• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAUL F. KNITTER

A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain

4. Model Penerimaan

Model ini merupakan reaksi terhadap kekurangan model-model sebelumnya; model penggantian dan pemenuhan lebih menekankan partikularitas satu agama sehingga validitas agama-agama lain hancur, model mutualitas lebih menitikberatkan pada universalitas dari semua agama

sehingga menutupi perbedaan partikularitas yang ada.31

Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa, melainkan, lebih jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan” dalam setiap agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang diartikan oleh umat Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan yang non-persona jelas-jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan dengan persekutuan dengan Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan titik-tujuan yang berbeda, dua “pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut merupakan dua realitas yang berbeda.

32

30

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 165.

Umat Buddha tiba di Nirwana, umat Kristen tiba dalam persekutuan dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh

31

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 205. 32

karena itu, perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima secara temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima secara permanen.

Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda

memimpikan dan berusaha mencapai salvations, bukan salvation, bahwa ada

lebih dari satu keselamatan di antara berbagai agama.33

Selain mengakui bahwa tujuan akhir (eskatologis) tiap agama berbeda-beda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud

Ilahi (Devine Being) atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya

perbedaan Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen, Heim menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan berbentuk Tritunggal.

Jadi, usaha yang dilakukan teolog penganut model mutualitas untuk mencari persamaan atau satu tujuan yang sama di antara berbagai agama, bahwa walaupun agama-agama berbeda, semua agama-agama memiliki satu tujuan yang sama (Yang Nyata), harus dihindari.

34

33

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 228.

Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus

34

Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa yang dialami Yesus sebagai yang Ilahi, umat Kristen merasa dan berusaha menjelaskan perasaan mereka bahwa Yang Ilahi itu bukanlah satu realitas. Yang Ilahi itu juga banyak, banyak dalam cara Allah berhubungan dengan dunia, serta banyak pula dalam cara Allah berhubungan dengan dirinya sendiri. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 230.

menggali keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang memunculkan hubungan antar agama, yaitu melaui dialog.

Ketika dialog dilakukan, para penganut model mutualitas merasa perlu menanggalkan sesuatu yang absolut dari berbagai agama agar dialog dapat berjalan seimbang. Berbeda dengan model tersebut, Heim berpendapat bahwa justru berbagai yang absolut itu merupakan substansi dan energi untuk berdialog. Dalam dialog, peserta dialog harus tetap mempertahankan perbedaannya masing-masing. Dengan begitu, umat beragama yang berbeda-beda akan saling berdialog dan belajar. Perberbeda-bedaan yang tak dapat dihindari

ini, bagi Heim disebut “pluralisme orientasional.”35

Perspektif semacam ini juga tercermin dalam apa yang diusahakan Knitter dalam tahun-tahun terakhir perjalanan teologisnya. Knitter mengajukan sebuah model baru, setidaknya Knitter bukan orang pertama yang mengajukan pendekatan seperti ini,

36

pendekatan yang lebih korelasional terhadap agama-agama lain dengan alasan bahwa, esklusivisme telah menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan antar agama sehingga perlu dihindari dan dikoreksi. Begitupun inklusivisme, telah

memunculkan ambiguitas terhadap kebenaran agama-agama lain,37

35

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 233-234.

di samping

36

Perhatikan pembahasan tentang model penerimaan di atas. 37

Maksud ambiguitas disini adalah, agama-agama lain benar dan mampu menyelamatkan manusia, namun tidak sempurna sebagaimana agamanya. (di satu sisi benar, di sisi lain tidak sempurna). Lih Paul F. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 41.

adanya keyakinan bahwa orang-orang dari latar belakang religius yang berbeda dapat berdialog dan saling memahami untuk dapat membuat pembicaraan bermanfaat,

memperkaya dan mungkin transformatif.38 Oleh karena itu, suatu pendekatan

korelasional terhadap penganut agama lain berusaha menghilangkan bahasa “absolutis”. Sehingga, klaim bahwa umat Kristen memiliki kata akhir yang diberikan

Allah atas semua kebenaran dapat dihindari.39

Dalam hubungan dengan agama-agama lain, teologi pluralis atau korelasional pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul, dan menggumuli perbedaan-perbadaan yang nyata, jelas, bahwa tradisi-tradisi keagamaan memang berbeda dan kadang tidak bisa dibandingkan di antara berbagai tradisi agama.

Hal ini senada dengan apa yang telah diupayakan para teolog model mutualitas seperti John Hick dan Raimundo Pannikar.

40

Kemudian mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai. Bagi Knitter inilah

yang disebut “kesamaan yang kasar” di antara berbagai tradisi.41

38

Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 60-61.

Keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, melainkan suatu kekayaan yang harus diterima dan disambut oleh semua agama, sebab kita tidak dapat

39

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42. 40

Perbedaan disini seperti yang telah dikatakan Heim di atas bahwa agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, mereka bahkan berbeda dalam tujuan dan Tuhan. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 259.

