• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Terhadap Tafsir Salman

Dalam dokumen CORAK ILMIAH TAFSIR SALMAN DI ZAMAN MODERN (Halaman 92-152)

BAB II KAJIAN TAFSIR ILMI

E. Kritik Terhadap Tafsir Salman

Meskipun apresiasi untuk Tafsir Salman dikemukakan oleh beberapa tokoh bahkan dari Universitas luar, namun hal tersebut tidak menjadikan Tafsir Salman sebagai tafsir dengan penyusunan yang sempurna. Dalam hal ini, Abdul Basid mengemukakan kritikannya terhadap penyusunan kitab Tafsir Salman. Tiga kritikan yang dihasilkan dalam penyusunan kitab Tafsir Salman, diantaranya adalah karakteristik penyusunan, Ilmu Asbȃb al-Nuzȗl dan Telaah kebahasaan.69

Pada karakteristik penyusunannya, Tafsir Salman merupakan kitab tafsir yang berbeda dengan kitab yang disusun oleh ulama klasik zaman dahulu, karena Tafsir Salman tidak bisa dikategorikan sebagai kitab yang disusun berdasarkan turunnya ayat dan surat, tafsir ini lebih fokus kepada surat-surat yang terdapat di Juz „Amma dan itu hanya fokus kepada 29 surat dari 37 surat yang mengandung isyarat ilmiah. Karena Tafsir Salman ini hanya memfokuskan ayat yang terdapat isyarat ilmiah saja, sehingga ayat yang tidak memiliki kaitan ilmiah tidak ditafsirkan dan dilewatkan begitu saja. Hal ini terlihat pada penafsiran surah al-Syams dalam Tafsir Salman yang hanya menafsirkan ayat 1- 6 saja.

Selanjutnya pada pedoman asbȃb al-Nuzȗl, Abdul Basid memaparkan bahwa Tafsir Salman dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an tidak menggunakan hal yang berkaitan dengan masa silam di masa al-Qur‟an diturunkan. Ini artinya bahwa Tafsir Salman tidak menggunakan kaidah asbȃb al-Nuzȗl dalam menafsirkan ayat. Ini berbeda dengan apa yang telah disepakati oleh mufassir terdahulu.70 Meskipun dapat difahami bahwa tidak semua ayat isyarat ilmiah memiliki asbȃb al-Nuzȗl, tetapi asbȃb al-Nuzȗl merupakan modal untuk menafsirkan ayat al-Qur‟an agar tidak keluar dari kerangka dan tujuan ayat pertama kali diturunkan.71

69 Abdul Basid, “Tafsir Ilmiah Salman ITB (Telaah Kritis Perspektif Ulum al-Qur‟an)”, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep, 2017, h. 9-13.

70 Usman, Ulum al-Qur‟an, (Yogyakarta: TERAS, 2009), h. 103-104.

71 Shubhi Shalih, Mabȃhits fȋ „Ulȗm al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-„Ilm li al-Milayin, 1972), h. 134.

Adapun mengenai aspek kebahasaan dalam Tafsir Salman, tata bahasa merupakan salah satu syarat pokok yang harus diketahui oleh para penafsir di dalam menafsirkan al-Qur‟an. Kaidah kebahasaan merupakan syarat yang terpenting bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur‟an. Kaidah kebahasaan ini mencakup ilmu-ilmu kebahasaan seperti kaidah nahwu, sharf, i‟rab dan berbagai macam ilmu yang mendukung kaidah kebahasaan ini. Hal ini merupakan suatu keharusan yang wajib diperhatikan oleh para Mufassir.72 Kaidah kebahasaan ini menjadi sangat penting, disebabkan ada sebagian orang yang terlalu mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan ilmu pengetahuan akan tetapi melupakan kaidah kebahasaan ini.73

Abdul Basid juga menjelaskan bahwa Tafsir Salman dalam menggunakan metode tafsir bi al-Ma‟tsur tidak mengutip kitab tafsir dari para ulama tafsir klasik, selain itu bahasa yang digunakan dalam kajian Tafsir Salman merupakan bahasa disiplin keilmuan modern yang tidak ada kaitannya dengan terminologi bahasa Arab.

