• Tidak ada hasil yang ditemukan

Provinsi Sumatera Selatan menjadikan Desa Siaga sebagai salah satu prioritas pembangunan. Konsep dan Desa Siaga sejalan dengan semangat kemandirian,

keadilan, dan kesetaraan yang diperjuangkan Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah

Supari, Sp. JP (K) dan tergambar dalam buku ”Saatnya Dunia Berubah”. Diskusi buku ini

di Palembang mendapat sambutan antusias.

Menkes dr. Siti Fadilah Supari membuka Workshop dan Konferensi Pembangunan Desa-desa Siaga dan bedah buku “Saatnya Dunia Berubah” di Palembang

desa dan kelurahan Siaga yang telah dibentuk, praktisi, dokter, masyarakat, dan unsur pemerintahan terkait. Saat ini kami telah membangun 50 desa dan kelurahan Siaga yang tersebar di Sumatera Selatan. “Saya atas nama Ketua Komite Persiapan DKR mengucapkan penghargaan kepada Menteri Kesehatan yang telah mendukung perjuangan kami untuk berperan aktif, berjuang bersama menyehatkan rakyat,” ujarnya. Menurut Anwar Sadat, selama ini kesehatan dipahami sebagian orang sebagai bidang teknis. Ternyata tidaklah lepas dari kepentingan politis. Kesehatan yang seharusnya ditempatkan untuk kemanusiaan ternyata bagi negara maju telah dijadikan sebagai alat penindasan terhadap negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Penjajahan dan manipulasi di bidang kesehatan telah lama ada dan bekerja secara sistematis serta terorganisir.

”Kami sangat bangga karena praktek penindasan tersebut telah diungkapkan secara jelas dan tegas oleh dr. Siti Fadilah Supari, melalui bukunya,” kata Anwar Sadat. Menurut dia,

Dr. Siti Fadilah, telah mempelopori perlawanan bidang kesehatan terhadap negara imperialis dan menjadikan mereka tertunduk lesu. Perjuangan Menkes adalah sebuah kecerdasan dan keberanian seorang Srikandi Indonesia.

”Saya sependapat dengan Dr. Siti Fadilah, bahwa kita telah merdeka namun belum berdaulat, kita berdaulat namun belum merdeka. Oleh karena itu kami mendukung perjuangan dr. Siti Fadilah Supari. Beliau pantas dijuluki sebagai patriot Indonesia, pejuang Indonesia, dan pengabdi Republik Indonesia,” ungkap Anwar tegas.

Menkes dalam sambutannya menyatakan, Depkes mempunyai empat strategi dalam pembangunan kesehatan. Yaitu pemberdayaan

masyarakat, meningkatkan akses pelayanan kesehatan, meningkatkan informasi dan komunikasi, dan pembiayaan kesehatan. Ada beberapa prioritas untuk mencapai pembangunan kesehatan di Indonesia yaitu kesehatan ibu dan anak, pelayanan masyarakat miskin, pendayagunaan tenaga kesehatan, penanggulangan penyakit menular, gizi buruk, dan krisis kesehatan akibat bencana serta peningkatan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Menurut Menkes, bedah buku dan acara workshop memiliki spirit sama. Desa Siaga merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan kesehatan dan Dewan Kesehatan Rakyat adalah rohnya Desa Siaga. Hal ini sangat penting sekali untuk digiatkan. Semua itu merupakan upaya Depkes untuk kepentingan rakyat.

Dr. Siti Fadilah menambahkan, Depkes juga mempunyai lima nilai yaitu pertama, pro rakyat. Kebijakan apa pun harus mementingkan rakyat. Dua, bergerak cepat dan tepat karena kita selalu behubungan dengan nyawa manusia. Tiga, teamwork yang solid, ke empat integritas yang tinggi. ”Kelima lakukan semuanya dengan akuntabilitas dan tranasparansi,” ujar dr.Siti Fadilah.

Bedah Buku

Bedah buku ”Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan Di Balik Firus Flu Burung”, dipandu M. Idris, Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada kesempatan ini, Menkes menyatakan bahwa ia menulis buku ini berdasarkan pengalaman yang sesungguhnya. ”Saya sebagai Menkes berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia di dunia Internasional yang belum pernah dilakukan.”

