• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip dan Contoh Tafsir Ilmi

Dalam dokumen CORAK ILMIAH TAFSIR SALMAN DI ZAMAN MODERN (Halaman 50-59)

BAB II KAJIAN TAFSIR ILMI

D. Prinsip dan Contoh Tafsir Ilmi

Para ahli menggunakan beberapa isilah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar tafsir. Pembahasan mengenai prinsip-prinsip dalam tafsir meliputi Shurȗt al-Mufassir (Kriteria mufassir) dan Adab al-Mufassir (Etika mufassir). Permulaan syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang Mufassir adalah melaksanakan hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu dalam pembahasan metode penafsiran.

Al-Hafidz al-Ṣuyȗti mengungkapkan dalam karyanya al-Itqȃn menegaskan bahwa barangsiapa menghendaki menafsirkan al-Qur'an maka hal pertama adalah mengambil dari al-Qur'an kemudian tentang kemujmalan al-Qur'an pada satu tempat di mana pada tempat lain ditafsirkan serta makna yang diringkas pada satu tempat di mana pada tempat lain dijabarkan.

Selanjutnya mengambil Sunah, karena sebagai penjelas al-Qur'an.61

Imam al-Syafi'i benar-benar mengungkapkan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Nabi Saw merupakan bagian pemahaman dari al-Qur'an, apabila tidak menemukan dalam Sunah maka kembali pada ucapan para Sahabat, karena mereka lebih mengetahui serta menyaksikan langsung dari tanda-tanda dan situasi kondisi al-Qur'an diturunkan, selain itu karena mereka memiliki keistimewaan berupa pemahaman yang sempurna serta ilmu yang sahih dan amal soleh. Selajutnya bila tidak menemukan penjelasan dari para sahabat maka kembalilah pada perkataan Tabi'in, dan bila tetap tidak menemukan maka kembalilah pada bahasa Arab, sebab al-Qur'an diturunkan menggunakan lisan atau Bahasa Arab yang Jelas.

Adapun prinsip pertama dalam melakukan kajian tafsir ilmi adalah melihat ketentuan dan syarat yang harus dimiiki seorang mufassir, seperti pada kitab Ushȗl al-Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu karya Khalid Abd al-Rahman al‟Akk. Kriteria mufassir untuk menafsirkan dengan corak ilmiah adalah sebagai berikut :

60 Ali Hasan Al-„Arḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akram, cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 62-63.

61 Khalid Abd Rahman al‟Akk, Ushȗl Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu, , (Beirut: Dȃr al-Nafȃis, 1986), h. 185.

a. Mengetahui hadis Nabi Saw, baik dari segi riwayat maupun dirayah, karena sudah dimaklumi bahwa hadis-hadis Nabi Saw merupakan penjelas pada tafsir yang masih mujmal dan mubham. Oleh karena itu seorang mufassir sangat membutuhkan hadis Nabi Saw untuk menguraikan permasalahan-permasalahan yang masih musykil.

b. Mengerti bahasa, karena dengan bahasa mufassir mampu mengupas satuan satu lafadz serta arti yang ditunjukkannya dengan melihat asal katanya. Selain itu juga, diharapkan mendalami dan menguasi secara luas, karena hanya mengetahui sedikit bahasa belum dapat mencukupi ketika menemukan lafadz yang musyatarak. Oleh karena itu, wajib bagi seorang mufassir mengetahui lafadz yang memiliki dua arti, sebab terkadang kesamaran arti yang merupakan arti yang diinginkan.

c. Mengetahui Ushuluddin, yakni ilmu tauhid. Serta dapat menganalisa ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat kenabian dan hari akhir, dan yang lainnya. Sebab seandainya mufassir tidak menguasinya, niscaya mereka akan jatuh pada sesuatu yang pungkasannya tidak dipuji.

