• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum Konsili Vatikan II

BAB II SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA

B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain

1. Sebelum Konsili Vatikan II

Telah dikemukakan di atas bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Vatikan II menunjukkan sikap bersahabat dan tidak menampilkan agresivitas kekerasan. Sikap ini diwariskan kepada Bapa Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan Gregorius Nazianse (sekitar abad ke-3). Mereka merefleksikan peranan agama-agama non-Kristen dalam

rencana keselamatan universal Allah.33

Ketika Eropa mulai melakukan ekspansi ke benua-benua baru, sekitar abad ke-16 dan 17, terjadilah perjumpaan yang intens antara Kristen dengan agama-agama lain. Pada 1510 kekeristenan masuk ke Goa, pada tahun yang sama juga sampai ke Congo. Kemudian, Fransiskus Xaverius tiba di Jepang pada 1549. Perjuampaan Kristen dengan agama dan kebudayaan lain membuat para misionaris, menurut penulis mereka terpaksa, mengambil sikap

32

Armada Rianto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 23-24.

33

toleran34

Sikap positif Gereja Katolik terhadap agama-agama lain ditegaskan

pula oleh Kongregasi untuk Penyebaran Iman (Propaganda Fide, berdiri pada

1622) dalam surat, dibuat pada 1659, yang memuat norma-norma bagi para Uskup Eropa yang menadapat tugas memimpin Gereja-Gereja Asia.

dan merangkul agama dan kebuadayaan pribumi. Tokoh-tokoh seperti Matteo Ricci di China, Valignano di Jepang, dan De Nobili di India merupakan tokoh-tokoh yang mengambil sikap positif dan menegaskan bahwa iman Kristen tidak eksklusif dan tidak mengucilkan apa yang baik dan suci dari agama serta budaya lain.

Norma-norma tersebut berbicara mengenai desakan untuk tidak memaksa masyarakat pribumi mengubah ritus-ritus asli, kebudayaan, dan cara-cara hidup khas mereka, kecuali jelas-jelas bertentangan dengan agama dan moral. Ditegaskan pula agar tidak memunculkan budaya baru seperti (sinkritisme) Prancis-China, Spanyol-Philipina, dan Portugis-Indonesia. Budaya-budaya asli patut dipertahankan dan dilestarikan kerena mengarah

pada benih-benih keselamatan.35

34

Tolerant atau dalam bahasa Latin Tolerantis berasal dari kata Tolero. Berarti kemampuan untuk menahan terhadap/ dapat menerima. Toleransi yang dimaksud adalah kecenderungan untuk sabar menghadapi/ tahan terhadap keyakinan orang lain yang berbeda-beda. Jadi, menurut penulis, walaupun tidak ada penerimaan terhadap keyakinan orang lain. Namun masih ada sikap menerima (selain konsep teologis) dan kesediaan bekerja sama dengan umat agama lain. Lih Philip Babcok Gove, ed., The New Grolier Webster’s International Dictionary of The English Language, Vol II (Massachusetts: G & C. Merriam Company Publishers, 1960), h. 1035.

35

Sikap positif ini kemudian meluntur ketika praktek kolonialisme dilancarkan, salah satu usahanya ialah mengganti kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Eropa, termasuk agama sehingga pewartaan misionaris identik dengan invasi kubudayaan Eropa. Ditambah lagi dengan muculnya aliran/ordo Yansenisme yang mempropogandakan bahwa di luar Gereja tidak ada

keselamatan, dikenal dengan istilah Extra Ecclesiam Nulla Salus yang

mendapat simpati luas pada abad ke-18 hingga 1936

Namun menurut Harold Coward, pertikaian Arius dan Athanasius mengenai hakikat hubungan antara Allah dan Yesus, yang dimenangkan oleh Athanasius, bahwa Yesus adalah penjelmaan sejati satu-satunya, merupakan puncak sikap tertutup dan eksklusif agama Kristen, sebelumnya sikap tersebut telah dimulai pada masa Gnostik (abad ke-2).

. Dengan demikian, sikap eksklusivisme Gereja Katolik muncul sekitar abad 18-19 M.

37

Adapun John Hick berpandangan bahwa, sikap eksklusivisme merupakan fase awal dari perkembangan sikap Kristen terhadap agama-agama lain, ditandai dengan adanya Konsili Florence (1438-1445) yang menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik dapat menjadi bagian di dalam kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam

36

Rianto, Dialog Agama, h. 25. 37

Harold Coward, Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 84-85.

api kekal yang disiapkan untuk setan dan pengikutnya kecuali jika sebelum

akhir hidupnya mereka menjadi anggota Gereja.”38

Jadi ada tiga pendapat mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen

terhadap agama-agama lain, pertama, dimulai pada abad pertengahan ketika

Bangsa Eropa mulai mempraktekkan Kolonialisme (abad ke-16, namun secara

intens terjadi pada abad 18-19), Kedua, dimulai sejak awal perkembangan

agama Kristen ketika berjumpa dengan filsafat Yunani (abad ke-2), dan

ketiga, sejak diadakannya Konsili Florence pada abad ke-15.

