• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Illegal Logging

1. Manusia/Individu ( Natuurlijke Persoon )

Manusia menurut kodratnya adalah mahkluk sosial yang di dalam kehidupannya sehari-hari melakukan interaksi dengan manusia lainnya dan berkelompok. Interaksi-interaksi ini akan menimbulkan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan, dan oleh hukum peristiwa tersebut akan diberikan akibat-akibat yang dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit).

Perbedaan kebutuhan dan kepentingan acap kali menimbulkan masalah, karena itu masyarakat harus memperhatikan norma-norma atau hukum yang berlaku. Sadar atau tidak manusia dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang hidup di dalamnya yang mengekang hawa nafsu dan mengatur hubungan antar manusia. Peraturan itu memberi aturan dan bersifat memaksa dalam berperilaku dan bertindak untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat.

Perbuatan pidana sendiri tergantung pada adanya kesalahan, yang dalam hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 6 ayat (2) Undang-ungang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-undang No.35 Tahun 1999, bahwa dapat dipidananya pelaku apabila:

1. adanya alat bukti yang sah menurut Undang-undang,

2. adanya keyakinan terhadap seseorang yang dianggap dapat dikenai pertanggungjawaban,

3. telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan.

Berkaitan dengan keyakinan hakim terhadap seseorang yang dianggap dapat dikenai pertanggungjawaban, ada pengecualian yaitu adanya gangguan kejiwaan. Sebagai pengecualian dapat dibaca pada Pasal 44 KUHP :

(1). Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana;

(2). Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan; (3). Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Untuk menentukan adanya jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait yaitu ahli dalam ilmu jiwa (ilmu jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti akan muncul sebagai alat bukti keterangan ahli dalam bentuk visum et Repertum Psychiatricum. Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan dalam membantu upaya menemukan kebenaran material suatu perkara pidana, terutama dalam hal menentukan ada atau tidaknya cacat mental atas pelaku tindak pidana.

Dalam kondisi tidak sehat akalnya terbagi dua yaitu: pertama, orang-orang yang sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat mulai lahir sehingga pikirannya tetap seperti kanak-kanak. Contohnya idiot, imbicil, buta tuli dan bisu mulai lahir, dan lainnya. Kedua, sakit berubah akalnya (ziekelijke storing der varstandelijke

vermogens) yang merupakan sakit gangguan jiwa seperti sakit gila, epilepsy, hyterie, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.112

Manusia dianggap dewasa (cakap) menurut hukum salah satunya adalah dengan memenuhi standar umur yang berlaku menurut undang-undang. Apabila seseorang yang belum mencapai batas umur dewasa (masih anak-anak), tetapi telah berhadapan dengan hukum, maka akan ada penanganan yang khusus. Berikut beberapa peraturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang- undangan Indonesia :

1. KUH Pidana Pasal 45113 menyebutkan anak (orang yang belum dewasa) adalah ketika umurnya belum 16 (enam belas) tahun;

2. KUH Acara Pidana Pasal 171114 menyebutkan anak adalah yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun;

3. KUH Perdata Pasal 330 : “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.”;

112

R. Soesilo,Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1980), Hal. 53

113

Pasal 45 KUHP : “Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum 16 (enam belas) tahun hakim boleh memerintahkan, supaya sitersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah ini.”

114

Pasal 171 KUHAPidana : “ Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah: a. anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin; b. orang sait ingatan atau sakit jiwa mwkipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.”

4. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 : “Anak yang dimaksud dalam undang-undang Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun.”;

5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 26 : “Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.”;

6. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka 8, merumuskan anak didik pemasyarakatan adalah:

a. Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak palingg lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun,

b. Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun,

c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

7. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1: “Anak adalah orang

yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”;

8. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 : “Anak

adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal

9. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1) : “Anak

adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.”;

10.UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 ayat (4) : “Anak adalah

seorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.”;

11. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4

huruf g : “Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu

warga negara asing yang diakui oleh ayah yang berwarga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur

18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.”;

12.UU No 23 Tahun 2006 tentang Kependudukan Pasal 63 ayat (1) : “Penduduk

warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki ijin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib

memiliki KTP.”;

13. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang Pasal 1 angka 5 : “Anak adalah seorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Ketentuan mengenai batasan umur yang dianggap cakap dalam Undang- undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tidaklah dirumuskan. Oleh karena itu untuk menentukan apakah seseorang itu cakap melakukan perbuatan hukum yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah dengan menggunakan peraturan umum (lex generalis) dan undang-undang yang terkait dengan tindak

pidana tersebut. Adapun dalam KUHP dinyatakan seseorang belum dewasa adalah ketika belum berumur 16 (enam belas) tahun dan KUHAP menyatakan belum berumur 15 (lima belas) tahun. Disini terlihat ketidakseragaman batasan umur seseorang ketika dianggap dewasa atau masih anak-anak, hal ini dapat dimungkinkan karena latar belakang dan sejarah pembentukan suatu perundang-undangan berbeda satu sama lain.

