• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) Sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) Sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNG

(PEMBALAKAN

KE

UNDANG-UNDA

KEHUTANAN DAN

TENTANG PE

PROGRAM

UNIVE

UNGJAWABAN PIDANA

ILLEGAL LO

ALAKAN LIAR) SEBAGAI KEJAHAT

KEHUTANAN BERDASARKAN

UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENT

DAN UNDANG-UNDANG No. 18 TAHUN

ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANT

PERUSAKAN HUTAN

RAMSI MEIFATI BARUS

NIM : 117005009

AM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

LOGGING

AHATAN

NTANG

AHUN 2013

ANTASAN

(2)

KE

UNDANG-UNDA

KEHUTANAN DAN

TENTANG PE

Diajukan Sebagai Sal Ilmu Hukum Dala

Huku

PROGRAM

UNIVE

KEHUTANAN BERDASARKAN

UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENT

DAN UNDANG-UNDANG No. 18 TAHUN

ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANT

PERUSAKAN HUTAN

gai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gela alam Program Magister Ilmu Hukum Pada F

Hukum Universitas Sumatera Utara

RAMSI MEIFATI BARUS

NIM : 117005009

AM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

NTANG

AHUN 2013

ANTASAN

elar Magister da Fakultas

(3)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Alvi Syahtin, SH., MS.

ANGGOTA : Prof. H. Syamsul Arifin, SH., MH.

Dr. M. Hamdan, SH., MH.

Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum

(4)

Indonesia semakin berkurang. Masalah dalam tindak pidana kehutanan khususnya

illegal logging (pembalakan liar) merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi karena sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, teroganisasi, dan lintas negara. Kurangnya pengetahuan dalam masyarakat akan arti pentingnya hutan terhadap kehidupan umat manusia serta lemahnya hukum menambah kerumitan untuk menanggulangiillegal logging(pembalakan liar). Tindak pidana ini dilakukan dengan modus operandi yang canggih dan telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin evektifitas penegak hukum. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum merumuskan tenang defenisi dari illegal logging sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda. Selain itu terdapat banyak kekurangan dalam peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakibatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini menjadi sangat sulit. Sehingga dibentuklah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah apa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal loggingmenurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-Undang-undang No.18 Tahun 2013; bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelakuillegal loggingbaik secara individu maupun korporasi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 dan bagaimana unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada kasus illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) dengan sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b, c, d, e, f, dan huruf g; dan dalam Pasal 19 huruf a, b, c, d, dan huruf f dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013. Pertanggungjawaban pidana bagi pelakuillegal loggingbaik individu maupun korporasi baik secara sengaja atau karena kelalaiannya telah dirumuskan dalam Pasal 82-85, Pasal 94 dan Pasal 98. Adapun yang menjadi alasan penghapus kesalahan terdapat dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang No. 18 Tahun 2013.

(5)
(6)

Continuous destruction of natural forest has caused the decrease in the forest area. The problem of criminal act in forestry, especially illegal logging, is a very complicated problem to be coped with since the criminal act is very serious, well-organized, and has inter-state range. The people’s lack of knowledge in the

importance of forest for human benefit and the weakness of law has caused the complexity of any effort to handle illegal logging. The modus operandi is usually very

sophisticated, and thus threatens people’s lives so that the prevention and the

eradication need strong legal foundation which is able to guarantee the effectiveness of law enforcement. Law No. 14/1999 on Forestry has not yet formulated the definition of illegal logging so that it causes multi-interpretation. Besides that, there are many weaknesses in the previous legal provisions which cause the prevention and the eradication become complicated. Therefore, Law No. 18/2013 on the Prevention and the Eradication was established.

The problems of the research were whether there was something wrong with the criminal act of illegal logging according to Law No. 41/1999 and Law No. No. 18/2013, how about the criminal responsibility for the perpetrators of illegal logging individually and corporately in Law No. 41/1999 and in Law No. 18/2013, and how about the element of annulling the criminal act of illegal logging according to Law No. 41/1999 and Law No. 18/2013. The research used judicial normative method

which analyzed the written law and the judges’ ruling in court. The data were

gathered by conducting library research with primary, secondary and tertiary legal sources and analyzed qualitatively.

The result of the research showed that the criminal elements of illegal logging were found in Article 12 points a, b, c, d, e, f, and g, and in Article 19 points a, b, c, d, and f of Law No. 18/2013. Criminal responsibility of the perpetrators of illegal logging individually and corporately, either intentionally or because of negligence has been formulated in Articles 82 up to 85, in Article 94, and in Article 98. The reasons for annulling the criminal act is found in Article 11, paragraph (3) and in Article 13, paragraph (2) of Law No. 18/2013.

It is recommended that the Government renew all prevailing regulations when they still contain articles which are contrary to a higher law and formulate or add explanation on the accumulating of imprisonment and fine which are found in it.

(7)

atas setiap berkat yang berkelimpahan yang senantiasa mengiringi langkah penulis, memberikan kesehatan, kekuatan, kesabaran, dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA ILLEGAL LOGGING (PEMBALAKAN LIAR) SEBAGAI

KEJAHATAN KEHUTANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 41

TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 18

TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

PEMBALAKAN LIAR.

