• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA PEMILU LEGISLATIF DI ACEH

Di awali dengan keberadaan calon Independen untuk pertama kali diterapkan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh Tahun 2006 yang diatur normanya dalam Pasal 67 dan 68 UU PA.

Lalu Ranggalawe2 melakukan pengujian Pasal 56, 59 dan 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang dikabulkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/

PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007. Impliksi yuridis dari Putusan Mahkamah adalah calon perseorangan untuk kemudian diterapkan dalam konteks Pilkada secara nasional. Tidaklah berlebihan jika menyebut Aceh embrionya calon perseorangan dalam Pilkada,

2. Lalu Ranggalawe seorang Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, beralamat di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. Mengajukan permohonan judicial-review Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD.

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

sebab keikutsertaan calon perseorangan dalam Pilkada di Aceh menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan Permohonan PUU tersebut, bahwa setelah diundangkannya UU Pemda dan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, pembentuk UU mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang di dalamnya memuat ketentuan tata cara pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1) huruf d.3

Dalam hal keserentakan dan pelaksanaan langsung penyelenggaraan Pilkada, Aceh juga sudah terlebih dahulu menerapkannya dalam Pilkadasung Aceh Tahun 2006 yang menggabungkan pemilihan Gubernur dengan 20 pemilihan Bupati dan Walikota.

Keserentakan ini kemudian diterapkan di seluruh Indonesia sejak gelombang pertama 9 Desember 2015.4 Terakhir yang paling fenomenal dalam sistem kepemiluan dan demokrasi di Indonesia adalah keikutsertaan Partai Politik Lokal (Parlok) di Aceh untuk pertama kali pada Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Menurut Farhan Hamid, Provisional Understanding tanggal 9 Januari 2001 adalah dokumen pertama di Indonesia yang menyebut adanya calon non-partai (non party candidates) dan partai daerah atau partai lokal (locally-based parties) yang dapat berpartisipasi dalam proses Pemilu di Aceh. Eksistensi calon non-partai dan partai daerah atau partai lokal itu diharapkan menjadi jalan demokrasi bagi transformasi tujuan politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), selain sebagai insentif atau konsesi politik bagi GAM untuk bergabung kembali dalam wadah negara Republik Indonesia.5

Pembahasan isu-isu otonomi khusus atau pemerintahan sendiri dan partisipasi GAM dalam kehidupan politik di Aceh melalui partai politik lokal disepakati kedua belah pihak dalam perundingan putaran ketiga (12-16 April 2005).6 Penyelenggaraan pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh, komisi pemilihan yang independen, peraturan yang menjamin

3. Dr. Edy Faishal Muttaqin, S.H., M.H, Implikasi Yuridis Keikutsertaan Calon Perseorangan Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah,2007. Lihat: media.neliti.com/media/

publications/229144-implikasi-yuridis-keikutsertaan-calon-perseorangan.

4. Tjahyo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, Ekspose (PT Mizan Publika), Jakarta, 2015, hlm. 57.

5. Provisional Understanding adalah Daftar Penyelesaian Politis yang disepakati oleh Para Juru Runding Pemerintah RI dan Wakil GAM dalam pertemuan di Jenewa, Swiss pada tanggal 6-9 Januari 2001. Provisional Understanding yang ditandatangani tersebut selain menyepakati bulan tenang atau moratorium selama satu bulan (atas kekerasan pasca kegagalan Jeda Kemanusiaan), juru runding kedua belah pihak menegaskan keyakinannya bahwa masa depan Aceh dapat diselesaikan secara politis. Provisional Understanding adalah sebuah daftar substansi politis yang akan dibicarakan lebih lanjut termuat dalam annex (lampiran) daftar masalah penting adalah: penyelenggaraan pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh, komisi pemilihan yang independen yang dapat diterima kedua belah pihak, pemantauan terhadap proses pemilihan oleh sebuah badanyang independen dan tidak berpihak, peraturan yang menjamin bahwa calon non-partai dapat ikut serta atau partai daerah (locally-based parties) dapat dibentuk di Aceh serta kriteria yang memungkinkan GAM ikut serta dalam proses politik, termasuk mentransformasikan tujuan politiknya melalui jalan demokrasi. Namun ketika juru runding Pemerintah RI membawa daftar politis itu ke Pemerintahan Abdurrahman Wahid di Jakarta, segera timbul pertentangan sehingga tidak dikembangkan lebih lanjut.

6. Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seseorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006, hlm., 112-113.

bahwa calon non-partai dapat ikut serta atau partai daerah (locally-based parties) dapat dibentuk di Aceh serta kriteria yang memungkinkan GAM ikut serta dalam proses politik, termasuk mentransformasikan tujuan politiknya melalui jalan demokrasi didasari atas tindaklanjut butir 1.2 dan 1.2.1. Memorandum Of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM di Helsingki Finlandia 15 Agustus 2005.7 Nota Kesepahaman ini sejatinya adalah wujud rekonsiliasi bermartabat, menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.8

Selanjutnya dalam tempo 1 (satu) tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan komitmen menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tanggal 11 Juli 2006 RUU Pemerintahan Aceh diterima dan disetujui secara aklamasi oleh Pemerintah dan DPR, lalu tanggal 1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatanganinya menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.9

Pencalonan 120% Calon Legislatif Pemilu 2009 dan Keikutsertan Partai Politik Lokal Aceh.

Persyaratan pengajuan bakal calon anggota legislatif yang memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan (dapil) merupakan norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini adalah dasar hukum penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009. Dalam penyelenggaraan tahapan pencalonan terdapat ketentuan dalam Undang-undang tersebut di Pasal 54 yang sepenuhnya diadopsi dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Pasal 17 dalam Qanun tersebut di atas mengatur ketentuan pencalonan

7. Ahmad Farhan Hamid, Partai Politik Lokal di Aceh Desentralissi Politik dalam Negara Kebangsaan, Kemitraan, Jakarta, 2008, hlm., 208.

8. Ade Arif Firmansyah, S.H.,M.H., dkk. Bukan Undang-Undang Biasa; Refleksi 10 Tahun Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2016, hlm., 16.

9. Ahmad Farhan Hamid, Partai Politik Lokal di Aceh..., hlm., 228.

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

daftar bakal calon legislatif yang diajukan oleh Parlok memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap dapil.

Pileg Tahun 2009 menjadi ajang kontestasi pertama bagi Parlok di Aceh, di mana keikutsertaan Parlok dalam pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 75 UU Pemerintahan Aceh yang kemudian diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2007. Hal ini tentunya menjadi babak baru perjalanan demokrasi lokal di Aceh dan kepemiluan di Indonesia. Dari 44 partai politik peserta Pileg Tahun 2009, terdapat 6 Parlok di Aceh yang ditetapkan KPU dari 13 Parlok yang telah terbentuk di Aceh sebagai peserta Pemilu Tahun 2009, yaitu: Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Aceh (PA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Bersatu Aceh (PBA).10

Pada aspek teknis pengajuan daftar bakal calon dalam Pileg 2009 memiliki norma pengaturan yang sama, apa yang diatur dalam Pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 sepenuhnya merupakan ketentuan Pasal 54 UU 10 Tahun 2008, sehingga tidak ada permasalahan dalam pelaksanaannya baik bagi Partai Politik Nasional (Parnas) maupun Parlok di Aceh.

Polemik Pencalonan 120% Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Aceh.

Pemilu Legislatif Tahun 2014 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pileg 2014 diikuti oleh 15 partai politik, terdiri dari 12 partai politik dan 3 partai politik lokal di Aceh, yaitu:

Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Aceh (PA). Partai Damai Aceh adalah kelanjutan dari Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) adalah partai politik lokal baru peserta Pemilu Tahun 2014.Sedangkan Partai Aceh (PA) adalah satu-satunya Parlok di Aceh yang memenuhi ketentuan persyaratan sebagai peserta pemilu berikutnya.11 Ketentuan keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD

10. Selain 6 (enam) parlok, yaitu Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Aceh (PA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Bersatu Aceh (PBA) yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009, terdapat 7 (tujuh) parlok yang terbentuk di Aceh yang terdaftar di Kanwil Hukum dan HAM, dan mendaftar di KPU/KIP untuk mengikuti proses verifikasi pemenuhan persyaratan partai politik sebagai peserta Pemilu 2009, yaitu: Partai Atjeh Meudaulat (PAM), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA), Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PSPNS), Partai Darussalam, Partai Gabthat (Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa.

______, Partai Politik Lokal di Aceh..., hlm., 256.

11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) pada Pasal 90 mengatur bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 5%

(lima persen) jumlah kursi DPR Aceh, atau memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPR Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota di Aceh.

Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2014 diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Bab XXIII Ketentuan Lain-Lain, Pasal 322.