Meskipun kritikan yang dilayangkan oleh Abdul Basid merupakan kritikan dalam bentuk penyusunan kitab Tafsir Salman. Akan tetapi, jika diteliti dengan seksama, penyusunan yang terdapat dalam kajian Tafsir Salman telah menggunakaan kaidah dan metode tafsir yang sesuai dalam menyusun karya tafsir. Abdul Basid mengkritik bahwa Tafsir Salman tidak menggunakan referensi dari ulama klasik, tidak menggunakan telaah kebahasaan dan tidak menggunakan asbȃb al-Nuzȗl.

Sebenarnya, jika diteliti lebih lanjut, segala macam bentuk penyusunan tersebut ada pada kajian Tafsir Salman. asbȃb al-Nuzȗl dijabarkan pada pengantar surat dengan memaparkan sebab turunnya ayat. Kemudian kutipan dari ulama tafsir klasik juga terdapat pada pembahasan tafsir terdahulu dalam kajian Tafsir Salman. Selain itu, telaah kebahasaan juga dibahas dalam penafsirannya. Hanya saja, segala bentuk kaidah tersebut tidak secara rinci dan detail layaknya tafsir tahlili. Karena, Tafsir Salman merupakan tafsir dengan metode maudhu‟i.

Meskipun Abdul Basid mengutarakan beberapa pendapat dan kritikan terhadap kajian Tafsir Salman, akan tetapi ia tetap mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB. Ia menyebutkan bahwa kajian ini merupakan suatu terobosan baru dalam menginterpretasikan ayat al-Qur‟an dengan dijembatani ilmu saintifik.

72 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta : Menara Kudus, 2004), h. 161.

73 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern, h. 161.

Dari pembahasan bab ketiga ini dapat diambil kesimpulan bahwa Tafsir Salman hadir untuk menunjukkan upaya tafsir ilmi dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Seperti yang diketahui, sains bergerak maju menuju keseluruhan pengetahuan dan upaya tersebut dilakukan untuk melihat adanya kesesuaian antara al-Qur‟an dan sains. Tafsir ilmi menghadirkan bukti-bukti yang otentik terhadap hubungan antara sains dan al-Qur‟an, serta untuk menunjukkan isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung dalam ayat kauniyah yang berhubungan tentang alam semesta.74 Lulu lusiana fitri menyatakan bahwa kajian Tafsir Salman merupakan salah satu karya unggulan di bidang pengkajian dan penerbitan di Salman ITB dan kajiannya masih sering dikaji sebagai kajian tafsir ilmiah yang berupaya sebagai pedoman untuk mendalami al-Qur‟an, kajian Tafsir Salman dapat dibaca secara umum di perpustakaan salman reading corner ITB.75

74 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, h. 26.

75 Wawancara dengan Dr. Lulu Lusiana Fitri (Kontributor Tafsir Salman), email (dikirim pada tanggal 15 juni 2021 dibalas pada tanggal 21 juni 2021).

82

Pada Bab IV akan melakukan telaah pada kajian Tafsir Salman.

Pembahasan pertama memaparkan tentang struktur Tafsir Salman, dalam hal ini diketahui bahwa kajian Tafsir Salman dilakukan dengan melihat isyarat yang terkandung pada Juz 30, dengan mengemukakan bahwa dari 37 surat di dalam Juz „amma terdapat 29 surat mengandung aspek isyarat ilmiah di dalamnya. 29 surat tersebut meliputi 28 surat Makiyyah dan satu surat Madaniyyah (al-Zalzalah).

Bab ini juga menjelaskan metode maudhu‟i/tematik yang digunakan pada Tafsir Salman, kemudian beberapa contoh tema yang terkandung dalam kajiannya yakni penafsiran dengan ilmu ekohidrologi dan kosmologi. Hal ini bertujuan melihat bagaimana corak ilmiah yang dihadirkan pada kajian Tafsir Salman. Selain itu, bab ini memaparkan sumber-sumber yang digunakan Tafsir Salman dalam menafsirkan suatu surat. Pada sub bab terakhir akan dijelaskan relevansi Tafsir Salman dalam wacana tafsir ilmi di Indonesia.

