BAB II KAJIAN TAFSIR ILMI
C. Perdebatan dalam Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi memiliki tujuan untuk memjembatani antar kajian al-Qur‟an dengan ilmu pengetahuan. Teori yang digunakan harus berlandaskan fakta ilmiah yang telah mapan. Pada hakikatnya, tafsir ilmi datang dari asumsi bahwa al-Qur‟an tidak bertentangan dengan beragam keilmuan. Akan tetapi, dengan banyaknya hal positif dalam melahirkan tafsir ilmi, terdapat pro dan kontra di antara para ulama.
Ulama memiliki perspektif yang berbeda dalam menyikapi adanya tafsir ilmi. Perspektif ulama tersebut terbagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Golongan pertama yaitu mereka yang memiliki pemikiran untuk mendukung kajian tafsir ilmi. Mereka melihat bahwa tafsir ilmi dapat mengungkapkan mukjizat ilmiah yang terdapat dalam al-Qur‟an.46 Salah satu tokoh ulama yang mendukung kajian tafsir ilmi adalah Fakhruddȋn ar-Rȃzi yang dalam tafsirnya Mafȃtih Al-Ghaȋb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.47
Secara umum, golongan yang pro terhadap kajian tafsir ilmi memiliki pendapat yang beragam akan dukungannya terhadap kajian tafsir ilmi.
Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan pendekatan tafsir „ilmi, penemuan-penemuan baru bisa digunakan sebagai penegasan terhadap kemukjizatan yang terdapat dalam al-Qur‟an.48
Mereka yang percaya pada interpretasi ilmiah dan mereka yang setuju dengan metode ini telah memberikan alasan untuk dimasukkannya al-Qur‟an
45 J.J.G. Jansen, The interpretation of the Qur‟ȃn in the Modern Egypt, (Leiden: E.J.
Brill, 1974), h. 11.
46 Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur‟an yang Terlupakan, h. 31.
47 Fakhruddin ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar al-Fikr, 1398 H. Vo. 5.h. 432.
48 Taufiq Basrah, “Eksistensi Tafsir „Ilmi”, (Al-Qalam, Journal Uin Banten, 1996), Vol. 11, No. 59, h. 14.
pada semua ilmu dan otoritasnya. Beberapa ayat menunjukkan bahwa Alquran memuat totalitas ilmu dari kecil dan besar, hal ini tertulis pada Q.S Al-An‟am : 38
( َنوُرَشُْيُ ْمِِّبَّر َلَِإ َُّثُ ٍءْيَش ْنِم ِباَتِكْلا ِفِ اَنْطَّرَ ف اَم
ٖ3 )
Yang diyakini banyak penafsir bahwa "kitab" berarti al-Qur‟an, karena kapan pun "al" adalah ditambahkan ke awal kata tunggal, itu kembali ke nama sebelumnya, dan nama itu untuk Muslim adalah al-Qur‟an. Ayat di atas menunjukkan masuknya semua ilmu pengetahuan dalam al-Qur‟an, akan tetapi bukan berarti membuktikan validitas tafsir ilmiah dengan definisi yang sama, tafsir ilmiah yang tidak didasari fakta ilmiah yang mapan akan melahirkan pemahaman yang sesat.
Secara umum, argumentasi yang mereka kemukakan untuk mendukung penafsiran „ilmi ini terpaku pada hal di bawah ini, antara lain:
a. Allah SWT memberikan peluang luas untuk melakukan istidlȃl (penarikan kesimpulan dan pelajaran) dari hal-hal yang Allah SWT tampilkan dalam al-Qur‟an, seperti keadaan bumi dan langit, pergantian siang dan malam, tingkah pola pergerakan dan keadaan benda-benda angkasa dan keadaan alam lainnya. Jika mengkaji hal-hal seperti itu tidak diperkenankan, maka tentunya hal-hal tersebut tidak ditampilkan dalam al-Qur‟an.49
b. Dengan menggunakan pendekatan tafsir „ilmi, penemuan-penemuan baru bisa digunakan sebagai penegasan terhadap kemukjizatan yang terdapat dalam al-Qur‟an.50
2. Golongan kedua adalah mereka yang menentang kehadiran tafsir ilmi. Ulama yang menolak kajian tafsir ilmi yaitu Mahmȗd Syaltȗt (w. 1964 M) seorang syekh al-Azhȃr. Mahmȗd berpendapat bahwa pemahaman tentang tafsir ilmi tersebut sudah salah dari awal, pendapatnya menyatakan al-Qur‟an diturunkan bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan.
