• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafik/Tabel

NEW INVESTMENT

4. Pembeli / Pengangkut CO2 :

5.3.2. Kualitas Lingkungan

Kondisi eksisting kualitas lingkungan lapangan Tugu Barat memperlihatkan bahwa kualitas air limbah relatif kurang baik, karena hasil analisis terhadap air limbah di beberapa titik (lokasi) memperlihatkan bahwa suhu air limbah berkisar 27,20 – 48,0ºC. Suhu tertinggi terjadi di Mundu yang mencapai 48ºC, sedangkan di tempat lain masih relatif baik yakni 27,20 – 30,4 ºC. Khusus Mundu, air limbah yang dihasilkan tersebut dimasukkan ke dalam saluran yang berkelok-kelok sehingga pada saat bersatu dengan badan air suhunya sudah turun menjadi 31ºC. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat menurut Nybakken (1992) suhu 28-31 ºC merupakan suhu alami dan dapat mendukung kehidupan dalam ekosistem perairan dengan baik.

Pada penelitian ini juga diamati konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam air. Hasil analisis terhadap DO memperlihatkan hasil yang bervariasi yakni mulai dari tidak terdeteksi hingga sangat jenuh (8,3 mg/l), dengan DO tertinggi di stasiun Bongas yakni 8,3 mg/l dan dan terendah di stasiun Pamanukan yakni tidak terdeteksi, sedangkan di stasiun lainya mempunyai DO 4,99 sampai 5,86mg/l. DO yang ada di stasiun Bongas yang tidak terdeteksi sangat mengkhawatirkan karena Oksigen terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan di ekosistem perairan, dan sangat esensial bagi pernapasan dan metabolisme organisme yang hidup di dalamnya Selain itu oksigen terlarut juga berguna untuk penghancuran bahan organik atau bahan pencemar yang terdapat dalam ekosistem perairan (Saeni, 1988)

Tidak terdeteksinya oksigen terlarut pada air limbah yang terdapat di sungai Pamanukan, diduga karena bahan organik yang terdapat pada limbah yang terdapat di stasiun Pamanukan sangat tinggi, sehingga dibutuhkan jumlah oksigen yang sangat banyak untuk menguraikannya menjadi bahan anorganik. Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Acharya (2003) yang mengatakan bahwa rendahnya konsentrasi oksigen terlarut pada perairan salah satunya disebabkan oleh penggunaan oksigen terlarut tersebut untuk dekomposisi bahan organik. Kondisi ini akan memberi dampak negatif terutama pada beberapa spesies yang sensitif terhadap oksigen.

Pada pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian juga terdeteksi adanya amoniak dengan konsentrasi yang bervariasi. Pada stasiun selain stasiun Mundu kandungan amonianya tidak terdeteksi, sedangkan di Stasiun Pamanukan konsentrasinya mencapai 1,16mg/l. Kondisi ini sesuai dengan

kandungan oksigen yang terdapat di Stasiun Pamanukan yang tidak terdeteksi. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa di limbah yang terdapat di Stasiun Pamanukan bahan organiknya banyak.

Limbah yang dihasilkan di lokasi penelitian rata-rata mempunyai salinitas 15 permil. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena air limbah ini mempunyai kadar garam yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu kehidupan mahluk hidup yang ada pada sungai yang pada umumnya airnya tawar.

Kandungan minyak di beberapa stasiun pada umumnya rendah, hanya di Stasiun Bongas yang konsentrasinya mencapai 6,06mg/l, namun setelah limbah tersebut masuk ke dalam perairan umum konsentrasinya menurun menjadi 0,54mg/l. Berdasarkan persyaratan KLH bahwa kandungan minyak pada limbah diperbolehkan hingga10mg/l. Berdasarkan hal ini maka limbah yang dihasilkan dari stasiun penelitian masih cukup aman untuk dibuang ke lingkungan (badan air). Namun demikian adanya minyak pada ekosistem perairan ini perlu diwaspadai, karena minyak akan melapisi/menutup permukaan air, sehingga akan mengganggu proses fotosintesa dan akan menurunkan estetika perairan. Selain itu menurut Holcomb (1969) walau dampaknya terhadap organisme laut sulit diketahui karena pengaruhnya lama sekali, namun keberadaannya perlu diwaspadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Mitcell et al. (1970) bahwa pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme perairan dapat bervariasi dari pengaruh yang kecil sekali (negligible) hingga pada terjadinya kemusnahan (catastrophic).

