• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Atas Model Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

BAWASLU PROVINSI MALUKU UTARA

H. Buchari Mahmud 1 Pengantar

3. Kritik Atas Model Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Electoral justice system memang telah mengalami perbaikan setelah diundangkannya UU 7/2017. Pelanggaran pemilu dikelompokkan dalam beberapa jenis dan diselesaikan oleh lembaga yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensi lembaga yang mendapatkan atribusi langsung dari UU 7/2017.

Pelanggaran administrasi pelanggaran proses yang diselesaikan oleh Bawaslu melalui Sidang Ajudikasi, sengketa TUN diselesaikan Pengadilan TUN, sengketa hasil diselesaikan Mahkamah Konstitusi, sengketa etik diselesaikan DKPP, dan sengketa Pidana diselesaikan melalui pintu Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Meskipun telah mengalami perbaikan, terhadap kondisi tersebut masih ada yang perlu diperbaiki.

a. Benturan Asas, Patuh Asas Kewajiban Pengadil – Koreksi Kewenangan Koreksi Bawaslu RI

Salah satu kewenangan Bawaslu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 95 huruf h UU 7/2017 adalah mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.5 Kewenangan koreksi Bawaslu diatur lebih lanjut dalam Bab X tentang Koreksi Putusan Pasal 42, 43, dan 44 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum (Perbawaslu 18/2018).

Ajudikasi adalah proses persidangan penyelesaian sengketa proses pemilu.6 Tegas dan lugas nomenklatur yang digunakan dalam definisi ajudikasi dalam Perbawaslu 18/2018 adalah “persidangan”. Dengan demikian, sekalipun prsoses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Bawaslu bersifat ajudikasi, namun pada prinsipnya diselesaikan melalui cara-cara judikasi. Dalam proses judikasi, pada umumnya dikenal asas audi et altera partem. Maksud asas ini adalah dalam perkara yang diperiksa dan diadili di dalam proses persidangan, semua pihak mempunyai hak yang sama baik untuk didengar keterangannya secara berimbang ataupun memiliki kesempatan yang sama dalam mengajukan

5. Pasal 95 huruf h UU 7/2017 menyebutkan “mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-udangan”.

6. Pasal 1 angka 19 Perbawaslu 18/2018

pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing pihak.7

Perbawaslu 18/2018 mengatur upaya administrasi atas Permohonan Koreksi Putusan yang diajukan oleh Pemohon setelah melalui sidang ajudikasi di Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota, namun Termohon dalam hal ini KPU di tingkat daerah tidak dilibatkan. Keterlibatan KPU di daerah hanya sebatas mendapatkan pemberitahuan sedang ada upaya koreksi putusan di Bawaslu RI agar menunda sementara pelaksanaan putusan ajudikasi Bawaslu Provinsi dan/

atau Bawaslu Kabupaten/Kota.8 Pengaturan demikian dalam Perbawaslu 18/2018 dalam catatan Penulis bertentangan dengan asas audi et altera partem. Sepatutnya semua pihak memiliki kesempatan yang sama dalam proses koreksi putusan. Sepatutnya Termohon mendapatkan kesempatan untuk mengajukan

“Kontra Permohonan Koreksi”, seperti halnya Pemohon mendapatkan kesempatan mengajukan “Permohonan Koreksi”. Atas kesempatan yang sama, Bawaslu RI dapat mendengarkan semua pihak sebagaimana asas audi et altera partem.

b. Kewajiban Patuh Atas PKPU; Bawaslu Bukan Peradilan Konstitusi

Salah satu wacana yang menarik perhatian pada Pemilu 2019 adalah pencalonan mantan napi korupsi sebagai calon anggota DPRD oleh partai politik. Atas persoalan ini, terjadi perbedaan pendapat antara KPU dengan Bawaslu. KPU tidak menerima pencalonan mantan napi korupsi sebagai calon anggota legislatif yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/

Kota (PKPU 20/2018). Sementara itu, Bawaslu menilai larangan tersebut tidak tepat.

