• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Illegal Logging

2. Korporasi/Badan Hukum ( Recht Persoon )

Selain manusia/individu sebagai pembawa hak, terdapat pula kumpulan manusia (badan-badan) yang oleh hukum diberi status persoonyang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia, misalnya dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggota yang berada didalamnya.

Tujuan perlindungan yang dituju oleh asas legalitas bukan saja terhadap orang-perseorangan tetapi juga korporasi. Van Sterien mengatakan, “tidak hanya

manusia (sebagai subjek hukum) yang harus mendapatkan perlindungan dari pelaksana kekuasaan negara yang tak terbatas. Perlindungan yang sama juga harus

diberikan kepada badan hukum.”124

Perkembangan hukum pidana sejak diberlakukannya KUHP Belanda (1818) dan melalui asas konkordansi diberlakukan di seluruh Indonesia dengan Undang- undang RI Nomor 73 Tahun 1958, belum mengakui secara komprehensif, perusahaan atau korporasi sebagai subjek tindak pidana dan karenanya dapat

diancamlan pidana. Pengertian “barang siapa” atau “hij die” atau “any person” tidak

mencerminkan secara tersirat bahwa di dalam pengertian itu, suatu perusahaan atau korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat

124

A.L.J.Van Strien, “Badan Hukum sebagai Pelaku TIndak Pidana”, dalam M.G. Faure, J.C. Oudijk dan D. Schaffmeiter,Kekhawatiran Masa Kini; Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktik, terj. Trisam P. Moeliono, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), Hal. 249

diancam pidana.125 Tetapi dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa para stakeholders maupun suatu badan hukum (sebagai suatu subjek hukum mandiri; personastandi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmaigheid) dan keadilan (bilijkheid).126

Salah satu contoh dapat dilihat dalam sejarah perumusan ketentuan Pasal 51 Sr. lihat Pasal 59 KUHP127. Fakta menujukan bahwa tidak ada pengaturan peluang menuntut korporasi ke hadapan pengadilan pidana. Meskipun demikian, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik terpaksa turut memperhitungkan kenyataan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang (dalam hukum keperdataan maupun diluarnya misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum/korporasi.128 Bandingkan dengan Rancangan KUHP 1999-2000, dalam Penjelasan Umum dituliskan:

“Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subjek

hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula manusia hukum (juridical person) yang lazim disebut korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul

bersama oleh korporasi dan pengurus aau hanya pengurusnya.”

125

Romli Atmasasmita,Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana,Buku I, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2013), Hal. 176

126

T. Suhaimi,Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: Book Terrace & Library, 2010), Hal. x

127

Pasal 59 KUHP : “Dalam hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota dan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

128

Terutama dari cara bagaimana delik dirumuskan yang dalam KUHP selalu dimulai dengan frasa ‘barangsiapa’ (huj die) tetapi dalam Rancangan KUHP diganti dengan

frasa ‘setiap orang yang’.

Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak hanya sebatas pengakuan yuridis. Pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana dan yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang akan digunakan. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertangungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu129:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;

3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.

Menurut Rolling, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum atau korporasi dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional.130 Sehubungan dengan hal itu yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi

129

Hattrik Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Hal. 30

130

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Medan: PT. Sofmedia, 2010), Hal. 46

dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.131 Korporasi dibentuk dengan suatu tujuan tertentu dan untuk mencapai tujuan itu selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah, dengan demikian kemampuan bertanggungjawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.132

Korporasi (yang berupa Perseroan) memiliki RUPS, direksi dan komisaris sebagai organ-organnya. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan Anggaran Dasar.133 Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat pada Direksi dalam menjalankan perseroan.134 Dapat dikatakan direksi lah yang menjadi pengurus dalam perusahaan karena terpusatnya manajemen dibawah struktur Dewan Direksi. Jika direksi dalam menjalankan tugasnya berada di luar batas-batas kewenangannya (melanggar ketentuan Anggaran Dasar), maka semua anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi.135

131

Andi Hamzah,Delik-delik Tertentu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal. 260 132

Op. Cit.Hal. 47 133

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 134

Ibid.Pasal 1angka 6 135

Tanggung jawab direksi secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudu- kannya sebagai direksi, tetapi untuk dibebankan tanggung jawab tersebut, direksi tersebut harus telah melakukan hal-hal terhadap tindakan perusahaan. Pertama,

direksi mengizinkan perbuatan tersebut. Kedua, direksi meratifikasi perbuatan tersebut. Ketiga, direksi ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.136

Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang- undangan dapat dijatuhkan. Pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.137 Dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang bukan badan hukum dibebankan kepada pimpinan atau yang melakukan perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan pengurusnya untuk dan atas nama korporasi.138

Perkembangan pemikiran bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran abstraksi-

136

Bismar Nasution, Pertanggungjawaban Direksi dalam Pengelolaan Perseroan, http://bismar.wordpress.com/ diunduh tanggal 16 Januari 2013 Pukul 15:25

137

Ibid.