d. Mengetahui asbȃb al-nuzȗl, karena dengan mengetahui asbab nuzul membantu untuk memahami arti yang dikehendaki dari sebuah ayat, dengan melihat konteks turunnya.62

e. Ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan dengan corak ilmi ini adalah ayat yang jelas mengisyaratkan kepada ilmu dengan catatan ayat-ayat tidak ditempatkan pada posisi teori ilmu yang bertentangan dengan teori yang benar atau sebaliknya ia tidak digunakan sebagai alat untuk menetapkan validitas teori ilmu. Kemudian tafsir ilmi harus bersandarkan kepada logika dan linguistik Arab yang merupakan bahasa asli al-Quran, tidak menyalahi aturan dan kaidah bahasa arab yang terdapat dalam al-Qur‟an.63

f. Menguasai ilmu bahasa Arab seperti ilmu Nahwu, karena sebuah makna dapat berubah-rubah dan berbeda-beda disebabkan bedanya I‟arab, oleh karena itu wajib untuk menguasainya. Menguasi ilmu Shorof, karena untuk mengetahui lafadz yang mabni serta shighat-shighatnya. Mengetahui asal kata (isytiqaq), karena kalimah isim ketika asal katanya dari dua unsur yang berbeda maka artinya juga berbeda.

62 Khalid Abd al-Rahman al‟Akk, Ushȗl al-Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu, , h. 186-187.

63 Udi Yuliarto, “Tafsīr Al-„Ilmi antara Pengakuan dan Penolakan”, (Pontianak ; Journal Khatulistiwa, 2011), Vo. 1, No. 1, h. 42.

g. Menguasai ilmu Balaghah beserta pembagiannya yang ada 3: ilmu ma‟ani, ilmu bayan, dan ilmu badi‟.64 Ketiga ilmu tersebut merupakan lebih penting-pentingnya dari rukun syarat menjadi mufassir, sebab wajib menjaga kemu‟jizatan al-Qur‟an, yang mana tidak dapat menemukannya kecuali dengan ketiga ilmu tersebut.

Selain syarat mufassir, di dalam menggunakan metode ilmiah terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar kehidupan Islam dan pandangan dunia Islam yang mendikte penggunaan metodologi ilmiah, hukum dan sistem yang diungkap oleh kebenaran ilmiah yang mapan, dan cara penerapannya.

Pendekatan seperti itu memainkan peran penting dalam memperkuat prinsip-prinsip ini, menegaskan elemen fundamental dari pandangan dunia Islam global, menghubungkannya secara lebih praktis dengan dunia nyata, dan memungkinkan mereka untuk memberikan kontribusi aktif bagi peradaban.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : a. Prinsip Istikhlȃf atau Khilȃfah

Prinsip khilȃfah yang dikemukakan dalam al-Qur‟an dan Sunnah adalah salah satu prinsip yang dijunjung tinggi oleh ilmu pengetahuan dan mewujudkannya di bumi. Prinsip ini hadir dalam perkembangan metode ilmiah untuk menunjukkan bahwa dalam upaya menafsirkan ayat al-Qur‟an, maka hal yang menjadi pokok utama adalah kajian al-Qur‟an itu sendiri.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya penjelasan al-Qur'an oleh al-Qur'an itu sendiri dan penjelasan Al-Qur'an oleh Nabi dianggap sebagai dua sumber tafsir ilmiah Islam yang tertinggi. Selain itu, penjelasan dari para sahabat Nabi, mereka yang dididik dan dilatih dengan baik oleh Nabi sendiri dan menjadi saksi dari wahyu. Tentunya semua laporan penjelasan para sahabat harus diikuti dengan laporan para Penerus (Tȃbi'ȋn) dan kitab-kitab ilmu yang menjadi sumber akhir dari tafsir Ilmiah Islam.65

b. Prinsip Tawazun (Keseimbangan)

Keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material adalah salah satu prinsip dasar kehidupan dan pemikiran Islam. Ini adalah masalah yang tertanam dalam dalam al-Qur‟an dan Sunnah, di mana ia mengambil sejumlah aspek dan bentuk. Jika mengabaikan faktor keseimbangan ini, maka yang terjadi adalah adanya kontradiksi

64 Khalid Abd al-Rahman al‟Akk, Ushȗl al-Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu, , h. 186

65 Mujahid Muhammad al-Sawwaf, Islamic Perspectives, edit. Kurshȋd Aḥmad and Zafar Ishȃq Anṣȃrȋ, (Leicester: The Islamic Foundation, 1979). h.135-145.