Menurutnya, penakwilkan yang berlandaskan ilmu pengetahuan justru hanya akan menenggelamkan penafsirnya pada kajian ilmu pengetahuan, sehingga menafikan kemukjizatan al-Qur‟an itu sendiri. Selain itu Mahmud
49 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Al-Qur‟an, (Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 312.
50 Taufiq Basrah, “Eksistensi Tafsir „Ilmi”, h. 14.
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan atau saintifik merupakan ilmu yang belum tetap, sehingga di kemudian hari ilmu pengetahuan dapat berubah.51
Adapun golongan yang kontra terhadap kajian tafsir ilmi memiliki argumen bahwa al-Qur‟an merupakan kitab suci yang hadir untuk diambil pelajaran di dalamnya (I‟tibar) dan bukan untuk digali serta dalam mengenai ilmu pengetahuan, karena al-Qur‟an merupakan kitab petunjuk dan bukan ensiklopedia. Selain itu, golongan ini juga berpendapat bahwa adanya kajian tafsir ilmi justru menjerumuskan orang yang mendalaminya pada kesalahan dalam mengkompromikan dua istilah dari dua kutub yang berbeda (al-Qur‟an dan ilmu pengetahuan sains).
Golongan yang menolak tafsir ilmi beranggapan bahwa tidak bisa menjembatani ayat al-Qur‟an dengan menggunakan teori ilmiah. Penafsiran dengan corak ilmiah seakan memaksa mufassir untuk memaknai ayat Qur‟an dari makna dzahir ayat tersebut. Menurut golongan ini, tafsir al-Qur‟an harus dilandaskan dengan pemaknaan ayatnya terlebih dahulu dan tidak dimasukkan dengan ilmu pengetahuan yang tidak konsisten.52
Para penentang tafsir ilmiah Al-Qur'an juga telah memberikan alasan untuk membuktikan klaim yang mereka kemukakan. Golongan kontra terhadap tafsir ilmi beranggapan bahwa pemahaman mengenai Al-Qur'an harus sesuai dengan apa yang dipahami orang Arab asli darinya, dan kita tidak boleh melebihi batas pemahaman dan pemahaman mereka terhadap kata-kata dan frasa al-Qur‟an, karena al-Qur'an diwahyukan dalam masyarakat dan dengan budaya serta para pendengarnya sama pada awal mulanya yaitu orang berbahasa Arab. Oleh karena itu, kita harus mengetahui makna wahyu al-Qur‟an dan menghindari "perluasan" penggunaan kata-kata yang berlebihan pada makna konvensional zaman wahyu. Ayat-ayat ontologis dalam al-Qur‟an dimaksudkan untuk mendorong dan memotivasi para intelektual untuk merefleksikan kebesaran Pencipta alam semesta, bukan untuk mengkonfirmasi hipotesis dan teori yang murni ilmiah.
3. Golongan moderat. Golongan ini merupakan mereka yang bersifat moderat dalam menjembatani masalah ini. Berkenaan dengan hal ini para mufassir kontemporer dapat memaklumi keberadaan tafsir „ilmi. Mereka lebih moderat dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikorelasikan dengan teks-teks al-Qur‟an. Mereka juga mencoba mencari jalan tengah di antara dua kubu yang berseberangan.
51 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur‟an al-Karim al-„Ajza al-Asyarah al-„Ula, (Beirut : Dar al- Syuruq, 1974), h. 9.
52 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (refleksi anak muda pesantren), Al-Qur‟an Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah , (Kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 248-249.
