peserta didik dan lingkungan Tanggap ipteks Beragam dan terpadu Belajar sepanjang hayat Menyeluruh dan
Berkesinam-bungan Relevan dengan
kebutuhan kehidupan
Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah
Kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjaab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Prinsip ini sesuai dengan konsep dasar teori belajar konstruktivisme dan humanisme, karena peserta didik melakukan kegiatan belajar sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan diarahkan ke pemenuhan kebutuhan dirinya.
(2) Prinsip beragam dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan jender. Kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yan bermakna dan tepat antar substansi. Prinsip ini sesuai dengan konsep belajar menurut teori belajar kognitivisme yang menekankan pentingnya skemata atau struktur pengetahuan atau informasi sebagai hasil belajar.
(3) Prinsip tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikutidan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
(4) Prinsip relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaannya.
(5) Prinsip menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum yang dikembangkan harus mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
(6) Prinsip belajar sepanjang hayat.
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan pemberdayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, non formal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
(7) Prinsip seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara operasional, pengembangan kurikulum harus mengacu pada hal-hal sebagai berikut.
(a) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
(b) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, serta kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik.
(c) Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
Daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
(d) Tuntutan pengembangan daerah dan nasional.
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi. (e) Tuntutan dunia kerja.
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
(f) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana ipteks sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adapatasi dan penyesuaian perkembangan ipteks sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
(g) Agama.
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kurikulum umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, takhwa dan akhlak mulia.
(h) Dinamika perkembangan sosial.
Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antar bangsa yang semakin dekat memerlukan indvidu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan negara lain.
(j) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa salam wilayah NKRI.
(k) Kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
(l) Kesetaraan jender.
Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
(m) Karakteristik satuan pendidikan.
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
Setiap mata pelajaran disusun deskripsi dan silabusnya yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, pengalaman belajar, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam:
(a) pengalaman belajar
(b) materi pokok atau materi pembelajaran, (c) kegiatan pembelajaran, dan
Prinsip penyusunan silabus mata pelajaran dirangkum dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4 di atas merangkum prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
penyusunan silabus mata pelajaran dengan penjelasan sebagai berikut.
(a) lmiah, artinya keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, terutama ilmu pendidikan dan pembelajaran;
(b) Relevan, artinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik;
(c) Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi;
(d) Konsisten, artinya adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian;
Gambar 4 Prinsip Penyusunan Silabus Mata Pelajaran SILABUS MATA PELAJARAN SISTEMATIS ILMIAH MENYE LURUH MEMADAI FLEKSIBEL AKTUAL dan
KONTEK STUAL RELEVAN
(e) Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi belajar;
(f) Aktual dan Kontekstual, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian meperhatikan perkembangan ilmu teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi;
(g) Fleksibel, artinya keseluruhan komponen pribadi dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat; dan
(h) Menyeluruh, artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).
Di samping beberapa prinsip yang telah dikemukakan di atas, berkaitan dengan teori belajar yang dikemukakan Skinner, perlu pula diperhatikan beberapa prinsip yang perlu menjadi acuan dalam perencanaan pembelajaran yang mendidik seperti dikemukakan berikut ini.
(1) Prinsip pengukuhan atau penguatan (reinforcement).
Reinforcer atau penguat yaitu stimuli yang meningkatkan peluang muncul
respons. Penguatan itu dampak stimuli. Contoh penguat “permen” karena permen memperkuat perilaku dan karenda itu stimuli. Sasaran permen bukan penguat, meski dampaknya pada anak selaku penguat. Skinner memilah penguat bersifat primer dan digeneralisasi. Penguat primer adalah stimuli yang diperkuat tanpa perlu belajar; misalnya makan adalah kebutuhan yang tidak dipelajari. Penguat digeneralisasi yaitu stimuli netral tetapi karena setelah berulang kali dipasangkan dengan sejumlah penguat dalam berbagai situasi, akhirnya menjadi penguat bagi perilaku tertentu. Misalnya, perilaku pengejar uang, sukses, prestise merupakan jenis penguat generalis bagi sejumlah orang modern. Ada penguat yang positif dan ada pula penguat yang negatif. Penguat positif yaitu stimuli peningkat munculnya respon ketika stimuli enak ditambahkan pada situasi, sedangkan penguat negatif yaitu stimuli peningkat munculnya respon saat stimuli jelek disingkirkan.
(2) Prinsip penguat dan hukuman.