41

menghindari atau menutup mata dari keragaman agama di sekitar kita.42

Akan tetapi, perlu ditekankan kehati-hatian terhadap pengakuan adanya kemungkinan nilai dari agama-agama lain. Seperti yang dikatakan Schubert Odgen, kebanyakan tokoh Kristen yang pluralis terlalu cepat mengatakan “ada banyak agama yang benar.” Generalisasi sepintas tersebut sama kelirunya atau mungkin sama berbahayanya kalau dikatakan bahwa “semua orang Amerika itu demokratis.” Jika melihat sejarah bagaimana agama-agama telah dipakai sebagai alat manipulasi dan eksploitasi, seperti di Ambon dan Poso, diperlukan bukti sebelum menyatakan bahwa semua agama baik dan bernilai.

Jadi, biarkanlah perbedaan (diversitas) agama terjadi.

43

Peringatan ini juga diperkuat oleh pendapat Hick, bahwa perbedaan tetap bermasalah, tidak semua jalan atau agama mengarah pada puncak gunung (Yang Nyata). Hal ini disebabkan dalam sejarah agama, Yang Nyata seringkali digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain.44

42

Agama-agama jelas berbeda dan tidak mungkin mengumpulkan mereka dalam satu “kata akhir” atau apa yang disebut Hick sebagai “Yang Nyata”. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 9, dan Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-70.

Namun, Hick tetap dalam pendiriannya bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Inilah yang membedakan cara pandang Hick dengan perspektif Knitter terhadap agama-agama lain.

43

Dalam konteks ini, Knitter mencontohkan India sebagai negara yang pemerintahannya menjadikan agama sebagai objek eksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan.

44

Knitter mengkritik para teolog pluralis, seperti Hick, bahwa mereka seringkali mengabaikan bahkan menyelewengkan diversitas (bahwa agama-agama benar-benar

berbeda termasuk perbedaan keselamatan). Memaksakan semacam asas bersama45

dan aturan main bersama dalam berdialog telah membuat para teolog pluralis terjebak dalam imperialisme. Para teolog pluralis tidak sadar bahwa asas dan aturan main bersama tersebut seringkali merupakan perspektif dari satu agama. Hal senada seperti yang diungkapkan S. Mark Heim bahwa kalau mereka meyakini Tuhan sebagai yang absolut bagi semua agama tanpa menyebut Tuhan siapa yang mereka maksud, mereka

telah menjadikan dirinya menjadi Tuhan.46

Jadi terhadap pernyataan bahwa banyak agama yang benar adalah betul dan memang hal itu merupakan kenyataan, akan tetapi bukan berarti semuanya benar dan memiliki tujuan yang sama. Setiap agama memiliki tujuannya masing-masing. Hal ini merupakan sikap kehati-hatian Knitter yang hampir menyerupai sikap Heim terhadap berbagai agama lain. Menurut penulis, pandangan Knitter terhadap berbagai agama lain tidak terlepas dari pengaruh Mark Heim. Namun, penulis belum menemukan argumen yang menunjukkan bahwa Knitter setuju dengan pandangan Heim mengenai perbedaan agama yang mungkin disebabkan akibat perbedaan Tuhan.

45

Asas bersama yang dimaksud seperti yang diusulkan beberapa teolog, "common essence" (A. Toynbee) atau "universal faith" (W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th. Merton. F. Schuon).

46

Dalam perspektif pluralis atau model mutualitas, umat Kristen menolak dan menghindari diri dari berbagai kata sifat seperti “hanya satu-satunya”, “definitif”, “superior”, “absolut”, “final”, “tak terlampaui”, “total” untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus sang Kristus. Knitter menambahkan, tanpa

mengklaim bahwa semua agama setara (equal), sehingga relativisme dapat

dihindari.47

Dengan demikian umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin (possibly) akan menemukan kebenaran dan kebaikan di dalamnya, seperti apa yang diyakini oleh para teolog pendekatan model penerimaan (inklusif) seperti Rahner, tetapi bahwa mereka lebih mungkin (probably) menemukannya

Equal disini seperti apa yang telah dibahas di atas bahwa semua agama, dalam diversitasnya memiliki tujuan universal atau keselamatan yang sama.

48

Teologi korelasional memungkinkan umat Kristen berpegang pada

kemungkinan, dan mendorong probabilitas, bahwa sumber kebenaran dan

transformasi yang mereka sebut Allah dari Yesus Kristus memilki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Maksudnya adalah sumber kebenaran dan keselamatan bukan hanya dapat diperoleh melalui Kristus, agama-agama lain pun memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, namun dengan jalannya masing-masing.

tanpa harus menanggalkan perbedaan.