Beberapa tokoh yang moderat sebagai berikut :
1. Ahmad Umar Abu Hajar penulis buku al-Tafsȋr al-'Ilmi fȋ al-Mȋzȃn.
Ia menjelaskan bahwa problema dari lahirnya tafsir ilmi adalah teori keilmuan yang digunakan. Pendapatnya menyatakan, jika teori yang digunakan dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an merupakan teori yang masih berkembang atau berupa penelitian yang belum pasti, maka kajian tafsir ilmi tidak dapat digunakan. Sedangkan,apabila ilmu yang diaplikasikan dalam tafsir al-Qur‟an berlandaskan teori yang tetap dan mapan, maka kajian tafsir ilmi boleh dilakukan.53
2. Muṣṭafa al-Marȃghȋ, berpendapat bahwa al-Qur‟an memang bukan kitab suci yang mencakup segala macam keilmuan secara terperinci.
Akan tetapi, al-Qur‟an meliputi kaidah dasar umum yang sangat dibutuhkan setiap manusia untuk mencapai kesempurnaan jiwa dan raga. Muṣṭafa menjelaskan bahwa al-Qur‟an telah membuka pintu yang luas untuk menguasai berbagai macam keilmuan sesuai dengan zaman sang mufassir itu hidup. Ia juga menjelaskan bahwa pada kajian tafsir ilmi, antara ilmu pengetahuan dan al-Qur‟an harus memiliki kesesuaian antara keduanya, tidak berat sebelah atau condong pada satu hal saja.
Hal ini juga diungkapkan oleh Husein Dzahabi pada kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn.54
Mereka yang moderat menyatakan bahwa kajian tafsir ilmi dapat digunakan dengan syarat-syarat tertentu. Adapun syarat tersebut meliputi :
1. Penafsiran pada tafsir ilmi harus sejalan dengan kaidah kebahasaan.
Dalam tafsir, ilmu kebahasan merupakan ilmu yang penting, karena pada awal menafsirkan ayat harus melihat makna yang terkandung pada ayat yang dikaji. Ilmu kebahasaan ini meliputi berbagai macam ilmu dalam kaidah bahasa Arab, seperti ilmu nahwu dan sharaf yang meliputi kaidah i‟rab, bayan, ma‟ani dan badi‟. Mufassir yang menggunakan corak ilmiah juga perlu melihat adanya perkembangan makna dari suatu ayat, ini untuk memudahkan dalam proses penafsiran.55
53 Ahmad Umar Abu Hajar, al-Tafsîr al-'Ilmiy li al-Quran fi al-Mîzân, (Beirut : Dâr al-Qutaibah 1991 M), h. 113-118.
54 Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo : Maktabah Wahbah, 1409 H), h. 519.
55 Muhammad Sa‟id Ramadhan Buti, Finding Islam Dialog Tradisionalisme Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi, Zuhairi Miswari, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002) , h. 143.
2. Meskipun menggunakan ilmu pengetahuan atau saintifik dalam aplikasi penafsirannya. Akan tetapi, hal yang penting seperti korelasi antar ayat harus diperhatikan di dalamnya.56
3. Ilmu pengetahuan yang digunakan dalam tafsir ilmi harus berupa fakta ilmiah yang telah dan bukan teori yang masih berkembang. Hal ini utnuk menjadikan kajian tafsir ilmi sebagai kajian dengan validitas yang jelas.57
Jika dikelompokkan, maka di bawah ini beberapa penafsir dengan corak „ilmi yang telah menulis kitab tafsir „ilmi, antara lain :
1. Fakhrudȋn Rȃzȋ dengan karyanya Tafsȋr al-Kabȋr / Mafȃtih Al-Ghaȋb.
2. Ṭanṭȃwi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawȃhir fi Tafsȋr al-Qur‟an al-Karȋm.