Singkatnya, tidak akan ada kehidupan Islam tanpa keseimbangan yang tepat antara dua sisi di mana dalam hal ini antara al-Qur‟an dan metode ilmiah yang digunakan seimbang antara satu dan lainnya. Namun, tujuan Islam adalah bekerja dalam konteks realitas dan menciptakan individu yang seimbang yang mampu bertindak, berubah, dan bergerak, individu yang bebas dari ketegangan, penyimpangan, atau penindasan. Visi keseimbangan Islam yang unik ini, yang juga merupakan salah satu keyakinan paling fundamental, tidak dapat dicapai tanpa menggunakan metode ilmiah, fakta, dan penerapan selanjutnya.66

c. Prinsip Taskhir67

Ini adalah ciri dasar lain dari visi Islam tentang kosmos dan kehidupan, karena tanpa sains, visi Islam tidak dapat tercapai, dan potensi luhurnya juga tidak dapat diwujudkan. Menurut pandangan Islam, dunia dan alam telah menjadi sasaran kemanusiaan. Allah Swt telah meletakkan dimensi, hukum, sistem, dan kapasitasnya dengan cara yang sesuai dengan fungsi dasar keturunan Adam sebagai khalifah di bumi dan sesuai dengan kemampuan mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan alam.

Sehubungan dengan interaksi ini, tujuan Islam adalah untuk mengusulkan sebuah jalan tengah atau metodologi. Oleh karena itu, Islam menginformasikan prinsip bahwa alam tunduk pada pelayanan bagi tujuan-tujuan manusia.

Namun, pada saat yang sama Islam juga menetapkan parameter interaksi antara kedua sisi melalui pembentukan nilai, prinsip, dan konvensi yang dirancang untuk menghasilkan tingkat inovasi terbesar, dan untuk menanamkan kualitas peradaban seperti yang paling sesuai dengan ambisi, etika, dan status manusia di alam semesta. Jika gagal memanfaatkan metodologi, fakta, dan aplikasi sains, tidak ada masyarakat Islam yang dapat menerapkan prinsip taskhir dan mengubahnya menjadi realitas historis yang asli.68

d. Prinsip Hubungan yang Diperlukan antara Ciptaan dan Pencipta Sains harus digunakan untuk menetapkan salah satu prinsip terpenting dari pandangan dunia Islam serta agama secara umum. Ini adalah hubungan

66 Imaduddin Khalil, “The Qur‟an and Modern Science : Observation on Methodology”, The Association of Muslim Social Scientists : The American Journal of Islamic Social Sciences : The , Vol. 8, No. 1, Maret 1991, h. 4.

67 Prinsip yang mengedepankan bahwa dalam menggunakan suatu metode tetap harus tunduk pada hal yang krusial yaitu kemanusiaan.

68 Imaduddin Khalil, “The Qur‟an and Modern Science : Observation on Methodology”, h. 5.

yang diperlukan antara sistem penciptaan yang menakjubkan dan keberadaan Sang Pencipta.69 Sains adalah alat yang mengungkapkan, menerangi, dan menjelaskan tautan ini. Banyak yang telah menulis tentang keajaiban penciptaan, dan banyak ilmuwan dan cendekiawan telah menghabiskan hidup mereka mencari untuk sampai pada salah satu kebenaran utama yang tak terbantahkan dalam sejarah sains : yaitu, bahwa ciptaan harus memiliki Pencipta. Masalah ini telah diselesaikan dengan tegas, dan tidak ada ruang untuk ditanyai. Karena fungsi kosmos pada tingkat organisasi, kontrol, presisi, harmoni, gerakan yang telah ditentukan sebelumnya, intensionalitas dan keterkaitan konstruktif yang dilakukannya, ia harus berasal dari Kehendak supernatural, maha kuasa, dan mengarahkan.70

Masalah ini telah diselesaikan dengan perhitungan matematis dan rumus ilmiah, dengan berbagai bukti, dan dengan hasil eksperimen ilmiah yang tak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, penelitian ilmiah merupakan keniscayaan kehidupan Islam selama ia terus menjalankan fungsi kritisnya dalam menggali rahasia kosmos, kehidupan, dan dunia. Selain itu, hal itu menuntun ke Pencipta alam semesta dengan cara yang paling meyakinkan dan, saat beralih kepada Sang Pencipta, itu bertepatan dengan tindakan penyembahan itu sendiri.

