• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menko Kesra Ir. Aburizal Bakrie sedang membuka konferensi Primary Health Care anggota WHO Asia Tenggara

karena masyarakat butuh pelayanan kuratif,” katanya.

Ia menambahkan, pembentukan Desa Siaga pun masih berjalan. Saat ini sudah ada 34.703 Desa Siaga–desa yang memiliki satu Pos Kesehatan Desa dengan satu tenaga kesehatan dan dua kader kesehatan–di seluruh Indonesia.

Menteri Kesehatan mengatakan, pada prinsipnya, desa yang sudah bisa menjadi Desa Siaga akan mampu mendeteksi masalah kesehatan di wilayahnya serta melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menanganinya.

Tahun 2005, Departemen Kesehatan telah meluncurkan program pemberdayaan masyarakat yang disebut Desa Siaga. Desa Siaga adalah desa yang siaga akan berbagai masalah kesehatan, termasuk wabah penyakit di suatu desa dan wilayah terpencil lainnya. “Dengan mengimplementasikan Desa Siaga, kami siap mencapai suatu komunitas yang mampu menolong komunitasnya sendiri dalam menangani masalah

kesehatan. Skema ini adalah suatu bagian dari Strategi Utama Depkes yaitu Memberdayakan Masyarakat untuk Hidup Sehat”, papar Menkes. Ada 4 prinsip dasar Desa Siaga. Pertama, Desa Siaga adalah “tempat pertemuan” antara pelayanan kesehatan dan program kesehatan yang diselenggarakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Kedua, Desa Siaga memiliki konsep

kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Oleh karena itu untuk membuat suatu masyarakat yang siaga terhadap masalah kesehatan, harus ada informasi yang akurat dan cepat di masyarakat itu. Ketiga, respon yang cepat. Ketika ada suatu masalah kesehatan, komunitas setempat akan segera mengambil langkah yang diperlukan, jika langkah tidak cukup maka pelayanan kesehatan formal akan diinformasikan. Keempat,

Dr. J. Leimena, Peletak Konsep Dasar Pelayanan Kesehatan Primer

Nama Dr. Johannes Leimena sangat terkait erat dengan sejarah bangsa ini, khususnya dunia kesehatan, sebagai peletak konsep dasar pelayanan kesehatan primer atau yang kini dikenal dengan Puskesmas. J. Leimena juga dikenal sebagai Menteri Kesehatan saat Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk, saat RIS berakhir dan saat NKRI kembali terbentuk. Dr. J. Leimena mencetuskan gagasan sistem pelayanan kesehatan dasar di tingkat primer yang dikenal dengan Bandung Plann (1951), konsep ini kemudian diadopsi oleh WHO. Diyakini, gagasan inilah yang kemudian dirumuskan sebagai konsep pengembangan sistem pelayanan kesehatan tingkat primer dengan membentuk unit-unit organisasi fungsional dari Dinas Kesehatan Kabupaten di tiap kecamatan yang mulai dikembangkan sejak tahun 1969/1970 dan kemudian disebut Puskesmas.

Pada era pemerintahan Soeharto, Dr. J. Leimena berperan dalam dimulainya prinsip pendekatan pelayanan kesehatan masyarakat primer berbasis masyarakat yang terintegrasi secara horizontal (antar program-program kesehatan di tingkat primer) dan vertikal (antara Dinas Kesehatan Kabupaten dan Puskesmas Kecamatan). Pada tahun 1969-1974 yang dikenal dengan masa Pelita 1, dimulai program kesehatan Puskesmas di sejumlah kecamatan dari sejumlah Kabupaten di tiap Propinsi. Hingga awal tahun 1990-an Puskesmas menjelma menjadi kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga memberdayakan peran serta masyarakat, selain memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.

Para peserta yang mengikuti Konferensi Primary Health Care anggota WHO Asia Tenggara

Desa Siaga adalah “kendaraan” bagi komunitas dan sistem kesehatan di sana untuk menjalankan program dan aktifitas setempat.

Untuk menjalankan 4 prinsip di atas, Desa Siaga memerlukan elemen penting yaitu pendirian Pos Kesehatan Desa, penempatan tenaga kesehatan, partisipasi masyarakat, dan peran aktif kader Desa Siaga. Pendekatan ini meningkatkan akses kepada masyarakat dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan meningkatkan sistem rujukan kesehatan masyarakat dan pengobatan.

Selain pemberdayaan Posyandu dan Desa Siaga, untuk meningkatkan pemerataan dalam pelayanan kesehatan, Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Janinan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang memungkinkan masyarakat miskin mendapatkan akses gratis ke pelayanan kesehatan dan fasiltas kesehatan swasta tertentu.

“Ini adalah usaha Pemerintah Indonesia untuk mencapai Sehat untuk Semua. Dengan demikian kita akan menuju pada peningkatan kapasitas ekonomi Indonesia, dan akhirnya pemberantasan kemiskinan”, tegas Menkes.