S e l a n j u t n y a M e n k e s S i t i Fadilah Supari menyatakan:

Dari pengalaman saya ini, saya menyimpulkan konspirasi itu ada. Konspirasi organisasi besar dunia dengan kepentingan neokolonialis, itu ada. Saya merasa, meraba, dan melakukan sesuatu dan menang. Kedua, hegemoni asing yang menguasai globalisasi ini ternyata bisa dikalahkan.

Dari buku saya, anda bisa melihat bahwa dalam WHO yang dipercaya umat manusia di dunia untuk melindungi dari bencana kesehatan, ternyata menggunakan suatu mekanisme yang sangat neokolonialistik. Yaitu mengatur perjalanan virus yang sangat ganas dengan perangkat bukan dari WHO tapi dari negara adidaya yang sudah bercokol selama 60 tahun. Tak seorang bisa mengatakan karena tidak tahu dan bisa melihat hal itu. Saya menuntut perangkat itu dibubarkan karena tidak adil. Kita berhasil mengganti perangkat yang adil, transparan, dan equity, ujar dr. Siti Fadilah Supari.

Perjalanan saya berjuang sangat berliku. Tadinya sendiri lalu didukung 112 negara non blok. Gerakan Non Blok di PBB sudah hampir tidak ada suaranya. Justru karena itu di Sidang WHA, saya hidupkan suaranya. Dalam buku saya, anda bisa merasakan hati saya menghadapi semua itu. Saya ingin memberikan pelajaran kepada rakyat ini secara bersih dan lurus. Buku saya tidak menceritakan flu burung. Bayangkan saya mengirim virus dari rakyat yang menderita karena penyakit itu. Namun begitu sampai di WHO, mereka lakukan sedemikian rupa sehingga mereka komersialisasikan menjadi vaksin dan diperjualbelikan di seluruh dunia.

Lalu, saya menyetop mengirimkan virus karena menyinggung kedaulatan bangsa Indonesia. Begitu saya stop, mereka berkata tidak ada yang percaya dengan laboratoriummu. Anda membahayakan dunia. Saya bilang

memberdayakan masyarakatnya. Ini saya lihat suatu upaya penggelapan p e n g u a s a a n p e n g e t a h u a n . Bagaimana pengetahuan itu memiliki kekuatan. Virus untuk menjadi vaksin itu diperlukan teknologi dan mengharuskan negara berkembang mengirim ke WHO tanpa ada yang mengkritik kecuali Dr. Siti Fadilah Supari. Wajar kalau Amerika memprotes.

Jadi dr. Siti Fadilah tidak saja

membongkar kekuasaan

pengetahuan tetapi melakukan perlawanan ter h a d a p n e o k o l o n i a l i s m e global. Dalam sistem perekonomian neo liberalisme hak paten menjadi kaki tangannya World Bank, WTO, maupun IMF. Saya memprotes Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) karena instrumen negara maju untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Hal ini bisa kita bandingkan. Amerika bisa kaya karena hak patennya. Wajar kalau dr. Siti Fadilah menanyakan sumbangsih batubara untuk rakyat. Kalau saya lihat pemikiran dr. Siti Fadilah ini sama seperti Bung Karno. Sekarang bagaimana menghadapi neokolonialisme ini? Siti Fadilah sudah merintis seperti itu.

Karena itu sangat tepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

memilih dr. Siti Fadilah Supari untuk menangani masalah kesehatan. Untuk itu saya simpulkan pengalaman dr. Siti Fadilah sebagai manifesto politik kesehatan di Indonesia. Sekarang ada relevansinya dengan Desa Siaga. Karena menghadapi neo kolonialisme harus dihadapi dengan kemandirian. Kemandirian ada dalam diri dr. Siti Fadilah yang memiliki seperangkat pengetahuan, semangat ini menumbuhkan kemandirian.

Saya coba mencari informasi tentang Desa Siaga. Ternyata konsep desa ini berangkat dari seorang aktifis perempuan buruh di Yogya yang bernama Kusniati. Orang ini mencoba mempraktekan konsep Desa Siaga dan ini diambil pemerintah untuk menjadi grand strategy untuk mengembangkan kesehatan di Indonesia. Hanya dengan ini kita bisa melakukan perlawanan kecil. Saya kira ini cukup menjadi inspirasi bagi kita untuk melepas ketergantungan terhadap negara besar. Itu yang bisa saya tangkap dari buku Saatnya Dunia Berubah dan saya katakan dengan tegas saatnya kaum muda untuk berubah.