Allah berfirman dalam al-Qur‟an Q.S al-Nahl : 67

َنوُذِخَّتَ ت ِباَنْعَْلْاَو ِليِخَّنلا ِتاَرََثَ ْنِمَو ًةَي َلَ َكِلَذ ِفِ َّنِإ اًنَسَح اًقْزِرَو اًرَكَس ُوْنِم

ٍمْوَقِل

َنوُلِقْعَ ي

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an tersebut, dapat dipahami bahwa maksud utama kata kosmologis paling baik ditafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmiah. Meskipun sebenarnya keberadaan esensi utama ilmu di dalam Al-Qur'an bukanlah alasan sebenarnya diturunkan ke umat manusia. Diyakini bahwa tujuan optimal itu untuk mengenal Tuhan dan ciptaan-Nya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi untuk petunjuk bagi seluruh umat manusia di bumi dan kemudian beribadah kepada-Nya. Pengetahuan lain hanyalah cabang dari bukti kuasa Tuhan.71

69 Maurice Buccaile, The Bible, The Qur‟an and Science, Terj. Alastair D. Pannel, h.

98.

70 Imaduddin Khalil, “The Qur‟an and Modern Science : Observation on Methodology”, h. 6.

71 Mustafa Muslim, Mabȃhith fῑ I‟jȃz al-Qur‟ȃn, (Damascus ; Dȃr al-Qalam, 1999), h.25.

Sedangkan prinsip lainnya dalam menggunakan kajian tafsir ilmiah yaitu Adab al-Mufassir, merupakan etika yang harus dimiliki seorang mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Adab mufassir ini juga digunakan untuk para mufassir yang akan menafsirkan ayat secara saintifik.

Adapun beberapa adab al-mufassir tersebut adalah :

a. Menguasai hukum-hukum syariat, seperti hal-nya tentang ibadah, mu‟amalah, dan sunah-sunah yang mencakup di dalamnya, agar supaya mufassir meletakkan ayat al-Qur‟an secara runtut pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.

b. Memelihara pendapat-pendapat mufassir, baik dari yang klasik maupun modern, karena hal tersebut lebih dapat memberi petunjuk dari yang diingikan serta lebih mendekati pada kebenaran.

c. Adanya mufassir orang yang jenius, cerdas pemahamannya, dan kuat dalam berpikir, hal ini dilakukan dengan para mufassir yang menggunakan ilmu pengetahuan yang telah mapan dan layak untuk menafsirkan ayat al-Qur‟an.

d. Mengerti tentang pokok-pokok ilmu yang rahasia, seperti ikhlas, tawakkal, dan cara bersandar hanya kepada Allah Swt. Hal-hal tersebut bertujuan untuk memudahkan mufassir untuk menafsirkan ayat.

e. Menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt, merendahkan diri atau mengiba kepada Allah Swt agar supaya diberi ilham berupa petunjuk dan pertolongan, serta menjauhi membanggakan diri serta sombong atas akal dan kejeniusan, sebab orang yang membanggakan diri adalah orang hina.72

Adapun pembahasan lainnya yaitu metode penafsiran tafsir „ilmi.

