• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvergensi Agama-Agama

BAB III PAUL F. KNITTER

C. Konvergensi Agama-Agama

Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, bahwa rumusan teologi agama-agama Knitter berujung pada suatu dialog antar-agama-agama. Untuk itu, Knitter mengajukan sebuah pendekatan atau konteks bersama yang dapat mempertemukan beragam tradisi agama-agama, namun tradisi-tradisi tersebut tetap dalam kepelbagaiannya masing-masing.

Bagi Knitter, ada semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, suatu konteks

bersama yang di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks. Konteks ini membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. Namun mengusulkan Allah, dan bukan gereja atau Kristus, sebagai basis bersama, secara implisit, para teolog tidak sadar tetapi masih imperialistis memaksakan pemahaman-pemahaman tertentu tentang yang ilahi atau Yang Tertinggi, kepada orang-orang percaya lain. Seperti

kebanyakan umat Buddhis74, mereka mungkin malah tidak ingin berbicara tentang

Allah, atau mereka mengalami Yang Tertinggi sebagai sunyata, yang sama sekali

tidak atau sedikit sekali berhubungan dengan apa yang orang Kristen alami dan

disebut sebagai Allah.75

Jadi konteks bersama tersebut tidak boleh berawal dan berbasis dari sebuah dasar bersama (commond ground) yang dimiliki semua agama, seperti yang diusulkan beberapa teolog, "common essence" (A. Toynbee) atau "universal faith" (W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th. Merton. F. Schuon). Gagasan tersebut ditolak Knitter karena merupakan bentuk lain dari foundationalism atau objectivism. Apa yang sama dalam berbagai masalah ini maupun dalam konteks

74

Menurut penulis, maksud Knitter dengan memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu.

75

yang dimaksudkan oleh Knitter76 adalah pengalaman atas kenyataan penderitaan yang mengerikan, penderitaan yang menguras kehidupan dan membahayakan masa depan umat manusia. Tetapi, penderitan bukan hanya meliputi manusia, melainkan semua makhluk lainnya termasuk bumi. Bagi para teolog pembebasan, konteks bersama ini adalah pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi, artinya pengutamaan

untuk bekerja dengan dan untuk para korban dunia ini.77

Oleh karena keadaan yang memprihatinkan dari penderitaan-penderitaan dunia ini, ada sekelompok orang yang berusaha merumuskan suatu etika global yang dapat dipakai sebagai dasar yang dapat menuntut sikap bersama untuk mengatasi semua krisis yang ada. Salah satunya adalah Hans Küng yang berpendapat bahwa masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu.

Etika global semacam itu, yang diperlukan untuk melestarikan aksi global tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan agama. Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agama menawarkan kepada para pengikutnya suatu visi

76

Walaupun Knitter tidak setuju dengan “jembatan” filosofis-historis dan religius-mistik, tampaknya Knitter sejalan dengan para teolog model mutualitas yang menggunakan jembatan etis-praktis sebagaimana yang akan terlihat dalam pembahasan selanjutnya.

77

Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 288, Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 84, dan Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", h. 148.

tentang pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Keyakinan religius bahwa visi pengharapan ini bisa terlaksana didorong dan dikuatkan oleh energi yang dimiliki agama untuk menjalankan keyakinan itu, menghimpun kita semua untuk tujuan itu, apa pun yang terjadi. Inilah kontribusi dari visi dan energi yang dapat dan harus diberikan agama dalam merumuskan dan menindaklanjuti suatu etika global.

Usulan Küng ini, walaupun barangkali lebih kompleks dari yang diduganya, dan walaupun harus dilaksanakan dengan lebih berhati-hati dalam bentuk yang lebih berbeda dari yang diusulkannya, merupakan pandangan yang akan diterima oleh lebih banyak orang dan bangsa-bangsa di dunia ini. Masyarakat membutuhkan bentuk-bentuk kerjasama etis baru yang bisa dipakai untuk melaksanakan dialog dan konsensus etis yang baru, dan untuk inilah, semua agama – secara bersama-sama,

bukan sendiri-sendiri – memainkan peranan yang sangat penting.78

Dengan kata lain, apabila agama-agama dunia dapat menyadari kemiskinan dan penindasan sebagai masalah bersama, apabila mereka dapat memiliki komitmen bersama, yang diungkapkan dalam bentuk yang berbeda-beda, untuk menyingkirkan kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka akan mempunyai dasar untuk menyebrangi ketidaksebandingan dan perbedaan-perbedaan mereka, untuk saling mendengar dan memahami yang lain dan kemungkinan diubah di dalam prosesnya.