Penguat positif berupa senyuman, anggukan dan memberi nilai bagus. Penguat negatif (melegakan) yaitu menyingkirkan stimuli ancaman dikeluarkan dari kelas atau sekolah, ancaman memperoleh nilai gagal (tidak lulus), atau menghindarkan
pebelajar dari malu. Ketika hal negatif itu dipasangkan pada perilaku individu yang kurang suka belajar dan suka mengganggu teman sekelas (perilaku yang dipandang perilaku tidak dikehendaki), maka stimuli itu ditafsirkan sebagai hukuman, dan dimaknai sebagai stimuli tidak nyaman setelah muncul perilaku tidak disetujui. Munculnya perilaku salah suai seperti cenderung menghindari situasi tertentu, adalah dampak penerapan penguatan negatif di luar batas wajar. Penguat negatif bukan hukuman. Dampak hukuman adalah mengurangi (bukan menambah) peluang dimunculkannya response. Hukuman terjadi bila stimuli menyenangkan disingkirkan dan digantikan oleh stimuli menjengkelkan setelah perilaku tidak dikehendaki muncul.
(3) Prinsip aversive control atau pengendali perilaku yang sangat dibenci.
Aversive control adalah jenis penguat negatif yang sering kali digunakan sebagai
pengganti hukuman. Konsekuensi atau dampak emosional dari penerapan positive
control ternyata lebih dikehendaki dari dampak aversive control. Aversive control
(lawannya positive control) berbentuk mematok nilai rendah, mengecam malas, mengancam menunda naik kelas.
(4) Prinsip shaping atau pembentukan perilaku kompleks.
Shaping adalah teknik membelajarkan agar individu dapat mengkinerjakan
perilaku kompleks yang belum terkuasai. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara memberikan penguatan respon ke arah yang makin mendekati perkiraan (approximations) perilaku yang dikehendaki. Metodenya disebut differental
reinforcement of successive approximations, yaitu prosedur penguatan hanya pada
respons yang dikehendaki saja atau yang makin mendekati penguasaan perilaku yang dibelajarkan. Peristiwa shaping atau pembentukan perilaku kompleks pada pebelajar dijelaskan sebagai berikut:
Perilaku manusia dibentuk reinforcement contingencies (hubungan ketergantungan antar kejadian, kemunculan satu respons tergantung pada munculnya respons lain), misal anak berlatih mengebut naik sepeda gunung. Guru spontan memakai tehnik ini untuk mengubah perilaku, memberi
penguatan dengan ucapan, ”hm, hm bagus sekali” sambil menganggukkan kepala saat pebelajar berhasil (meski susah payah) mengekspresikan kandungan perasaan dan pikirannya. Hal sama dilakukan pebelajar agar terbentuk kebiasaan aneh pada guru yang tidak disadari olehnya.
(5) Prinsip jadwal penguatan.
Jadwal penguatan yaitu pola dan cara penguatan dilakukan berupa jadual perlakuan penguatan. Pola penjadualan di antaranya lewat continuous reinforcement, yaitu tiap respon yang benar dilakukan diberi penguatan, dan intermittent (partial)
reinforcement yaitu sebagian (bukan seluruh) respons yang benar diberi penguatan.
Skinner memakai continuous reinforcement untuk meningkatkan kecepatan belajar tetapi hasilnya kurang cukup lama diingat. Jadual yang terbaik yaitu diawali dengan penguatan berkesinambungan kemudian dilanjutkan dengan intermittent atau partial
reinforcement agar efektif menghindarkan pebelajar cepat lupa.
Memahami jadual penguatan berdampak pada perilaku diterapkan ibu yang memuji nilai PR dan ulangan anaknya! Pujian itu membuat anak makin rajin mengerjakan PR dan belajar. Perhatikan mannersim (bandana, Jawa) orang ketika sedang berpikir keras, ia garuk-garuk kepala (padahal tidak gatal), menggigit kuku dan menengadahkan kepala. Walau kebiasaan itu tidak berkaitan dengan berpikir, tetapi berdampak penguatan dan pembiasaan. Kebetulan saat berperilaku aneh itu berhasil menemukan pemecahan. Fenomena perilaku seperti ini sering disebut sebagai tahyul perilaku terjadual (superstitious scheduled behavior) manusia moderen.
Setelah mempelajari bahan ajar pada Sub-unit 2.2 di atas, Anda diminta mengerjakan soal-soal latihan dengan membaca secara teliti terlebih dahulu kasus yang tertera dalam kotak berikut ini.
Pagi itu, Ibu Sri guru kelas 4 SD Inpres 1 Kaliurang yang terletak di lereng gunung Merapi berangkat naik sepeda motor ke sekolah dengan membonceng anaknya yang duduk di kelas 3. Jam di arloji Ibu Sri sudah menunjukkan pukul 07.00 wib (Waktu Indonesia Bagian Barat), padahal jarak antara rumah Ibu Sri dengan sekolah +6 km.
Setibanya di sekolah, peserta didik sudah berada di ruang kelas karena jam sekolah dimulai tepat pukul 07.00 wib. Setelah mengantar anaknya ke ruang kelas 3, Ibu Sri segera memasuki ruang kelas 4 dengan disambut ucapan ”Selamat pagi Bu!” oleh semua peserta didik secara serempak dalam keadaan berdiri dipimpin ketua kelasnya. Dengan suara datar Ibu Sri berkata, ”Ok,
duduk dan keluarkan buku PR Matematika.”