Pada Pemilu 2019 di Provinsi Maluku Utara, dari 10 (sepuluh) sengketa yang diselesaikan Bawaslu Maluku Utara terdapat 4 (empat) sengketa yang berkaitan dengan mantan napi korupsi. Keempat sengketa tersebut oleh Bawaslu Maluku Utara dinyatakan diterima dan Bawaslu memerintahkan KPU Maluku

7. Hendra Kasim, 2019, Demos Cratos, Catatan tentang Demokrasi, (Ternate: Pandecta) hlm. 212 8. Pasal 43 Perbawaslu 18/2018

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Utara untuk memasukkan bakal calon anggota legislatif yang bersangkutan ke dalam Daftar Calon Tetap. Polemik ini telah berakhir melalui putusan Mahkamah Agung (MA) atas judicial review PKPU 20/2018 terhadap UU 7/2017.

Penulis tidak bermaksud menyoal hasil judicial review MA ataupun putusan Bawaslu atas sengketa proses melalui ajudikasi terhadap pencalonan mantan napi korupsi. Namun, ada beberapa hal yang menurut Penulis perlu diurai sebagai diskursus guna memperbaiki penyelenggaraan pemilu.

Polemik muncul karena pencalonan mantan napi korupsi yang dilarang oleh KPU melalui PKPU 20/2018 namun kemudian diakomodir kembali oleh Bawaslu melalui sengketa proses. KPU RI merespons putusan Bawaslu di berbagai daerah, termasuk di Maluku Utara, melalui surat Nomor: 991/PL.01.4-SD/06/KPU/VIII/2018 Perihal: Pelaksanaan Putusan Bawaslu mengenai Mantan Terpidana Korupsi, tertanggal 31 Agustus 2018. Pokok isinya adalah menginstruksikan KPU di daerah untuk menunda sementara Putusan Bawaslu di beberapa daerah sembari menunggu sikap MA dalam memutuskan judicial review PKPU 20/2018 dengan UU 7/2017. Dalam pandangan

Penulis, setidaknya ada beberapa argumentasi hukum yang dapat membenarkan sikap KPU RI dalam menerbitkan Surat Nomor 991/

PL.01.4-SD/06/KPU/VIII/2018 tersebut.

Pertama, karena PKPU 20/2018 memiliki kekuatan mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh penyelenggara pemilu tidak terkecuali Bawaslu, dengan alasan hukum: (i) dibuat oleh lembaga yang berwenang yakni KPU RI sebagaimana atribusi kewenangan yang didapatkan melalui Pasal 12 huruf c, Pasal 13 huruf b, dan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017; (ii) PKPU 20/2018 diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di dalam Berita Negara Nomor: 834, 2018, tertanggal 3 Juli 2018. Diundangkannya PKPU 20/2018 berkonsekuensi hukum pada kekuatan mengikat PKPU 20 2018.

Sebagaimana diatur dengan tegas dan lugas di dalam Pasal 83 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2018). Dengan demikian, PKPU 20/2018 merupakan bagian dari hukum positif Indonesia khususnya dalam sistem hukum pemilu yang wajib dipatuhi, dilaksanakan, dan ditegakkan oleh seluruh pihak tanpa

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

terkecuali.9

Kedua, Bawaslu tidak berwenang menilai pertentangan norma. Secara konstitusional lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa judicial review adalah MK dan MA sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, MK berwenang menyelesaikan sengketa judicial review yang putusannya bersifat final dan mengikat dalam menilai pertentangan UU terhadap UUD. Sedangkan MA berwenang menyelesaikan sengketa judicial review yang putusannya bersifat final dan mengikat dalam menilai pertentangan peraturan di bawah UU terhadap UU.10

Sebagaimana sifat konstitusi memberikan kewenangan sekaligus membatasi kewenangan secara konstitusional, maka kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) selain memberikan kewenangan judicial review kepada MA dan MK, sekaligus membatasi lembaga lain yang tidak dapat melakukan kegiatan judicial review. Atau dengan kata lain, lembaga selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review atau dalam hal menilai pertentangan norma di bawah dengan norma di atasnya adalah bersifat in-costitusional atau dapat dikatakan sebatas asumsi belaka.11 Khusus untuk beberapa daerah yang mana Bawaslu menerima permohonan mantan napi korupsi dalam proses ajudikasi, dalam putusannya seolah-olah Bawaslu bertindak sebagai MA sehingga dapat menilai dan menyatakan bahwa PKPU 20 /2018 bertentangan dengan UU 7/2017.