Penulis dalam penyelesaian tesis ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik materil maupun spiritual dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis sangat berterima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 2. Prof. Dr. Runtung, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(8)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuan, saran, dan motivasi kepada penulis selama proses bimbingan dalam penyelesaian tesis ini;

6. Prof. H. Syamsul Arifin, SH, M.H, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuan, saran, dan motivasi kepada penulis selama proses bimbingan dalam penyelesaian tesis ini;

7. Dr. M. Hamdan, SH, M.H, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuan, saran, dan motivasi kepada penulis selama proses bimbingan dalam penyelesaian tesis ini;

8. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku penguji yang banyak memberikan saran dan kritikan yang membangun kepada penulis mulai dari tahap kolokium, seminar hasil, sampai tahap meja hijau;

9. Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S, selaku penguji yang banyak memberikan saran dan kritikan yang membangun kepada penulis mulai dari tahap kolokium, seminar hasil, sampai tahap meja hijau;

(9)

mengasuh, mendidik serta membesarkan penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan telah mendoakan juga memberikan semangat kepada penulis;

12. Terima kasih kepada suami tercinta Christ Rully D. Ginting S.Kom, yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis mulai dari tahap persiapan hingga rampung dalam penulisan tesis ini;

13. Adik-adik tersayang, Nobran Salanca Barus, SH. dan Eridianto Barus yang juga memberikan bantuan kepada penulis;

14. Sahabat-sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum terkhusus Stambuk 2011.

Semoga Tuhan Yang Masa Esa selalu memberikan berkat yang berkelimpahan serta membalas kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih memerlukan kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Januari 2013 Penulis

(10)

DATA PRIBADI

Nama : Ramsi Meifati Barus Nama Panggilan : Ramsi

Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 13 Mei 1988 Agama : Kristen Protestan Suku Bangsa : Batak Karo

Alamat : Jl. Galang No. 330 Lubuk Pakam Mobile Phone : 081973126173

E-mail : ramsibarus@yahoo.co.id

PENDIDIKAN FORMAL

2005 - 2010 : Sarjana Hukum Universitas Riau Pekanbaru 2002 - 2005 : SMA Negeri I Sibolga

1999- 2002 : SMP Fatimah Sibolga

(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Landasan Konseptual... 21

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Bahan Hukum... 23

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... 24

4. Analisis Bahan Hukum ... 24

BAB II UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANAILLEGAL LOGGING ... 25

A. Unsur Kesalahan ... 25

B. Pengertian Tindak Pidana ... 29

(12)

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 63

B. Pertanggungjawaban Pidana PelakuIllegal Logging... 65

1. Manusia/Individu (Natuurlijke Persoon)... 67

2. Korporasi/Badan Hukum (Recht Persoon) ... 81

BAB IV ALASAN PENGHAPUS KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS ILLEGAL LOGGING... 101

A. Alasan Penghapus Kesalahan ... 101

1. Alasan Pemaaf ... 105

2. Alasan Pembenar ... 112

B. Alasan Penghapus Kesalahan pada KasusIllegal Logging. 119 BAB V PENUTUP... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 125

(13)

Indonesia semakin berkurang. Masalah dalam tindak pidana kehutanan khususnya

illegal logging (pembalakan liar) merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi karena sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, teroganisasi, dan lintas negara. Kurangnya pengetahuan dalam masyarakat akan arti pentingnya hutan terhadap kehidupan umat manusia serta lemahnya hukum menambah kerumitan untuk menanggulangiillegal logging(pembalakan liar). Tindak pidana ini dilakukan dengan modus operandi yang canggih dan telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin evektifitas penegak hukum. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum merumuskan tenang defenisi dari illegal logging sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda. Selain itu terdapat banyak kekurangan dalam peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakibatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini menjadi sangat sulit. Sehingga dibentuklah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah apa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal loggingmenurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-Undang-undang No.18 Tahun 2013; bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelakuillegal loggingbaik secara individu maupun korporasi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 dan bagaimana unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada kasus illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) dengan sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b, c, d, e, f, dan huruf g; dan dalam Pasal 19 huruf a, b, c, d, dan huruf f dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013. Pertanggungjawaban pidana bagi pelakuillegal loggingbaik individu maupun korporasi baik secara sengaja atau karena kelalaiannya telah dirumuskan dalam Pasal 82-85, Pasal 94 dan Pasal 98. Adapun yang menjadi alasan penghapus kesalahan terdapat dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang No. 18 Tahun 2013.

(14)
(15)

Continuous destruction of natural forest has caused the decrease in the forest area. The problem of criminal act in forestry, especially illegal logging, is a very complicated problem to be coped with since the criminal act is very serious, well-organized, and has inter-state range. The people’s lack of knowledge in the

importance of forest for human benefit and the weakness of law has caused the complexity of any effort to handle illegal logging. The modus operandi is usually very

sophisticated, and thus threatens people’s lives so that the prevention and the

eradication need strong legal foundation which is able to guarantee the effectiveness of law enforcement. Law No. 14/1999 on Forestry has not yet formulated the definition of illegal logging so that it causes multi-interpretation. Besides that, there are many weaknesses in the previous legal provisions which cause the prevention and the eradication become complicated. Therefore, Law No. 18/2013 on the Prevention and the Eradication was established.

The problems of the research were whether there was something wrong with the criminal act of illegal logging according to Law No. 41/1999 and Law No. No. 18/2013, how about the criminal responsibility for the perpetrators of illegal logging individually and corporately in Law No. 41/1999 and in Law No. 18/2013, and how about the element of annulling the criminal act of illegal logging according to Law No. 41/1999 and Law No. 18/2013. The research used judicial normative method

which analyzed the written law and the judges’ ruling in court. The data were

gathered by conducting library research with primary, secondary and tertiary legal sources and analyzed qualitatively.