A. Struktur Tafsir Salman

Lahirnya kajian Tafsir Salman pada dasarnya merupakan upaya untuk pembaharuan kajian tafsir ilmi. Seperti yang telah diketahui bahwa al-Qur‟an mendorong adanya sikap konsisten terhadap ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an memerintahkan umat manusia untuk membaca, menulis, mengamati, meneliti, mengobservasi dan menyingkap kebenaran yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah1.

Dalam menyingkap ayat kauniyah, terdapat beberapa kritik yang dilontarkan ulama terlebih hal yang berkaitan dengan tafsir „ilmi. Pandangan mereka mengkritik tafsir ilmi adalah tafsir ilmi hadir seolah-olah untuk mencari-cari kebenaran sains modern di dalam al-Qur‟an dan itu merupakan suatu hal yang tidak diperlukan. Kritik yang lebih jelas adalah ketika para penolak tafsir ilmi ini berargumen dengan dalih mereka mempertanyakan bagaimana bisa seorang mufassir mencocokkan suatu hal yang bersifat mutlak seperti al-Qur‟an dengan suatu hal yang sifatnya nisbi dan sementara seperti sains modern.2

1 Ayat kauniyah adalah ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya, bahkan diri kita baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Ayat kauniyah ini sering juga disebut ayat yang berhubungan dengan fenomena alam

2 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, h. 25.

Kritik terhadap kajian tafsir ilmi juga dihubungkan dengan berbagai macam kerapuhan yang terdapat dalam kajian penafsirannya. Pertama, kerapuhan filologisnya yang mencakup pemahaman bahwa al-Qur‟an turun kepada bangsa Arab dalam bahasa ibu mereka, dan para sahabat tentu lebih mengetahui apa yang tercantum dalam al-Qur‟an, akan tetapi tidak seorang pun antara mereka menyatakan bahwa al-Qur‟an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, jika melihat dari rentetan sejarah, tafsir „ilmi telah ada sudah lama, jauh sebelum penjajahan Barat pada dunia Islam. Pada dasarnya, sains modern justru berakar pada keilmuan dan filsafat Islam yang lebih menyeluruh yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu keagamaan, namun sayangnya mereka melepaskan ketertarikan terhadap asimilasi hubungan antara sains dan Islam. Para kritikus terhadap kajian tafsir „ilmi tidak mengetahui bahwa setiap kemajuan sains modern selalu menuju kesempurnaan di mana teori baru selalu membuat teori lama menjadi sebuah bagian yang terbatas kebenarannya dalam teori baru tersebut. Jadi, sains bergerak maju menuju keseluruhan pengetahuan dan upaya tersebut dilakukan untuk melihat adanya kesesuaian antara al-Qur‟an dan sains.

Kajian Tafsir Salman hadir untuk menunjukkan bukti-bukti yang otentik terhadap hubungan antara sains dan al-Qur‟an, serta untuk menunjukkan isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung dalam ayat kauniyah yang berhubungan tentang alam semesta, kemudian isyarat ilmiah tersebut dinamakan sebagai al-I’jaz al-‘ilmi.3

al-I’jaz al-‘ilmi atau isyarat ilmiah dalam al-Qur‟an diklasifikasikan menjadi tiga aspek. Pertama, aspek kebahasaan di mana hal ini menunjukkan adanya kemukjizatan di dalam al-Qur‟an. Karena, susunan al-Qur‟an tidak dapat disamakan4, Muhammad „Abd Allah Darrȃz menyatakan bahwa kemukjizatan yang ada pada al-Qur‟an terlampir dari segi bahasa yang terkandung di dalamnya.5

Kemudian aspek terdapatnya mukjizat dalam al-Qur‟an juga diambil dari aspek berita ghaib, yang terbagi menjadi dua kajian yaitu berita ghaib masa lampau dan berita ghaib masa datang. Mukjizat yang lahir dan terkandung dalam al-Qur‟an menunjukkan adanya berita ghaib yang

3 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, h. 26.