Pelaksanaan Pileg 2014 di Aceh memunculkan pro-kontra terkait ketentuan pengajuan daftar bakal calon anggota legislatif. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, memuat ketentuan pengajuan daftar bakal calon anggota legislatif paling banyak 100% dari jumlah kursi pada setiap dapil. Di sisi lain Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota tidak mengalami perubahan atau penyesuaian dengan Undang-undang terbaru pemilu. Pasal 15, 16 dan 17 dalam Qanun masih memuat norma tentang pencalonan daftar bakal calon anggota legislatif memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap dapil.

Jika merujuk kepada kedua ketentuan ini, maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menjadi norma baru dan dasar hukum bagi partai politik peserta Pemilu 2014 dalam pengajuan daftar bakal calon anggota legislatif, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Persoalan yang mencuat kemudian adalah bagaimana penerapannya bagi Parlok di Aceh pada Pemilu 2014?. Jika diuraikan lebih lanjut bahwa ketentuan tentang hak dan kewajiban Parlok termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pada Pasal 80 Ayat (1) dan (2) menjelaskan tentang keikutsertaan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK, mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK, mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA dan DPRK, mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di DPRA dan DPRK, dan mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Wakil Walikota di Aceh dalam pelaksanaannya lebih lanjut diatur dengan Qanun Aceh. Di sinilah awal mula polemik pencalonan 120% itu terjadi dalam Pemilu di Aceh, apakah mengacu Pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 atau Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012?.

Penyelenggara pemilu di Aceh, yaitu KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

bagian hierarki KPU secara teknis pelaksanaannya dihadapkan persoalan ambiguitas antara mengacu Pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 atau Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Memasuki masa tahapan pengajuan daftar bakal calon anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota, sebagian partai politik peserta pemilu di Aceh mendaftarkan bakal calon anggota legislatif ke KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota dengan menggunakan kedua metode tersebut. Ada partai politik yang mengajukan daftar nama bakal calon anggota legislatif memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap dapil, juga terdapat partai politik yang menyerahkan daftar nama bakal calon anggota legislatif memuat paling banyak 100% dari jumlah kursi pada setiap dapil, bahkan terdapat juga kondisi dimana jangankan memuat 120%, untuk terpenuhi kuota 100% saja partai politik mengalami kesulitan. Di tingkat Propinsi Aceh, Partai Aceh, Partai Golkar, Partai Nasdem dan Partai Gerindra mendaftarkan calon anggota legislatif memuat paling banyak 120%

dari alokasi kursi pada setiap dapil.

Kondisi ini tentunya menjadi persoalan tersendiri bagi penyelenggara pemilu pada aspek kepastian hukum dan teknis pelaksanaannya, sejumlah KIP Kabupaten/Kota menerapkan secara beragam, umumnya tetap menerima pendaftaran caleg dari partai politik dan partai politik lokal memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap dapil sebagaimana yang diterapkan oleh KIP Aceh, terdapat juga KIP Kabupaten/Kota yang menerapkan ketentuan Pasal 54 UU 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPUNomor 7 Tahun 2003 Perubahan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2013 untuk pendaftaran caleg dari partai politik, sedangkan untuk partai politik lokal diterima pendaftarannya sebagaimana Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008. Alhasil tentunya terjadi perbedaan penerapan, belum lagi persoalan ini menjadi obyek pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten/

Kota yang sedari awal menilai KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota tidak menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam menyelesaikan polemik pencalonan kuota 120% ini, KIP Aceh kemudian berkonsultasi meminta penjelasan kepada KPU yang dijawab dengan Surat KPU Nomor 324/KPU/V/2013 tanggal 7 Mei 2013 tentang Kedudukan Anggota Partai Politik Lokal Aceh dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA, dan DPRK oleh Partai Politik Nasional.

KPU melalui surat tersebut di atas pada intinya menegaskan bahwa: 12

1. Jumlah bakal calon yang dapat diajukan oleh partai politik lokal Aceh maupun partai politik nasional dalam pencalonan Pemilu 2014 untuk setiap daerah pemilihan paling banyak 100%

dari alokasi kursi setiap daerah pemilihan Anggota DPRA/DPRK. Besaran angka 100%

jumlah bakal calon yang dapat diajukan dalam Pemilu Anggota DPRA/DPRK tersebut di dasarkan kepada ketentuan Pasal 54 UU Nomor 8 Tahun 2012, mengingat ketentuan dalam Qanun Aceh yang mengatur mengenai jumlah bakal calon yang diajukan untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 120% bukan merupakan ketentuan khusus bagi Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007.