Dalam metode yang digunakan dalam menafsirkan tafsir ilmiah terdapat beberapa kaidah, diantaranya :

a. Kaidah Kebahasaan

Kaidah kebahasaan merupakan syarat yang terpenting bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur‟an. Baik dari segi bahasanya, mencakup ilmu-ilmu tentang kebahasaan seperti kaidah nahwu, sharf, i‟rab dan berbagai macam ilmu yang mendukung kaidah kebahasaan ini. Hal ini merupakan suatu keharusan yang wajib diperhatikan oleh para

72 Khalid Abd al-Rahman al‟Akk, Ushȗl al-Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu, , h. 188.

mufassir.73 Menguasai ilmu Nahwu, karena sebuah makna dapat berubah-ubah dan berbeda-beda disebabkan bedanya I‟arab, oleh karena itu wajib untuk menguasainya. Menguasi ilmu Shorof, untuk mengetahui lafadz yang mabni serta shighat-shighatnya.74

b. Pendekatan Tematik

pada perkembangannya akhirnya tafsir „ilmi ini menggunakan metode maudhu‟i (tematik), dengan tujuan agar mengetahui tema-tema apa saja yang akan dibahas dan topik apa saja yang kiranya ditafsirkan untuk melahirkan suatu penafsiran yang baik dan melahirkan sebuah teori. 75 c. Memperhatikan Korelasi Ayat

Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munasabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya, dalam artian harus mengetahui hubungan ayat sebelum dan sesudah ayat yang akan di kaji ini. Hal ini dikarenakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu yang selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian dapat dimaknai dengan sesat jika tidak memperhatikan masalah kolerasi dan hubungan antar ayat satu dengan yang lainnya.76

d. Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan

Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran hakiki dan mutlak, maka ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Fakta-fakta Al-Qur‟an harus menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-fakta Al Qur‟an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.77 2. Contoh Penafsiran Tafsir Ilmi

73 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern, h. 161.

74 Khalid Abd al-Rahman al‟Akk, Ushȗl al-Tafsȋr wa Qawȃ‟iduhu, h. 186.

75 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Al-Qur‟an, (Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 216.

76 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern, h. 163.

77 Ahmad Fuad dan Pasya, Dimensi Sains Al-Qur‟an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur‟an, (Solo : Tiga Serangkai. 2004), h. 47.

Corak ilmiah dalam penafsiran al-Qur‟an dapat ditemukan di beberapa kitab, salah satunya pada Tafsir al-Jawȃhir saat memaparkan adanya hubungan hujan dengan fenomena dua lautan. Pada penafiran Q.S Al-Rahman : 19-20

( ِناَيِقَتْلَ ي ِنْيَرْحَبْلا َجَرَم ( ِناَيِغْبَ ي َلَ ٌخَزْرَ ب اَمُهَ نْ يَ ب ) ٔ1

ٕٓ

)

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”78

Menurut Ṭantȃwi Jaȗhari Maraj al-Bahraîni artinya mengalirkan dan bertemu.79 Air yang dimaksud dalam surat al-Rahman: 19-20 ini menurut penafsiran Ṭantȃwi Jaȗhari adalah dua air laut yang asin dan air laut yang tawar rasanya. Keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Lautan tersebut tidak saling bercampur satu sama lain adalah, menurut Ṭantȃwi yang menyebabkan kedua air laut yang bertemu mengalir berdampingan namun tidak saling bercampur satu sama lain dikarenakan adanya pembatas yang bersifat illahiyah

Merujuk pendapat dari Ṭantȃwi Jaȗhari bahwa dua lautan yang dimaksud adalah pada dasarnya berasal dari satu lautan yang membentuk satu siklus. Penguapan air laut yang kemudian ditangkap oleh awan sehingga pada akhirnya menjadi hujan, dari hujan tersebut kemudian membanjiri sungai-sungai yang bermuara kembali menuju lautan.80 Pada dasarnya merupakan satu lautan, tetapi pada uraiannya ada keterlibatan sungai yang pada akhirnya menuju kembali kelautan sehingga digunakan kata albahraîn (dua lautan) bukan sungai dan laut.81

Pada saat itu, fenomena mengenai dua lautan belum ditemukan.

Sehingga bentuk penafsiran Ṭantȃwi menghubungkan ayat tentang dua lautan ini dengan siklus turunnya hujan. Karena, jika melihat dari berkembangnya zaman, fenomena dua lautan (sungai di dalam laut) kemudian ditemukan pada abad modern, pertama kali ditemukan oleh pakar Oceanografi asal Perancis dan terletak di Meksiko.

78 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Al-Jumȃnatul „Alȋ, (Jakarta : CV Penerbit J-Art, 2004), h.532.