4 Muhammad „Alȋ Al-Shȃbȗnȋ, al-Tibyȃn fi ‘Ulȗm Al-Qur`ȃn, (Damaskus: Maktabah Al-Ghazȃlȋ, 1390 H), h. 105

5 Muhammad „Abd Allah Darrȃz, al-Naba` al-‘Adhȋm, sebagaimana di kutip oleh Mannȃ‟ al-Qaṭṭȃn, Mabȃhits fȋ ‘Ulȗm Al-Qur`ȃn, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1995), hlm. 267-268

disebabkan oleh isyarat ilmiah dalam al-Qur‟an. Hal ini dilihat dengan banyaknya isyarat ilmiah yang dikemukakan dalam al-Qur‟an, namun pembuktiannya baru diketahui pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.6

Isyarat-isyarat ilmiah dapat dilihat dari berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti Astronomi, Geologi, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, pada Q.S al-„Anbiya : 30 yang memaparkan adanya isyarat ilmiah berupa penciptaan alam dan “Teori Big Bang”. Disebutkan dalam ayatnya :

ِءاَمْلا َنِم اَنْلَعَجَو اَُهُاَنْقَ تَفَ ف اًقْ تَر اَتَ ناَك َضْرَْلْاَو ِتاَواَمَّسلا َّنَأ اوُرَفَك َنيِذَّلا َرَ ي َْلََوَأ َّلُك

( َنوُنِمْؤُ ي َلََفَأ ٍّيَح ٍءْيَش

ٖٓ

7

)

Ayat di atas menghubungkan kepada pemahaman akan kata

اًقْ تَر

yang

berarti padu dan artinya adalah memadukan beberapa unsur untuk dijadikan suatu kumpulan yang homogen. Sedangkan kata

اَنْقَ تَفَ ف

diambil dari kata kerja fataqa yang berarti memisahkan. Adanya hubungan bahwa pada awal mulanya penciptaan alam semesta ini menyatu antara langit dan bumi, hingga kemudian dipisahkan antara keduanya.

Selain itu, jika melihat lebih jauh mengenai isyarat ilmiah. Maka hal tersebut dapat dijumpai di dalam al-Qur‟an perihal penciptaan manusia, yang diisyaratkan dengan prosesnya dimulai sebagai embrio hingga ajal. al-Qur‟an telah mengungkapkan dengan sangat detail dan lengkap. 8 Adapun ayatnya terdapat pada Q.S Al-Mu‟minun : 12-16 sebagai berikut :

( ٍينِط ْنِم ٍةَل َلَُس ْنِم َناَسْنِْلْا اَنْقَلَخ ْدَقَلَو ُن ُهاَنْلَعَج َُّثُ ) ٕٔ

( ٍينِكَم ٍراَرَ ق ِفِ ًةَفْط َُّثُ ) ٖٔ

ًمَْلَ َماَظِعْلا َنَْوَسَكَف اًماَظِع َةَغْضُمْلا اَنْقَلَخَف ًةَغْضُم َةَقَلَعْلا اَنْقَلَخَف ًةَقَلَع َةَفْطُّنلا اَنْقَلَخ َُّثُ ا

6 Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian Al-Qur'an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2004), h. 85.

7 "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?", Lihat https://tafsirweb.com/5542-quran-surat-al-anbiya-ayat-30.html diakses pada 2 Maret 2021.