138

Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), Hal. 45

logis yang merujuk pada sarana untuk melaksanakan suatu tindak pidana atau digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil dari suatu tindak pidana dan korporasi dianggap telah mendapat keuntungan dari tindak pidana tersebut. Perkembangan pemikiran tersebut sekaligus mengeyampuingkan doktrin klasik,

universitas delinquere non potest” dan memperkuat teori identifikasi atau teori

pelaku fungsional (functionele dader). Di dalam era perkembangan ekonomi global abad 21, tampaknya kedua teori tersebut memperoleh kepercayaan masyarakat internasional terutama terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan sumber daya alam, ekspor dan impor, perbankan, serta sumber pendapatan negara terutama pajak.139 Bertolak dari pemikiran di atas maka konsep hukum yang relevan dan dapat menjangkau tindak pidana korporasi dan pertanggungjawabannya adalah vicarious liability.

RUU KUHP ketentuan mengenai vicarious liability telah dicantumkan pada

Pasal 38 ayat (2) : “Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, setiap orang, dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan orang lain.”

Penjelasan Pasal tersebut mengatakan: “ Bahwa ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas ‘tindak pidana tanpa kesalahan’ dan merupakan pendalaman

asas regulative dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya dalam batas-batas perintahnya.”

139

Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan penjelasannya tidak memberikan kepastian hukum mengenai batas-batas pertanggungjawaban atasan terhadap perbuatan bawahannya sehingga seharusnya memasukkan konsep hukum kedalam ketentuan

tersebut sebagai ‘rambu-rambu pembatas’ pertanggungjawaban seorang atasan.

Formulasi hukum yang dibangun berdasarkan doktrin vicarious liability telah dicantumkan dakam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia baik yang bersifat khusus (lex spesialis) maupun dalan undang-undang pidana administrative (lex specialis systematische).140Dalam peraturan perundang-undangan pidana tersebut diatas telah dicantumkan bahwa pengertian “setiap orang” adalah

orang perorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,141 sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia, korporasi eksplisit diakui sebagai subjek tindak pidana dan tidak ada lagi keragu-raguan mengenai hal tersebut.

Merujuk kepada tanggung jawab korporasi di dalam Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam praktiknya sering dipertanyakan bukanlah masalah pertanggungjawaban keperdataan-nya melainkan tanggung jawab pidana, yang sering tumpang tindih sehingga menimbulkan wilayah abu-abu tentang kapan (tempus delicti) tindakan atau keputusan dieksi dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum pidana dan juga secara perdata dan siapa serta bagaimana korporasi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

140

Ibid.Hal. 179 141

Parameter tanggung jawab pidana suatu korporasi sesuai dengan doktrin dan yurisprudensi sesungguhnya tidak terletak kepada siapa yang bertanggungjawab melainkan bagaimana meletakkan beban tanggung jawab pidana tersebut pada suatu korporasi yang diduga keras telah melakukan tindak pidana. Sejalan dengan asas legalitas maka proses pertanggungjawaban pidana tetap harus mengikuti alur simetris yang telah diakui dalam sistem hukum pidana Indonesia selama ini yaitu perbuatan, tindak pidana/kesalahan, pertanggungjawaban pidana, hingga pemidanaan.

Tanggung jawab pidana korporasi di Indonesia telah diakui sejak Tahun 1955, melalui Undang-Undang RI No. 7/Drt/1955142 jo. Undang-undang No.1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan tindak Pidana Ekonomi sampai saat ini. Penempatan tanggungjawab pidana korporasi di dalam Undang-undang pidana di luar KUHP merupakan penghalusan hukum terhadap ketentuan Pasal 59 KUHP yang masih mengandung keragu-raguan143 dan pembatasan sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Sejak penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang tersebut, di dalam beberapa undang-undang pidana khusus lainnya ditetapkan kemudian korporasi sebagai subjek tindak pidana.

Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga telah merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana.

142

Pasal 15 UU No. 7/Drt/1955 berbunyi : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.”

143

Pasal 1 ayat (22) menyebutkan : “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan

hukum.” Penjelasan Pasal 7 menerangkan badan hukum yang dimaksud dalam

undang-undang ini adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha milik swasta dan koperasi.

