• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAUL F. KNITTER

A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain

3. Model Mutualitas

Model mutualitas lebih berpihak pada kasih dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus. Umat Kristen yang menganut model mutualitas merasa bahwa teleskop teologis tradisional yang menganggap agama-agama lain sebagai agama yang akhirnya harus digantikan (model penggantian) atau disempurnakan (model pemenuhan) oleh agama Kristen sama sekali tidak menunjukkan apa yang sebenarnya ada di dalam agama-agama lain maupun di dalam Injil Yesus. Oleh karena itu, mereka menolak model-model yang mapan ini. Jadi, mereka sedang mencari jalan yang dapat menghindarkan mereka dari apa yang disebut sebagai pemahaman Kristus dan agama Kristen yang “absolut” (di mana Kristus merupakan satu-satunya Juru Selamat dan Kata akhir) dan yang bisa membawa mereka ke sesuatu yang bersifat “rendah hati.”21

21

Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan bagian mutlak dari kewajiban mengasihi sesama. Oleh karena itu, apa yang dijumpai umat Kristen di dalam berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya keragaman tetapi mitra dialog yang potensial. Atas dasar itu, hubungan lebih penting dari pada pluralitas. Hubungan tersebut harus mutual, artinya hubungan dan percakapan dua arah yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan

mendengarkan, terbuka untuk belajar dan berubah.22

Untuk menciptakan kesetaraan dalam dialog, menurut model mutualitas, dibutuhkan sebuah “keseimbangan kasar” di antara agama-agama. Maksudnya adalah semua agama memiliki “hak sederajat” untuk berbicara dan didengarkan, berdasarkan nilai yang melekat pada mereka tanpa adanya superioritas, final, atau absolut pada salah satu agama. Jika demikian perlu pemahaman baru mengenai keunikan Yesus agar dialog dapat terus dipertahankan.

Dalam usaha membina dialog yang setara, model ini tetap memelihara keragaman dan perbedaan yang nyata di antara berbagai agama yang ada. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa semua agama secara esensial sama atau

22

hanya berbicara yang sama perlu dihindari. Namun, harus ada sesuatu yang

sama di antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog.23

Model ini telah melampaui apa yang dikenal sebagai model penggantian (eksklusivisme), dan telah menyeberangi jembatan kaum gereja Katolik dengan model pemenuhan (inklusivisme). Citra yang sering digunakan penganut model mutualitas untuk menggambarkan berbagai

implikasi dari prospek mereka adalah “menyeberangi sungai Rubicon.”24

Ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan isyarat bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model

mutualitas,25

a. Jembatan Filosofis-Historis yaitu:

Jembatan ini bertumpu pada dua pilar: keterbatasan historis

dari semua agama26

23

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 130-132.

dan kemungkinan filosofis bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang

24

Sungai yang memisahkan kekuasaan Romawi dengan wilayah lain. Ungkapan ini menggambarkan keberanian Julius Caesar memasuki medan/ wilayah baru yang penuh dengan berbagai kemungkinan baru maupun ketidakpastian baru. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.133.

25

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.133. 26

Umat beragama hanya mampu memahami fenomena dari Yang Nyata, tetapi tidak mampu memahami Yang Nyata dalam dirinya sendiri atau nomena-Nya. Inilah yang disebut relativisme historis. Dengan demikian, tidak ada satu agama pun yang dapat menganggap kebenaran penuh, final, dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena pengetahuan manusia secara historis maupun sosial terbatas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 135-139.

terkenal dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi Kopernikus”. Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religious semua agama yang memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah gereja (eklesiosentris), bukan pula pada Kristus (kristosentris), melainkan pada Allah (teosentris).

Sadar bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama Kristen”, dan juga Islam, serta agama-agama seperti Buddha tidak berbicara tentang Allah atau suatu Makhluk Ilahi, Hick kemudian memakai istilah “yang Nyata” atau yang “benar-benar Nyata” sebagai

pusat semua agama.27

b. Jembatan Religius-Mistik

Berbeda dengan jembatan filosofis-historis, pendekatan religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu maupun kelompok.

Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu, Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah

27

Yang Ilahi beragam seperti halnya agama. Salah satu tokoh yang

terkenal dengan pendekatan ini adalah Raimundo Pannikar.28

c. Jembatan Etis-Praktis

Kebanyakan agama mampu membangun jembatan ini, yaitu pengakuan bahwa kemiskinan dan penderitaan yang merusak kemanusian dan bumi ini merupakan keprihatian semua agama. Semua agama terpanggil untuk mengatasi berbagai penderitaan ini, yang kalau dilaksanakan secara serius akan memampukan mereka mengakui bahwa dialog yang lebih efektif di antara mereka perlu dilakukan.

Salah satu tokohnya adalah Thomas Berry. Ia berpendapat bahwa kepedulian bagi kesejahteraan planet ini merupakan kepedulian yang diharapkan dapat membawa berbagai bangsa dan agama ke

dalam komunitas antar bangsa dan antar agama.29

Bertindak bersama-sama memampukan agama-agama untuk saling mengenal dengan baik. Dengan adanya tanggung jawab terhadap dunia dan penderitaan manusia, agama-agama berkesempatan untuk memahami baik dirinya sendiri maupun sesama. Oleh karena

28

Menurut Pannikar, walaupun perbedaan agama tak terbandingkan, ada satu Roh yang menggerakkan dan hidup di antara kepelbagaian itu, ia juga yakin bahwa ada kemungkinan dan kebutuhan untuk menghubungkan, atau membangun relasi di antara berbagai agama. Pannikar secara eksplisit mengatakan bahwa ada koeksistensi damai di antara agama-agama yang dengan saling berhubungan, melalui dialog, mereka akan menemukan dan memperluas identitas mereka masing-masing. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 149-150.

29

itu, masalah penderitaan dunia dan manusia merupakan asas bersama

dalam dialog agama-agama.30

Dokumen terkait