Semua peserta didik serempak duduk sambil mengambil buku tulis PR Matematika dan membukanya di atas meja. Ibu Sri bertanya, ”Siapa yang
tidak mengerjakan PR silahkan berdiri di depan kelas.” Peserta didik saling
berbisik satu sama lain sambil mendudukkan kepala. Ibu Sri berkata lagi dengan suara yang agak keras, ”Baik, kalau semua mengerjakan PR saya akan
periksa, tetapi kalau ternyata ada yang tidak mengerjakan, awas ya, saya akan suruh keluar dan tidak boleh ikut pelajaran hari ini.”
Pertanyaan
1. Apakah Ibu Sri mengelola pembelajaran mengikuti langkah-langkah tertentu? Jelaskan jawaban Anda!
2. Ditinjau dari prinsip penyusunan silabus mata pelajaran, apakah Ibu Sri mengikuti prinsip tersebut dalam pembelajaran yang dikelolanya pagi itu? Jelaskan jawaban Anda!
3. Ditinjau dari teori belajar Skinner, prinsip pembelajaran apakah yang diterapkan Ibu Sri terhadap peserta didik yang tidak mengerjakan PR Matematika? Jelaskan jawaban Anda!
Peserta didik diam semuanya, dan tidak seorang pun yang berani bergerak atau saling berbisik. Ibu Sri berjalan berkeliling sambil memeriksa buku peserta didik satu per satu. Pada meja peserta didik yang kelima, Ibu Sri menemukan PR yang dikerjakannya hanya 2 nomor dari 5 nomor PR. Ibu Sri langsung membentak, ”Mengapa kamu hanya mengerjakan 2 nomor PR, dasar
anak malas ... bodoh ... dan nakal. Kamu berdiri dan kerjakan PR nomor 3 sampai dengan nomor 5 di papan tulis.” Peserta didik bersangkutan langsung
berdiri dan menuju ke papan tulis akan tetapi tidak dapat mengerjakan PR tersebut. Ibu Sri dengan segera menyuruh peserta didik tersebut berdiri dengan satu kaki sambil memegang kedua belah telinganya.
Ibu Sri langsung menghentikan kegiatan pembelajaran membahas pengerjaan PR Matematika, dan selanjutnya menjelaskan materi pembelajaran berikutnya.
Rambu-Rambu Jawaban Soal Latihan
1. Ibu Sri mengelola pembelajaran mengikuti prinsip-prinsip tertentu, yaitu (a) menyuruh peserta didik menyiapkan di atas meja buku pekerjaan PR Matematika, (b) menanyakan siapa peserta didik yang tidak mengerjakan PR Matematika, (c) memeriksa buku pekerjaan PR Matematika satu per satu, dan (d) menghukum seorang peserta didik yang hanya mengerjakan dua nomor PR Matematika, serta (e) melanjutkan pembelajaran dengan materi baru. Prinsip-prinsip yang ditempuh Ibu Sri ini bukanlah prinsip pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya, karena saat itu Ibu Sri sudah terlambat masuk kelas dan tanpa membicarakan pekerjaan PR Matematika langsung melanjutkan pembelajaran dengan materi yang baru.
2. Ditinjau dari prinsip penyusunan silabus mata pelajaran, Ibu Sri tidak mengikuti prinsip tersebut dalam pembelajaran yang dikelolanya pagi itu. Pengelolaan proses pembelajaran yang dilakukan Ibu Sri antara lain (a) tidak memiliki dasar keilmuan dalam pendidikan dan pembelajaran karena di dalam diri Ibu Sri terkandung muatan emosi sehingga pembelajaran berlangsung tanpa terencana dengan baik, (b) tidak relevan, karena Ibu Sri hanya menyuruh peserta didik menyiapkan buku PR Matematika di atas meja dan tidak membahasnya bersama peserta didik bagaimana hasil pekerjaan peserta didik, (c) tidak sistematis, karena Ibu Sri hanya memeriksa buku peserta didik sampai pada orang yang kelima, kemudian langsung menghentikan pembelajaran yang berkaitan dengan PR Matematika dan langsung melanjutkan pembelajaran dengan materi yang baru, (d) tidak konsisten, karena peserta didik yang dihukum mengerjakan soal PR Matematika di papan tulis langsung dihukum berdiri terus di depan kelas dengan satu kaki sambil memegang ke dua belah daun telinganya.
3. Ditinjau dari teori belajar Skinner, prinsip pembelajaran yang diterapkan Ibu Sri terhadap peserta didik yang tidak mengerjakan PR Matematika ada
kemungkinan menggunakan prinsip penguatan negatif (negative
einforcement), akan tetapi penerapannya tidak mendidik. Peserta didik tanpa
diberi penjelasan mengapa ia dihukum dengan mengerjakan PR Matematika di papan tulis dan berdiri satu kaki di depan kelas sambil memegang kedua belah daun telinganya.