kalrenal hall ini lebih menunjukkaln ralsal hormalt.100 Kesembilaln, seoralng pelaljalr

Relevansi Metode Pembentukan Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ta'lim Muta'allim Terhadap Pendidikan Modern.. Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 2016,