3. Hanafi Ahmad dengan karyanya Al-Tafsȋr „Ilmi li Âyat al-Kauniyah fī al-Qur‟ȃn.
4. Abdullah Syahatah dengan karyanya Tafsīr al-Âyat al-Kauniyah.
5. Muhammad Syaȗqi dengan karyanya Fajrȋ Isyȃrat
Al-„Ilmiyyah fī al-Qur‟ȃn al-Karȋm.
6. Ahmad Bayqȗni dengan karyanya Al-Qur‟ȃn Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Tafsir ilmi identik dengan penafsiran ayat kauniyah, berikut ini beberapa tokoh yang mencoba untuk menafsirkan ayat kauniyah dalam al-Qur‟an :
1. Al-„Allȃmah Wȃhid Dȋn Khan dengan karya kitab tafsirnya al-Islȃm Yatahadda.
2. Muhammad Ahmad Ghamrawy dengan karya kitab tafsirnya Al-Islām fī „Aṣr al-„ilm.
3. Jamal Dȋn Al-Fandy dengan karya kitab tafsirnya Ghida‟ wa al-Dawa‟.
56 Muchotob Hamzah, Tafsir Maudhu‟i al-Muntaha, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2004), h. 102.
57 PISS-KTB , Kumpulan Tanya Jawab Islam : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, (Jakarta : Daarul Hijrah Technology, 2013), h. 48.
4. Ustadz „Abd al-Razzȃq Nawfal dengan kitab tafsirnya Al-Qur‟ȃn wa al-„ilm Hadȋts.58
Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, menyebutkan beberapa tokoh-tokoh penafsir „ilmi kontemporer lainnya, yaitu:
1. As-Syekh Muhammad Abdȗh.
2. Muhammad Jamaluddȋn al-Qasimi dalam Mahȃsinu at-Ta‟wil.
3. Mahmȗd Syukri al-Alȗsi (w. 1992 M) dalam buku Mȃ Dalli „Alaihi Qur‟ȃnu Mimmȃ ya‟didu Hai‟ata Jadȋdata Qawȋmatu al-Burhȃn (Dalil-dalil al-Qur‟an yang meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi kuat).
4. Abdul Hamȋd bin Badis dalam Tafsȋru Ibni Badis fȋ Majȃlisi at-Tadzkȋri min Kalȃmi al-Hakȋmi al-Khabȋr (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian).
5. Muṣṭafa Ṣadiq ar-Rafi‟i dalam bukunya I‟jȃzu al-Qur‟ȃni wa Balȃghatu an-Nabawiyah (Mukjizat al-Qur‟an dan Balaghah Kenabian).59
Adapun menurut Ali Hasan Al-„Aridl, tokoh-tokoh penafsir „ilmi kontemporer selain yang di sebut di atas, adalah :
1. Dr. al-Kauniyah Ahmad Al-Ghamrawi dalam kitabnya Sunanullāh al-Kauniyah dan al-Islȃm fī „Aṣ al-„ilm.
2. Dr. Abdul Azȋz dalam al-Islȃm wa al-Ṭib al-Hadȋts.
3. Al-Syekh Ṭanṭȃwi Jauhari.
4. Ahmad Mukhtȃr al-Ghozȃli dalam Riyȃḍ al-Mukhtȃr.
5. Al-Ustadz Hanafi Ahmad dalam Tafsȋr al„ilmi Li Âyat al-Kauniyah fī al-Qur‟ȃn al-Karȋm.
6. Al-Alȃmah Wȃhid al-Dȋn Khan dalam al-Islȃm Yatahadda.
58 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 9Yogyakarta : Kota Kembang, 2001), h. 68.
59 Abdul Majȋd „Abdussalȃm al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid, Judul asli Ittijāhat at-Tafsīr fī al-Aṣri ar-Rahīn , (Bangil: Al-Izzah, 1997), h. 279.
7. Dr. Jamȃl al-Dȋn al-Fandy dalam al-Ghidā‟ wa al-Dawā‟ dan 8. Ustadz „Abd Razzȃq Naufal dalam Qur‟an wa „ilm al-Hadȋst.60
D. Prinsip dan Contoh Tafsir Ilmi