2. Tata cara pencalonan Anggota DPRA/DPRK tetap tunduk kepada Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013 jo. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2013 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Konsekuensi surat KPU tersebut di atas membuat posisi KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota terdesak dan serba salah, satu sisi pada masa tahapan pendaftaran calon anggota legislatif terlanjur menerima daftar nama bakal calon anggota legislatif memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap dapil, di sisi lain KPU menegaskan bahwa Parlok di Aceh maupun Parnas dalam pencalonan Pemilu 2014 untuk setiap dapil paling banyak 100%

dari jumlah kursi pada setiap dapil Anggota DPRA/

DPRK. Penegasan KPU termasuk tentang tata cara pencalonan dengan memerintahkan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota tetap tunduk kepada Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013 jo. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2013 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Akibat dari terbitnya surat KPU Nomor 324/

KPU/V/2013, KIP Aceh melakukan koordinasi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menyampaikan maksud surat KPU tersebut sekaligus mengadvokasi persoalan kuota caleg 120%, sehingga dilaksanakan dua kali pertemuan antara Tim

12. Surat KPU RI Nomor 324/KPU/V/2013 tanggal 7 Mei 2013 tentang Kedudukan Anggota Partai Politik Lokal Aceh dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA, dan DPRK oleh Partai Politik Nasional, ketentuan Angka (5) dan (6).

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Pemerintah Aceh dengan Tim Pemerintah, tanggal 21 Mei2013 di Jakarta dan 23 Mei 2013 di Bogor.

Pertemuan kali kedua ini menghasilkan kesepakatan antara Tim Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, KPU, dan Bawaslu terkait pengajuan kuota calon anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh. KPU selanjutnya mengeluarkan Surat Nomor 410/KPU/VI/2013 tanggal 14 Juni 2013 perihal Pengajuan calon anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh.

Substansi surat KPU ini sebagai berikut:13 1. KPU dapat menerima usulan mengenai jumlah

bakal calon anggota DPRA dan DPRK yang diajukan oleh Partai Politik Lokal Aceh dan Partai Nasional untuk setiap daerah pemilihan Anggota DPRA dan daerah pemilihan Anggota DPRK dalam penyelenggara Pemilu Tahun 2014, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan peraturan pelaksanaannya.

2. Pengajuan bakal calon anggota DPRA dan DPRK oleh Partai Politik Lokal Aceh dan Partai Nasional yang telah disampaikan kepada KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota pada masa pendaftaran serta masa perbaikan syarat pengajuan bakal calon dan syarat bakal calon berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tetap diterima dan dinyatakan sah, mengingat masa perbaikan syarat pengajuan bakal calon dan syarat bakal calon sudah tidak dimungkinkan lagi sebagaimana maksud dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 Jo. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2013.

3. Diminta kepada KIP Aceh dan KIP Kabupaten/

Kota menyampaikan maksud surat KPU ini kepada Pimpinan Partai Politik Lokal Aceh dan Partai Nasional di Provinsi Aceh, serta surat KPU Nomor: 324/KPU/V/2013 tanggal 7 Mei 2013 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Sebelumnya, pada tanggal 7 Juni 2013 KIP Aceh menggelar rapat koordinasi dengan KIP Kabupaten/Kota tentang pengajuan bakal calon legislatif 120% bagi seluruh partai politik peserta pemilu di Aceh. Pertemuan yang diinisiasi oleh KIP Aceh dimaksudkan untuk konsolidasi dukungan KIP Kabupaten/Kota di Aceh terkait persoalan pengajuan daftar caleg kouta 120%. Rapat koordinasi ini

13. Surat KPU RI Nomor 410/KPU/VI/2013 tanggal 14 Juni 2013 perihal pengajuan calon anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh, ketentuan Angka (1), (3),dan (4).

menghasilkan suatu kesepakatan antara KIP Aceh dengan KIP Kabupaten/Kota yang dituangkan dalam Berita Acara KIP Aceh Nomor 32/BA/KIP-ACEH/

VI/2013 tentang Dukungan dalam Penyusunan Daftar Calon Anggota DPRA dan DPRK di Aceh.