47

Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42. 48

Model teologi agama-agama yang pluralistik-korelasional bukan hanya menegaskan kemungkinan tetapi juga realitas umat beragama yang otentik lainnya dan karena itu menegaskan adanya agama-agama benar lainnya. Sampai sejauh mana hal ini bisa dibandingkan dengan yang lainnya, dapat diketahui hanya melalui dialog. Semua usaha membangun teologi agama-agama harus dimulai dengan dialog dengan

agama-agama lain.49

Oleh karena itu, model korelasional yang diusulkan Knitter juga menegaskan hakikat agama yang relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Walau pun model ini mengakui adanya perbedaan dan partikularitas radikal dan tidak terhidarkan di antara semua agama, ia juga mengakui adanya hubungan antar-sesama yang muncul dari ketidaksempurnaan dalam diri semua agama.

Dengan demikian, karena kapelbagaian berbagai agama harus diakui dan dijaga, dan karena kepelbagaian itu diyakini bernilai dan penting secara potensial bagi semua orang, maka kandungan yang bernilai dari agama-agama tersebut harus dibagi dan dikomunikasikan, agama-agama dunia harus berdialog.

50

Perspektif teologi agama-agama Paul F. Knitter, teologi korelasional dan

bertanggung jawab secara global,51

49

Knitter, Teologi Agama-Agama, h. 261-264.

menolak klaim-klaim kebenaran dan keselamatan

50

Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 48-49. 51

Dalam hal ini, Knitter mengajukan dukungan kultural bagi model korelasional dan bertanggung jawab secara global, yaitu kesadaran akan yang lain, bahwa kita tidak dapat menutup mata dari keberagaman agama yang ada disekitar kita, kesadaran akan sejarah, bahwa semua agama, pengetahuan yang kita peroleh, terbatas pada konteks sejarah. Jadi perlu reinterpretasi ulang terhadap

yang hanya dimiliki satu agama (eksklusivisme), klaim bahwa Kristus merupakan kata akhir dari semua agama (inklusivisme), bahkan melampaui pluralisme yang menyatakan banyak agama yang benar karena agama-agama merupakan manifestasi Tuhan di dunia dalam berbagai tingkat cakrawala pikiran manusia sehingga semua agama relatif. Meskipun secara filosofis Knitter menggunakan perspektif ini, ia merasa perspektif tersebut belum cukup untuk merangkul semua agama.

Perbedaan fundamental antara Knitter dan Hick dalam memandang agama-agama lain terletak pada penerimaan dan penghargaan Knitter terhadap agama-agama-agama-agama lain tanpa mencari kesamaan teologis sebagaimana yang diupayakan Hick dengan pendekatan teosentris. Bagi Knitter biarlah agama-agama tetap berbeda tanpa melepaskan keunikan masing-masing. Namun tetap menerima dan menghargai kebenaran dalam setiap agama. Walaupun ia sangat berhati-hati dengan pengakuan adanya nilai kebenaran dalam suatu agama. Hal ini dilakukannya untuk menghindari penyalahgunaan agama demi kepentingan suatu kelompok tertentu.

Cara pandang Knitter dengan penekanan terhadap diversitas agama-agama, tapi juga mengkritik absolusitas dan normativitas Kristus yang telah mapan dalam doktrin Kristen, menurut penulis, merupakan upayanya untuk menghilangkan

klaim-klaim agama yang telah terbentuk oleh sejarah, kesadaran imperiatif moral dialog, bahwa dialog di antara agama-agama tidak lagi suatu kemewahan tetapi merupakan kebutuhan teologis, jadi untuk menemukan kebenaran kita sendiri, kita harus berdialog dengan kebenaran dari yang lain, Kesadaran akan tanggung jawab bagi dunia, bahwa umat beragama tidak hanya terfokus pada dialog antar-iman, penderitaan yang lain termasuk dunia merupakan tanggung jawab semua agama. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-83.

eksklusivisme dan inklusivisme dalam Kristen. Namun tetap mempertahankan keunikan Kristus sebagai sesuatu yang unik dalam agama Kristen. Menurut penulis keunikan yang dimaksud Knitter dalam setiap agama adalah sesuatu yang membuat

agama tersebut spesial, khusus dan berbeda dari agama-agama lain ̶ seperti Kristus

dan Kerajaan Allah dalam Kristen, Gaotama dan Sunyata dalam Buddha ̶ bukan

yang menyebabkan suatu agama menjadi absolut, normatif dan final.52

Dengan demikian, pandangan Knitter terhadap agama-agama lain terbuka terhadap kemungkinan bahwa, secara filosofis, ada banyak agama yang benar dan menyelamatkan, karena merupakan manifestsi dari Tuhan yang satu, dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan merubah dunia, namun tetap menekankan diversitas agama-agama. Selain mengakui eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin agama mereka masing-masing namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut. Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain.

Oleh karena itu, ketika berdialog setiap agama tidak perlu menanggalkan keunikannya masing-masing sebagai komitmen terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap agama.

52

Dokumen terkait