Sebagai pengawas pemilu, kehadiran Bawaslu adalah memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan norma pemilu yang berlaku, termasuk pula berjalan sesuai dengan PKPU. PKPU sebagai norma yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta diundangkan dan dilembarkan dalam lembaran negara, merupakan konsekuensi logis yang harus dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh seluruh pihak. Idealnya, Bawaslu memastikan KPU berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pula sesuai dengan produk hukum

9. Hendra Kasim, op cit, hlm. 198 10. Ibid, hlm. 199

11 Ibid

KPU berupa PKPU. Andaipun ada pihak yang menilai PKPU bertentangan dengan UU, selama tidak dibatalkan oleh MA atau diubah oleh KPU sebagai lembaga yang menerbitkan norma tersebut, maka PKPU tersebut wajib dipatuhi, dilaksanakan, dan ditegakkan oleh seluruh pihak tanpa terkecuali, termasuk oleh Bawaslu.

Penutup Simpulan

Secara umum penyelenggaraan pemilu kian hari kian membaik. Evaluasi atas penyelenggaraan pemilu terus dilakukan untuk memastikan perbaikan terus digalakkan. Hal ini guna mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang bermartabat, tidak terkecuali electoral justice system juga terus mengalami perbaikan. Meskipun demikian, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memperbaiki electoral justice system guna mewujudkan keadilan pemilu bagi semua pihak.

Kewenangan koreksi putusan yang diamanahkan UU 7/2017 kepada Bawaslu RI sepatutnya dalam pengaturan lanjutannya berupa Perbawaslu sebagai mekanisme formil ajudikasi memperhatikan kesempatan yang sama bagi semua pihak (asas audi et altera partem). Perbawaslu 18/2018 tidak memfasilitasi keterlibatan semua pihak, khususnya dalam mekanisme permohonan koreksi putusan. Hanya Pemohon atau Pelapor yang mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan koreksi putusan, sementara itu KPU sebagai Termohon atau Terlapor tidak mendapatkan kesempatan untuk membuat kontra atas permohonan koreksi putusan.

Salah satu indikator pengukuran bahwa pemilu berjalan dengan baik adalah penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepatuhan atas norma pemilu, tidak terkecuali PKPU, adalah keharusan bagi semua pihak. Kehadiran Bawaslu sebagai pengawas pemilu sepatutnya memastikan pemilu dijalankan oleh KPU sesuai dengan PKPU, bukan sebaliknya Bawaslu menilai pertentangan norma antara PKPU dengan UU 7/2017. Hal ini melampaui wewenang yang diberikan UU kepada Bawaslu karena kewenangan konstitusional judicial review adalah kewenangan MK dan MA.

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Saran

Saran dan masukan guna perbaikan dari pokok masalah yang telah diurai sebelumnya adalah sebagai berikut:

a. Perbawaslu 18/2018 harus diubah untuk memastikan keterlibatan KPU sebagai Termohon atau Terlapor dalam proses koreksi putusan dengan memberikan kesempatan kepada KPU selaku Termohon atau Terlapor menyusun kontra atas permohonan koreksi putusan;

b. PKPU merupakan produk hukum yang

mengikat karena dibuat oleh KPU sebagai lembaga yang mendapatkan atribusi langsung dari UU 7/2017 serta diundangkan dan dicatat dalam berita negara sehingga memiliki daya ikat layaknya peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, setiap pihak memiliki kewajiban yang sama untuk mematuhi, menghormati, dan menegakkan PKPU, tidak terkecuali Bawaslu. Kehadiran Bawaslu sepatutnya memastikan KPU bekerja sesuai dengan PKPU, bukan sebaliknya menilai pertentangan PKPU dengan UU 7/2017.

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIAKOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PEMUNGUTAN DAN