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa pH air limbah di lokasi penelitian rata-rata netral yakni 7,1 – 7,4. Kondisi ini tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) pH air yang berkisar antara 6,5 – 8,5 akan mendukung kehidupan organisme akuatik yang ada di dalamnya. Pada penelitian ini juga teridentifikasi bahwa kandungan fenol, sianida, sulfida, amonia, minyak mineral Hg, Pb, Cd, Cr, Zn dan Mn sangat rendah sehingga tidak terdeteksi pada limbah yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat.

Hasil analisis terhadap sumur penduduk memperlihatkan bahwa air sumur penduduk mempunyai salinitas 15 permil. Tingginya kadar garam di sumur penduduk diduga karena adanya intrusi air laut, mengingat di wilayah tersebut hutan mangrovenya relatif sedikit. Kondisi ini cukup menkawatirkan mengingat air sumur tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk air minum, dan dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat juga mengatakan bahwa air

sumur tersebut hanya digunakan untuk kegiatan mencuci, mandi dan kakus (MCK).

Air sumur penduduk mempunyai amonia 0,47 – 0,88mg/l, dengan konsentrasi tertinggi di Stasiun Bongas yakni 0,88mg/l. Kondisi ini juga cukup menghawatirkan mengingat secara estetika sudah kurang baik dan kandungan amonia yang tinggi ini mengakibatkan air sumur tidak layak konsumsi. Hal ini disebabkan amonia yang bersifat sangat labil akan sangat mudah berubah menjadi nitrit. Jika perubahan menjadi nitrit terjadi, selanjutnya nitrit akan berikatan dengan hemoglobin, membentuk methemoglobin. Oleh karenanya Horne dan Goldman (2002) mengatakan bahwa nitrit (NO2-) merupakan pencemar berbahaya terutama dalam konsentrasi yang tinggi. Menurut Manahan (1977) dan Saeni (1988) nitrit dalam tubuh manusia akan bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen; dan menurut Alaert et al. (1983) akan mengakibatkan keracunan pada bayi dan dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan yang nantinya dapat menjadi bahan pencetus kanker.

pH air sumur juga tinggi (bersifat basa), hal ini dapat dimaklumi mengingat kandungan mineral yang tercermin air sumur juga tinggi. Namun demikian kekeruhan, BOD, fenol, sianida, sulfida yang terdapat pada air sumur tidak terdeteksi, sehingga tidak mengkhawatirkan. Namun demikian mengingat tingginya salinitas dan amoniak pada air sumur, maka tidak direkomendasikan untuk memanfaatkan air sumur karena pada akhirnya dapat membahayakan penduduk.

Air sungai tempat membuang limbah mempunyai pH 7,1 - 7,2, kondisi ini tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) ekosistem perairan dengan pH air berkisar 6,5 – 8,5 ideal bagi kehidupan akuatik. Salinitas air di stasiun Sungai Singaraja 15 permil, kondisi ini memperlihatkan bahwa Sungai Singaraja kadar garamnya tidak hanya dipengaruhi oleh limbah dari industri migas, namun diduga ada pengaruh dari air laut. Kadar garam di stasiun lainnya yakni di Sungai Kartasemaya dan Betokan 0 permil. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua stasiun ini kurang terpengaruh oleh air laut.

Kekeruhan di semua sungai yang diteliti cukup tinggi yakni rata-rata 590 NTU. Kondisi ini diduga bukan terpengaruh oleh air limbah dari lokasi penelitian, namun berasal dari bagian hulunya yang pada umumnya mengalami erosi yang membawa partikel tanah dan lumpur baik berupa koloid maupun yang

tersuspensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod (1973) yang mengatakan bahwa tingkat kekeruhan suatu perairan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid yang terkandung di dalam perairan tersebut.

DO air sungai di semua stasiun cukup tinggi yakni rata-rata 4,5 mg/l;. Kondisi ini memperlihatkan bahwa air sungai cukup baik untuk kehidupan biota yang ada di dalamnya. Tingginya DO pada semua stasiun ini juga disebabkan oleh tingginya agitasi pada sungai akibat adanya aliran air yang cukup deras. Tingginya aliran air ini mengakibatkan tingginya pergantian air, sehingga tidak memungkinkan bahan organik mengendap dalam jumlah yang banyak, oleh karenanya maka BOD dalam air sungai juga cukup rendah yakni hanya berkisar 3,21 – 6,70mg/l

Kandungan minyak pada sungai di dua stasiun sangat rendah sehingga tidak terdeteksi namun pada Sungai Singaraja minyaknya cukup tinggi bahkan tertinggi diantara tiga sungai yakni mencapai 7,6mg/l. Ditinjau dari kandungan minyak dalam air sungai walaupun masih dibawah baku yang diperbolehkan, namun juga harus diwaspadai karena kurang baik untuk perikanan yang tersebar di sepanjang pesisir Indramayu dan Pamanukan.