The result of the research showed that the criminal elements of illegal logging were found in Article 12 points a, b, c, d, e, f, and g, and in Article 19 points a, b, c, d, and f of Law No. 18/2013. Criminal responsibility of the perpetrators of illegal logging individually and corporately, either intentionally or because of negligence has been formulated in Articles 82 up to 85, in Article 94, and in Article 98. The reasons for annulling the criminal act is found in Article 11, paragraph (3) and in Article 13, paragraph (2) of Law No. 18/2013.

It is recommended that the Government renew all prevailing regulations when they still contain articles which are contrary to a higher law and formulate or add explanation on the accumulating of imprisonment and fine which are found in it.

(16)

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar di sekitar khatulistiwa, dan memiliki iklim tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6° Lintang Utara 11° Lintang Selatan dan dari 95° Bujur Timur -141° Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat unik dan strategis, terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Letak geogrfis Indonesia sekaligus berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania.1

Letak geografisnya yang stategis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa salah satunya memiliki banyak hutan yang potensial dimana kondisi vegetasi yang tumbuh dan berkembang sangat beragam. Hal ini adalah salah satu sektor modal pembangunan bangsa. Menurut Dangler, hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang luas dan tumbuhnya cukup rapat.2 Dangler juga memberikan 4 (empat) unsur mengenai defenisi hutan, yaitu:

1

http://encyclopediaindonesia.blogspot.com/2012/11/letak-geografis-indonesia-indonesia.html diakses pada 29 April 2013 pukul 11.59 WIB

2

(17)

1. Unsur lahan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan; 2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna;

3. Unsur lingkungan; dan 4. Unsur penetapan pemerintah.

Menurut kamus kehutanan bahwa pengertian hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhannya merupan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan.3 Dan menurut Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam hayati beserta lingkungannya, dimana yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.4

Dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan di Indonesia dibedakan menjadi 4 (empat) jenis hutan yaitu:

1. Hutan berdasarkan statusnya5 yaitu didasarkan pada status (kedudukan) antar orang, badan hukumatau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan status dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah;

3

Alam Setia Zain,Kamus Kehutanan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) Hal. 71 4

Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lihat Pasal 1 butir 2 5

(18)

b. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.6

2. Hutan berdasarkan fungsinya7 yaitu penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Berdasarkan fungsinya hutan ini digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Hutan konservasi adalah hutan yang dengan cri khas tertentu yang mempunyaifungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi ini terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian dan taman buru.

b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara kesuburan tanah;

c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi produksi hasil hutan.

3. Hutan berdasarkan tujuan khusus8 yaitu penggunaan untuk keperluan penelitian dan pengembangan dan pelatihan serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat. Yang mana dengan syarat tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

6

Lihat Penjelasan Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 5

7

Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 6-7 8

(19)

4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota9.

Hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting bagi suatu Negara, karena hutan adalah salah satu aspek yang bermanfaat untuk menunjang pembangunan Negara dan kesejahteraan sosial. Nilai ekonomis yang luar biasa terdapat di dalam hutan, sehingga harus ada suatu aturan untuk menjaga kelestariannya. Ada suatu kalimat yang penting untuk kita ingat, “Kekayaan alam di dunia ini adalah utang kita kepada anak cucu kita”. Oleh karena itu kita harus bias menjaga kelestarian hutan sejalan ketika kita mengelola dan memanfaatkan hutan.

Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Akibat dari pemanfaatan hutan yang tidak bijaksana pastilah menimbulkan banyak kerugian, dimana salah satu contoh adalah kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan hutan terutama untuk kebutuhan domestik, ini adalah kegiatan yang sungguh sangat tua, mungkin sudah setua peradaban umat manusia. Pernyataan demikian tentulah tidak dapat dipungkiri, sehingga tidak diperlukan pembuktian-pembuktian. Tetapi penebangan komersil, itulah yang perlu lebih dicermati. Tergiur dengan nilai ekonomis kayu yang luar biasa mengakibatkan banyak masyarakat atau

9

(20)

pihak-pihak tertentu yang buta mata untuk meraup keuntungan yang tidak sedikit untuk diri sendiri atau kelompoknya.

Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentnag Kehutanan menyatakan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maksud dari penguasaan hutan oleh negara adalah memberi wewenang kepada Pemerintah untuk10:

a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan;

c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Salah satu contoh putusan Mahkamah Agung yang diputus berkaitan dengan perbuatan hukum mengenai kehutanan adalah kasus No.1407 K/Pid.Sus/2009, dimana Mat Umar memiliki dan menyimpan kayu dengan membelinya tanpa dokumen yang sah, dihukum pidana penjara 10 (sepuluh) bulan dan membayar denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.11

Hukum diperlukan untuk melindungi kepentingan dari masyarakat dari gangguan pihak lain, apabila terjadi pelanggaran hak dan kepentingan, maka harus

10

Salim H.S,Dasar-dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal. 12-13

11

Direktorat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia,

(21)

diselesaikan dengan menggunakan hukum. Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman Sarikat Putra mengatakan bahwa proses penegakan hukum itu menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum/undang-undang. Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana hukum itu nanti dijalankan.12

Hukum merupakan suatu sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep serta usaha untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi kenyataan. Melalui penegakan hukum maka keberadaan hukum akan mempunyai makna dalam kehidupan nyata. Adapun keadaannya hukum yang harus ditegakkan, bahkan meskipun langit runtuh maka hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus).13Penegakan hukum juga dimaksudkan untuk memberikan keadilan, adalah adil apabila ada orang yang dirugikan hak dan kepentingannya mendapat ganti kerugian dan yang pelakunya dijatuhi hukuman yang setimpal. Begitu pula bagi orang-orang yang menimbulkan kerusakan hutan, dimana secara langsung ataupun tidak akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak dan kerugian Negara juga.

12

Nyoman Sarikat Putra,Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2005), Hal.23

13

(22)

Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah yang saling berkaitan14, yaitu:

a. Perbuatan yang sepatutnya dipidana;

b. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/ mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan

c. Sanksi pidana apa yg sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.

Masalah tindak pidana di bidang kehutanan dewasa ini merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi. Hal ini antara lain disebabkan minimnya tata batas kawasan, intensitas dan efektifitas penjagaan patroli/pengawasan yang rendah, tenaga dan sarana pengamanan hutan yang sangat terbatas dan kurang professional, lemahnya koordinasi diantara aparat penegak hukum, law enforcement yang lemah terhadap pelanggar serta kurangnya persepsi dari anggota masyarakat itu sendiri akan arti penting sumber daya hutan bagi seluruh umat manusia.15

Salah satu contoh akibatillegal loggingyang terjadi di Sumatera Utara adalah seluas 555 ribu hektare dari 3,7 juta hektare kawasan hutan telah mengalami kerusakan akibat pembalakan liar, 15 persen kerusakan hutan di Sumatera Utara

14

Barda Nawawi Arief,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), Hal. 136

15

Masdani,Penerapan Undang-undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(Money Laundering) terhadap Kejahatan Kehutanan (illegal Logging), Tesis, (Medan:

(23)

terjadi di Kabupaten Madailing Natal dan Tapanuli Selatan.16 Sehingga kawasan tersebut menjadi gersang dan mengubah suhu daerah tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan hasil hutan menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dalam Pasal 1 point ke 13 adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Dan hasil hutan tersebut dijabarkan dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1. Dalam hal hasil produksi yang langsung diperoleh dari pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan seperti kayu bulat, yang sering sekali menjadi permasalahan dalam bidang kehutanan. Dimana sering sekali pengambilan atau memperoleh hasil hutan dengan cara yang tidak sah atau tanpa ijin. Bukan tidak boleh bagi masyarakat untuk menggali atau menikmati hasil hutan yang berlimpah ruah, tetapi ada tata cara yang telah ditetapkan oleh negara untuk menikmati hasil hutan sekaligus mengelolanya dengan baik.

Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya

16

(24)

sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup17

Menurut Forrest Watch Indonesia (FWI) illegal logging terdiri dari dua bentuk18, yaitu:

a. Pertama, dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki;

b. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.

Dalam pendekatan kata-kata, illegal logging terdiri dari kata illegal dan

logging. Arti kata illegal adalah tidak sah, tidak menurut undang-undang, gelap, melanggar hukum.19 Sementara arti kata logging adalah kegiatan untuk menebang kayu. Maka dengan pendekatan yang sederhana dapat diartikan illegal logging

sebagai penebangan kayu yang melanggar peraturan perundang-undangan. Untuk peristilahan illegal logging, setidaknya ada 2 (dua) peraturan yang menyebut illegal loggingsebagai penebangan kayu illegal20yaitu:

a. Inpres No.5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal dan Peredaran Hasil Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting

17

Siswanto Sunarso,Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hal. 6

18

I.G.M Nurdjana, dkk,Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 14

19

Yan Pramada Puspa,Kamus Hukum, (Jakarta: Aneka Ilmu, 1977), Hal. 65 20

Andiko,Illegal Logging dan Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999,

(25)

b. Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Illegal Logging atau disebut dengan pembalakan liar yang secara gramatikal adalah menebang kayu yang kemudian dibawa ke tempat gergajian kayu yang dilakukan secara melawan hukum, bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Putting, disebutkan bahwa istilah illegal loging diartikan sebagai penebangan kayu secara illegal atau tidak sah.21

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait denganillegal logging22, diantaranya:

a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya;

b. Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan; c. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup;

d. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; e. PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; f. PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru;

g. PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

21

Lihat Sukardi,Illegal Loggingdalam Perspektif Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005), Hal. 71-72

22

(26)

h. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; i. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Masalah tindak pidana illegal logging ini sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, teroganisasi, dan lintas negara. Tindak pidana ini dilakukan dengan modus operandi yang canggih dan telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin evektifitas penegak hukum.23

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum merumuskan tenang defenisi dari pembalakan liar atau illegal logging sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda. Selain itu terdapat banyak kekurangan dalam peraturan perundang-undangan ini sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini menjadi sangat sulit. Inilah menjadi salah satu yang latar belakangi pembentukan Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Peraturan perundang-undangan yang diundangkan di Jakarta, pada tanggal 6 Agustus 2013 tergolong masih baru, Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sangat menarik untuk diteliti karena memiliki perbedaan dengan undang-undang sebelumnya. Undang-undang ini merumuskan pengertian pembalakan liar dalam Pasal 1 ayat (4), yaitu : “Pembalakan

liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang

terorganisasi.” Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

23

(27)

Pemberantasan Perusakan Hutan juga telah merumuskan peraturan-peraturan yang lebih tajam dan tegas untuk mengatasi kejahatanillegal loggingini.

Perusakan hutan yang tak kunjung berkurang mengakibatkan luas hutan Indonesia berkurang, dan dengan peraturan perundang-undangan yang baru diharapkan dapat menjadi salah satu landasan hukum yang kuat untuk mencegah dan memberantas tindak pidanaillegal logging yang hingga kini belum dapat diberantas dan menimbulkan efek yang lebih luas. Berdasarkan latar belakang tersebut diangkatlah sebuah penelitian berjudul : “Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.”

B. RUMUSAN MASALAH

Dari hal-hal yang telah dijabarkan di dalam latar belakang, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging

menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013?

(28)

3. Bagaimana unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada kasus illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging

menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku illegal logging

baik secara individu maupun korporasi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013.

3. Untuk mengetahui unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. TEORITIS

Dari penelitian ini akan memberikan informasi yang jelas tentang kejahatan

(29)

logging, yang tentunya akan memperkaya khasanah dan kemajuan bagi kepentingan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana.

2. PRAKTIS

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan illegal logging dan penanganannya menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu:

a. Untuk Pemerintah

Sebagai masukkan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk menangani dan menyelesaikan perkara-perkara tindak pidanaillegal logging. b. Untuk aparat penegak hukum

Memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidanaillegal logging.

c. Untuk masyarakat

Sebagai panduan dan memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai tindak pidanaillegal logging.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang telah ada, penelitian

(30)

sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang illegal logging namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek jujur, rasional, dan objektif serta terbuka; sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti telah melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata belum pernah dilakukan penelitian dalam permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya. Beberapa diantaranya judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu:

a. TutyBudhi Utami, “Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak

PidanaIllegal Logging” (Tesis),Semarang: Universitas Diponegoro, 2007 Adapun rumusan permasalahannya adalah:

1. Bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ?

2. Bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging

dan penerapan sanksi pidana yang akan datang ?

b. Arie Wishnu Gautama, “Penentuan Kejahatan Perusahaan dalam Lingkungan

Hidup” (Tesis), Medan : Universitas Sumatera Utara, 2007

(31)

1. Bagaimana karateristik kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap lingkungan hidup?

2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban perusahaan terhadap kejahatan lingkungan hidup?

3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan hudup?

F. KERANGKA TEORI DAN LANDASAN KONSEPTUAL

1. KERANGKA TEORI

Gambaran umum perbuatan pidana atau tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan membuat bersalah pelaku perbuatan tersebut. Asas legalitas mewajibkan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana, harus dirumuskan dengan jelas. Rumusan tersebut mempunyai peranan dalam menentukan apa yang dilarang atau apa yang harus dilakukan seseorang.24

Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat obyektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk itu dikenal dengan beberapa ajaran sifat melawan hukum yakni :

a. Ajaran sifat melawan hukum formal

Sifat melawan hukun formal harus memenuhi rumusan delik undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan.

24

(32)

Secara singkat ajaran sifat melawan hukum formal mengatakan apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.25

Ajaran ini mengatakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum tidak mutlak bersifat melawan hukum tetapi bila terdapat pengecualian alasan pengecualian itu harus diambil dari hukum positif dan tidak boleh dari luar hukum positif.26 Pendapat diatas berpegang pada asas legalitas apabila perbuatan diancam dengan pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang yang tertulis maka perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Kalaupun ada hal-hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya sehingga pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana hal-hal tersebut harus pula berdasar pada ketentuan undang-undang tertulis.

b. Ajaran sifat melawan hukum materiil

Dalam ajaran ini melawan hukum atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya hanya terdapat didalam suatu peraturan yang tertulis, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan tidak tertulis. Ajaran ini juga menyatakan disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat

25

Ibid. 26

(33)

sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang.27

Pada umumnya ajaran sifat melawan hukum formal telah ditinggalkan dunia pengadilan kita, akan tetapi dipihak lain ajaran sifat melawan hukum material itu sendiri belum sepenuhnya disepakati. Alasan keberatan-keberatan tersebut adalah28:

a. Kepastian hukum akan goyah atau dikorbankan;

b. Secara ekstrim hal ini memberikan kesempatan pada hakim untuk bertindak sewenang-wenang atau hakim akan mempunyai tugas yang berat untuk mempertimbangkan rasa keadilan dan keyakinan masyarakat mengenai ketentuan hukum yang tidak tertulis.

Dalam hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan subjek atau pelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu

aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk

atauverantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah

toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.29 Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap

27

Ibid. 28

IbidHal. 37

29

(34)

perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.30

Mengenai subjek atau pelaku perbuatan secara umum hukum hanya mengakui orang sebagai pelaku, namun seiring dengan perkembangan zaman muncul subjek hukum korporasi. Korporasi merupakan suatu ciptaan hukum yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.

Perkembangan selanjutnya baik dalam perundang-undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana sebagian besar telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana. Bahkan, dalam Penjelasan Umum Buku I Naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) 1999-2000 dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, maka subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person), tetapi juga mencakup manusia hukum (jurisical person) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.31

Hans Kelsen dalam teorinya hukum norma berjenjang (Theory of Hierarchy) yang pada pokoknya melihat sistem hukum sebagai suatu struktur piramidal, bahwa

30

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004-2005 (Penjelasan) Pasal 34

31

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

(35)

hukum mengalir dari norma yang tertinggi yang bersifat abstrak dan umum sampai pada norma yang paling terendah yang bersifat individual, konkret dan dapat dilaksanakan. Penelitian ini juga melihat peraturan-peraturan yang tertinggi hingga terendah yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal perusakan hutan.

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek pidana yakni32:

a. Pengurus korporasi yang berbuat maka penguruslah yang bertanggung jawab; b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Adapun pertanggungjawaban pidana yang dikenal dalam teori hukum pidana adalah:

a. Asas pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability)

Doktrin ini merupakan suatu prinsip tanggung jawab dimana si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul). Menurut doktrin ini, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak terdapat kesalahan (mens rea).

b. Asas pertanggungjawabanvicarious liability.

32

(36)

Asas ini diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Pertanggungjawaban seperti ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dan buruh atau atasan dan bawahan. Apabila asas ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang silakukan oleh para pengurus, kuasanya, atau mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.33

2. LANDASAN KONSEPTUAL

Landasan konseptual dalam penelitian ini terdiri dari penjelasan istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan defenisi atau pengertian. Adapun landasan konseptual yang dimaksud adalah:

a. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan

(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

33

(37)

b. Illegal loggingatau Pembalakan liar semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.34

c. Individu adalah orang perseorangan atau manusia pribadi (natuurlijke persoon)

d. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.35

e. Unsur kesalahan

Kesalahan dimengerti sebagai suatu ketercelaan yang mencakup baik dolus

danculpasebagai penentu dapat/tidaknya pidana dijatuhkan.

f. Unsur penghapus kesalahan adalah faktor-faktor yang menyebabkan pelaku tindak pidana yang kesalahannya menjadi terhapus.

g. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

h. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

G. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.36

1. SIFAT DAN JENIS PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian

34

Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 1 ayat (4)

35

Ibid.Pasal 1 ayat (22) 36

(38)

yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).37

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu meneliti dengan aturan-aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam sebuah penelitian.38 Penelitian ini juga dilakukan dengan pendekatan analitis yaitu menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis39 guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi.

2. SUMBER BAHAN HUKUM

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum ini terdiri dari40:

 Peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013;

 Putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

37

J. Supranto,Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Hal.3

38

Johnny Ibragim,Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), Hal. 248-249

39

Ibid.Hal. 257 40

(39)

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang berisikan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu berupa makalah seminar-seminar, jurnal hukum, majalah dan koran, karya tulis ilmiah, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan beberapa sumber dari internet.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu berupa bahan bacaan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus umum.

3. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan yang diperoleh dari peratran perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi dan hasil penelitian.

4. METODE ANALISIS BAHAN HUKUM

(40)

BAB II

UNSUR KESALAHAN DALAM

TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING

A. Unsur Kesalahan

Adapun ditentukannya kejahatan karena adanya kesalahan dalam sebuah perbuatan sehingga timbul peristiwa hukum. Ihwal kesalahan itu adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat, yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu (sebut hukum), terhadap manusia yang melakukan perilaku yang menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya. Bereaksi secara positif (berkehendak) terhadap tuntutan (perintah) masyarakat hukum dapat dikembalian pada tadelnswerte Rechtgesinnung (pandangan tercela terhadap hukum), tiadanya rasa kebersamaan, atau ringkasnya, egoisme yang tidak dapat diterima dalam kehidupan bermasyaraat.41

Dua hal yang harus dipenuhi untuk dapat dipidananya seseorang yaitu ada perbuatan lahiriah (actus reus) dan ada keadaan batin yang jahat/tercela (mens rea).42

Mens rea sama dengan istilah sikap kalbu manusia yang merupakan hasil proses cipta, rasa dan karsa (kehendak atau keinginan).43 Doktrin mens rea disebut sebagai dasar dari hukum pidana, dalam praktek bahkan ditambahkan orang bahwa

41

Jan Remmelink,Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Terjemahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal.142

42

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), Hal. 44, dikutip dari Tesis Ferdinan Agustinus, Sistem Pertanggungjawaban Pidana dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 2003, Semarang, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Hal. 68

43

(41)

pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan itu.44 Seseorang mempunyai kesalahan pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi masyarakat dia dapat dicela, setiap orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan (dasar dari dipidananya sipembuat).45

Menurut Simon, kesalahan adalah “adanya keadaan psikis yang tertentu pada

orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu

dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana.”46 Unsur-unsur kesalahan

dihubungkan dengan adanya perbuatan pidana, untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya sipelaku/terdakwa haruslah melakukan perbuatan pidana.47 Adapun unnsur kesalahan yaitu mampu bertanggungjawab, dengan kesengajaan atau kelalaian, tidak ada alasan pemaaf.48

Kemungkinan dapat dihindarinya (terjadinya) perilaku menyimpang merupakan lapisan pertama untuk menetapkan kesalahan, yang mana perilaku itu memiliki sifat layak dipidana (strafwaardigheid).49 Wetboek van Strafrecht (yang selanjutnya disingkat dengan Sr.) mulai abad ke-19 yang berkenaan dengan sektor

44

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Hal. 20.