Peraturan Pelaksana yang mengatur tindak pidana perusakan hutan salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1975. Perusahaan Swasta Nasional yang berbentuk PT adalah subjek hukum HPH (Hak Pengusahaan Hutan) melalui PP No. 18 Tahun 1975 yang diberikan oleh Menteri Kehutanan dengan memperhatikan rekomendasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang.144 Sedangkan subjek hukum HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) adalah warga negara Indonesia dan badan usaha di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh WNI (Warga Negara Indonesia). HPHH diberikan oleh Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur) sesuai dengan petunjuk Menteri Kehutanan.145

HPH pada dasarnya hanya diberikan hak untuk menebang kayu dengan cara tebang pilih atas dasar kelestarian hutan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan dengan dibebani kewajiban untuk mengadakan permudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutannya.146 Izin pemanfaatan kayu (IPK) yaitu izin penebangan, pengangkutan, dan penggunaan kayu dari areal hutan yang telah ditetapkan untuk

144

Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Hal. 124 Melihat Pasal 8 PP No. 21 Tahun 1970

145

Pasal 12 ayat (2) PP No. 21 Tahun 1970 146

keperluan non kehutanan dan hutan tanaman industri.147 Izin pemanfaatan kayu merupakan kelanjutan dari proses pelepasan kawasan hutan dan atau pencadangan lahan pada areal penggunaan lain. Permohonan IPK diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi setempat, dengan tembusan Dirjen Pengusahaan Hutan cq. Direktur Bina Pemungutan Hasil Hutan, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Tingkat I.

Pasal 119 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dinyatakan bahwa setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari hutan negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan, yang berlaku dan digunakan untuk mrngangkut hasil hutan di wilayah Republik Indonesia. Dan dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 119

dinyatakan bahwa, ‘dilengkapi bersama’ adalah setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan secara fisik, harus disertai dan dilengkapi dengan surat- surat yang sah pada waktu dan tempat yang sama, sebagai tanda bukti dan tidak boleh disusulkan (pada waktu dan tempat yang berbeda), surat yang sah dan fisik hasil hutan harus selalu melekat dalam proses pengangkutan, penguasaan, dan pemilikan. Pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan dilakukan melalui penatausahaan hasil hutan yang diatur dalam sebuah dokumen berupa surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).

147

Ibid.Hal. 144 melihat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 945/Kpts-II/89 jo. 667/Kpts- II/93

Selajan dengan itu Pasal 117 dan 118 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan menyatakan setiap kegiatan yang berkaitan dengan peredaran dan pemanfaatan hasil hutan wajib dilengkapi dengan sebuah dokumen yang sesuai dengan fisik hasil hutan. Begitu pula Pasal 15 Undnag-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dirumuskan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Salah satu kasusnya terjadi di Banjarmasin148 dimana ketentuan yang tersebut diatas yang tidak diindahkan atau malah dimanipulasi.

Persyaratan Permohonan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) ditinjau dari persfektif hukum admistrasi negara merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi, karena apabila salah satu tidak terpenuhi, maka akan berdampak pada permohonan tersebut tidak akan disetujui. Dalam Pasal 1 ayat (1) Permenhut Nomor: P.18/Menhut-II/2005 dinyatakan bahwa setiap badan usaha, perorangan, dan pemegang izin industri hasil hutan yang akan mengangkut hasil hutan, wajib

148

Perdaganan kayu ilegal dari Kalimantan Selatan dengan angkutan kapal ke Sulawesi dan Jawa kini makin marak. Kejahatan ini bisa lolos karena begitu mudahnya penyalahgunaan SKSHH. Direktorat Polisi Air Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan (KalSel), Senin 20 Februari 2005, membongkar SKSHH yang diterbitkan Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala, KalSel, yang digunakan Kapal Layar Motor Hatiga. Kapal tersebut mengangkut 250 meter kubik atau 14.831 kayu campuran dari Kotabaru. Dierktur Polisi Air (Dirpolair) Kepolisian Daerah (Polda) Kalsel Ajun Komisaris Besar Thomas Alfred Ombeng mengatakan, selain menggunakan SKSHH terbang jaringan pelaku kejahatan perdagangan kayu ilegal menggunakan surat izin berlayat (SIB) dari administrasi Pelabuhan Banjarmasin. “SIB yang digunakan nomor registrasinya tidak terdaftar sehingga diduga SIB itu asli tapi palsu.” Terbongkarnya kasus penggunaan SKSHH dan SIB terbang ini, setelah salah satu pelaku, Yohanes (27) alias Anes bin Samudin, tertangkap di sebuah hotel di Banjarmasin.