30 tahun lalu di Alma Ata, negara anggota yang setuju mengadopsi PKD sebagai sebuah pendekatan dalam pembangunan kesehatan yang bertujuan Sehat Untuk Semua (Health For All) di tahun 2000. Konferensi Internasional ini melahirkan Deklarasi Alma-Ata yang menjadi acuan pembangunan kesehatan masyarakat. Deklarasi ini dipicu oleh ketimpangan status kesehatan antara berbagai daerah di suatu negara, serta antar negara.

Mengingat pentingnya kesehatan bagi pembangunan sosial dan ekonomi, deklarasi ini menetapkan PHC atau sebagai pendekatan kunci untuk mencapai Kesehatan Bagi Semua.

Selama berpuluh tahun, tantangan dalam pembangunan kesehatan demikian rumit. Sementara kita sedang terfokus pada isu serius seputar PKD seperti penyakit yang ada (emerging disease) dan penyakit yang muncul kembali (re-emerging disease), kesehatan publik dan lainnya. Di sisi lain kita menghadapi tantangan baru, perubahan iklim, krisis energi, dan krisis pangan. Walau agenda dalam kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh faktor di atas belum selesai, suatu kepastian adalah bahwa rakyat miskin secara tidak proporsional terpengaruh, menyebabkan suatu kendala dalam kemajuan program penurunan kemiskinan. Diperlukan pemimpin yang kuat untuk memperhatikan kembali kebijakan yang telah dibuat dengan tindakan nyata di sektor kesehatan secara komprehensif. MDG menghadirkan kembali Deklarasi Alma Ata dalam pencapaian

Sehat Untuk Semua di tahun-tahun mendatang. Pakar dari sebelas negara anggota dalam wilayah kerja WHO Asia Tenggara bertemu untuk menyepakati strategi untuk mencapai Millenium Development Goals dan Kesehatan Bagi Semua (Health for all). Tahun 2008 juga bertepatan dengan ulang tahun WHO ke 60.

Sebagai pembicara utama, Dr. Halfdan Mahler, Direktur Jenderal Emiritus WHO yang 30 tahun lalu memulai gerakan Kesehatan Bagi Semua, kemudian Dr. Amorn Nondasuta, perintis PKD di Thailand, yang sekarang menjabat sebagai Presiden Foundation for Quality of Life, serta DR. Erna Witoelar, mantan UN Special Ambassador for Millennium Development Goals di Asia Pasifik.

WHO melakukan advokasi bagi pelaksanaan PKD yang efektif, aman, dan berkualitas melalui sistem kesehatan yang telah ada dengan memanfaatkan sumber daya sebaik-baiknya. Konferensi ini akan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.(gi)

Dr. Samlee Plianbanchang, Direktur Regional WHO Asia Tenggara sedang memberikan arahan Konferensi Primary Health Care anggota WHO Asia Tenggara

D

e m i k i a n penegasan Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dalam sambutannya yang dibacakan dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MCH ,Ph.D, Sp.OK, Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang D i r e k t o r a t Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2-PL), pada Pencanangan Pengobatan Massal Filariasis di Halaman Kantor Desa Mekarwangi, Kecamatan Cikarang

Barat, Kabupaten Bekasi, 5 Agustus 2008. Selanjutnya Menkes menegaskan bahwa, Indonesia sejak 2002 telah menetapakan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu program prioritas p e m b e r a n t a s a n penyakit menular. Hal tersebut mengacu pada kesepakatan global, yang ditetapkan WHO pada tahun 2000 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020). Pemerintah Indonesia sepakat untuk melaksanakan Program Eliminasi Filariasis melalui pengobatan massal secara bertahap. Menurut Menkes, pengobatan massal dilakukan setiap tahun selama lima tahun berturut-turut kepada seluruh penduduk sasaran di kabupaten yang endemis filariasis. Obat yang digunakan adalah diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazole. Dengan meminum obat filaris, penduduk yang terinfeksi dapat sembuh, terhindar dari kecacatan, dan tidak lagi menjadi sumber penularan

bagi penduduk lainnya.

Tahun ini ditargetkan 30 juta penduduk mendapatkan pengobatan massal filariasis. Setiap tahun target sasaran akan ditingkatkan sampai akhirnya seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemis dan berisiko tertular mendapatkan pengobatan. Departemen Kesehatan menyiapkan obat secara gratis, namun diharapkan biaya operasional ditanggung oleh Pemda setempat.

Menurut Menkes Siti Fadilah Supari, kasus kronis filariasis di Indonesia pada tiga tahun terakhir ini meningkat. Pada tahun 2005, terdapat 8.243 orang filariasis, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 tercatat berturut-turut sebesar 10.427 dan 11.473 penderita di 378 kabupaten/kota. Jumlah kasus filariasis meningkat, antara lain karena surveilans kasus yang semakin baik, pengetahuan dan keterampilan petugas semakin mantap, dan adanya advokasi serta sosialisasi yang semakin lancar. Menkes juga mengemukakan bahwa, cakupan pengobatan Massal Filariasis pada Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2006 sebanyak 5.325.106 penduduk di 77 kabupaten /kota. Sedangkan pada 2007 sebanyak 8.411.263 penduduk di 94 kabupaten/ kota. Selanjutnya untuk rencana pengobatan massal filariasis di

125 JUTA PENDUDUK INDONESIA