45

Ibid., Hal. 75. 46

Moeljatno,Op.Cit.,Hal. 167 47

Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana..,Op.Cit.Hal.79. 48

Pasal 37 ayat 2 RUU KUHP, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, http://www.djpp.kemenkumham.go.id/ diakses 5 Desember 2013 pukul 09.32 WIB

49

(42)

kejahatan, kesalahan berawal dibatasi pada 2 (dua) pengertian psikologis yaitu: kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (dolus)

Dolus dapat dikaitkan pada tindakan/perbuatan, akibatnya dan unsur-unsur lain dari delik. Dalam dolus terkandung elemen kehendak dan intelektual atau pengetahuan, dan tindakan dengan sengaja selalu dikehendaki dan disadari/diketahui. Kesengajaan menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya (willens en wetens veroorzaken van een gevolge). Seseorang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki dan menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya.50 Maka kesengajaan dapat dimengerti sebagai (berbuat) dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willens en wetens) untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana ditemukan dalam perumusan kejahatan.

Kesengajaan itu sendiri terdiri dari:51

a. Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als Oogmerk) yaitu untuk menimbulkan akibat tertentu.

b. Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet als zekerheidsbewustzijn) yaitu akibat yang tidak dikehendaki pasti terjadi.

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (bersyarat/dolus evantualis) bahwa akibat yang dikehendaki hampir pasti terjadi (sadar kemungkinan besar), dipandang sebagai kemungkinan yang tidak dapat diabaikan (sadar kemungkinan) tetapi diterima.

Berkaitan dengan kesengajaan ini di dalam ilmu pengetahuan ada 2 teori tentang kesengajaan52yaitu:

50

E.Y.Kanter, S.R.Sianturi,Op.cit.Hal. 167. 51

(43)

a. Teori Kehendak (Wilstheorie), seseorang dianggap sengaja melakukan perbuatan pidana apabila orang tersebut menghendaki dilakukannya perbuatan itu;

b. Teori Pengetahuan/membayangkan (Voorstelling-theorie) mengatakan bahwa sengaja berati membayangkan akan timbulnya akibat pebuatannya. Dalam teori ini orang tidak bisa menghendaki akibat (dari suatu perbuatan), tetapi hanya bisa membayangkan (akibat yang akan terjadi).

2. Kelalaian (culpa)

Penjelasan tentang apa itu schlud atau culpa ada di dalam Memori van Toelicthing (MvT)53 sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan rancangan undang-undang hukum pidana, dimana dalam pengajuan rancangan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud denganschludatauculpa. Dalam pengajuan rancangan itu yang dimaksud dengan kelalaian54adalah:

a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan (gebrek aan het nodige denke),

b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan (gebrek aan de nodige beleid),

c. Kekurangan kebijakan yang disadari (gebrek aan de nodige beleid). Kealpaan atau tidak hati-hati (culpa)terdiri dari :55

a. Kealpaan yang disadari yaitu akibat yang tidak dikehendaki dianggap dengan semberono tidak akan terjadi. Sipelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi ia berusaha untuk mencegah namun timbul juga akibat tersebut.

52

Tongat,Op.Cit.Hal. 238 53

Memori van Toelicthing (MvT) adalah penjelasan atas Wet Book van Strafrecht, yaitu penjelasan resmi atas KUHP Belanda. Karena KUHP Belanda (singkat WvS) kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946 (untuk Jawa dan Madura) dan kemudian berdasarkan Undang-undang No. 73 Tahun 1958 diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, maka

Memori van Toelicthing sebagai penjelasan WvS juga dapat dirujuk sebagai penjelasan terhadap KUHP.

54

Ibid.Hal. 277 55

(44)

b. Kealpaan yang tidak disadari yaitu orang tidak berfikir meskipun dia seharusnya berfikir. Pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh Undang-undang.

Kelalaian adalah tidak atau kurang diperhitungkannya oleh yang bersangkutan kemungkinan munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang, padahal hal itu dapat dilakukannya.

B. Pengertian Tindak Pidana

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum yang berisi tentang karateristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pasal 1 ayat (1) KUHP menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian, dapat dikatakan ‘nullum crimen sine lege’ dan ‘nulla poena sine lege

merupakan prinsip utama dari asas legalitas, sehingga penyimpangannya sejauh mungkin dihindari. Suatu tindak pidanan karenanya berisi rumusan tentang perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana terhadap orang yang melanggar larangan tersebut. Keduanya, yaitu rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman bagi pembuatnya, tunduk kepada asas legalitas. Artinya, keduanya harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.56

Secara doktrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana yaitu:

56

Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada

(45)

1. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana, itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.57 Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa dalam pengertian tindak pidana sudah mencakup didalamnya perbuatan yang dilarang dan pertanggungjawaban pidana.

2. Pandangan dualistis adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.58

Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.59 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwastrafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.60 Ditambah dengan pendapat Komariah E. Sapardjaja mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.61

Pendapat tersebut menjadi pertanda dimasukkannya criminal liability atau

mens rea(kesalahan) sebagai bagian dari defenisi tindak pidana. Tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa kesalahan tidak sepatutnya menjadi bagian dari defenisi tindak

57

A. Fuad Usfa dan Tongat,Pengantar Hukum Pidana(Malang: UMM Press, 2004), Hal. 31 yang dikutip dari Soedarto, Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1975), Hal. 31

58

Tongat,Op.Cit.Hal. 106 59

S.R. Sianturi,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986), Hal. 205

60

Ibid.