Penangkapan Yohanes atas permintaan Dipolair Plda SulSel setelah menangkap KLM Hatiga. Dari penangkapan ini terbongkat pengangkutan kayu ilegal dari Kotabaru menggunakan SKSHH terbang. Yohanes mengakui pihaknya mngirim kayu sebanyak 250 meter kubik dengan KLM Hatiga tujian H.Syaiful di Makasar, SulSel. Ratusan kubik kayu dibeli dengan harga Rp. 200juta lalu dijual Rp.250 juta atau Rp.1juta permeter kubik. KoranKompas, 21 Februari 2006, Hal. 15

mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) kepada persyaratan permohonan surat keterangan sahnya hasil hutan (P2SKSHH) dengan tembusan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Permohonan penerbitan surat keterangan sahnya hasil hutan dilampiri :

1. Identitas permohonan; 2. Dana Hasil Hutan (DHH);

3. Laporan muatan hasil hutan disesuaikan dengan muatan yang dilaporkan seperti Laporan Muatan Kayu Bulat (LMKB), Laporan Muatan Kayu Bakau (LMKB), Laporan Muatan Hasil Hutan Olahan Kayu (LMHHOK), Laporan Muatan Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK), dan Laporan Muatan Hasil Hutan Olahan Bukan Kayu (LMHHOBK);

4. Surat pernyataan (untuk setiap permohonan) yang dibuat pemohon untuk setiap tujuan pengangkutan bahwa tujuan pengangkatan tersebut adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (lihat Pasal 1 ayat (2)). Bagi permohonan pengangkutan lanjutan, selain diwajibkan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menunjukan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) asal yang asli dan menyerahkan copy-nya (lihat ayat (3)).

Berkaitan dengan ekspor yang dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang telah memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atas pemanfaatan hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu, Pemerintah telah

mengantisipasi hal ini dengan mengaturnya dalam Pasal 36 Permenhut Nomor: P.18/Menhut-II/2005 dinyatakan bahwa :

(1). Dalam pelaksanaan ekspor hasil hutan melalui pelabuhan umum, pengangkutan menuju pelabuhan wajib dilengkapi dengan dokumen (SKSHH atau nota/faktur perusahaan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

(2). Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan atau nota/faktur perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1) digunakan sebagai dasar pengisian Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);

(3). Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), maka SKSHH lembar ke-1 dan lembag ke-2 oleh perusahaan eksportir, wajib diserahakan kepada petugas Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat untuk dimatikan dan selanjutnya perusahaan eksportir bersangkutan wajib menyerahkan lembar ke-1 SKSHH kepada Dinas Provinsi atau Dinaas Kabupaten/Kota dimana Kantor Pelayanan Bea dan Cukai berada pada akhir bulan, dan lembar ke-2 SKSHH diserahakan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai sebagai bukti hasil hutan yang diekspor secara sah;

(4). Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan nota/faktur perusahaan, maka pelaksanaannya dapat menyesuaikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (3);

(5). Semua badan usaha atau perorangan yang melaksanakan ekspor hutan, setiap bulan wajib melaporkan realisasi ekspor hasil hutan kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Direktur Jendral dan Kepala Dinas Provinsi selambat-lambatnya tanggal 5 (lima) bulan berikutnya.

Permasalahan terjadi ketika ada perbedaan antara jumlah, jenis dan atau volume hasil yang diangkut, dan ini memunculkan penafsiran hukum apakah itu pelanggaran hukum atau bukan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 58 Permenhut Nomor: P.18/Menhut-II/2005 dinyataan bahwa, jika tedapat perbedaan fisik berupa jumlah, jenis atau volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki dengan dokumen angkutan yang sah yang menyertainya, maka terhadap seluruh partai hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Ada juga kasus lain yang berhubungan dengan ini, yaitu perusahaan yang melakukan penebangan diluar RKT (Rancangan Karya Tahunan) oleh pemilik izin HPH yang dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi bukan pidana, tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana.149 Memang dalam beberapa peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menetapakan bahwa setiap pemegang izin pemanfaatan hutan atau usaha industri primer hasil hutan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dikenakan sanksi administrasi, seperti berikut:

1. Pasal 127 PP No. 6 Tahun 2007150 merumuskan : “Untuk menjamin status,

kelestarian hutan dan kelestarian fungsi hutan, maka setiap pemegang izin pemanfaatan hutan atau usaha industri primer hasil hutan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78

149

Mashudi, Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon di Luar Rencana Kerja Tahunan Bagi Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, Tesis, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009). Telah meneliti bahwa penebangan pohon di luar rencana kerja tahunan (RKT) merupakan sebuah tindak pidana bukan pelanggaran administrasi. Yang mengambil kasus PT. KNDI sebagai contoh. PT. KNDI telah memperoleh izin penebangan kayu bulat di Kab. Mandailing Natal Sumut, tetapi mulai dari tahun 200-2005 PT.KNDI juga melakukan penebangan di luar areal blok tebagan RKT. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa penebangan pohon di luar rencana kerja adalah pelanggaran administrasi dan terdakwa bebas dari tuntutan. Tetapi dengan Putusan Mahkamah Agung, No. 68/K/Pid.Sus/2008 penebangan pohon di luar rencana kerja merupakan sebuah tindak pidana. Pelanggaran kewajiban perusahaan pemegang izin dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena apabila yang disahkan dalam LHP (Laporan Hasil

Dokumen terkait