Ketentuan umur anak-anak telah dirumuskan dalam UU Perlindungan Anak dimana umur anak-anak adalah kurang dari 18 (delapan belas) tahun. Dan beberapa perundang-undangan yang bisa dikaitkan dalam konteks ini seperti dalam UU Ketenagakerjaan, UU Pemasyarakatan dan UU Pengadilan Anak memiliki ketentuan yang sama bahwa umur anak adalah sebelum 18 (delapan belas) tahun. Sehingga dapat diambil garis kesimpulan dalam hal ini batas umur anak-anak adalah 18 (delapan belas) tahun.

Apabila pelaku kejahatan illegal logging dilakukan oleh seorang anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun maka akan merujuk ketentuan-ketentuan tentang anak dalam UU Perlindungan Anak. Serta proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara tertutup dan memiliki proses yang berbeda dengan proses pemeriksaan perkara untuk orang dewasa.

Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menjelaskan subjek hukum pidana dituliskan dengan kata “setiap orang”. Dari segi tata bahasa, “setiap orang” tidak terbatas pada sekelompok atau segolongan profesi saja. Seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan tindak pidana yang telah ditentukan dalam suatu ketentuan hukum pidana

maka orang itu telah memenuhi persyaratan untuk didakwa melakukan tindak pidana. Adapun yang menjadi subjek hukum pidana dalam tindak pidana illegal logging

adalah :

a. Orang-perorangan

Kegiatan illegal logging ini melibatkan orang-orang yang berada di sekitar hutan atau warga setempat dan tokoh masyarakat adat serta orang-orang dari luar yang memiliki kepentingan akan kayu ilegal tersebut. Adapun beberapa sebutan kepada orang-orang yang berkaitan dengan tindak pidana illegal logging115 yaitu seperti:

1) Cukong : orang yang memiliki banyak uang atau pemodal untuk kegiatan

illegal logging, orang yang mendanai seseorang atau sekelompok orang untuk melakukanillegal logging;

2) Pembalak : orang yang menebang pohon secara liar;

3) Pemilik kilang : orang yang memiliki kilang kayu yaitu tempat pengergajian kayu, bisa juga orang-orang yang menerima titipan kayu, membeli kayu ilegal dan menjual kayu ilegal;

4) Ekspedisi : orang-orang yang bertanggungjawab mengantar kayu dari tambatan asal (hutan) ke tujuan akhir kayu;

115

Dikutip dari buku Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktik Premanisme Global, (Tanggerang: Wana Aksara, 2005). Sebagai hasil penelitiaannya beberapa kali disebutkan nama-nama sebutan untuk orang-orang yang berkaitan dengan kasusillegal loggingdan sebutan-sebutan itu dirangkum.

5) Pemilikchainsaw: orang atau kelompok masyarakat yang meminjamkan atau menyewakan alat pemotong kayu (chainsaw), ada kalanya pemilik chainsaw

ini menampung kayu curian dan memasoknya ke kilang kayu;

6) Preman : orang-orang bayaran yang digunakan untuk menjaga keamanan dan melawan orang-orang yang mengganggu dalam kegiatan penebangan kayu hingga distribusi kayu ilegal;

Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang- undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memang tidak mencantumkan nama-nama seperti tersebut diatas, karena nama sebutan itu merupakan sebutan-sebutan praktis dalam praktikillegal logging. Dalam pertanggungjawaban pidananya tiap-tiap orang yang berkaitan dengan praktik-praktik

illegal loggingakan berbeda-beda dilihat dari unsur-unsur dalam tindak pidana yang terpenuhi yang pelaku lakukan.

Formulasi hukum yang berkaitan dengan asas strict liability ada dalam pertanggungjawaban orang-perorangan dalam tindak pidana ini, dimana si pelaku dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan oleh undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Adapun modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku illegal logging (perorangan/individu) adalah menebang tanpa hak, membakar hutan dan memiliki, mengangkut, membeli, menjual kayu tanpa dilengkapi dokumen.116

116

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar Tahun 2008

Sanksi pidana yang telah dirumuskan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang terkait tentang tindak pidanaillegal loggingterdapat pada:

1) Pasal 82 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 12 huruf a, b dan c;

2) Pasal 83 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 12 huruf d dan e;

3) Pasal 84 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 12 huruf f; 4) Pasal 85 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 12 huruf

g;

5) Pasal 94 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 19 huruf a, c, d dan f;