61

(46)

pidana melainkan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana. Marshall

mengatakan, “a crime is any act or omission prohibited by law for the protection of

the public, and punishshable by the state ini a judicial proceeding in its own name”.62

Suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan,

sehingga tindak pidana pada hakekatnya adalah ‘perbuatan’ saja. Perbuatan disini

berisikan kelakuandan kejadian yang ditimbulkan oleh ‘kelakuan’ atau ‘kelakuan dan akibatnya’.63 Diening mengatakan “actus translate into conduct, compromising commission and omission”64. Dengan demikaian tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian sebagaimana diterangkan sebelumnya, dalam Pasal 11 Rancangan

KUHP dirumuskan dengan, “tindak pidana adalah pebuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam oleh pidana.” Dapat ditegaskan sepanjang

berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaharuan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

62

Andi Hamzah,Asas-asas Hukum…,Op. cit., Hal. 89 63

Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Hal. 155 64

Chairul Huda,Dari Tiada…,Op.cit., Hal. 29 yang diambil dari J.A.A. Diening,On

(47)

Pasal 1 Ayat (1) KUHP menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dan ini merupakan prinsip utama dari asas legalitas. Suatu tindak pidana berisi rumusan tentang perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana yang melekat pada orang yang melakukan larangan tersebut. Dalam delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Sedangkan dalam hal tindak pidana maeriil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat.

Rumusan tindak pidana juga berisikan tentang ancaman pidana atau sanksi yang dilekatkan pada tindak pidana tersebut. Ancaman pidana ditujukan bagi pelaku yang melakukan tindak pidana.65 Ancaman pidana karenanya ditujukan kepada orang yang melakukan kelakuan yang dilarang, mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan, dan karena perbuatannya menimbulkan akibat yang terlarang. Ancaman pidana tidak ditujukan kepada perbuatan yang terlarang, melainkan terhadap orang yang melakukannya. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang memiliki kesalahan.

Tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung unsur-unsur66: 1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke omsschrijving);

3. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;

65

Roeslan Saleh,Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), Hal. 23-24

66

(48)

4. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

C. Tindak PidanaIllegal Logging

Konsep manajemen hutan menyatakan penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan.67

Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal Logging secara eksplisit tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan selama ini illegal logging diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999. Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999

dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan

adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan

tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.”

Beberapa peraturan ada yang menyinggung tentang illegal logging sebelum undang-undang terbaru dirumuskan yaitu Inpres No.5 Tahun 2001 tentang

67

(49)

Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal dan Peredaran Hasil Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting dan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia yang mana mengartikannya sebagai penebangan kayu illegal. Dan begitu juga dalam beberapa organisasi internasional juga memberikan pengertian tentang hal ini, sehingga dari situlah dapat diambil sebuah gambaran tentang pengertian dariillegal logging.

Illegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu tidak sesuai dengan hukum Indonesia.68 Lebih lanjut FWI membagi illegal loggingmenjadi dua yaitu : Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.

Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan

68

(50)

dalam perizinan.69 Menurut aspek simplikasi semantik diartikan sebagai praktek penebangan liar, sedangkan dari aspek integratif diartikan sebagai praktek pemanenan kayu beserta proses-prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan.70

Kata illegal logging sebenarnya lahir dari isu sosial yang resah akan pengurangan drastis jumlah wilayah hutan di dunia sebahagian besar akibat penebangan kayu secara liar. Termasuk di dalamnya wilayah Republik Indonesia, yang memiliki hutan yang potensial dengan luas 99,6 juta hektar atau 52,3% dari luas wilayah Indonesia dan kian menyusut karena laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha/tahun, dan tercatat sebagai penyusutan hutan ketiga terbesar di dunia. (data Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012)71. Alasan Pemerintah membuat kebijakan terhadap tindak pidana illegal logging disebabkan kegiatan illegal logging merupakan serangkaian tindakan penyimpangan perilaku yang berdampak kepada ekosistem secara berkelanjutan, yang pada akhirnya berakibat dan membahayakan keberlangsungan hidup manusia. Oleh karenanya diperlukan kebijakan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai suatu patokan (standar) untuk menilai suatu perilaku dikategorikan sebagai kejahatan yang merupakan sub-sistem dari lingkungan hidup dan dikenakan sanksi pidana, Untuk itu memerlukan penanggulangan baik secara prepentif maupun

69

Haryadi Kartodiharjo,Modus Operandi, Scienttific Evidence dan Legal Evidence dalam Kasus Illegal Logging, Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003

70

Riza, Suarga,Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktik Premanisme Global, (Tanggerang: Wana Aksara, 2005). Hal. 9

71

(51)

represif. Dan karena itu pemberantasanillegal loggingmenjadi prioritas utama dari 5 (lima) target pembangunan Departemen Kehutanan.

Penegakan hukum yang kontiniu dan konsekuen dilakukan melalui konso

Referensi

Dokumen terkait

Pekerjaan galian tanah pondasi pada proyek ini dilakukan dengan menggunakan alat berat excavator da n dibantu dengan dump truck yang berfungsi untuk membuang

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat kepuasan dan loyalitas konsumen Gulaku, serta pengaruh atribut bauran pemasaran yang terdiri dari variabel tempat,

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

Adapun tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi dengan pendekatan spiritual berbasis video terhadap kepatuhan pembatasan cairan atau

Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan kajian pengembangan TPST Edelweiss dari skala sampah pasar menjadi skala kawasan khususnya di Kecamatan Pontianak

Kompetensi andragogik yang dinilai responden adalah kemampaun PPL mengidentifikasi kebutuhan petani, menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani dengan tidak

S.I di Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dengan judul Analisis Wacana Nilai- nilai Dakwah dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi, fokus kajian

Anda dapat menetapkan System Password (Kata Sandi Sistem) yang baru dan/atau Setup Password (Kata Sandi Pengaturan) atau mengubah System Password (Kata Sandi Sistem) dan/atau