Dr. HM. Zailani SpOG, Direktur RSAB Al-Zahra, Palembang

Buku ini buku langka. Karena langka saya tidak perlu anda percaya. Saya

percaya dengan laboratorium saya, kalau tidak terserah. Itu tahun 2005-2006. Mereka sekarang percaya. Itulah kalau kita punya kepribadian. Kita bisa lakukan bahwa kita setara dengan mereka. Jangan takut menghadapi orang asing.

Itu adalah bagian dari permainan dunia. Saya melawan dan bagaimana saya melawan ada dalam buku ini. Mereka berkata kita hanya punya virus, saya ada teknologi, uang dan expert. Saya bilang anda punya uang, teknologi dan expert namun virusnya tidak saya kasih. Lalu mau bikin apa. Maka anda dan saya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Saya sangat tersinggung sekali waktu mereka bilang salahnya kamu tidak punya teknologi.

Hal seperti ini akan ditemui di mana-mana. Contohnya universitas. Universitas akan disebut world class kalau 20% diisi mahasiswa asing. Jadi kalau mahasiswa kita ingin menjadi mahasiswa kedokteran, itu kemungkinan 4%. Kalau mahasiswa asing ingin menjadi mahasiswa kedokteran di Indonesia, kemungkinannya 30%.

Tanggapan Panelis

Drs. Tarech Rasyid, Koordinator Sekolah Demokrasi, Banyu Asin

Wajar jika mereka ingin buku ”Saatnya Dunia Berubah ” ditarik. Karena buku ini menghuNjam jantung WHO yang disebut GISN. Ini mesin roda penindasan negara maju yang berkaitan dengan virus. Dr. Siti Fadilah mencoba membongkar praktek demikian. Seperti dalam buku ini diceritakan ada David Heymann, pembesar di WHO, mencoba membujuk Menkes. Ternyata ada satu kalimat yang menolak pembubaran GISN di situ. Ada juga konteks empowerment diubah menjadi capacity building. Ini dua konteks yang berbeda. Capacity building itu memberi bantuan hanya sesaat, namun empowering itu

harap memilikinya. Buku langka karena ditulis oleh menteri yang masih aktif. Kita tahu risikonya. Seperti saya punya anak, lalu anak saya berkelahi dengan anak teman saya. Saya memarahi anak saya. Buku ini langka karena isinya terdapat rahasia internasional. Dr. Siti Fadilah tanpa ragu-ragu membeberkannya. Buku ini dibilang novel ya memang seperti novel. Sangat enak dibaca. Ada kata-kata ‘uh’, ‘wah’. Emosinya itu menonjol sekali. Bentuknya tidak seperti novel. Enak dibaca untuk yang suka makan cabe karena pedas sekali. Mudah-mudahan bukan menterinya yang tidak beredar lagi. Ketika membaca, saya kaget sekali. Karena buku ini ditulis oleh ahli jantung. Menurut teman saya, maaf, dr. Siti Fadilah termasuk Ibu yang bertaring. Namun dari tadi saya melihat tidak ada taring. Menkes telah memberikan pencerahan tentang Iran. Saya juga pernah ke Iran dan mengunjungi tempat yang diceritakan di buku itu. Kedua pencerahan tentang syiah. Kita tahu dr. Siti Fadilah adalah orang Muhammadiyah, namun tidak pernah ragu untuk mengunjungi tempat orang Syiah. Ibu pernah bercerita dalam buku kalau bukan orang Syiah sepertinya tidak diterima oleh Imam. Ternyata besoknya diterima. Saya tertarik karena barokah Imam itu, Ibu bisa melobi. Mengenai bantuan luar negeri, kita seperti dibodoh-bodahi. Istri saya pernah bekerja di Uni Eropa. Mereka bilang program kita itu crazy program by crazy people, dan jika ada bantuan yang turun 50% nya digunakan untuk SDM mereka. Sisanya bantuan. Kita setengah mati memperjuangkan proposalnya sampai titik komanya. Laporan harus sesuai dengan mereka. Akhirnya dia mengundurkan diri karena tidak kuat lagi. Jadi benar kata Ibu di buku itu, kita bukan bangsa pengemis. Apa yang mereka bantu? Mereka hanya membantu yang mereka mau. Misalnya di beberapa Puskesmas yang tidak ada ahlinya, itu diberi alat canggih. Padahal uang mereka