78

Pemahaman tentang peranan sentral pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi di dalam dialog antar-agama berarti bahwa evolusi dalam sikap-sikap Kristen terhadap agama-agama lain telah berkembang dari eklesiosentrisme kepada kristosentrisme kemudian teosentrisme, sikap-sikap tersebut harus terus berlanjut dengan apa yang disebut sebagai “kerajaan sentrisme” atau yang lebih universal

“soteriosentrisme.”79

Konteks bersama ini, berkaitan dengan pandangan Jon Sobrino mengenai kristologi dan misi Yesus. Sebagaimana yang dikutip Knitter dalam bukunya

Menggugat Arogansi Kekeristenan, Sobrino menegaskan bahwa, Pertama, “Yesus

bukanlah yang pokok pada diri-Nya sendiri” (kristosentris), kedua, “Yang pokok bagi

Yesus tidak hanya Allah,” maksudnya adalah, Yesus tidak hanya mewartakan Allah, Allah tidak hanya dan sama sekali tidak secara absolut merupakan referansi utama

Yesus (Teosentris), ketiga, “Pokok perhatian Yesus juga bukan Gereja atau Kerajaan

surga” (eklesiosentris). Namun “yang utama bagi Yesus adalah Kerajaan Allah”

(Soteriosentris).80

79

Knitter memakai kata Yunani soteria sebagai istilah yang heuristik atau petunjuk arah untuk menegaskan bahwa keperihatinan terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan dapat menjadi titik berangkat atau pertemuan untuk berdialog. Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 53, dan Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 291.

Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita. Singkatnya, bagi Sobrino, Kerajaan Allah adalah “segala

80

sesuatu yang memajukan kesejahteraan manusia dan menghilangkan penderitaan.”81

Pendekatan soteriosentris dapat dibedakan dari kristosentrime atau teosentrisme, yaitu dalam soteriosentrisme adanya pengakuan yang eksplisit bahwa di

hadapan misteri soteria, tidak satu pun perantara atau sistem lambang yang mutlak.

Perspektif soteria yang diberikan oleh seorang perantara selalu terbuka untuk

diperjelas, dilengkapi, barangkali dikoreksi oleh pandangan-pandangan perantara-perantara lain.

Dari penjelasan Jon Sobrino, yang dimaksud Knitter dengan soteria, yaitu upaya

mensejahterakan dan membebaskan orang-orang yang tertindas dari penderitaan, termasuk penderitaan dunia, dalam istilah Knitter, eko-manusiawi.

82

Knitter megajukan kriteria soretiosentris, di mana tidak perlu menggiring pada suatu bentuk fondasionalisme di luar praksis pembebasan dan dialog. kriteria soteriosentri berfungsi sebagai sebuah perangkat yang heurustis dan bukan sebagai sebuah basis yang didefinisikan. Kriterianya dapat dikenal hanya di dalam praksis sesungguhnya dalam bergumul untuk mengatasi penderitaan dan penindasan dan hanya dalam praksis dialog. Misalnya, apa cara terbaik untuk menghapuskan penderitaan dan penindasan? Analisis sosial-budaya apakah yang dibutuhkan? Transformasi pribadi atau perubahan kesadaran apakah yang dibutuhkan?

Pengutamaan kaum miskin tidak meberikan jawaban-jawaban yang sudah baku terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, titik tolak untuk bergumul

81

Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 179-180. 82

bersama, menuju jawaban-jawaban yang diberiakan dalam pengutamaan fundamental untuk, dan dalam komitmen kepada, kaum tertindas. Meskipun kemungkinan ada kesepakatan umum tentang bagaimana meningkatkan keadilan dan menyingkirkan penindasan, setaip agama atau tradisi akan mempunyai pemahamannya sendiri

tentang apa yang dilahirkan oleh soteria atau pembebasan.83

Jadi, untuk menghindari relativisme, imperialisme dan fondasionisme, Knitter mengajukan semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama. Konteks bersama akan membantu agama-agama untuk menilai satu sama lain. Konteks bersama tersebut

adalah soteriasentris (Kerajaan Allah). Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas

duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita, termasuk bumi yang semakin lama semakin rusak. Konteks ini lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab global. Meletakkan tanggung jawab global sebagai konteks bersama, bukanlah sebagai pereduksian agama pada moralitas. Namun, berdasarkan unsuru-unsur hakiki yang ada dalam agama, yaitu spirit transformatif. Agama-agama pada dasarnya bertujuan mengantar orang pada transformasi diri, disamping itu faktanya bahwa ajaran agama memilki sumber etis yang tidak hanya mengarah pada dunia lain (eskatologi).

83

Dokumen terkait