Kesepakatan KIP Se-Aceh ini kemudian menimbulkan permasalahan baru terkait legalitas bagi penyelenggara pemilu di Aceh untuk menyepakati sesuatu yang berbeda dari apa yang yang telah diputuskan KPU sebagaimana Surat Nomor 324/KPU/V/2013 tanggal 7 Mei 2013 tentang Kedudukan Anggota Partai Politik Lokal Aceh dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA, dan DPRK oleh Partai Politik Nasional. KIP Aceh saat itu dinilai sejumlah kalangan tidak patuh menjalankan perintah KPU yang menetapkan ketentuan pengajuan daftar caleg di Aceh dan dinilai telah membuat kesepakatan dan keputusan di luar yuridiksinya.

Berikut penulis rangkum respon sejumlah kalangan, khususnya pimpinan partai politik di Aceh:14

Juru Bicara PNA Thamren Ananda:

“Pernyataan KIP Aceh bahwa mereka telah sepakat dengan seluruh KIP kabupaten/kota mengakomodir kuota caleg 120 persen merupakan sikap yang membingungkan rakyat dan parpol di Aceh. Hal ini disebabkan sebelumnya KPU telah membuat keputusan kuota caleg tetap 100 persen melalui Keputusan KPU Nomor 324. Menurut Thamren, keputusan KPU telah disosialisasikan ke seluruh parpol. Dengan demikian, sampai saat ini parpol secara aturan yang ada telah mengirimkan calegnya sebanyak 100 persen. Namun dalam perjalanannya, Pemerintah Aceh menjadi motor dalam mendesak KPU untuk mengakomodir kuota caleg 120 persen, padahal sampai saat ini belum ada putusan KPU yang membatalkan Keputusan Nomor 324. Secara aturan Keputusan KPU Nomor 324 Tanggal 7 Mei 2013 tidak bisa dicabut oleh KIP Provinsi dengan cara membuat kesepakatan dengan KIP kabupaten/

kota, kalau KIP ingin mengakomodir kuota 120 persen, maka KIP harus meminta keputusan KPU yang baru untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 324. Kita berharap kepada semua pihak untuk menghormati integritas KIP, agar mereka bisa bekerja dengan baik dan tidak merasa tertekan atau mendapatkan tekanan dari pihak luar,”

Ketua DPD Partai Demokrat Aceh, Mawardy Nurdin: “Partai Demokrat menyatakan kesiapan

14. https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/06/09/kuota-caleg-bingungkan-parpol, tanggal 9 Juni 2013.

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

dengan apapun hasil keputusan yang ditetapkan KIP.

Tapi, hendaknya KIP menetapkan keputusan dengan dasar hukum yang jelas agar adanya kepastian hukum untuk parpol. Sekarang ini yang berkembang baru sebatas usulan, pendapat dan kesepakatan antara KIP Kabupaten/Kota dengan KIP Provinsi terkait alokasi daftar caleg 120 persen, tapi itu tidak ada legalitasnya. Demokrat akan mengambil keputusan berdasarkan aturan hukum tertulis. Kalau nanti yang diputuskan ternyata 100 persen, lalu kita kirimkan 120 persen, kita harus mencoret yang 20 persennya, maka ini menjadi masalah karena bakal ada caleg yang berpindah dapil juga, Demokrat ikut mana saja aturan yang dibuat KIP. Tapi saya pikir harus ada hitam di atas putih, bukan berdasarkan kesepakatan dan pendapat.”

Ketua Partai Gerindra, TA Khalid:

“Kesepakatan KIP Aceh terhadap kuota 120 persen disebabkan karena KPU tidak menindaklanjuti hasil kesepakatan antara Pemerintah Pusat (Depdagri) dengan Pemerintah Aceh bahwa di Aceh berlaku kuota caleg 120 persen seperti termuat dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2008. Seandainya KPU telah menindaklanjuti kesepakatan itu, maka KIP Aceh tidak perlu menyepakati lagi dengan KIP Kabupaten/

Kota, tapi langsung menindaklanjutinya. Mengapa Depdagri yang telah menyepakati Aceh berlaku kuota caleg 120 persen tidak menindaklanjutinya dalam bentuk regulasi. Tindakan Pemerintah Pusat dan KPU ini membuat kegamangan bagi parpol di Aceh. Seharusnya kalau pemerintah sepakat hamil,

Kota, tapi langsung menindaklanjutinya. Mengapa Depdagri yang telah menyepakati Aceh berlaku kuota caleg 120 persen tidak menindaklanjutinya dalam bentuk regulasi. Tindakan Pemerintah Pusat dan KPU ini membuat kegamangan bagi parpol di Aceh. Seharusnya kalau pemerintah sepakat hamil,