6) Pasal 98 merupakan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Pasal 19 huruf b. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 dalam ketentuan pidananya telah menentukan pertanggungjawaban individu sesuai dengan sikap tindak pelaku apakah dengan sengaja atau karena kelalaiannya dan memiliki hukuman yang berbeda. Berbeda dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 yang hanya menentukan sikap tindak yang sengaja dalam pertanggungjawabannya.

b. Penyelenggara Negara

Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah mengatur tentang pejabat negara yang mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tentang pemilikan dan pengelolaan hasil

hutan yang sah. Terjadinya illegal logging merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak pihak, sebab secara logika sederhana, tidak akan berani pengusaha atau masyarakat melakukan illegal logging, jika tidak dilindungi oleh aparat keamanan dan adanya kongkalikong dengan pejabat yang berwenang. Oleh karena itu dalam pembahasan pelaku dalam praktikillegal logging, pejabat negara ditambahkan sebagai salah satu subjek tindak pidananya.

Sebagai contoh dari hasil laporan Majalah Tempo, tanggal 20 April 2008 dilaporkan bahwa, tim gabungan Markas Besar Kepolisian dan Departemen Kehutanan terjun ke Ketapang, Kalimantan Barat. Sekitar 40 (empat puluh) aparat dibawah Komando Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Komisaris Jendral Bambang Hendarso Dhanuri, diterbangkan langsung dari Jakarta. Mereka memburu para pelaku illegal logging yang selama ini bebas menjarahi puluhan ribu hektar hutan Ketapang. Operasi ini tidak melibatkan satupun aparat Ketapang. Sekitar 27 tersangka ditangkap tangan dalam operasi selama 14 (empat belas) hari, dimulai dari pertengahan Maret 2008 lalu. Tidak hanya menangkap 15 (lima belas) nahkoda kapal yang tengah mengangkut ratusan meter kubik kayu berdokumen palsu, aparat juga menangkap dan menahan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat setempat. Diantaranya Kepala Dinas Kehutanan Ketapang Syaiful H. Iskandar, Kepala Kepolisian Resor Ketapang Ajun Komisaris Akhmad Sun’an, dan

Andi Murdiani, calon bupati Kabupaten Kayong Utara, dan mereka mendekam di tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta. Polisi juga menggadangkan 20 kapal motor dan sekitar 12 (dua belas) ribu meter kubik kayu

yang senilai Rp. 200 Miliar, semuanya disita untuk barang bukti.117 Laporan ini adalah salah satu contoh kasus yang dapat mewakilkan sekian banyak kasus illegal loogingyang melibatkan pejabat negara, karena itu tidaklah salah jika pejabat negara dapat dikatakan sebagai pelaku illegal looging baik sebagai cukong atau sebagai pejabat pemberi izin palsu.

Pengertian Penyelenggara Negara dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepostisme. Penyelenggara negara meliputi :

1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3) Menteri;

4) Gubernur; 5) Hakim;

6) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan

7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Penjelasan Angka 7 mengatakan yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki

fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan

penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang meliputi :

117

1) Direksi, Komisaris dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;

2) Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN sudah dibubarkan - dianggap tidak ada);

3) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;

4) Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

5) Jaksa; 6) Penyidik;

7) Panitera Pengadilan; dan

8) Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Pasal 1 ayat (16) Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merumuskan pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan sesuatu tugas dan tanggung jawab tertentu. Ada beberapa pejabat yang diterangkan dalam undang-undang ini yaitu:

1) Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang

kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.118

2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.119

3) Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.120

4) Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.121

5) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.122

Selain dari pejabat yang telah ditentukan dalam undang-undang ini, termasuk juga pejabat penyelenggara negara seperti yang terdapat pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan telah merumuskan aturan-aturan bagi pejabat yang

118

Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 1 ayat (15)

119

Ibid.Pasal 1 ayat (17) 120

Ibid.Pasal 1 ayat (23) 121

Ibid.Pasal 1 ayat (24) 122

karena jabatannya memeiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab yang berkaitan dengan hal ini. Pasal 27 menyatakan bahwa setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, 13, 14, 15, 16, 17, dan 19 wajib melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. Maksud

dari “tindakan” disini antara lain melaporkan, melakukan tindakan hukum, dan menghentikan suatu perbuatan.123

Pasal 28 juga merumuskan tentang perbuatan yang dilarang bagi pejabat oleh undang-undang ini, yaitu:

1) menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya; 2) menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin

penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3) melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

4) ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

5) melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

6) menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak;

7) dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau 8) lalai dalam melaksanakan tugas.

Apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan maka pejabat akan dikenakan sanksi pidana seperti yang telah dirumuskan dalam Pasal 104, 105 dan 106.

123

Dokumen terkait