Meskipun demikian, menurut Armada Rianto, pendapat pertama mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen dipertegas dan diperkuat oleh

pernyataan bahwa extra ecclesiam nulla salus adalah ungkapan yang berasal

dari Santo Cyprianus (abad ke-3) yang sebenarnya bersifat apologetik dan bukan eksklusif, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ungkapan tersebut disalahartikan. Sesungguhnya ungkapan Cyprianus tersebut ditujukan kepada baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang memisahkan dari dari Gereja yang benar). Ditegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak membawa kepada keselamatan. Hanya melalui Gereja Katolik yang membawa keselamatan, “baptisan” di luar Gereja tidak ada keselamatan.

Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan “bahtera” Nuh yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya, yang memisahkan diri dengan sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan.

38

John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin (Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006), h. 23-24.

Pernyataan serupa juga disampaikan Santo Agustinus yang menyatakan bahwa “di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan.” Pandangan tersebut semakin meluas sejak disebarluaskan oleh murid Santo Agustinus,

Uskup Fulgentius (467-533).39

Menurut John Hick, doktrin extra ecclesiam nulla salus menekankan

bahwa hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan. Meskipun demikian, orang-orang yang bukan Katolik secara metafisis adalah Katolik sebab mereka

mungkin mempunyai iman implisit sebagai ganti iman yang eksplisit. Hal ini

diperkuat oleh pernyataan Sri Paus Pius XI pada 1854, sebagai berikut:

tentu saja itu harus dipegang sebagai persoalan iman bahwa di luar Gereja kerasulan Roma tidak seorang pun dapat diselamatkan, serta bahwa Gereja menjadi satu-satunya perahu keselamatan dan siapa pun yang tidak memasukinya akan binasa dalam banjir. Pada sisi lain, harus diyakini sebagai hal khusus bahwa siapa pun yang dipengaruhi oleh ketidakmengertian akan agama yang benar bukanlah orang yang harus menanggung kesalahan dari permasalahan ini di hadapan Tuhan

jika itu merupakan ketidakmengertian yang tidak terelakkan.40

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa, umat agama lain selain Kristen yang tidak mengenal karya penyelamatan Yesus karena informasi mengenai Dia tidak sampai pada mereka, secara tidak sadar atau secara implisit adalah Kristen. Hal ini akan kembali dipertegas oleh Rahner dengan istilah “Kristen Anonim.”

39

Rianto, Dialog Agama, h. 26. 40

Menurut Walter Kasper bahwa ungkapan extra ecclesiam nulla salus

pada awalnya tidaklah eksklusif. Ungkapan tersebut hanyalah sebagai “pagar” bagi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa itu mulai goyah.

Dengan kata lain ungkapan extra ecclesiam nulla salus digunakan untuk

mencegah keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar (Gereja Katolik) dan untuk meyakinkan kesesatan pandangan-pandangan para bidaah dan kaum gnostis.

Diketahui bahwa pada masa itu Bapa Gereja hanya mengenal satu Gereja yang benar, Gereja Katolik. Adapaun Fulgentinus adalah Uskup Rospe, Afrika Utara dan murid setia Santo Agustinus yang dikenal sebagai penentang kuat aliran sesat Arianisme. Kemudian pada 1442 dalam Konsili

Florence ungkapan extra ecclesiam nulla salus pertama kali, dalam

dokumennya, ditujukan kepada orang kafir atau, secara khusus, orang yang sesat dalam beriman Kristen sebagai apologetika, bukan kepada orang

beragama lain.41

Namun, seperti yang telah disebutkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, ungkapan tersebut disalahartikan. Penafsiran mengenai di luar iman Kristus atau bahkan di luar Gereja Katolik tidak ada keselamtan semakin meluas, terutama setelah ditemukannya benua-benua baru sekitar abad ke-15. Oleh karena itu, para misionaris meyakini bahwa memenangkan jiwa-jiwa yang dipandang celaka karena tidak mengenal Kristus merupakan tugas mulia. Dengan demikian wajar jika ungkapan tersebut dimunculkan.

41

Menurut Aloysius Pieris bahwa semangat misionaris pada waktu itu bukanlah eksklusif, akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawab besar terhadap keselamatan orang kafir dan tidak bersifat negatif bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan begitu dasar pewartaan para misionaris adalah berdasarkan cinta kepada Kristus dan kemiskinan rohani

orang-orang kafir.42

Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Konsili Vatikan II adalah bersahabat dan toleran, meskipun ada ungkapan bahwa umat non-Kristen, walaupun tidak mengenal Yesus dan Gerejanya bukan karena kesalahan mereka, memiliki keterarahan pada Kristus

(inklusivisme). Munculnya ungkapan extra ecclesiam nulla salus pada

awalnya dimaksudkan untuk membentengi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa tersebut mulai goyah akibat munculnya para bidaah yang digolongkan sebagai kaum gnostis. Seiring dengan jalannya waktu, terjadi salah penafsiran terhadap ungkapan tersebut, terutama ketika ditemukannya benua-benua baru dan kolonialisme, menjadi tidak ada keselamatan pada agama-agama lain. Hal ini berlangsung hingga Konsili Vatikan II yang merubah sikap eksklusivisme Gereja menjadi lebih terbuka terhadap agam lain, inklusif.

42

Dokumen terkait