sumbangan orang kaya dari mereka. Tidak seperti kita yang terbiasa dengan zakat. Zakat itu kita tidak tahu dari siapa dan untuk siapa. Itu antara pemberi dan penerima tidak tahu. Tidak ada istilah pengemis. Mereka juga berlindung dari istilah Safe Motherhood and Safe Abortion. Nama itu sebenarnya untuk melegalisasikan aborsi. Alhamdulillah kiai kita banyak yang tidak setuju. Untuk kritik, buku ”Saatnya Dunia Berubah” ini seperti gading, dan tidak ada gading yang tak retak. Ini mesti dikritik. Saya sempat telepon dua ustad. Dalam buku ”Saatnya Dunia Berubah” disebutkan Imam Khomeini konon pernah terinspirasi perjuangan Soekarno. Dua ustad tadi berkata mungkin terbalik. Memang Imam Khomeini pernah berkata tentang hebatnya Soekarno, tapi menurut mereka yang lulusan hukum itu bahwa Imam Khomeini tidak pernah terinspirasi oleh Soekarno.

Tanggapan Menkes

Saya ingin mengomentari Pak Tarech. Ini suatu hal yang baru untuk saya. Desa Siaga yang saya canangkan ini lahir dari Villages Preparedness Plan yang kita butuhkan untuk National Preparedness Plan, yang muncul karena adaya otonomi daerah di mana saya menginginkan daerah ini tetap sinkron. Pak Tarech membaca buku sampai kepada perasaan saya. Untuk komentator kedua, Depkes mungkin satu-satunya yang menolak bantuan utang Bank Dunia.

Satu, karena adanya hidden agenda. Tidak ada bantuan yang tidak ada hidden agenda. Dua, kalau asing ingin memberi pinjaman kepada kita, Anda pasti mengatur kita. Tiga, kalau kita meminjam Anda 100 perak dengan bunga, yang sampai ke rakyat hanya 40%, yang lain kembali ke negara Anda. Keempat, anak dan anak cucu kita harus membayar utang sampai 30 tahun. Safe motherhood sudah tidak ada lagi, sudah diganti dengan P4K.

Menkes tentang Vaksin Polio.

Indonesia menguasai 35% pasar vaksin polio dunia, yakni PT Bio Farma. Nampaknya mereka tidak suka. Mereka berpikir bagaimana cara menggeser vaksin polio oral (tetes) tidak digunakan lagi. Dibayarlah perguruan tinggi dan staf Depkes untuk riset. Tiba-tiba ada data 95% limbah di Yogya mengandung virus polio. Alasan itu dipakai untuk mencegah penggunaan vaksin polio oral itu. Ternyata akan dibuat IPV (injection polio vaccine) dan yang boleh memproduksi harus tunduk dengan aturan GAP3. Negara yang masih menggunakan jamban cemplung (seperti Indonesia) tidak boleh memproduksi vaksin polio injeksi. Berarti, hanya negara maju saja yang bisa. Indonesia tidak boleh lagi memproduksi. Pada waktu ada penelitian limbah itu, bersamaan dengan penelitian di Banten yang menghasilkan 53% orang Indonesia tidak memiliki jamban. Mereka menelitinya di tempat yang tidak ada jamban.

Jadi itu untuk justifikasi OPV tidak diperlukan lagi dan diganti IPV. Saya berjuang habis-habisan. Sekarang masih pending, 100 tahun lagi baru boleh. Ternyata WHO tidak punya critical advisor. Itu salah satu yang kita tuntut. Inilah mengapa manifesto politik itu penting. Kita tuntut keadilan, transparansi, dan equity.

M. Idris, Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang

Ini bukan tanggapan lagi. Cerita yang cukup menarik artinya menggugah kita bahwa bantuan asing belum tentu bagus. UMP pernah dibantu ADB, itu susah sekali. Sampai yang membuat proposal mobilnya tabrakan. Hasilnya belum maksimal. Sekarang sudah berakhir. Betul apa yang diceritakan Menkes. Suatu bantuan itu perlu dilihat dulu. (smd)