8 Masyhuri Putra, “Mengungkap Kemukjizatan Iliah dalam al-Qur‟an”, An-Nur, Vol.

4 No. 2, 2015, h. 5.

( َينِقِلاَْلْا ُنَسْحَأ َُّللَّا َكَراَبَ تَ ف َرَخآ اًقْلَخ ُهَنَْأَشْنَأ ِإ َُّثُ ) ٔٗ

( َنوُتِّيَمَل َكِلَذ َدْعَ ب ْمُكَّن ْمُكَّنِإ َُّثُ ) ٔ٘

( َنوُثَعْ بُ ت ِةَماَيِقْلا َمْوَ ي

ٔٙ

9

)

Isyarat ilmiah yang terkandung dalam al-Qur‟an dapat tersingkap dengan menggunakan telaah kajian tafsir „ilmi, karena tafsir „ilmi membahas istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan ayat-ayat al-Qur‟an, serta berusaha untuk menggali dimensi keilmuan dan menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur‟an terkait informasi-informasi sains. Hal ini tentu belum diketahui oleh manusia pada masa turunnya, sehingga menjadi bukti bahwa al-Qur‟an bukan karangan manusia, namun wahyu Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta.10

Adapun isyarat ilmiah (al-I’jaz al-‘ilmi) yang dihasilkan dari penafsiran Tafsir Salman mengemukakan bahwa dari 37 surat di dalam Juz „amma terdapat 29 surat mengandung aspek isyarat ilmiah di dalamnya. 29 surat tersebut meliputi 28 surat Makiyyah dan satu surat Madaniyyah (al-Zalzalah).

Adapun alasan terpilihnya kajian Juz 30 sebagai fokus kajiannya terbagi menjadi dua alasan, yaitu :

a. Pertama, alasan ini bersifat filosofis dan paradigmatis. Diungkapkan bahwa Juz „Amma merupakan salah satu juz dengan mayoritas surat-suratnya turun pada awal masa-masa kenabian di Makkah atau Makiyyah awal. Surat-surat yang terdapat pada juz 30 merupakan surat yang memuat dasar-dasar keislaman seperti akidah dan akhlak.

b. Kedua, alasan ini lebih bersifat pragmatis. Surat-surat dalam juz

„amma merupakan surat yang pendek-pendek, sehingga terkadang dihafalkan dan digunakan untuk shalat. Hal ini menjadikan surat-surat pada juz „amma sering dilafalkan dan didengarkan manusia.

9 "Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. 13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. 15.

Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar- benar akan mati. 16. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” Lihat https://tafsirweb.com/37027-quran-surat-al-mukminun-ayat-12-14.html diakses pada 2 Maret 2021.

10 Tim Tafsir „Ilmi Kemenag, Tafsir Ilmi : Waktu Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, h. xxii.

Dalam penyusunannya, Tafsir Salman tidak menafsirkan seluruh ayat pada surat yang dikaji, akan tetapi memilih ayat yang sekiranya terdapat isyarat ilmiah dan dapat terhubungkan dengan ilmu sains. Berikut ayat-ayat yang ditafsirkan secara rinci pada kajian Tafsir Salman :

No Nama Surat Ayat

1 Al-Naba‟ 1-16.

2 Al-Nȃzi‟ȃt 1-7, 15-46.

Ayat 8-14 tidak dijelaskan

penafsirannya, hanya disimpulkan bahwa isyarat yang terdapat pada ayat tersebut adalah tentang pengaturan alam semesta dan dahsyatnya Kiamat.

3 „Abasa 17-32.

4 Al-Takwȋr 1-7, 15-18.

5 Al-Infiṭȃr 1-3.

6 Al-Muṭaffifȋn 7-9, 18-21.

7 Al-Insyiqȃq 1-5, 16-19.

8 Al-Burȗj 1-11, 13.

9 Al-Ṭȃriq 1-7, 11-12.

10 Al-„Alȃ 4-5.

11 Al-Gȃsyiyah 6, 17-20.

12 Al-Fajr 1-3, 6-14.

13 Al-Balad 1-20.

14 Al-Syams 1-6.

15 Al-Lail 1-2.

16 Al-Ḍuḥȃ 1-2.

Penafsiran pada Q.S Al-Lail dan Al-Ḍuḥȃ digabung dalam satu tema pembahasan.

17 Al-Tȋn 1-8.

18 Al-„Alaq 1-6, 15-16.

19 Al-Zalzalah 1-5.

20 Al-„Âdiyȃt 1-11.

21 Al-Qȃri‟ah 1-5.

22 Al-Takȃtsur 1-8.

23 Al-„Aṣr 1-3.

24 Al-Humazah 1-2, 7.

25 Al-Fȋl 1-5.

26 Quraisy 1-4

27 Al-Ikhlas 1-4.

28 Al-Falaq 1-5.

29 Al-Nȃs 1-6.

Q.S Al-Falaq dan Al-Nȃs dibahas dalam satu tema. Adapun kedua surat tersebut dinilai sebagai Al-Mu’awwidzatain atau “dua perisai”.11

Adapun pada struktur penafsirannya, Tafsir Salman menjelaskan penafsiran dari surat-surat di atas dengan membentuk suatu tim. Tim tersebut ditulis sebagai kontributor. Mereka para kontributor yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya suatu karya serta menyumbang segala bentuk informasi untuk melengkapi penelitian yang dikaji.12 Dalam kamus Bahasa Indonesia kontributor disebut sebagai orang yang menyumbang berita, kata kontributor diambil dari kata kontribusi yang memiliki makna sumbangan atau andil.13 Dapat disimpulkan bahwa kontributor merupakan penulis artikel atau kolumnis yang menyumbangkan tulisannya berupa berita, informasi atau opini berdasarkna fakta-fakta yang ada.14

B. Metode Tafsir Salman

Tafsir Salman dalam karakteristik penafsirannya termasuk ke dalam penafsiran yang menggunakan metode maudhu’i surat. Hal ini terlihat dari bentuk penafsirannya yang dikaji, yaitu mengkaji surat-surat yang terpilih.

Dalam hal ini surat yang dipilih yaitu surat-surat yang ada pada Juz 30 dalam al-Qur‟an. Pemilihan surat pada Juz 30 ini dinilai sebagai surat-surat yang filosofis dan paradigmatik dan biasanya digunakan dalam shalat.15

Metode maudhui‟ terbagi menjadi dua yaitu maudhu’i ayat dan maudhu’i surat. Metode maudhu’i ayat dicontohkan pada bentuk penafsiran dalam kajian tafsir ilmi kemenag. Pembahasannya adalah menggunakan aplikasi dengan cara menghimpun ayat-ayat dengan tema semakna, sehingga analisanya dapat dilihat dari pandangan al-Qur‟an secara utuh mengenai tema yang dibahas. Metode maudhu’i memiliki dua model penafsiran, yaitu :

11 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, h. 563.

12 Herman RN, Mohd Harun, Jurnalistik Praktis, (Syiah Kuala University Press : Aceh, 2018), h. 56.

13 Ernawati waridah, Kamus Bahasa Indonesia, (Jagakarsa : penerbit media, 2017), h.

149.

14 Ernawati waridah, Kamus Bahasa Indonesia, h. 149.

15 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, h. 30.

a. Membahas kajian ayat yang akan ditafsirkan pada surat tertentu, ayat tersebut ditafsirkan tanpa keluar dari pembahasan surat yang dibahas.

Kemudian menjelaskan secara umum mengenai tujuan dan munasabah ayat tersebut pada surat yang dibahas. Hingga melahirkan penafsiran yang berkaitan satu sama lain, dengan wilayah yang tetap terpaku pada surat tersebut saja. Metode ini disebut dengan metode maudhu’i surat.

b. Menghimpun ayat-ayat dari berbagai surat yang memiliki tema semakna, kemudian menafsirkan secara menyeluruh antara ayat-ayat dengan tema yang dibahas. Kemudian, dari pembahasan tersebut menjadi jawaban atas persoalan yang dibahas pada tema yang diteliti.

Metode ini disebut dengan metode maudhu’i ayat.16

Melalui pembahasan di atas, dapat dijadikan acuan bahwa metode penafsiran yang diterapkan pada tafsir ilmi kemenag berbentuk metode maudhu’i ayat, karena proses penghimpunan ayat dari beberapa surat kemudian dijadikan berbuku-buku dengan pembahasan yang telah tertera sesuai tema tertentu. Adapun kajian tafsir ilmi yang digagas oleh kemenag ini memiliki cakupan pembahasan yang berupa ayat-ayat kauniyah.

Ayat kauniyah yang dibahas dapat dilihat dari judul yang tertera pada tafsir ilmi kemenag tersebut. Seperti pembahasan mengenai Bumi, Air, Hewan dan lain sebagainya dengan dua telaah pengkajian, yaitu perspektif al-Qur‟an dan sains. Penafsiran dengan sains ini tidak melepaskan dari kajian penafsiran secara umum. Kajian tafsir ilmi kemenag tetap mencakup aspek yang penting dalam kajian penafsiran al-Qur‟an seperti pemahaman telaah kebahasaan, pemaparan asbȃb al-Nuzȗl, munasabah ayat antar ayat maupun surat, serta di dalamnya memasukkan riwayat-riwayat dalam penafsiran dan ilmu keislaman lainnya.

Penafsiran ayat kauniyah tersebut harus dilakukan secara terarah dan dengan menggunakan prinsip dasar untuk menafsirkan ayat. Dalam hal ini tafsir ilmi kemenag RI memaparkan beberapa prinsip dasar yang harus dimiliki oleh seorang Mufassir :

a. Dalam upaya untuk menafsirkan al-Qur‟an yang menggunakan bahasa Arab, pentingnya seorang Mufassir harus memiliki keahlian dalam memahami konteks kebahasaan, ini bertujuan agar tidak adanya kejanggalan bahkan kekeliruan yang diakibatkan oleh penafsiran.

b. Memperhatikan munasabah antar ayat. Mufassir harus melihat adanya korelasi antar satu ayat dengan ayat lainnya, tidak hanya dalam

16 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Mizan : Bandung, 1997), h. 117.

satu surat yang dibahas akan tetapi pada setiap surat. Seperti yang diketahui bahwa dalam memahami al-Qur‟an diperlukan pemahaman yang menyeluruh dan tidak parsial.

c. Menggunakan riwayat-riwayat yang digunakan para ulama salaf terdahulu, seperti melihat tatanan penafsiran yang disusun oleh para sahabat, tabi‟in dan ulama terdahulu dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an.

riwayat yang digunakan seperti hadis, selain itu pemahaman terhadap ulum al-Qur‟an seperti asbȃb al-Nuzȗl hingga nask mansȗkh.

d. Ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah tidak digunakan untuk menghukumi adanya temuan ilmiah. Artinya ayat al-Qur‟an yang digunakan tidak berfungsi untuk menyalahkan atau membenarkan suatu teori ilmiah yang dibahas.

e. Berhubungan dengan telaah kebahasaan. Seorang Mufassir harus melihat adanya satu makna atau ungkapan dalam ayat al-Qur‟an yang memiliki beberapa makna di dalamnya.

f. Harus memahami pembahasan yang akan dibahas, jika membahas mengenai kajian saintifik, maka seorang Mufassir harus lebih dulu memahami segala pembahasan yang merujuk pada tema saintifik yang dikaji.

g. Dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan kajian saintifik harus menggunakan temuan yang sudah pasti dan tidak berubah. Adapun penemuan yang sifatnya masih teori dan hipotesis tidak digunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an, yang dikhawatirkan akan berubah sewaktu-waktu. Penafsiran al-Qur‟an dengan kajian yang sudah pasti bertujuan untuk menjembatani kajian al-Qur‟an dan sains secara konkrit dengan menggunakan kebenaran ilmiah.17

Sama halnya seperti metode maudhu’i ayat yang membahas tetang tema-tema yang dikaji, dalam penafsirannya Tafsir Salman juga memberikan tema-tema kajian yang dibahas pada setiap surat. Seperti, pada surat

Sama halnya seperti metode maudhu’i ayat yang membahas tetang tema-tema yang dikaji, dalam penafsirannya Tafsir Salman juga memberikan tema-tema kajian yang dibahas pada setiap surat. Seperti, pada surat

Dalam dokumen CORAK ILMIAH TAFSIR SALMAN DI ZAMAN MODERN (Halaman 92-152)

Dokumen terkait