79 Ṭantȃwi Jaȗhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Juz 24, (Mesir: Darul Ulum, 1351), h. 17.

80 Ṭantȃwi Jaȗhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Juz 27, (Kairo: Mustafa al-Babi Wa Al-Halbi, 1351), h. 17-18.

81 Ṭantȃwi Jaȗhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, h. 17-18

Adapun mengenai proses turunnya hujan, Ṭantȃwi Jaȗhari menafsirkan ayatnya dengan menggunakan teori saintifik. Dapat dilihat pada penafsiran Q.S al-Rȗm : 47 di bawah ini :

َعَْيََو ُءاَشَي َفْيَك ِءاَمَّسلا ِفِ ُوُطُسْبَ يَ ف ًبًاَحَس ُيرِثُتَ ف َحَيَِّرلا ُلِسْرُ ي يِذَّلا َُّللَّا ىَرَ تَ ف اًفَسِك ُوُل

( َنوُرِشْبَ تْسَي ْمُى اَذِإ ِهِداَبِع ْنِم ُءاَشَي ْنَم ِوِب َباَصَأ اَذِإَف ِوِل َلَِخ ْنِم ُجُرَْيِ َقْدَوْلا

ٗ3

)

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu Lihat hujan keluar dari celah-celahnya, Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba- Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira”82

Menurut Ṭantȃwi Jaȗhari, firman Allah “mengarahkan” maknanya adalah mengarakannya perlahan lahan dan lembut, seperti pengembala mengarak ontanya, dia mengaraknya dengan lembut, dan angin menggerakkan awan.83 Setelah mengarakan awan antara satu dan lainnya, awan tersebut menjadi suatu kesatuan, lalu dijelaskan bahwa Allah

“menjadikannya betindih tindih” maksudnya Allah menjasikan awan tersebut berkumpul layaknya pasir yang menyatu di pantai. Imam al-Qurtubi berkata dalam makna kata “al wadqu” ada dua pendapat. Salah satunya bermakna „ gemuruh‟ dan yang kedua bermakna „hujan‟. Dan dia ini merupakan pendapat yang jumhur atau masyhur; dan dimisalkan„ awan berbunyi, dan hujan berbunyi maksudnya dia menetes.

Setelah awan yang bergerak itu terkumpul, timbul mega yang mendung dan hitamlah dia karena mengandung hujan, maka keluarlah hujan dari celah- celah awan itu.Turunlah segumpalan awan raksasa laksana gunung, mengandung air. Ditumpahkannya ke suatu tempat yang Dia kehendaki.

Sebenarnya, apabila kita menaiki kapal udara dalam perjalanan yang jauh, awan-awan yang besar dan tinggi tersebut memang terlihat seperti gunung, bahkan lebih besar dari gunung, awan-awan laksanan gunung itulah persediaan yang disediakan Allah untuk kehidupan bumi dan seisinya, karena kita senantiasa memerlukan air.84

82 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Al-Jumȃnatul „Alȋ, (Jakarta : CV Penerbit J-Art, 2004), h.409.

83 Ṭantȃwi Jaȗhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim , (Dar al-Fikr: Beirut), hal.

214,

84 Ṭantȃwi Jaȗhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim , (Beirut : Dar al-Fikr), h.276.

Penafsiran ini sejalan dengan teori sains yang biasanya disebut dengan hidrologi. Adapun hidrologi adalah putaran rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Hidrologi merupakan istilah yang berkenaan dengan ilmu tentang air, baik kepadatannya, peredaran, serta hubungan dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk hidup. Sedangkan siklus hidrologi adalah peredaran air secara umum dari laut ke atmosfer melalui penguapan, kemudian jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan, mengalir di atas permukaan dan di dalam tanah sebagai sungai yang menuju ke laut. Siklus hujan ini berjalan seiring berjalannya waktu, dari satu waktu ke waktu lainnya.85

E. Model-Model Kitab dan Tafsir Ilmi

Dalam dokumen CORAK ILMIAH TAFSIR SALMAN DI ZAMAN MODERN (Halaman 50-59)

Dokumen terkait