Hasil analisis terhadap udara dan kebisingan memperlihatkan bahwa secara umum baik dilihat dari debu, SO3, NOx, Ox, H2S dan CO2 di semua stasiun memperlihatkan nilai yang ada dibawah baku mutu yang sudah ditetapkan (Tabel 12). Hal ini memperlihatkan bahwa pada saat dilakukan penelitian ini PT SDK memperlihatkan tidak mencemari udara yang ada di sekitarnya.

Tabel 12. Kualitas udara di lokasi penelitian

No Lokasi Debu (m/m3) SO3 (ppm) NOx (ppm) Ox (ppm) H2S (ppm) CO2 (ppm) 1 SPU Mundu A 55,6 0,005 0,042 0,008 0,022 4976 2 SPU Mundu B 23,9 ttd 0,032 0,071 0,005 4895 3 SPU Balongan 61,3 0,010 0,034 0,053 0,041 5000 4 Desa Kedokan Bunder 149 ttd 0,023 0,033 0,019 4900 5 SPU Cemara 25,6 0,009 0,034 0,069 0,046 7500 6 Pmk Bongas Barat 125 0,005 0,012 0,011 Ttd 1200 7 SPU Bongas 103,0 ttd 0,042 0,059 0,220 5100 8 PMK sumberdaya (perkapuran 136,0 0,006 0,070 0,060 0,004 5300 260 0,100 0,050 0,100 0,030 -

5.4. Kesimpulan

Eksplorasi di Lapangan minyak dan gas Tugu Barat di Kabupaten Indramayu dari tahun 1932 hingga saat ini cenderung terus meningkat, dengan produksi minyak tertinggi terjadi pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD), namun sisa cadangannya mengalami penurunan (tahun 1992 sebesar 3.079,23 MSTB menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001). Sedangkan untuk gas mengalami peningkatan produksi hingga tahun 1998, dan selanjutnya mengalami penurunan. Selain produksi tersebut, Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat juga mempunyai cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable.

Jumlah bahan pencemar yang terdapat pada gas ikutan yang dibuang langsung ke lingkungan CO2-nya mencapai 841,583 ton perhari, jumlah gas metane 1051,97 ton perhari serta jumlah nitrogen 40,8167 ton perhari, sehingga jika dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, hujan asam (acid rain), pemanasan global (global warming) dan pada akhirnya ikut menyumbang terjadinya perubahan iklim global (global climate change).

Gas ikutan yang ada di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi untuk dimanfaatkan dengan cadangan yang cukup banyak (GOR >1) dan dapat dimanfaatkan baik gas metannya maupun CO2-nya, sehingga sudah dapat dirancang rencana pemanfaatannya, rancangan procesc diagramnya, rencana pemipaannya serta pengerjaannya di Lapangan Tugu Barat.

Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik.

Daftar Pustaka

Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.

Berita Negara. 2007. Wakil Presiden (Jusuf Kalla). Estimasi Penghematan Subsidi Minyak Tanah Program Konversi Minyak Tanah (Mitan) ke LPG. Corelabs. 2007. Analisa Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Indramayu Jawa Barat.

Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p.

Departemen ESDM. 2008. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia Tahun 2000-2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM.

________________. 2008. Indonesia Gas Production and Consumption In 2000-2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM

Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka.

Estimasi Perbandingan Penggunaan Bahan Bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2005. Kompas 8 Juli 2005. Jakarta.

Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p.

IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories

Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta

Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Pemanfaatan Gas Ikutan Meminimalkan

Kerusakan Lingkungan.

Lemigas. 2006. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan. CCOP Workshop, Beijing China.

Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT. Kompas Media Nusantara.Jakarta.

PT. Pertamina EP Region Jawa. 2008. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam mmscfd) Kabupaten Indramayu- Jawa Barat.

[PT.SDK] PT. Sumber Daya Kelola. 2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU